Pasca Tambang:
Kemana masyarakat beranjak?
(Sebuah catatan dari Kutai Barat, Kaltim)
Masa depan tambang batubara tampak suram. Tren sumber energi dunia mulai beralih ke penggunaan sumber energi terbarukan yang semakin lama semakin murah. Tak terelakkan, nilai keekonomisan batubara akan berakhir dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Pertanyaannya, selagi industri ini masih bernilai ekonomis, apa yang bisa disumbang untuk masyarakat di sekitar tambang?
Dead capital vs live capital
Sejauh ini, sumbangan terbesar dan terpenting industri batubara untuk masyarakat di sekitar tambang adalah perannya menjadikan modal mati (dead capital, yakni aset yang tidak mudah dibeli, dijual, dinilai atau digunakan untuk investasi) yang dimiliki masyarakat menjadi modal hidup (live capital, yakni aset yang mudah untuk dijualbelikan, dinilai dan digunakan untuk investasi, misalnya untuk mendapatkan pinjaman ke bank).[1] Sebelum perusahaan tambang datang, tanah atau properti yang dimiliki masyarakat pada umumnya tanpa legalitas surat yang bernilai bagi sistem keuangan modern. Aset-aset itu tidak gampang diperjualbelikan dan tidak bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman ke lembaga keuangan. Alhasil, aset mati itu tidak memberikan sumbangan apapun dalam upaya peningkatan kemakmuran. Kehadiran perusahaan tambang mengubah situasi. Aset-aset mati itu tiba-tiba menjadi bernilai tinggi. Perusahaan bersedia memberikan kompensasi lahan/properti meskipun tanpa dokumen legal memadai. Nilainya bahkan seringkali jauh lebih tinggi ketimbang taksiran pihak bank jika tanah/properti itu telah bersertifikat hak milik. Uang pun mengguyur bak durian runtuh di siang bolong.
Mengikuti penjelasan ekonom Hernando de Soto, kemakmuran sebuah negeri/daerah dan penduduk berbanding lurus dengan live capital yang dimiliki. Semakin banyak live capital-nya berarti semakin kaya. Oleh karena itu, rumus kemakmuran pun sederhana, yakni mengubah sebanyak-banyaknya dead capital menjadi live capital. Lalu live capital dikonversi menjadi uang, dan lantas usaha dan investasi masyarakat untuk mengakumulasikan kekayaan pun dimulai. Dalam sejarahnya, jalan pertama yang telah ditempuh oleh negara-negara maju untuk menuju kemakmuran adalah melakukan revolusi di bidang legal atas kepemilikan pribadi, dengan melegalkan hak milik atas tanah dan properti. Tanah-tanah dan properti disertifikasi sehingga bisa diperjualbelikan atau dijadikan jaminan memperoleh uang ke lembaga keuangan. Uang itu yang kemudian digunakan untuk menggerakkan perekonomian (misalnya untuk berinvestasi di dunia usaha) dan akhirnya menciptakan kemakmuran. Usaha pengubahan dead capital menjadi live capital itu biasanya membutuhkan waktu sangat lama hingga berpuluh-puluh tahun bahkan abad, yang berbeda-beda di setiap negara. Nah, industri batubara menciptakan revolusi legal itu dalam sekejap. Tiba-tiba, dead capital berubah menjadi live capital tanpa proses panjang berbelit-belit.
Lantas, apakah pengalihan bentuk aset itu serta merta menciptakan kemakmuran? Jawabannya ya dan tidak. Ya, jika kemakmuran hanya dilihat dari sudut daya beli, karena daya beli masyarakat memang meningkat drastis. Tapi juga tidak, jika kemakmuran dilihat dari sudut pandang keberlanjutan daya beli yang tinggi. Apabila uang-uang itu tidak diinvestasikan untuk suatu aset yang memberi penghasilan berkelanjutan, maka kemakmurannya hanya akan singkat. Ketika uang habis, maka kemakmuran pun lenyap. Hanya dengan investasi pada live capital atau dunia usaha maka uang kaget itu akan bisa terus mempertahankan kemakmuran pemiliknya dan atau bahkan meningkatkannya. Tapi persis disitulah persoalannya. Pada negara-negara yang proses pengalihan asetnya perlahan, warga negaranya sempat untuk beradaptasi dan belajar menggunakan uang dengan cara yang benar. Mereka belajar berinvestasi dan membangun mentalitas sebagai investor. Namun hal berbeda terjadi pada masyarakat yang tiba-tiba diguyur uang dalam sekejap, seperti halnya masyarakat di sekitar tambang batubara. Mereka belum memiliki mentalitas sebagai investor dus belum paham benar bagaimana berinvestasi untuk kemakmuran lebih tinggi. Yang paling mereka pahami, sebagai bagian dari masyarakat peladang, adalah mengonsumsi.[2]
Masyarakat konsumtif
Pengamat dari luar akan mengira bahwa masyarakat di sekitar tambang merupakan masyarakat makmur karena daya beli yang tinggi, sebagaimana bisa dilihat dari maraknya jual beli dan tingginya harga-harga barang. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, kemakmuran itu semu. Perekonomian memang meningkat, namun merupakan perekonomian konsumsi belaka. Uang sumbernya adalah uang yang dipompa oleh perusahaan tambang (melalui kompensasi lahan, gaji karyawan, dan lainnya) yang tidak berkelanjutan. Ketika uang itu habis, maka daya beli menurun jauh, dan ekonomi pun ambruk. Hanya segelintir orang yang bisa dan mau berinvestasi yang akan berhasil melewati malaise ekonomi pasca tambang tutup. Persoalan lainnya dalam ekonomi konsumsi ini, penduduk lokal yang makmur dengan uang tambang hanya berperan sebagai pembeli. Para penjual hampir seluruhnya pendatang. Alhasil terjadi perpindahan kekayaan. Apabila pada awalnya yang makmur adalah penduduk lokal, maka kelak (atau sudah) para pendatanglah yang mengakumulasi kekayaan. Jika proses ini tidak diperhatikan dan disiasati dengan cermat, maka pergantian kemakmuran itu akan menjadi bom waktu kerusuhan sosial di masa depan.
Dari sudut pandang perusahaan tambang, berkurangnya daya beli masyarakat sekitar tambang merupakan kondisi berbahaya yang harus diperhatikan seksama. Kondisi daya beli masyarakat yang melemah bisa mendorong masyarakat mencari uang mudah dengan jalan melakukan berbagai aksi preman melalui berbagai skenario melemahkan pengoperasian tambang untuk mencari kompensasi, misalnya dengan demonstrasi penutupan-penutupan jalan.
Mengapa masyarakat di sekitar tambang cenderung konsumtif dan mengabaikan investasi? Saya duga, salah satu jawabannya terletak pada cara hidup yang berbasis pada model pertanian “tebang-bakar-tanam-tinggalkan”. Dalam tradisi berladang berpindah itu, tidak ada investasi tenaga yang dilakukan secara terus menerus dan rutin setiap harinya agar padi bisa dipanen. Di sini, padi tidak perlu dipupuk dan tanah tidak perlu dirawat dalam basis harian. Ketika tanah telah kurang subur, maka solusinya sederhana: tinggalkan. Mereka akan membuka lahan baru dengan menebang lagi. Pola pertanian semacam itu terbawa dalam cara pandang terhadap investasi. Bagi mereka, akan selalu tersedia lahan alternatif apabila satu ladang tidak lagi menghasilkan. Oleh karena itu mereka kurang hirau terhadap investasi tenaga atau modal untuk merawat apa yang sudah ada agar yang sudah ada itu bisa terus menghasilkan.
Mindset investasi ladang berpindah terbukti sukses selama ratusan atau bahkan ribuan tahun di Kalimantan karena ketersediaan lahan. Sayangnya, dunia saat ini telah jauh berbeda dan tidak lagi cocok dengan mindset lama itu. Ladang-berpindah tidak akan lagi berkelanjutan karena lahan yang terus menyempit atau malah sudah dijual ke tambang batubara atau perkebunan sawit. Mau tidak mau, mereka harus berinvestasi dari apa yang sudah mereka miliki untuk memastikan keberlangsungan penghasilan di masa mendatang. Mereka, masyarakat budaya ladang berpindah itu pun menghadapi masalah serius karena belum sempat belajar beradaptasi dalam ekonomi modal. Mereka masih belum siap menjadi investor. Tetapi tiba-tiba saja uang sudah di tangan. Alhasil, mereka pun melakukan sesuatu yang paling mereka tahu: berbelanja barang konsumsi tanpa berpikir keberlanjutan penghasilan masa depan.
Khusus untuk komunitas masyarakat di sekitar perusahaan tambang batubara PT XXX di Kutai Barat, Kalimantan Timur, tempat saya pernah bekerja, mindset ladang berpindah terpilin erat dengan tradisinya yang berorientasi pada pencapaian materi. Masyarakat di sekitar tambang itu merupakan komunitas dayak kelompok Barito yang menjadikan pencapaian materi sebagai salah satu sendi bermasyarakat.[3] Mereka memiliki tradisi mengucap syukur atas kesuksesan yang berhasil diraih dengan mempertontonkan barang-barang yang berhasil dibeli berikut menyebutkan harganya secara detail dan rinci. Acara adat yang lain, misalnya ritus upacara penguburan kedua bagi yang meninggal berupa pemotongan kerbau dan serangkaian acaranya (disebut kwangkay) juga sarat nuansa kesengajaan mempertontonkan perolehan materi. Artinya, tidak ada rem dalam budaya mereka untuk tidak menjadi konsumtif.
Membangun budaya investasi
Peran istimewa bisa dimainkan oleh perusahaan tambang dalam menciptakan kemakmuran masyarakat sekitar tambang, yakni peran membangun budaya investasi. Langkah pertama sudah dimulai dengan mengguyurkan uang. Maka, tinggal bagaimana perusahaan berbuat untuk membantu masyarakat berinvestasi secara tepat dari uang yang diterimanya. Perusahaan bisa membantu masyarakat belajar bagaimana mengelola uangnya dengan bijak, plus menawarkan alternatif-alternatif investasi yang masuk akal bagi mereka, baik investasi dalam bidang ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. Menurut saya, itulah inti dari program pemberdayaan masyarakat: itulah bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan yang paling baik.
Budaya investasi seperti apakah yang perlu ditanam pada masyarakat dan bagaimana melakukannya? Budaya investasi yang dimaksud adalah pola pikir (mindset) investor, yakni bahwa tindakan-tindakan yang diambil lebih kuat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebaikan di masa depan yang lebih baik, sehingga bersedia menginvestasikan uang, waktu dan tenaganya. Membentuknya tidak akan mudah karena secara kultural mereka merupakan masyarakat konsumtif. Namun, dengan strategi yang tepat dan kontinuitas dalam jangka panjang, mengubah mindset sangat mungkin dilakukan. Apabila mindset investor terbentuk, maka masyarakat akan dengan sendirinya berinvestasi uang, waktu dan tenaga untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dalam jangka panjang (misalnya melalui investasi pertanian/perkebunan yang produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, membangun usaha jasa tertentu, dan lainnya); dalam pendidikan anak, sejak anak usia dini hingga setinggi-tingginya; dan untuk investasi dalam bidang kesehatan, baik untuk dirinya, anak dan keluarga serta lingkungannya.
Pertimbangan investasi harus menjadi pertimbangan utama dalam program untuk masyarakat. Sebelum sebuah program dibuat atau diluncurkan, beberapa pertanyaan harus diajukan terhadap program itu:
- Apakah program itu terprediksi baik sebagai salah satu bentuk investasi bagi masyarakat untuk masa depan yang lebih baik? Apa dasar pertimbangannya?
- Apakah program itu memiliki nilai tambah lebih tinggi bagi masyarakat ketimbang model-model investasi uang/waktu/tenaga yang sudah biasa dilakukan masyarakat sebelumnya? Apa dasar pertimbangannya?
Pertanyaan di atas penting diajukan agar program yang diluncurkan tetap dalam platform membangun budaya investasi, bukan sekedar program yang asal orang senang, asal ada produknya, asal kelihatan wah, dan asal bisa dipamerkan. Pada saat yang sama, investasi perusahaan dalam menjalankan program itu juga berhasil berupa asosiasi positif perusahaan di benak masyarakat.
Notes:
[1] Dead capital (modal mati) versus live capital (modal hidup) adalah konsep dari ekonom Hernando de Soto, yang memformulasikan rumus dari pencapaian kemakmuran sebuah negara, yakni dengan mengubah sebanyak-banyaknya modal mati menjadi modal hidup.
[2] Masyarakat peladang berpindah, berbeda dengan masyarakat petani sawah, cenderung tidak memiliki mentalitas berinvestasi (baik tenaga maupun modal) secara terus menerus dalam basis harian dan jangka panjang untuk mencapai hasil tertentu, yang diakibatkan oleh sifat dari perladangan itu sendiri yang bersifat temporer dan akan segera ditinggalkan apabila tanah sudah menjadi gersang.
[3] Menurut studi Bernard Sellato, yang menggolongkan kelompok dayak yang berada di wilayah bagian tengah sungai Mahakam dan Barito sebagai kelompok barito, dengan sub-kelompoknya antara lain dayak Siang dan Murung di hulu sungai Barito, dayak Luangan dan Mayang di wilayah tengah sungai Barito; dan dayak Benuaq, Tunjung dan Bentian di wilayah tengah sungai Mahakam, berikut sub-sub kelompoknya.