Produktivitas Pekerja Indonesia
Achmanto Mendatu
Sekelumit cerita dari Kawasan Industri berbasis nikel di Morowali.
“Apakah benar bahwa karyawan kita kalah produktif dengan tenaga kerja dari Tongkok?”
Yang saya lihat adalah potensi besar. Karyawan Indonesia secara inheren merupakan para pekerja keras. Saya tak meragukan itu.
Mereka akan sama efisien dan sama produktifnya dengan pekerja dari Tiongkok.
Tidak ada alasan tidak bisa demikian.
Mengapa saya yakin bahwa karyawan kita bakal seefisien dan seproduktif
pekerja dari Tiongkok yang telah masyhur di dunia sehingga membuat sebagian
besar perusahaan-perusahaan raksasa manufaktur dunia mengalihkan produksinya ke
negeri itu? Saya memiliki alasan kuat untuk optimis karena karyawan di Kawasan
industri ini memiliki semua potensinya.
Secara garis besar ada dua bekal utama bagi pekerja untuk bertahan dan
sukses di dunia industri modern, yakni memiliki inteligensi memadai dan memiliki
mentalitas industri. Inteligensi merupakan kemampuan untuk mempelajari dan
memahami segala sesuatu, yang mencakup kemampuan bernalar, perencanaan,
pemecahan masalah, berpikir abstrak, memahami ide yang kompleks, belajar dengan
cepat dan belajar dari pengalaman. Salah satu ukuran yang kerap digunakan untuk
mengukur inteligensi adalah IQ (intelligence
quotient). Semakin tinggi IQ-nya berarti semakin tinggi inteligensinya
secara umum. Secara normatif, IQ yang dimiliki seseorang memberinya batasan
pencapaian. Diketahui untuk menjadi ilmuwan kelas dunia diperlukan IQ sekitar 120
(sekitar 8% orang memiliki potensi menjadi ilmuwan kelas dunia); diperlukan 112 untuk
menjadi ahli profesional-teknikal seperti misalnya konsultan teknik (sekitar
25% orang memiliki potensi menjadi ahli profesional-teknikal yang sukses);
diperlukan 104 untuk menjadi administrator dan manager sukses (sekitar 37%
orang memiliki potensi menjadi manajer sukses); diperlukan 101
untuk menjadi pekerja terlatih, klerikal (tukang, pengrajin),
pramuniaga/marketing; diperlukan 92 untuk menjadi tenaga kerja semi-terlatih;
dan diperlukan minimal 82 untuk menjadi tenaga-kerja tidak terlatih
(Kaufman, 2009). Dengan demikian, asalkan seseorang memiliki IQ rata-rata saja
(90-110), maka hampir semua bidang pekerjaan terbuka untuknya.
Bagaimana dengan IQ para pekerja Indonesia? Tidak ada data IQ pekerja
yang tersedia, tapi dari pencapaian pendidikan para pekerjanya bisa
diperkirakan berapa skor IQ mereka. Data menunjukkan bahwa 17% berpendidikan
Diploma/Sarjana/Pasca Sarjana, 78% berpendidikan SMA/SMK, dan hanya 5% yang
berpendidikan di bawah SMA/SMK. Dari data itu bisa diperkirakan bahwa
sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki IQ di atas 100 karena untuk bisa
menyelesaikan pendidikan setingkat SMA/SMK dengan baik (bukan asal lulus) diperlukan
minimal IQ 100. Artinya, sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki
potensi bisa melakukan hampir semua jenis pekerjaan di dalam dunia industri
modern, termasuk hingga pekerjaan manajerial. Dengan kata lain, para pekerja itu adalah pekerja cerdas dengan potensi berkembang yang sangat luas.
Bekal inteligensi mereka sudah lebih dari memadai. Mereka bisa belajar cepat
semua model kerja dan teknologi baru yang didatangkan dari Tiongkok sekaligus
dilatih untuk menguasainya.
Bekal kedua adalah mentalitas industri, berupa mentalitas bekerja keras dan
berdisiplin tinggi. Tanpa keduanya, IQ yang tinggi kurang ada artinya. Hanya
dengan kerja keras dan disiplin tinggi saja maka potensi IQ bisa dimaksimalkan.
Telah dipastikan bahwa etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan
pembeda Negara-negara yang berhasil membangun dunia industrinya dengan yang
masih tertinggal. Keduanya adalah pembeda antara perusahaan yang berkembang dan
perusahaan yang gagal.
Lazim terdengar klaim bahwa orang Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak
memiliki mentalitas bekerja keras setinggi orang-orang dari Asia Timur, seperti
Korea, Jepang dan Tiongkok. Disiplinnya juga lebih rendah. Hal itu memang
sepertinya sulit dibantah. Etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan
alasan dibalik Korea, Jepang dan kini Tiongkok menjadi raksasa industri dunia.
Sudah sejak ratusan
tahun lalu di Indonesia para pekerja dari Tiongkok dikenal sebagai pekerja keras.
Dalam buku Denys Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya” (Lombard, 1996), terdapat
cuplikan data yang sangat menarik tentang perkebunan tebu di pulau Jawa pada
tahun 1700-an: “...masalah pemilihan
tenaga: apakah sebaiknya mempekerjakan tenaga orang Cina yang bayarannya mahal
namun mampu bekerja keras (30 orang cukup untuk mengerjakan tanah dan merawat
tanaman); atau tenaga orang Jawa… yang puas dengan upah sedikit namun harus
dipekerjakan dalam jumlah yang banyak untuk menyelesaikan segala pekerjaan
(dari 70 sampai 80 orang dibandingkan dengan 30 orang Cina).”
Etos kerja keras
dan disiplin tinggi itu berasal dari budaya mereka yang sangat dipengaruhi oleh
ajaran Konfusius yang secara inheren mempercayai bahwa keberhasilan adalah
hasil dari kerja keras. Sejak era kuno, mereka memiliki pepatah “Tidak ada seorangpun yang bangun sebelum
subuh selama 360 hari setahun gagal membuat keluarganya berkecukupan.” Pepatah
itu mencerminkan mentalitas dasar mereka yang mengagungkan kerja keras sebagai
jalan meraih kehormatan diri; bahwa kerja keras pasti akan terbayar. Alhasil,
dimanapun berada, mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi
ketimbang kelompok lainnya. Tidak mengherankan apabila mereka juga cenderung
lebih berhasil di manapun mereka berada.
Ada fakta yang
sangat menarik mengenai kelompok Asian-American (warga negara Amerika Serikat yang berasal dari
Asia, khususnya dari Jepang, Korea dan Tiongkok). Mereka cukup memiliki IQ 93
untuk bisa melakukan pekerjaan profesional atau teknikal atau manajerial yang
bagi White-American (warga negara Amerika Serikat kulit putih) membutuhkan IQ
sekurangnya 100. Diketahui, meskipun jumlah Asian-American tidak lebih dari 2%
populasi di negara tersebut, tetapi jumlah mahasiswa Asian-American di
perguruan tinggi paling terkemuka di AS, misalnya Harvard mencapai 20% dan
Berkeley mencapai 45%, atau jauh menjulang di atas yang diharapkan (harusnya
hanya 2% sesuai jumlah populasi). Padahal, dari segi skor IQ, kelompok
Asian-American tidak lebih tinggi ketimbang kelompok lainnya. Richard E.
Nisbett, pakar inteligensi dan profesor psikologi dari Universitas Michigan,
AS, dalam bukunya “Intelligence and How
to get it: Why schools and cultures count” (2009) pun menyimpulkan, “Tidak terbantah lagi bahwa Asian-American
meraih capaian jauh di atas capaian yang diharapkan dari skor IQ-nya.
Pencapaian intelektualitas orang Asia adalah hasil keringat ketimbang otak yang
istimewa.”
Begitulah. Mereka lebih berhasil karena resep yang sudah diketahui bersama:
mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi. Itu saja.
Jadi, apakah benar belaka bahwa pekerja kita memang kalah dalam hal etos
kerja keras dan kedisiplinan dibandingkan pekerja Tiongkok? Saya punya
perspektif lain. Saya meyakini bahwa pekerja kita secara inheren juga merupakan
pekerja keras dan punya kedisiplinan. Mereka hanya belum terbiasa dengan pola
kerja industri, atau meminjam istilah Morgan Freeman dalam film Shawshank
Redemption, ‘belum terinstitusionalisasi” ke dalam budaya kerja industri. Tidak
boleh dilupakan bahwa lebih dari 90% pekerja belum pernah
bekerja di sektor industri manufaktur sebelumnya. Kawasan ini merupakan tempat
pertama mereka bekerja di dunia industri.
Dalam dunia industri modern, kerja keras dan disiplin kerja diharuskan
terjadi dalam basis harian sepanjang tahun. Di dalam jam-jam kerja yang telah
ditentukan seorang pekerja harus bisa mengerahkan segenap energinya dan harus
menjaga disiplinnya. Waktu kerja dan waktu istirahat ditentukan oleh
perusahaan. Seorang pekerja tidak bisa suka-suka memilih kapan mau bekerja
keras dan kapan mau beristirahat. Apabila tidak bisa menunjukkan kerja keras
yang konsisten dan tidak bisa menjaga disiplin di waktu-waktu yang telah
ditentukan, seorang bekerja dianggap berperforma rendah yang bisa berujung pada
pemberhentian. Sumber periuk nasinya bisa terguling.
Model kerja industri modern mirip dengan model kerja pertanian sawah basah.
Para petani padi sawah harus bekerja dalam basis harian sepanjang tahun
melakukan kerja-kerja yang tidak ada henti-hentinya, mulai dari menyiapkan
bibit, menyiapkan lahan, menanam, mengairi, mengeringkan, menyiangi, memupuk,
memanen dan seterusnya. Siklusnya tiada henti. Pergi ke sawah harus dilakukan
setiap hari karena batang padi dan lahan harus diperiksa harian. Keterlambatan
dirawat, misalnya terjadi kekeringan di lahan atau daun padi terendam air
terlalu lama bisa mengakibatkan gagal panen. Mau tidak mau, para petani padi
sawah pun harus bisa secara konsisten bekerja keras dalam basis harian dan
berdisiplin dengan waktu. Lakukan itu selama bertahun-tahun, terbentuklah
mentalitas industri. Lakukan itu selama puluhan, ratusan tahun atau bahkan
ribuan tahuan, jadilah mentalitas industri sebagai bagian dari budaya
keseharian. Alhasil, ketika industri modern datang, orang-orang yang berlatar
budaya dari pertanian sawah pun menjadi yang paling siap. Inilah mengapa Korea,
Jepang, dan Tiongkok sangat siap ketika peluang industrialisasi datang karena orang-orangnya
mayoritas berlatar tradisi pertanian sawah. Mereka telah memiliki budaya yang
siap untuk dunia industri modern sejak ribuan tahun sebelumnya (Gladwell, 2008).
Jadi, bukan tanpa alasan banyak kawasan industri di Pulau Jawa dibangun di sentra-sentra
persawahan. Bukan saja karena ketersediaan lahan yang luas, tapi lebih penting
karena penduduk sekitarnya lebih siap untuk bergabung dengan industri modern.
Budaya kerja dan disiplin mereka cocok belaka.
Model kerja pertanian lahan berpindah atau peladang dan perambah hutan/laut
berbeda dengan model kerja pertanian sawah basah. Para petani peladang atau
perambah bisa bekerja sama kerasnya dengan para petani sawah, atau malah bisa
lebih keras. Akan tetapi oleh karena sifat peladangan itu sendiri, mereka tidak
harus bekerja keras secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Mereka
akan bekerja sangat keras di waktu-waktu tertentu, khususnya saat buka lahan,
namun kemudian bisa berleha-leha cukup panjang. Mereka bisa menghabiskan waktu
mengerjakan hal-hal lain atau rehat selama masa tunggu panen karena pertanian
peladangan relatif tidak memerlukan banyak perawatan. Hal serupa dilakukan oleh
para perambah hutan, yang bekerja super keras saat merambah tetapi ketika sudah
mendapatkan hasil bisa berleha-leha di rumah. Tidak ada yang menuntut mereka
untuk terus menerus bekerja setiap hari karena tidak ada “padi” yang harus
dipelihara setiap hari, yang jika tidak dilakukan bisa membuat mereka kelaparan.
Pendek kata, mereka bisa memilih sendiri kapan harus bekerja keras dan kapan
istirahat. Maka, budaya kerja yang berurat dalam diri mereka adalah budaya
kerja keras temporer, bukan kerja keras konsisten harian. Disiplinnya juga
temporer, bukan disiplin terus menerus. Alhasil, orang-orang dari latar budaya
peladangan dan perambahan relatif kurang siap ketika industrialisasi modern datang.
Inilah salah satu alasan mengapa sangat jarang ada kawasan industri dibangun di
area yang masyarakatnya para peladang dan perambah: masyarakat kurang siap.
Apabila harus juga dibangun di wilayah demikian, maka pasti ada insentif besar
untuk industri di wilayah itu, misalnya di sana tersedia bahan baku indusri
yang melimpah. Sebagai misal, banyak industri semen dibangun di daerah kapur
yang tandus di tengah masyarakat peladang, karena kapur merupakan bahan baku
utama industri semen. Hal yang sama dengan Kawasan industri ini yang membangun smelter
nikel di tengah masyarakat peladang dan perambah karena ketersediaan ore
melimpah di wilayah ini.
Apa konsekuensi dari industri yang dibangun di tengah masyarakat peladang
dan perambah? Tentu saja proses ‘penginstitusionalisasian’ budaya kerja
industri modern ke para pekerjanya membutuhkan waktu lebih panjang. Apabila
pekerja yang datang dari tradisi pertanian sawah basah mungkin hanya
membutuhkan waktu beberapa bulan membiasakan diri, maka pekerja yang datang
dari tradisi pertanian ladang membutuhkan hingga beberapa tahun lamanya agar
benar-benar bisa fit bekerja di dunia industri. Proses lebih lama itu
diperlukan karena mereka harus mengadopsi model kerja baru yang tidak familiar
dengan kerangka budaya kerja yang dimiliki. Dari budaya bekerja keras yang
leluasa mengatur sendiri ritme kerja dan disiplin kerjanya, mereka ditantang
untuk bisa bekerja keras dan berdisiplin secara konsisten dalam basis harian sepanjang
tahun. Siapa yang cepat dan mampu beradaptasi akan bertahan dan sukses, dan
siapa yang lambat atau malah gagal beradaptasi akan tersisih.
Budaya kerja keras ala peladang dan perambah yang dibawa pekerja ke dunia
industri menciptakan inkonsistensi performa. Adakalanya begitu bersemangat
bekerja dan sanggup bekerja keras melebihi siapapun, namun ada kalanya lesu
kehilangan energi dan semangat. Padahal, sudah tidak ada keleluasaan mengatur
diri kapan bekerja dan kapan beristirahat. Mereka harus bekerja terus menerus
di waktu-waktu yang ditentukan. Dampaknya para pekerja mudah mengalami fatigue
atau kelelahan berlebih, baik secara fisik maupun mental karena kebelummampuan
mengelola energi secara efisien. Simptom yang kerap muncul adalah sakit-sakit ringan
seperti sakit kepala, sakit pernafasan, sakit perut atau kejang otot (myalgia).
Umumnya simptom-simptom tersebut merupakan jenis alasan tertinggi penyebab
pekerja memeriksakan diri ke klinik perusahaan. Secara psikologis, pekerja juga
menjadi lebih mudah frustrasi dan stres. Mereka pun mencari kambing hitam
kondisinya yang biasanya diarahkan ke perusahaan. Alih-alih bersikap positif
terhadap perusahaan tempatnya mencari makan, mereka malah bersikap negatif. Mereka
kerap menuduh perusahaan tidak layak memperlakukan para pekerjanya, bahkan
meskipun perusahaan secara objektif telah memenuhi kewajibannya. Tapi
pada akhirnya, mereka yang mampu beradaptasi akan menyatu dengan ritme kerja industri modern:
dari yang dulu inkonsisten menjadi konsisten, dari yang dulu kurang disiplin
menjadi berdisiplin, dari yang dulu kurang suka ke perusahaan menjadi jatuh
hati.
Saat ini sebagian karyawan di dalam kawasan berasal dari tradisi pertanian
sawah, lengkap dengan mentalitas kerjanya. Mereka berasal dari wilayah
pertanian sawah yang tersebar di seantero pulau Sulawesi. Secara hipotetik,
mereka yang paling siap beradaptasi dengan dunia industri modern. Akan tetapi,
sepertinya jumlahnya kalah dengan pekerja yang berlatar belakang tradisi
perladangan dan perambahan. Mahfum diketahui bersama, mayoritas penduduk dan
daerah di pulau Sulawesi didominasi oleh tradisi berladang dan merambah. Hanya
ada kantong-kantong khusus yang merupakan pertanian sawah basah.
“Apa yang bisa kita lakukan
untuk menurunkan angka izin-izin dan izin sakit yang besar sekali. Lebih
dari 500 izin setiap minggu, lebih dari 5000 kunjungan ke klinik setiap bulan?” ungkap seorang pimpinan perusahaan mengajak diskusi. Saya sampaikan padanya, “Memperketat aturan mungkin
tidak akan mengurangi. Ini persoalan
para pekerja yang belum fit 100% dengan budaya kerja industri. Ketika para
pekerja sudah mulai ‘terinstitusionalisasi’ dengan budaya kerja industri modern
maka disiplin kerja mereka pasti
meningkat. Izin-izin akan berkurang. Produktivitas akan naik.”
Ya, saya sangat optimis. Sebab, para pekerja di Kawasan sesungguhnya
adalah pekerja keras. Bukankah ada pepatah kuno dari Sulawesi yang bunyinya, “Resopa temangingi namalomo naletei pammase
dewata’ yang artinya 'Perjuangan dan
kerja keras yang terus-menerus akan mendapat ridha Tuhan?” Dengan kata
lain, bagi orang Sulawesi, bekerja keras terus menerus berdimensi ilahiah.
Bekerja keras secara konsisten bukanlah sekedar untuk mencari materi, tapi juga
bagian dari pengabdian kepada Tuhan.
Kerap mendengar bahwa perantau selalu bekerja lebih keras dari penduduk
asli? Para perantau memang harus bekerja lebih keras karena jika gagal di
negeri orang bakal lebih terhempas nasibnya. Dan faktanya, mayoritas pekerja merupakan
perantau dari berbagai penjuru Sulawesi. Umum diketahui juga bahwa orang
Sulawesi terkenal dengan kolektivitasnya. Persatuannya kuat dan di mana-mana ingin sukses bersama
kerabatnya. Kondisi itu membuat mereka cenderung memiliki budaya pantang dipermalukan
atau mempermalukan kerabat. Menjadi
membanggakan merupakan salah satu tujuan hidup penting orang-orang Sulawesi. Ketika merantau berpantang gagal.
Lihat saja tradisi uang panai yang hanya ditemukan di Sulawesi, yang membuat
seorang pria yang mau menikahi seorang gadis harus membayar sejumlah besar
uang, yang seringkali jumlahnya fantastis. Seorang pria yang gagal mengumpulkan
uang panai akan dianggap bukan lelaki potensial alias bukan pekerja keras. Jadi, sungguh sulit mengelakkan pernyataan
bahwa para pekerja memiliki semua dorongan yang
diperlukan untuk menjadi pekerja
keras.
Per 31 Desember 2017, jumlah pekerja yang bekerja di dalam Kawasan mencapai 17.831 orang, tidak termasuk pekerja perusahaan-perusahaan kontraktor
dan pemasok. Tahun ini dan seterusnya jumlahnya dipastikan akan terus
meningkat. Dari jumlah sebesar itu, sebagian telah memiliki mentalitas
industri yang siap mengarungi dunia
industri modern: sanggup bekerja keras dan berdisiplin tinggi secara
konsisten dalam basis harian
sepanjang tahun. Sebagian
masih dalam masa adaptasi. Merupakan tugas besar perusahaan untuk
membuat masa adaptasi ini berjalan sebaik mungkin.
Saat ini pekerja kita diuntungkan karena bekerja bersama-sama dengan orang
Tiongkok yang memiliki budaya kerja yang fit dengan dunia industri modern. Para
pekerja kita bisa belajar langsung dari mereka. Apalagi, para pekerja kita adalah pekerja muda yang masih luwes mengubah dirinya dan masih
memiliki karir panjang. Data memperlihatkan bahwa 77% pekerja berusia di bawah
30 tahun (43% usia 18-24 tahun, 34% 25-29 tahun), 20% berusia 30-39 tahun, dan
hanya 3% yang berusia di atas 40 tahun. Ini merupakan sebuah potensi besar untuk membentuk kawasan industri yang para pekerjanya memiliki
efisiensi dan produktivitas tinggi. Apabila itu terjadi, maka tesis Paul
Krugman, ekonom tersohor peraih Nobel itu, bahwa pekerja yang memiliki
efisiensi dan produktivitas sama meskipun berproduksi di Negara berbeda pada
akhirnya akan mendapatkan nilai upah yang kurang lebih sama, bisa saja
terwujud.
Ada satu peristiwa yang membuat saya optimis bahwa proses adopsi budaya
industri modern akan terjadi
cukup cepat. Selama beberapa bulan, jalanan di depan Mesjid Al Khairaat Fatufia
mengalami kemacetan parah. Akibat adanya perbaikan gorong-gorong
jembatan, hanya tersisa satu jalur
yang bisa dilewati. Pada saat-saat jam masuk dan pulang kerja,
menumpuklah karyawan di situ karena adanya bottle-neck
traffic. Lalu, suatu hari ada aksi
demonstrasi segelintir orang yang mencegat para karyawan di jalan yang sudah
macet itu. Walhasil lebih banyak lagi yang terjebak kemacetan di sana. Saat itu
beredar kabar bahwa keesokan harinya pada jam masuk kerja (jam 6-7 pagi) akan
dilakukan aksi demonstrasi di tempat yang sama. Dan apa yang terjadi pada esok
harinya? Banyak karyawan yang sudah berangkat ke tempat kerja sehabis subuh. Hampir
semuanya datang lebih dulu ke tempat kerja. Walhasil untuk pertama kalinya
selama berbulan-bulan tidak ada kemacetan. Jalanan lancar belaka. Jadi, bagaimana saya tidak optimis?
Bacaan
Hofstede, G.
(1980). Cultural Consequences:
International Differences in Work-Related Value. Beverly Hills, CA.: Sage.
Kaufman, A.S. (2009). IQ
Testing 101. New York: Springer Publishing
Lombard, D. (1996). Nusa
Jawa: Silang budaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
Gladwell, M.
(2008). Outliers: The story of success.
New York: Little, Brown and Company.
Nisbett, R.E. (2009). Intelligence
and How to get it: Why schools and cultures count. New York: W.W. Norton