31.12.23

(Cerpen) Renovasi Rumah

“Mah, apalagi sih maunya? Rumah kita sudah penuh sesak. Masih juga beli barang-barang itu. Mau ditaruh dimana?” 

“Papa ini lho kurang nge-art, motifnya cantik banget kan? Cocok untuk ditaruh di dinding kamar tamu itu. Warnanya serasi dengan patung Dayak di sudut. Lagian kalau sudah bosan juga bisa dijual.” 

Seharusnya diriku paham saja, kalau istri saya sudah punya mau, dunia kiamat pun tak mampu mencegahnya. Sejak sebelum menikah, hobinya itu beli barang-barang yang tak jelas fungsinya apa di dalam rumah. Patung-patung entah sudah berapa jumlahnya. Di setiap ruangan rumah kami yang kecil, yang cuma ada 5, tidak termasuk kamar mandi, minimal ada 4 patung berdiri. Di ruang tamu berjajar 7 patung Dayak ukuran riil yang dibelinya langsung dari tangan pemahatnya di pedalaman Kutai Barat. Tidak ada dinding yang luput dari artefak, hiasan, lukisan, atau apapun namanya itu. Jengkal demi jengkal terpajang ratusan jenis, atau bahkan mungkin ribuan, benda-benda yang menurutnya, “Cantik dan cocok untuk di dalam rumah.” 

Rumah kami sudah seperti galeri seni, atau mungkin malah toko barang-barang seni. Kalau pernah pergi ke toko barang-barang seni atau handycraft di jalanan Malioboro, maka rumah kami tak ada bedanya. Kemana mata memandang, akan tertumbuk pada sebuah koleksi. Tapi masalahnya, saya merasa sesak. Sebagai anak yang tumbuh di tengah ladang, ruang yang lapang membuat saya lega dan nyaman. Ruang yang sempit dan sesak oleh barang, membuat saya kerap merasa terperangkap dalam sebuah kotak. Sangat sering, saya duduk di gazebo kecil di sudut halaman rumah hanya untuk melegakan pikiran. Saat malam-malam bertabur bintang atau malam bulan penuh. Bisa semalaman saya di luar, merasakan kelapangan. Saya sempat diprotes keras oleh istri, karena setelah kami berhubungan, tak berapa lama saya pasti pergi keluar menghirup udara segar. Padahal, istri saya inginnya didekap dulu sampai dia tertidur pulas. “Rasanya diriku hanya seperti alat buatmu, Pa, kalau kamu langsung keluar rumah. Paling tidak tunggu aku sampai tidur.” Sejak itu, saya baru keluar kalau istri sudah tidur pulas. 

Tetapi, saya sendiri tak bisa banyak protes. Bagaimanapun ini rumahnya. Kenyataannya, dia yang membeli rumah ini ketika kami belum menikah. Dengan sedikit bantuan dari orangtuanya, ia membeli tanah dan rumah ukuran 45, beberapa waktu sebelum kami berkenalan. Setelah menikah, kami tinggal di rumah itu sampai sekarang sudah 25 tahun lamanya. Anak kami satu-satunya sudah kuliah di ISI Jogja, ambil jurusan Seni Kriya, yang tak diragukan lagi diturunkan dari istri saya. Sejak kecil, anak saya sudah diajari mamanya untuk jadi kolektor. Kamarnya itu juga penuh barang-barang koleksinya, sampai karena tidak cukup tempat lagi buat koleksinya, dia meminta menjebol dinding kamar batas dengan kamar tamu, yang alhasil membuat kami tak lagi punya kamar tamu. Beda dengan istri saya, koleksinya lebih beragam, mulai dari model-model sepatu lama, sampai potongan tanda-tanda lalu lintas dan boks telepon umum yang entah dia dapatkan dari mana. Kalau mereka berdua sudah ngurusin benda-benda koleksi mereka itu: membersihkan dan memindah-memindahkan posisinya, saya seolah-olah sudah tak dianggap ada. Kalau mereka berdua sudah menyampaikan peringatan, “Pa, beberapa hari ke depan kami mau beresin barang!” Itu artinya selama minimal 2 hari hingga paling tidak seminggu, saya harus urus diri sendiri. Tak boleh saya mengajukan permintaan apapun pada mereka, bahkan meskipun itu soal masakan. “Masak apa, Ma?” yang biasanya jadi pertanyaan harian —dan percayalah masakan istri saya yang terhebat di dunia dan itu pula yang jadi alasan saya jatuh cinta padanya dulu— menjadi pertanyaan tabu selama hari-hari itu. Saya harus masak makanan sendiri, yang tak jauh-jauh dari indomie telor karena hanya itu yang saya bisa. Tapi lebih seringnya, saya terpaksa harus beli makan di luar, yang tentu saja pergi sendirian dan makan sendirian. Mereka sendiri bisa seharian tidak makan, lalu baru malamnya menyetop penjual ketoprak atau sate keliling. 

Alasan lain saya tak bisa protes, mereka tak pernah mengambil uang penghasilan saya buat hobi mereka. Barang koleksi istri dibeli dari penghasilannya sendiri sebagai dosen dan memiliki toko souvenir kecil di sebuah tempat wisata. Barang koleksi anak saya, dibelinya sendiri dari jatah uang jajannya, dan upah dari mamanya saat ikut jaga toko. Uang gaji saya utuh untuk keperluan lainnya. Sekitar 10 tahun lalu saat saya tertarik mengambil jatah kredit lunak dari kantor untuk ambil rumah yang lebih besar dari yang sekarang dan di kawasan yang lebih elit, istri saya tak sependapat. “Rumah ini kecil, tapi toh kita hanya bertiga. Sebentar lagi juga cuma berdua. Ini rumah kita, Pa. Tak perlulah kita pindah-pindah. Uangnya untuk kuliah si Nina saja. Biayanya besar itu nanti!” Saya hanya mengiyakan karena tak punya argumen lebih baik, meski saya benar-benar ingin pindahan agar dapat rumah lebih lega. 

Kenyataannya, selain soal hobi koleksinya, saya sangat bersyukur memiliki istri seperti dia. Tak ada yang patut saya protes darinya. Baiknya luar biasa pada keluarga besar saya sendiri. Ibu bahkan sampai terang-terangan menyebutnya sebagai menantu favorit, yang tentu saja bikin jengkel ipar-ipar saya yang lain. Masakannya benar-benar mak nyus. Di tempat tidur, dia hal terbaik yang bisa diharapkan dari seorang pencinta. Sampai-sampai saya berpikir, kalau dia itu menginjak kodok sehingga terpaksa harus berjodoh dengan saya. Harus diakui, saya ini pria payah. Karir begitu-begitu saja. Tak punya hobi serius dan boleh dibilang tak punya satupun prestasi yang bisa dibanggakan. Singkat kata, saya tak bisa ngeluh apa-apa. Saya bangga padanya, dan saya tak sungkan-sungkan membangga-banggakannya di depan orang. Tapi ya itu, hobinya bikin sesak nafas. Jadi, kadang terlintas juga pikiran untuk berpisah saja. Kalau hatinya sedang tak tenang, hidup saya seperti di neraka. Cerewetnya bisa minta ampun. Biasanya itu terjadi kalau saya mengomentari koleksinya dengan negatif. Jadi, biarlah kudukung saja hobi tak jelasnya. Asal dia senang, hidupku pun jadi tenang. 

“Pa, minggu depan, bareng teman-teman kantor mau kunjungan ke Papua, sebulan. Tugas audit kampus di sana,” papar istri saya memberitahu agenda kerjanya. Saya mengangguk dan bertanya-tanya mau apa saja dan di mana saja. Sudah pasti, pulang nanti dia akan membawa pulang beberapa barang yang menurutnya ‘cantik buat rumah’. 

Kepergian istri sebulan memunculkan ide di kepala. Mungkin, ini saatnya memberikan dia kejutan, pas di ulang tahun perkawinan kami ke 25. Barang-barang koleksinya sudah terlampau banyak di dalam rumah. Setiap kali dia pergi membawa barang baru, beberapa barang lama terpaksa harus diturunkan dan dimasukkan ke kardus. Sebagian memang dibawa ke toko, tapi jumlahnya kecil saja. Sebagian besar barangnya dilabeli bukan untuk dijual, meskipun sudah bertahun-tahun teronggok di dalam kardus. Pasti akan jadi kado menyenangkan kalau ketika dia pulang, rumahnya sudah bertambah besar dan luas, sehingga barang-barang koleksinya dalam kardus bisa dipajang semua. 

Saya menelepon teman saat SMA dulu yang menjadi kontraktor bangunan untuk membuat perencanaan renovasi rumah. Karena mau memberikan kejutan, kami berdua diam-diam saja dan melakukan pengukuran ketika istri sedang mengajar. Kami berencana menambahkan 1 bangunan baru bertingkat 2 yang menyambung kamar tamu, sehingga menghilangkan gazebo. Kami juga akan membongkar kamar tidur utama, dan melebarkannya hingga ke batas tembok rumah tetangga di bagian belakang. Segera setelah mengantar istri ke bandara, saya telepon si teman dan pekerjaan di langsung mulai. Pada hari itu juga, material datang dan para tukang memulai pekerjaannya. 

Renovasi selesai hanya dalam waktu tiga minggu. Saya ambil cuti seminggu untuk mengatur ulang barang-barangnya. Saya ingin agar semua barangnya kembali seperti semula, berada di tempat dan ukurannya tetapi di ruang yang lebih luas. Barang-barang dalam kardus kukeluarkan dan coba kupajang di seluruh dinding yang tersisa. 

“Apa maksudmu, Pa? Apa? Mengapa tak bilang-bilang kalau mau renovasi rumah sampai tambah bangunan segala? Aku tak rela. Aku tahu sekarang, Papa bukan saja tak mau mendukung hobiku, tapi juga ingin menghancurkan diriku. Aku minta cerai!” 

Dan di sana di depan rumah yang baru direnovasi, di depan istriku yang terisak-isak tersayat, aku hanya bisa diam terpaku.

(Cerpen) Bohlam

Terbuat dari apakah kenangan? Tiba-tiba saja tanpa angin tanpa hujan diriku mengingat sebuah bohlam lampu di loteng kamar kosku yang dulu. Sesungguhnya tak ada yang istimewa dengan bohlam itu. Dayanya cuma 10 watt, yang sekedar cukup menerangi kamar namun tak benderang. Warna sinarnya yang agak lembayung kemerahan mengundang mata untuk mengatup. Berapapun lamanya pergi dan apapun kegiatan di luar kamar yang kulakukan, jika sudah memasuki kamar 3X4 dengan bohlam bersinar temaram itu, kantuk menyuruk. Seolah-olah bohlam itu adalah Dewa Hypnos yang melambai-lambai mengundangku tidur dan bermimpi. 

“Kamu kangen aku?” tanya si Bohlam, demikian aku menyapanya setiap kali habis bepergian cukup lama meninggalkan kamar yang kutempati hampir 5 tahun lamanya itu. 

Sebagai anak baru lulus kuliah yang bercita-cita menjadi penulis dan tanpa uang, memilih tempat kos super murah adalah satu-satunya pilihan. Tak ayal hanya satu kamar kos yang tersedia buat disewa kantongku, yakni sebuah kamar yang konon kata yang punya sudah 10 tahun tak ada yang mau menyewanya. Awalnya kudengar, sewanya cuma 40 ribu per bulan, padahal saat itu harga pecel lele sudah 5 ribu seporsi. Dan untukku, si pemilik dengan murah hati menggratiskannya dengan catatan ikut menjadi bapak kos untuk 20 kamar lain yang dimilikinya. Tentu saja, tawaran itu tawaran surga yang tak dapat kutolak. Tak akan ada tawaran yang lebih baik lagi. Meski tentu saja, sebagaimana umumnya kamar kos super murah, kondisinya sungguh memilukan hati. Tak akan ada orang lain yang bakal berpikir menempatinya jika punya uang sedikit lebih. Terhimpit di pojok bangunan yang dikelilingi oleh beberapa bangunan kos bertingkat 4, maka tak ayal tak ada seberkas sinar mataharipun menerobos ke dalam kamar. Tak peduli jam berapa saja, saat pintu kamar dibuka yang ada hanyalah gelap. Hanya bohlam mungil bersinar merah itulah satu-satunya sumber cahaya yang bisa membuatku melihat isi kamar. 

“Ya aku kangen kamu, Bohlam. Apa kabarmu?” 

“Aku juga kangen kamu. Sebelum dan sesudahmu, tak ada yang tinggal lagi di kamarku. Dan aku tergantung di sana sampai sekarang. Sudah 20 tahun lamanya. Tak maukah kau mengunjungiku?” 

Si bohlam sepertinya mahluk ajaib. Kalau tidak salah merknya phillips. Kata si pemilik kos, lampu bohlam itu dipasangnya sekitar 5 tahun sebelum diriku menjadi penghuni kamarnya, tak pernah diganti saat diriku tinggal di sana sekitar 5 tahun lamanya karena begitu awetnya meskipun cahayanya begitu suram, dan seperti katanya barusan terus tergantung di sana sesudah 10 tahun aku meninggalkannya. 

“Bukan tak mau berkunjung. Aku kangen cahayamu. Kamu alasan kenapa aku bisa menulis setumpuk buku itu. Ingatkah hari-hari intim kita saat diriku menulis siang dan malam ditemani olehmu? Aku sungguh-sungguh rindu saat aku memakimu karena cahayamu bikin ngantuk. Tapi toh aku tak suka kehilanganmu. Ingatkah kamu saat bapak kos membawa lampu pengganti tapi kubiarkan teronggok saja karena tak ingin kehilanganmu? Tapi aku sungguh sedang sibuk sekarang. Mungkin kelak kalau ada waktu longgar. Pasti aku akan berkunjung.” 

Si Bohlam satu-satunya pemberi cahaya, selain cahaya laptop yang menyala. Begitu pintu dibuka dan saklar listrik dinyalakan, seisi kamar barulah menampakkan dirinya, mulai dari baju-baju bergantung di pintu dan dinding; setumpukan buku setinggi hampir setinggi tubuhku dan selebar pintu di sudut kamar; seonggok baju kotor yang entah sudah berapa minggu terserak di sudut yang lain; sebuah meja kecil, laptop dan printer; beberapa piring, sendok dan gelas; galon air; dan selembar tikar tempatku tidur, makan, dan kadang bercinta dengan kekasih. 

“Apakah dia, yang sering bergumul denganmu dulu jadi istrimu?” 

“Oh tidak. Kami putus bahkan sebelum aku keluar dari kamar itu. Dia bilang diriku terlalu egois tak mau memikirkan masa depan dengan hanya mengerjakan pekerjaan yang tak ada uangnya. Dia bilang dia sangat mencintaiku. Tapi dia pergi juga.” 

Kami bertengkar hebat kala itu. Dia merasa sudah melakukan segalanya untukku. Dia bersabar selama hampir 5 tahun menungguku untuk berubah, agar diriku mau mencari pekerjaan yang lebih mapan, yang bisa menghidupi kehidupan keluarga kami saat menikah nantinya. Tapi tidak. Aku tetap keras kepala teguh hendak menjalani kerja menulis, meski hasilnya benar-benar hanya cukup untuk makan saja. Selalu saat dia bertanya sampai kapan, aku akan menjawabnya sampai bosan. Biasanya, pertengkaran kecil itu akan selalu berakhir manis dengan pergumulan kami. Tapi hari itu berbeda. Dia bilang sudah benar-benar muak dengan keegoisanku. Dan dia memutuskan pergi begitu saja. Hari itu pula menjadi hari terakhir kali aku melihatnya. 

“Baru kuingat kata-katamu saat bapak kos memintamu menggantikanku dengan lampu yang lebih terang dan hemat, ‘aku mau setia padamu, sampai kau mati!’ Dan kau tepati kata-katamu. Kau tak menggantiku. Tapi kenapa kau tetap meninggalkanku juga. Kau tinggalkan kamar kita.” 

“Maafkan aku. Aku harus. Aku tak bisa menunggu sampai kau benar-benar mati. Umurmu seharusnya setahun saja. Tapi kau sudah 5 tahun terus menyala dan tak ada tanda-tanda bakal mati. Aku tak mau ikut menua dengan menunggumu mati. Aku ingin hidup. Aku tak ingin ditinggalkan lagi.” 

“Jadi, kau pergi karena perempuan itu?” 

“Ya. Karena dia. Setelah dia pergi, aku sadar, bahwa mungkin sudah waktunya untuk beralih menjelajahi dunia, bukan terkungkung di kamar bersama buku-buku. Kamu masih ingat aku meninggalkanmu hanya seminggu sesudah dia pergi?” 

“Tentu. Aku ingat betul. Sampai sekarang buku-bukumu masih ada di kamar. Sebagian besar sudah rusak di makan kutu dan hancur karena lembab. Bahkan baju-bajumu masih tergantung. Tikarmu masih ada, sudah rusak lapuk sebagian besar dimakan engas. Gambar bumi biru besar kesukaanmu masih tertempel di tempat yang sama.” 

Saat itu, dalam kondisi galau ditinggalkan kekasih, aku pergi begitu saja tanpa pamit pada pemilik kos. Awalnya hanya ingin menenangkan diri ke stasiun kereta. Tak dinyana, diriku sampai di Bandung dengan hanya membawa sebuah laptop, 2 buah kaos, sepotong celana, dan tanpa uang. Diriku langsung melamar kerja di sebuah kantor media online di sana, yang kebetulan kutemui saat berjalan menyusuri jalanan di Braga. Kuketuk pintu mereka, kuminta bertemu manajernya, kuceritakan apa yang kuhadapi dan apa yang kupunya. Hari itu juga, 3 jam setelah mendarat di Bandung, aku mendapat pekerjaan, diberi tempat tinggal, dan seterusnya hidup mengalir seperti kehidupan kebanyakan orang: berangkat kerja, bekerja, pulang kerja, dan sesekali jalan-jalan. Hilang keinginanku untuk kembali ke Jogja. Bahkan buku-buku yang dulu dibeli susah payah sejak masih kuliah kurelakan menjadi bagian dari kenanganku saja. Sudah 10 tahun kini kota itu kutinggalkan. 

“Bagaimanapun itu hari-hari yang indah. Aku tak lupa,” desahku mengingat segala hal manis di kos pojokan Blunyah Gede Jogja itu. 

“Sudah pasti kau tak akan lupa. Bahkan meskipun kau sudah punya keluarga sekarang.” 

“Oh tidak. Aku belum punya istri. Aku belum menikah. Beberapa kali berpacaran sesudah pergi dari Jogja, tapi tak ada satupun yang membuatku benar-benar ingin menikahinya. Belum ada yang bisa membuatku yakin untuk agar diriku menyerahkan diri padanya. Mungkin aku hanya terlalu egois. Ya, rasanya hanya aku terlalu egois. Tapi aku percaya, kelak suatu saat di luar sana, akan ada seseorang yang padanya aku bisa berjanji padaku sendiri, ‘dia hidupku sekarang, akan kulakukan apapun untuknya, bahkan meskipun mengorbankan diriku sendiri.” 

Dan sekarang, aku masih hidup untukku sendiri. 

“Menurutku,” kata si Bohlam dengan cahaya temaramnya, “kamu belum menikah karena sudah berjanji setia padaku. Kau janji akan meninggalkanku hanya kalau aku sudah mati. Tapi aku belum mati. Aku masih hidup. Kau menyadari itu, maka kau tak sanggup menikahi orang lain. Pulanglah ke Jogja. Temui aku. Bunuhlah aku. Setelah itu barulah kau akan sanggup menikahi seseorang. Tuntaskan janjimu.” 

Dan tikus-tikus itu, yang berlarian di kayu-kayu talangan penahan genteng yang siang malam terlihat karena cahaya bohlam, tiba-tiba membesar menjadi raksasa-raksasa yang hendak menerkamku.

(Cerpen) Nasi Kuning

Mendung pekat hitam sepanjang hari menghiasi langit, sejak fajar merekah. Tapi hujan besar tak turun-turun juga. Sewaktu berangkat kerja pagi tadi, banyak para pemotor sudah mengenakan mantel hujan buat berjaga-jaga. Saya juga begitu. Tapi sepanjang 1 jam perjalanan dari rumah hingga kantor, setitik pun air tak jatuh menetes. Dan itu berlangsung nyaris hingga sekarang, saat jelang pulang. Awan hitam bergulung yang semakin pekat jadi menakutkan, ada kesan si awan sedang murka besar mengumpulkan air sebanyak-banyaknya untuk kemudian ditumpahkan sekaligus agar sekalian memporak-porandakan kota. Sepertinya, kota ini bakal kena kutukan hujan. Sekurang-kurangnya, kalau hujan benar-benar jatuh malam ini, akan ada banyak kerusakan di mana-mana. Mungkin banyak rumah bocor. Mungkin bakal banjir besar. Pohon-pohon bakal bertumbangan menghalangi jalan. Pencari berita semestinya sudah bersiap berburu dampak hujan malam ini. 

Cuaca hari ini benar-benar menggambarkan suasana hati istri saya. Sebagaimana biasa, mendung di hatinya selalu tak jauh-jauh disebabkan oleh saya juga. Sebabnya macam-macam, mulai dari saya yang lupa angkat jemuran, lupa bayar tagihan pdam, dan gara-gara lupa yang lainnya. Saya harus akui, saya memang mudah sekali lupa. Kalau sudah keasyikan mengerjakan sesuatu, yang lain-lain lupa sudah. 

Kata-kata favorit saya buat ngeles, “Maaf, lupa Mi, tadi sibuk mengerjakan sesuatu!” Dan kata-kata favoritnya untuk membalas, “Halah, cari-cari alasan. Dasar memang enggak punya rasa tanggungjawab!” Jika sudah begitu, biasanya saya cuma tertawa kecil dan berlalu. Tapi pasti ada satu atau 2 hukuman yang bakal jatuh, entah tak dibuatkan sarapan atau makan malam, atau yang terparah tak sudi tidur bersama. 

Sampai sejauh ini, lupa terparah yang membuatnya paling murka adalah lupa memberinya hadiah saat ulangtahunnya. Malamnya, yang kebetulan malam kamis yakni malam sunah rasul, saya pun mengirimkan isyarat padanya untuk bersunah rasul itu, tapi dibalasnya dengan sangat telak, “Maaf Pi, lupa tuh apa sih sunah rasul!” dan langsung berbalik badan ditinggal tidur. Paginya tak ada sarapan tersedia. Bangun saja tidak mau. Sepanjang hari, pesan-pesan di line meminta maaf padanya sama sekali tak dibalasnya, cuma dibaca saja. Lalu malamnya, saat balik ke rumah, lagi-lagi tak ada makan malam. Di meja makan cuma ada pesan, “Beli nasi padang sendiri! Lupa masak!” 

Tentu saja, sebagaimana biasanya kalau sedang kesal, dia akan berada di rumah orangtuanya. Biasanya, ibunya akan telepon mengabari kalau istri saya sedang ada di rumah dan itu artinya saya sudah harus menjemputnya. Tapi malam itu, saat saya jemput dia tak mau. Akhirnya saya tidur di rumah mertua sampai tiga hari lamanya karena istri benar-benar tak mau pulang. Satu-satunya yang membuatnya mau pulang sepertinya setelah dia kena marah ibunya. “Nanti si Neng, -panggilan ibu pada istri saya-, mau pulang ke rumah cepat. Habis pulang kerja, langsung ke sini saja ya,” tutur ibu mertua. 

Saat saya sampai di rumah mertua, istri saya sudah siap dengan tasnya di depan teras. Begitu lihat saya datang, dia langsung keluar pagar, membonceng naik dan minta segera jalan, “Udah jalan!” perintahnya dengan muka masam. Itu menjadi pertanda jelas kalau dia habis kena marah ibunya. Tapi ibu buru-buru memanggil. Meminta kami makan dulu, sudah disiapkan makan malam katanya. Jadilah malam itu kami baru pulang setelah makan malam. Dan pesan ibu pada saya, via SMS, “Maklumi aja ya Nak, masih muda dia. Yang sabar, dibimbing ya.” 

Istri saya memang masih sangat muda. Kami menikah saat dia baru saja lulus SMA. Sedangkan saya sendiri sudah 36 saat itu. Selisih usia kami hampir 2 kali lipat. Jadi, apakah dia mau menikah dengan saya karena cinta? Tentu saja tidak. Dia mau karena begitulah pesan abahnya pada dia. Saya dan abahnya merupakan rekan kerja di sebuah perusahaan eksplorasi geologi. Karena kami sering bepergian bersama, yang bisa berbulan-bulan lamanya, maka kami jadi sangat dekat satu sama lain. Meski anak buah saya, tapi saya memanggilnya abah karena usianya lebih tua dibanding saya. Selama 10 tahun kami bekerja sama, mengeksplorasi lahan-lahan buat tambang di berbagai pulau di Indonesia, bahkan hingga ke Afrika dan Australia. Selama itu, Abah sering bercerita tentang putrinya semata wayang. Sering juga dia tunjukkan foto-fotonya. Jika habis pulang cuti ke Tasik, dia pasti akan membawa seribu cerita tentang si Wina putrinya yang sangat dibanggakannya itu. Saya dengan senang hati mendengarkan si Abah bercerita, dan tentu saja memuji-muji Wina, tentang betapa cantiknya dia dalam foto-fotonya itu. Beberapa kali saya bahkan ikut mengiriminya hadiah ulangtahun karena pergi ke Mall bersama abahnya, yang hendak membelikan hadiah buat putrinya. Meski begitu, pada Wina, saya merasakannya sebagai seorang adik belaka. Anaknya teman kerja. Apalagi saya mengetahui Wina sejak masih berseragam merah putih SD. 

Saya sendiri tak pernah bertemu Wina sampai sebuah kejadian memilukan yang menimpa Abah. Saat Abah pulang cuti dan hendak menghadiri acara perpisahan kelulusan sekolah Wina, mobil yang dikendarainya bertabrakan dengan truk. Abah dilarikan ke rumah sakit dan kaki kanannya kemudian harus diamputasi. Saat saya menengoknya ke rumah sakit, barulah saya bertemu si Wina. Abah menceritakan ke Wina kalau saya yang sering ikut kirim hadiah ulang tahun padanya. Dan tanpa dinyana-nyana, saat itu juga, di saat pertemuan pertama saya dengan Wina, Abah menanyakan tanpa tedeng aling-aling apa saya mau menikahi Wina. Saat saya bilang tak siap menikah, Abah mendesak bahwa saya dipastikan siap menikah. Abah tak perlu tanya-tanya apapun soal latar belakang saya, karena dia tahu betul sampai usia 36 itu saya masih lajang juga, dan dia mengenal saya dengan sangat baik selama sepuluh tahun terakhir. Katanya, sudah seperti keluarga, sudah seperti anak sendiri. Saat saya bilang, kalaupun saya mau, Wina belum tentu akan mau. Lagipula baru saja bertemu. Abah lagi-lagi meyakinkan kalau Wina akan mau, karena itu keinginan Abahnya. 

Saya perhatikan raut muka Wina saat itu yang terlihat sangat terkejut sekaligus marah. Sepertinya dia sangat tidak diterima dijodohkan dengan seseorang yang baru saja ditemuinya dan yang umurnya jauh lebih tua. Tapi hebatnya, saat Wina ditanya oleh Abahnya apakah Wina mau, dengan mengagumkan dia menjawab terserah keinginan Abah saja. “Jangan tolak permintaan saya,” kata si abah pada saya. “Saya sudah menginginkanmu jadi menantu saya bertahun-tahun lalu. Itu mengapa saya selalu ceritakan soal Neng. Terimalah permintaan saya.” 

Bagaimana kuasa menolak permintaan seorang sahabat yang tengah terbaring lemah di dipan rumah sakit dengan satu kaki telah diamputasi? Tak bisa lain saya hanya mengatakan bersedia. Di pertemuan pertama, di rumah sakit itu, langsung diputuskan kalau kami akan menikah. Saat itu Wina bahkan belum mendapatkan ijazah dari sekolahnya. Tiga hari kemudian kami langsung menikah, dinikahkan oleh Abah di rumah sakit. 

Meski sudah terbiasa menghadapi mendung hati istri saya selama setahun terakhir. Tapi saya menyadari, mendung kali ini berbeda. Lebih gelap dari biasanya, dan lebih besar kemungkinan hujan badainya. Persis seperti cuaca sepanjang hari. Gara-garanya sepele. Semalam istri saya masak Nasi Kuning, yang harus saya akui rasanya lezat karena saya habis 2 piring. Tapi saya meledeknya, “Nasi kuningnya enakan buatan Mpok Tuti di dekat pasar minggu.” Tak disangka tak dinyana, istri saya marah besar. “Dasar nggak tahu terima kasih!” semburnya. Bergegas dia ambil tas dan pergi dari rumah begitu saja, mengendarai sendiri motor Mio yang baru saja dibeli seminggu lalu. Saat saya susul ke rumah mertua, ternyata dia tak berada di sana. Saya pun pulang dengan hati gundah. Untuk pertama kalinya saat dia kesal, dia tak pulang ke rumahnya menemui ibunya. 

Cemas menantinya, karena jam 11 malam tak kunjung ada berita dia di mana, saya berketetapan keluar mencarinya. Tapi belum sampai keluar pagar, HP berdering, sebuah sms masuk darinya, “Saya benci Aa. Jangan cari saya. Saya pulang besok malam.” 

Tak ingin membuat mertua cemas, saya tak beritahu mereka. Tapi jelang sore tadi, Abah mengirimi sebuah foto Wina bersama teman-temannya sedang bersenang-senang di Bandung yang diketahuinya dari instagram, dan bertanya apakah saya juga sedang jalan-jalan di Bandung bersama Wina. Saya tentu saja menjawab tidak, saya katakan itu acara Wina dengan teman-teman SMA-nya. Tapi si Abah justru bilang, tidak ada teman SMA-nya di foto itu. Abah yang merasa ada yang tak beres langsung menelepon dan meminta saya untuk langsung ke rumah menemuinya usai pulang kerja, dan pergi bersama ke Bandung mencarinya. 

Dan di sana, di Warung Tahu Sumedang di perbatasan kota Bandung, tepat di depan saya memarkirkan mobil, di sebuah saung, ada Wina sedang saling menyuap tahu dengan seorang anak muda. Abah menghela nafas panjang. 

“Dia masih terlalu muda. Tak seharusnya saya menikahinya.” 

Dan Abah melirik saya dengan mata bercucuran, “Jika kamu mau menceraikannya, Abah ikhlas.” 

“Tidak. Saya tak ingin menceraikannya. Tapi jika dia sangat menginginkannya, biar terjadilah.” 

Dan mendung pekat itu, yang berarak luas dari Tasik hingga Bandung mulai mengucurkan air yang di simpannya seharian. Petir menderu-deru. Kilat menyambar-nyambar.