28.5.19

Produktivitas Pekerja Indonesia


Produktivitas Pekerja Indonesia


Achmanto Mendatu

Sekelumit cerita dari Kawasan Industri berbasis nikel di Morowali.


“Apakah benar bahwa karyawan kita kalah produktif dengan tenaga kerja dari Tongkok?” 

Yang saya lihat adalah potensi besar. Karyawan Indonesia secara inheren merupakan para pekerja keras. Saya tak meragukan itu. Mereka akan sama efisien dan sama produktifnya dengan pekerja dari Tiongkok. Tidak ada alasan tidak bisa demikian.

Mengapa saya yakin bahwa karyawan kita bakal seefisien dan seproduktif pekerja dari Tiongkok yang telah masyhur di dunia sehingga membuat sebagian besar perusahaan-perusahaan raksasa manufaktur dunia mengalihkan produksinya ke negeri itu? Saya memiliki alasan kuat untuk optimis karena karyawan di Kawasan industri ini memiliki semua potensinya.

Secara garis besar ada dua bekal utama bagi pekerja untuk bertahan dan sukses di dunia industri modern, yakni memiliki inteligensi memadai dan memiliki mentalitas industri. Inteligensi merupakan kemampuan untuk mempelajari dan memahami segala sesuatu, yang mencakup kemampuan bernalar, perencanaan, pemecahan masalah, berpikir abstrak, memahami ide yang kompleks, belajar dengan cepat dan belajar dari pengalaman. Salah satu ukuran yang kerap digunakan untuk mengukur inteligensi adalah IQ (intelligence quotient). Semakin tinggi IQ-nya berarti semakin tinggi inteligensinya secara umum. Secara normatif, IQ yang dimiliki seseorang memberinya batasan pencapaian. Diketahui untuk menjadi ilmuwan kelas dunia diperlukan IQ sekitar 120 (sekitar 8% orang memiliki potensi menjadi ilmuwan kelas dunia); diperlukan 112 untuk menjadi ahli profesional-teknikal seperti misalnya konsultan teknik (sekitar 25% orang memiliki potensi menjadi ahli profesional-teknikal yang sukses); diperlukan 104 untuk menjadi administrator dan manager sukses (sekitar 37% orang memiliki potensi menjadi manajer sukses); diperlukan 101 untuk menjadi pekerja terlatih, klerikal (tukang, pengrajin), pramuniaga/marketing; diperlukan 92 untuk menjadi tenaga kerja semi-terlatih; dan diperlukan minimal 82 untuk menjadi tenaga-kerja tidak terlatih (Kaufman, 2009). Dengan demikian, asalkan seseorang memiliki IQ rata-rata saja (90-110), maka hampir semua bidang pekerjaan terbuka untuknya.

Bagaimana dengan IQ para pekerja Indonesia? Tidak ada data IQ pekerja yang tersedia, tapi dari pencapaian pendidikan para pekerjanya bisa diperkirakan berapa skor IQ mereka. Data menunjukkan bahwa 17% berpendidikan Diploma/Sarjana/Pasca Sarjana, 78% berpendidikan SMA/SMK, dan hanya 5% yang berpendidikan di bawah SMA/SMK. Dari data itu bisa diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki IQ di atas 100 karena untuk bisa menyelesaikan pendidikan setingkat SMA/SMK dengan baik (bukan asal lulus) diperlukan minimal IQ 100. Artinya, sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki potensi bisa melakukan hampir semua jenis pekerjaan di dalam dunia industri modern, termasuk hingga pekerjaan manajerial. Dengan kata lain, para pekerja itu adalah pekerja cerdas dengan potensi berkembang yang sangat luas. Bekal inteligensi mereka sudah lebih dari memadai. Mereka bisa belajar cepat semua model kerja dan teknologi baru yang didatangkan dari Tiongkok sekaligus dilatih untuk menguasainya.

Bekal kedua adalah mentalitas industri, berupa mentalitas bekerja keras dan berdisiplin tinggi. Tanpa keduanya, IQ yang tinggi kurang ada artinya. Hanya dengan kerja keras dan disiplin tinggi saja maka potensi IQ bisa dimaksimalkan. Telah dipastikan bahwa etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan pembeda Negara-negara yang berhasil membangun dunia industrinya dengan yang masih tertinggal. Keduanya adalah pembeda antara perusahaan yang berkembang dan perusahaan yang gagal.

Lazim terdengar klaim bahwa orang Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak memiliki mentalitas bekerja keras setinggi orang-orang dari Asia Timur, seperti Korea, Jepang dan Tiongkok. Disiplinnya juga lebih rendah. Hal itu memang sepertinya sulit dibantah. Etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan alasan dibalik Korea, Jepang dan kini Tiongkok menjadi raksasa industri dunia.

Sudah sejak ratusan tahun lalu di Indonesia para pekerja dari Tiongkok dikenal sebagai pekerja keras. Dalam buku Denys Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya” (Lombard, 1996), terdapat cuplikan data yang sangat menarik tentang perkebunan tebu di pulau Jawa pada tahun 1700-an: “...masalah pemilihan tenaga: apakah sebaiknya mempekerjakan tenaga orang Cina yang bayarannya mahal namun mampu bekerja keras (30 orang cukup untuk mengerjakan tanah dan merawat tanaman); atau tenaga orang Jawa… yang puas dengan upah sedikit namun harus dipekerjakan dalam jumlah yang banyak untuk menyelesaikan segala pekerjaan (dari 70 sampai 80 orang dibandingkan dengan 30 orang Cina).”

Etos kerja keras dan disiplin tinggi itu berasal dari budaya mereka yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusius yang secara inheren mempercayai bahwa keberhasilan adalah hasil dari kerja keras. Sejak era kuno, mereka memiliki pepatah “Tidak ada seorangpun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari setahun gagal membuat keluarganya berkecukupan.” Pepatah itu mencerminkan mentalitas dasar mereka yang mengagungkan kerja keras sebagai jalan meraih kehormatan diri; bahwa kerja keras pasti akan terbayar. Alhasil, dimanapun berada, mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi ketimbang kelompok lainnya. Tidak mengherankan apabila mereka juga cenderung lebih berhasil di manapun mereka berada.

Ada fakta yang sangat menarik mengenai kelompok Asian-American (warga negara Amerika Serikat yang berasal dari Asia, khususnya dari Jepang, Korea dan Tiongkok). Mereka cukup memiliki IQ 93 untuk bisa melakukan pekerjaan profesional atau teknikal atau manajerial yang bagi White-American (warga negara Amerika Serikat kulit putih) membutuhkan IQ sekurangnya 100. Diketahui, meskipun jumlah Asian-American tidak lebih dari 2% populasi di negara tersebut, tetapi jumlah mahasiswa Asian-American di perguruan tinggi paling terkemuka di AS, misalnya Harvard mencapai 20% dan Berkeley mencapai 45%, atau jauh menjulang di atas yang diharapkan (harusnya hanya 2% sesuai jumlah populasi). Padahal, dari segi skor IQ, kelompok Asian-American tidak lebih tinggi ketimbang kelompok lainnya. Richard E. Nisbett, pakar inteligensi dan profesor psikologi dari Universitas Michigan, AS, dalam bukunya “Intelligence and How to get it: Why schools and cultures count” (2009) pun menyimpulkan, “Tidak terbantah lagi bahwa Asian-American meraih capaian jauh di atas capaian yang diharapkan dari skor IQ-nya. Pencapaian intelektualitas orang Asia adalah hasil keringat ketimbang otak yang istimewa.

Begitulah. Mereka lebih berhasil karena resep yang sudah diketahui bersama: mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi. Itu saja.

Jadi, apakah benar belaka bahwa pekerja kita memang kalah dalam hal etos kerja keras dan kedisiplinan dibandingkan pekerja Tiongkok? Saya punya perspektif lain. Saya meyakini bahwa pekerja kita secara inheren juga merupakan pekerja keras dan punya kedisiplinan. Mereka hanya belum terbiasa dengan pola kerja industri, atau meminjam istilah Morgan Freeman dalam film Shawshank Redemption, ‘belum terinstitusionalisasi” ke dalam budaya kerja industri. Tidak boleh dilupakan bahwa lebih dari 90% pekerja belum pernah bekerja di sektor industri manufaktur sebelumnya. Kawasan ini merupakan tempat pertama mereka bekerja di dunia industri.

Dalam dunia industri modern, kerja keras dan disiplin kerja diharuskan terjadi dalam basis harian sepanjang tahun. Di dalam jam-jam kerja yang telah ditentukan seorang pekerja harus bisa mengerahkan segenap energinya dan harus menjaga disiplinnya. Waktu kerja dan waktu istirahat ditentukan oleh perusahaan. Seorang pekerja tidak bisa suka-suka memilih kapan mau bekerja keras dan kapan mau beristirahat. Apabila tidak bisa menunjukkan kerja keras yang konsisten dan tidak bisa menjaga disiplin di waktu-waktu yang telah ditentukan, seorang bekerja dianggap berperforma rendah yang bisa berujung pada pemberhentian. Sumber periuk nasinya bisa terguling.

Model kerja industri modern mirip dengan model kerja pertanian sawah basah. Para petani padi sawah harus bekerja dalam basis harian sepanjang tahun melakukan kerja-kerja yang tidak ada henti-hentinya, mulai dari menyiapkan bibit, menyiapkan lahan, menanam, mengairi, mengeringkan, menyiangi, memupuk, memanen dan seterusnya. Siklusnya tiada henti. Pergi ke sawah harus dilakukan setiap hari karena batang padi dan lahan harus diperiksa harian. Keterlambatan dirawat, misalnya terjadi kekeringan di lahan atau daun padi terendam air terlalu lama bisa mengakibatkan gagal panen. Mau tidak mau, para petani padi sawah pun harus bisa secara konsisten bekerja keras dalam basis harian dan berdisiplin dengan waktu. Lakukan itu selama bertahun-tahun, terbentuklah mentalitas industri. Lakukan itu selama puluhan, ratusan tahun atau bahkan ribuan tahuan, jadilah mentalitas industri sebagai bagian dari budaya keseharian. Alhasil, ketika industri modern datang, orang-orang yang berlatar budaya dari pertanian sawah pun menjadi yang paling siap. Inilah mengapa Korea, Jepang, dan Tiongkok sangat siap ketika peluang industrialisasi datang karena orang-orangnya mayoritas berlatar tradisi pertanian sawah. Mereka telah memiliki budaya yang siap untuk dunia industri modern sejak ribuan tahun sebelumnya (Gladwell, 2008). Jadi, bukan tanpa alasan banyak kawasan industri di Pulau Jawa dibangun di sentra-sentra persawahan. Bukan saja karena ketersediaan lahan yang luas, tapi lebih penting karena penduduk sekitarnya lebih siap untuk bergabung dengan industri modern. Budaya kerja dan disiplin mereka cocok belaka.

Model kerja pertanian lahan berpindah atau peladang dan perambah hutan/laut berbeda dengan model kerja pertanian sawah basah. Para petani peladang atau perambah bisa bekerja sama kerasnya dengan para petani sawah, atau malah bisa lebih keras. Akan tetapi oleh karena sifat peladangan itu sendiri, mereka tidak harus bekerja keras secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Mereka akan bekerja sangat keras di waktu-waktu tertentu, khususnya saat buka lahan, namun kemudian bisa berleha-leha cukup panjang. Mereka bisa menghabiskan waktu mengerjakan hal-hal lain atau rehat selama masa tunggu panen karena pertanian peladangan relatif tidak memerlukan banyak perawatan. Hal serupa dilakukan oleh para perambah hutan, yang bekerja super keras saat merambah tetapi ketika sudah mendapatkan hasil bisa berleha-leha di rumah. Tidak ada yang menuntut mereka untuk terus menerus bekerja setiap hari karena tidak ada “padi” yang harus dipelihara setiap hari, yang jika tidak dilakukan bisa membuat mereka kelaparan. Pendek kata, mereka bisa memilih sendiri kapan harus bekerja keras dan kapan istirahat. Maka, budaya kerja yang berurat dalam diri mereka adalah budaya kerja keras temporer, bukan kerja keras konsisten harian. Disiplinnya juga temporer, bukan disiplin terus menerus. Alhasil, orang-orang dari latar budaya peladangan dan perambahan relatif kurang siap ketika industrialisasi modern datang. Inilah salah satu alasan mengapa sangat jarang ada kawasan industri dibangun di area yang masyarakatnya para peladang dan perambah: masyarakat kurang siap. Apabila harus juga dibangun di wilayah demikian, maka pasti ada insentif besar untuk industri di wilayah itu, misalnya di sana tersedia bahan baku indusri yang melimpah. Sebagai misal, banyak industri semen dibangun di daerah kapur yang tandus di tengah masyarakat peladang, karena kapur merupakan bahan baku utama industri semen. Hal yang sama dengan Kawasan industri ini yang membangun smelter nikel di tengah masyarakat peladang dan perambah karena ketersediaan ore melimpah di wilayah ini.

Apa konsekuensi dari industri yang dibangun di tengah masyarakat peladang dan perambah? Tentu saja proses ‘penginstitusionalisasian’ budaya kerja industri modern ke para pekerjanya membutuhkan waktu lebih panjang. Apabila pekerja yang datang dari tradisi pertanian sawah basah mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa bulan membiasakan diri, maka pekerja yang datang dari tradisi pertanian ladang membutuhkan hingga beberapa tahun lamanya agar benar-benar bisa fit bekerja di dunia industri. Proses lebih lama itu diperlukan karena mereka harus mengadopsi model kerja baru yang tidak familiar dengan kerangka budaya kerja yang dimiliki. Dari budaya bekerja keras yang leluasa mengatur sendiri ritme kerja dan disiplin kerjanya, mereka ditantang untuk bisa bekerja keras dan berdisiplin secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Siapa yang cepat dan mampu beradaptasi akan bertahan dan sukses, dan siapa yang lambat atau malah gagal beradaptasi akan tersisih.

Budaya kerja keras ala peladang dan perambah yang dibawa pekerja ke dunia industri menciptakan inkonsistensi performa. Adakalanya begitu bersemangat bekerja dan sanggup bekerja keras melebihi siapapun, namun ada kalanya lesu kehilangan energi dan semangat. Padahal, sudah tidak ada keleluasaan mengatur diri kapan bekerja dan kapan beristirahat. Mereka harus bekerja terus menerus di waktu-waktu yang ditentukan. Dampaknya para pekerja mudah mengalami fatigue atau kelelahan berlebih, baik secara fisik maupun mental karena kebelummampuan mengelola energi secara efisien. Simptom yang kerap muncul adalah sakit-sakit ringan seperti sakit kepala, sakit pernafasan, sakit perut atau kejang otot (myalgia). Umumnya simptom-simptom tersebut merupakan jenis alasan tertinggi penyebab pekerja memeriksakan diri ke klinik perusahaan. Secara psikologis, pekerja juga menjadi lebih mudah frustrasi dan stres. Mereka pun mencari kambing hitam kondisinya yang biasanya diarahkan ke perusahaan. Alih-alih bersikap positif terhadap perusahaan tempatnya mencari makan, mereka malah bersikap negatif. Mereka kerap menuduh perusahaan tidak layak memperlakukan para pekerjanya, bahkan meskipun perusahaan secara objektif telah memenuhi kewajibannya. Tapi pada akhirnya, mereka yang mampu beradaptasi akan menyatu dengan ritme kerja industri modern: dari yang dulu inkonsisten menjadi konsisten, dari yang dulu kurang disiplin menjadi berdisiplin, dari yang dulu kurang suka ke perusahaan menjadi jatuh hati.

Saat ini sebagian karyawan di dalam kawasan berasal dari tradisi pertanian sawah, lengkap dengan mentalitas kerjanya. Mereka berasal dari wilayah pertanian sawah yang tersebar di seantero pulau Sulawesi. Secara hipotetik, mereka yang paling siap beradaptasi dengan dunia industri modern. Akan tetapi, sepertinya jumlahnya kalah dengan pekerja yang berlatar belakang tradisi perladangan dan perambahan. Mahfum diketahui bersama, mayoritas penduduk dan daerah di pulau Sulawesi didominasi oleh tradisi berladang dan merambah. Hanya ada kantong-kantong khusus yang merupakan pertanian sawah basah.

“Apa yang bisa kita lakukan untuk menurunkan angka izin-izin dan izin sakit yang besar sekali. Lebih dari 500 izin setiap minggu, lebih dari 5000 kunjungan ke klinik setiap bulan?” ungkap seorang pimpinan perusahaan mengajak diskusi. Saya sampaikan padanya, “Memperketat aturan mungkin tidak akan mengurangi. Ini persoalan para pekerja yang belum fit 100% dengan budaya kerja industri. Ketika para pekerja sudah mulai ‘terinstitusionalisasi’ dengan budaya kerja industri modern maka disiplin kerja mereka pasti meningkat. Izin-izin akan berkurang. Produktivitas akan naik.”

Ya, saya sangat optimis. Sebab, para pekerja di Kawasan sesungguhnya adalah pekerja keras. Bukankah ada pepatah kuno dari Sulawesi yang bunyinya, “Resopa temangingi namalomo naletei pammase dewata’ yang artinya 'Perjuangan dan kerja keras yang terus-menerus akan mendapat ridha Tuhan?” Dengan kata lain, bagi orang Sulawesi, bekerja keras terus menerus berdimensi ilahiah. Bekerja keras secara konsisten bukanlah sekedar untuk mencari materi, tapi juga bagian dari pengabdian kepada Tuhan.

Kerap mendengar bahwa perantau selalu bekerja lebih keras dari penduduk asli? Para perantau memang harus bekerja lebih keras karena jika gagal di negeri orang bakal lebih terhempas nasibnya. Dan faktanya, mayoritas pekerja merupakan perantau dari berbagai penjuru Sulawesi. Umum diketahui juga bahwa orang Sulawesi terkenal dengan kolektivitasnya. Persatuannya kuat dan di mana-mana ingin sukses bersama kerabatnya. Kondisi itu membuat mereka cenderung memiliki budaya pantang dipermalukan atau mempermalukan kerabat. Menjadi membanggakan merupakan salah satu tujuan hidup penting orang-orang Sulawesi. Ketika merantau berpantang gagal. Lihat saja tradisi uang panai yang hanya ditemukan di Sulawesi, yang membuat seorang pria yang mau menikahi seorang gadis harus membayar sejumlah besar uang, yang seringkali jumlahnya fantastis. Seorang pria yang gagal mengumpulkan uang panai akan dianggap bukan lelaki potensial alias bukan pekerja keras. Jadi, sungguh sulit mengelakkan pernyataan bahwa para pekerja memiliki semua dorongan yang diperlukan untuk menjadi pekerja keras.

Per 31 Desember 2017, jumlah pekerja yang bekerja di dalam Kawasan mencapai 17.831 orang, tidak termasuk pekerja perusahaan-perusahaan kontraktor dan pemasok. Tahun ini dan seterusnya jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Dari jumlah sebesar itu, sebagian telah memiliki mentalitas industri yang siap mengarungi dunia industri modern: sanggup bekerja keras dan berdisiplin tinggi secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Sebagian masih dalam masa adaptasi. Merupakan tugas besar perusahaan untuk membuat masa adaptasi ini berjalan sebaik mungkin.

Saat ini pekerja kita diuntungkan karena bekerja bersama-sama dengan orang Tiongkok yang memiliki budaya kerja yang fit dengan dunia industri modern. Para pekerja kita bisa belajar langsung dari mereka. Apalagi, para pekerja kita adalah pekerja muda yang masih luwes mengubah dirinya dan masih memiliki karir panjang. Data memperlihatkan bahwa 77% pekerja berusia di bawah 30 tahun (43% usia 18-24 tahun, 34% 25-29 tahun), 20% berusia 30-39 tahun, dan hanya 3% yang berusia di atas 40 tahun. Ini merupakan sebuah potensi besar untuk membentuk kawasan industri yang para pekerjanya memiliki efisiensi dan produktivitas tinggi. Apabila itu terjadi, maka tesis Paul Krugman, ekonom tersohor peraih Nobel itu, bahwa pekerja yang memiliki efisiensi dan produktivitas sama meskipun berproduksi di Negara berbeda pada akhirnya akan mendapatkan nilai upah yang kurang lebih sama, bisa saja terwujud.

Ada satu peristiwa yang membuat saya optimis bahwa proses adopsi budaya industri modern akan terjadi cukup cepat. Selama beberapa bulan, jalanan di depan Mesjid Al Khairaat Fatufia mengalami kemacetan parah. Akibat adanya perbaikan gorong-gorong jembatan, hanya tersisa satu jalur yang bisa dilewati. Pada saat-saat jam masuk dan pulang kerja, menumpuklah karyawan di situ karena adanya bottle-neck traffic. Lalu, suatu hari ada aksi demonstrasi segelintir orang yang mencegat para karyawan di jalan yang sudah macet itu. Walhasil lebih banyak lagi yang terjebak kemacetan di sana. Saat itu beredar kabar bahwa keesokan harinya pada jam masuk kerja (jam 6-7 pagi) akan dilakukan aksi demonstrasi di tempat yang sama. Dan apa yang terjadi pada esok harinya? Banyak karyawan yang sudah berangkat ke tempat kerja sehabis subuh. Hampir semuanya datang lebih dulu ke tempat kerja. Walhasil untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan tidak ada kemacetan. Jalanan lancar belaka. Jadi, bagaimana saya tidak optimis?

Bacaan
Hofstede, G. (1980). Cultural Consequences: International Differences in Work-Related Value. Beverly Hills, CA.: Sage.
Kaufman, A.S. (2009). IQ Testing 101. New York: Springer Publishing
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
Gladwell, M. (2008). Outliers: The story of success. New York: Little, Brown and Company.
Nisbett, R.E. (2009). Intelligence and How to get it: Why schools and cultures count. New York: W.W.  Norton