4.2.19

Pasca Tambang: Kemana masyarakat beranjak?

Pasca Tambang:
Kemana masyarakat beranjak?



(Sebuah catatan dari Kutai Barat, Kaltim)


Masa depan tambang batubara tampak suram. Tren sumber energi dunia mulai beralih ke penggunaan sumber energi terbarukan yang semakin lama semakin murah. Tak terelakkan, nilai keekonomisan batubara akan berakhir dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Pertanyaannya, selagi industri ini masih bernilai ekonomis, apa yang bisa disumbang untuk masyarakat di sekitar tambang? 

Dead capital vs live capital 

Sejauh ini, sumbangan terbesar dan terpenting industri batubara untuk masyarakat di sekitar tambang adalah perannya menjadikan modal mati (dead capital, yakni aset yang tidak mudah dibeli, dijual, dinilai atau digunakan untuk investasi) yang dimiliki masyarakat menjadi modal hidup (live capital, yakni aset yang mudah untuk dijualbelikan, dinilai dan digunakan untuk investasi, misalnya untuk mendapatkan pinjaman ke bank).[1] Sebelum perusahaan tambang datang, tanah atau properti yang dimiliki masyarakat pada umumnya tanpa legalitas surat yang bernilai bagi sistem keuangan modern. Aset-aset itu tidak gampang diperjualbelikan dan tidak bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman ke lembaga keuangan. Alhasil, aset mati itu tidak memberikan sumbangan apapun dalam upaya peningkatan kemakmuran. Kehadiran perusahaan tambang mengubah situasi. Aset-aset mati itu tiba-tiba menjadi bernilai tinggi. Perusahaan bersedia memberikan kompensasi lahan/properti meskipun tanpa dokumen legal memadai. Nilainya bahkan seringkali jauh lebih tinggi ketimbang taksiran pihak bank jika tanah/properti itu telah bersertifikat hak milik. Uang pun mengguyur bak durian runtuh di siang bolong. 

Mengikuti penjelasan ekonom Hernando de Soto, kemakmuran sebuah negeri/daerah dan penduduk berbanding lurus dengan live capital yang dimiliki. Semakin banyak live capital-nya berarti semakin kaya. Oleh karena itu, rumus kemakmuran pun sederhana, yakni mengubah sebanyak-banyaknya dead capital menjadi live capital. Lalu live capital dikonversi menjadi uang, dan lantas usaha dan investasi masyarakat untuk mengakumulasikan kekayaan pun dimulai. Dalam sejarahnya, jalan pertama yang telah ditempuh oleh negara-negara maju untuk menuju kemakmuran adalah melakukan revolusi di bidang legal atas kepemilikan pribadi, dengan melegalkan hak milik atas tanah dan properti. Tanah-tanah dan properti disertifikasi sehingga bisa diperjualbelikan atau dijadikan jaminan memperoleh uang ke lembaga keuangan. Uang itu yang kemudian digunakan untuk menggerakkan perekonomian (misalnya untuk berinvestasi di dunia usaha) dan akhirnya menciptakan kemakmuran. Usaha pengubahan dead capital menjadi live capital itu biasanya membutuhkan waktu sangat lama hingga berpuluh-puluh tahun bahkan abad, yang berbeda-beda di setiap negara. Nah, industri batubara menciptakan revolusi legal itu dalam sekejap. Tiba-tiba, dead capital berubah menjadi live capital tanpa proses panjang berbelit-belit. 

Lantas, apakah pengalihan bentuk aset itu serta merta menciptakan kemakmuran? Jawabannya ya dan tidak. Ya, jika kemakmuran hanya dilihat dari sudut daya beli, karena daya beli masyarakat memang meningkat drastis. Tapi juga tidak, jika kemakmuran dilihat dari sudut pandang keberlanjutan daya beli yang tinggi. Apabila uang-uang itu tidak diinvestasikan untuk suatu aset yang memberi penghasilan berkelanjutan, maka kemakmurannya hanya akan singkat. Ketika uang habis, maka kemakmuran pun lenyap. Hanya dengan investasi pada live capital atau dunia usaha maka uang kaget itu akan bisa terus mempertahankan kemakmuran pemiliknya dan atau bahkan meningkatkannya. Tapi persis disitulah persoalannya. Pada negara-negara yang proses pengalihan asetnya perlahan, warga negaranya sempat untuk beradaptasi dan belajar menggunakan uang dengan cara yang benar. Mereka belajar berinvestasi dan membangun mentalitas sebagai investor. Namun hal berbeda terjadi pada masyarakat yang tiba-tiba diguyur uang dalam sekejap, seperti halnya masyarakat di sekitar tambang batubara. Mereka belum memiliki mentalitas sebagai investor dus belum paham benar bagaimana berinvestasi untuk kemakmuran lebih tinggi. Yang paling mereka pahami, sebagai bagian dari masyarakat peladang, adalah mengonsumsi.[2]

Masyarakat konsumtif 

Pengamat dari luar akan mengira bahwa masyarakat di sekitar tambang merupakan masyarakat makmur karena daya beli yang tinggi, sebagaimana bisa dilihat dari maraknya jual beli dan tingginya harga-harga barang. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, kemakmuran itu semu. Perekonomian memang meningkat, namun merupakan perekonomian konsumsi belaka. Uang sumbernya adalah uang yang dipompa oleh perusahaan tambang (melalui kompensasi lahan, gaji karyawan, dan lainnya) yang tidak berkelanjutan. Ketika uang itu habis, maka daya beli menurun jauh, dan ekonomi pun ambruk. Hanya segelintir orang yang bisa dan mau berinvestasi yang akan berhasil melewati malaise ekonomi pasca tambang tutup. Persoalan lainnya dalam ekonomi konsumsi ini, penduduk lokal yang makmur dengan uang tambang hanya berperan sebagai pembeli. Para penjual hampir seluruhnya pendatang. Alhasil terjadi perpindahan kekayaan. Apabila pada awalnya yang makmur adalah penduduk lokal, maka kelak (atau sudah) para pendatanglah yang mengakumulasi kekayaan. Jika proses ini tidak diperhatikan dan disiasati dengan cermat, maka pergantian kemakmuran itu akan menjadi bom waktu kerusuhan sosial di masa depan. 

Dari sudut pandang perusahaan tambang, berkurangnya daya beli masyarakat sekitar tambang merupakan kondisi berbahaya yang harus diperhatikan seksama. Kondisi daya beli masyarakat yang melemah bisa mendorong masyarakat mencari uang mudah dengan jalan melakukan berbagai aksi preman melalui berbagai skenario melemahkan pengoperasian tambang untuk mencari kompensasi, misalnya dengan demonstrasi penutupan-penutupan jalan. 

Mengapa masyarakat di sekitar tambang cenderung konsumtif dan mengabaikan investasi? Saya duga, salah satu jawabannya terletak pada cara hidup yang berbasis pada model pertanian “tebang-bakar-tanam-tinggalkan”. Dalam tradisi berladang berpindah itu, tidak ada investasi tenaga yang dilakukan secara terus menerus dan rutin setiap harinya agar padi bisa dipanen. Di sini, padi tidak perlu dipupuk dan tanah tidak perlu dirawat dalam basis harian. Ketika tanah telah kurang subur, maka solusinya sederhana: tinggalkan. Mereka akan membuka lahan baru dengan menebang lagi. Pola pertanian semacam itu terbawa dalam cara pandang terhadap investasi. Bagi mereka, akan selalu tersedia lahan alternatif apabila satu ladang tidak lagi menghasilkan. Oleh karena itu mereka kurang hirau terhadap investasi tenaga atau modal untuk merawat apa yang sudah ada agar yang sudah ada itu bisa terus menghasilkan. 

Mindset investasi ladang berpindah terbukti sukses selama ratusan atau bahkan ribuan tahun di Kalimantan karena ketersediaan lahan. Sayangnya, dunia saat ini telah jauh berbeda dan tidak lagi cocok dengan mindset lama itu. Ladang-berpindah tidak akan lagi berkelanjutan karena lahan yang terus menyempit atau malah sudah dijual ke tambang batubara atau perkebunan sawit. Mau tidak mau, mereka harus berinvestasi dari apa yang sudah mereka miliki untuk memastikan keberlangsungan penghasilan di masa mendatang. Mereka, masyarakat budaya ladang berpindah itu pun menghadapi masalah serius karena belum sempat belajar beradaptasi dalam ekonomi modal. Mereka masih belum siap menjadi investor. Tetapi tiba-tiba saja uang sudah di tangan. Alhasil, mereka pun melakukan sesuatu yang paling mereka tahu: berbelanja barang konsumsi tanpa berpikir keberlanjutan penghasilan masa depan. 

Khusus untuk komunitas masyarakat di sekitar perusahaan tambang batubara PT XXX di Kutai Barat, Kalimantan Timur, tempat saya pernah bekerja, mindset ladang berpindah terpilin erat dengan tradisinya yang berorientasi pada pencapaian materi. Masyarakat di sekitar tambang itu merupakan komunitas dayak kelompok Barito yang menjadikan pencapaian materi sebagai salah satu sendi bermasyarakat.[3] Mereka memiliki tradisi mengucap syukur atas kesuksesan yang berhasil diraih dengan mempertontonkan barang-barang yang berhasil dibeli berikut menyebutkan harganya secara detail dan rinci. Acara adat yang lain, misalnya ritus upacara penguburan kedua bagi yang meninggal berupa pemotongan kerbau dan serangkaian acaranya (disebut kwangkay) juga sarat nuansa kesengajaan mempertontonkan perolehan materi. Artinya, tidak ada rem dalam budaya mereka untuk tidak menjadi konsumtif. 

Membangun budaya investasi 

Peran istimewa bisa dimainkan oleh perusahaan tambang dalam menciptakan kemakmuran masyarakat sekitar tambang, yakni peran membangun budaya investasi. Langkah pertama sudah dimulai dengan mengguyurkan uang. Maka, tinggal bagaimana perusahaan berbuat untuk membantu masyarakat berinvestasi secara tepat dari uang yang diterimanya. Perusahaan bisa membantu masyarakat belajar bagaimana mengelola uangnya dengan bijak, plus menawarkan alternatif-alternatif investasi yang masuk akal bagi mereka, baik investasi dalam bidang ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. Menurut saya, itulah inti dari program pemberdayaan masyarakat: itulah bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan yang paling baik. 

Budaya investasi seperti apakah yang perlu ditanam pada masyarakat dan bagaimana melakukannya? Budaya investasi yang dimaksud adalah pola pikir (mindset) investor, yakni bahwa tindakan-tindakan yang diambil lebih kuat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebaikan di masa depan yang lebih baik, sehingga bersedia menginvestasikan uang, waktu dan tenaganya. Membentuknya tidak akan mudah karena secara kultural mereka merupakan masyarakat konsumtif. Namun, dengan strategi yang tepat dan kontinuitas dalam jangka panjang, mengubah mindset sangat mungkin dilakukan. Apabila mindset investor terbentuk, maka masyarakat akan dengan sendirinya berinvestasi uang, waktu dan tenaga untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dalam jangka panjang (misalnya melalui investasi pertanian/perkebunan yang produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, membangun usaha jasa tertentu, dan lainnya); dalam pendidikan anak, sejak anak usia dini hingga setinggi-tingginya; dan untuk investasi dalam bidang kesehatan, baik untuk dirinya, anak dan keluarga serta lingkungannya. 

Pertimbangan investasi harus menjadi pertimbangan utama dalam program untuk masyarakat. Sebelum sebuah program dibuat atau diluncurkan, beberapa pertanyaan harus diajukan terhadap program itu: 
  1. Apakah program itu terprediksi baik sebagai salah satu bentuk investasi bagi masyarakat untuk masa depan yang lebih baik? Apa dasar pertimbangannya? 
  2. Apakah program itu memiliki nilai tambah lebih tinggi bagi masyarakat ketimbang model-model investasi uang/waktu/tenaga yang sudah biasa dilakukan masyarakat sebelumnya? Apa dasar pertimbangannya? 
Pertanyaan di atas penting diajukan agar program yang diluncurkan tetap dalam platform membangun budaya investasi, bukan sekedar program yang asal orang senang, asal ada produknya, asal kelihatan wah, dan asal bisa dipamerkan. Pada saat yang sama, investasi perusahaan dalam menjalankan program itu juga berhasil berupa asosiasi positif perusahaan di benak masyarakat. 


Notes:

[1] Dead capital (modal mati) versus live capital (modal hidup) adalah konsep dari ekonom Hernando de Soto, yang memformulasikan rumus dari pencapaian kemakmuran sebuah negara, yakni dengan mengubah sebanyak-banyaknya modal mati menjadi modal hidup. 

[2] Masyarakat peladang berpindah, berbeda dengan masyarakat petani sawah, cenderung tidak memiliki mentalitas berinvestasi (baik tenaga maupun modal) secara terus menerus dalam basis harian dan jangka panjang untuk mencapai hasil tertentu, yang diakibatkan oleh sifat dari perladangan itu sendiri yang bersifat temporer dan akan segera ditinggalkan apabila tanah sudah menjadi gersang. 

[3] Menurut studi Bernard Sellato, yang menggolongkan kelompok dayak yang berada di wilayah bagian tengah sungai Mahakam dan Barito sebagai kelompok barito, dengan sub-kelompoknya antara lain dayak Siang dan Murung di hulu sungai Barito, dayak Luangan dan Mayang di wilayah tengah sungai Barito; dan dayak Benuaq, Tunjung dan Bentian di wilayah tengah sungai Mahakam, berikut sub-sub kelompoknya. 

Diskriminasi

Diskriminasi Penderita AIDS


---Tulisan entah tahun berapa (Tahun 2000 rasanya)

Jika ditanya apa yang paling dinginkan dalam hidup ini, jawabannya pasti, kebahagiaan. Berasal dari manakah kebahagiaan? Tidak lain dari perasaan keadilan. Lalu dari manakah keadilan berasal? Ia bersumber dari penerimaan dan penghargaan dari orang lain, penerimaan serta penghargaan pada orang lain, dan penerimaan serta penghargaan pada diri sendiri. Seterusnya, berasal dari manakah penerimaan dan penghargaan? Tidak lain dari perasaan tulus bahwa semua orang sama dan berhak untuk berbahagia.

Meskipun kita yakin dan percaya berlaku adil merupakan kebajikan tertinggi, namun melaksanakannya tidak pernah mudah. Selalu lebih mudah untuk berlaku tidak adil. Wujud paling nyata dari ketidakadilan adalah perlakuan diskriminatif: terhadap apapun, terhadap siapapun. Ironisnya, diskrimasi sangat kerap kita lakukan, sadar ataupun tidak. Kita berlaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu, pekerjaan tertentu, sekolah tertentu, budaya tertentu, orang dengan karakter dan atribut tertentu, dan sebagainya. Dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tertentu adalah yang paling tidak manusiawi. Ironis memang, justru inilah jenis diskriminasi yang paling diterima masyarakat.

Sejarah pernah mencatat, penderita lepra dikucilkan dan dijauhi masyarakat semata-mata karena menderita lepra. Bahkan kemudian dianggap pula sebagi kutukan Tuhan. Sekarang, penderita AIDS mengalami hal serupa. AIDS dianggap sebagai kutukan Tuhan. Tidak lain karena dianggap sebagai penyakit orang-orang kotor (baca: penganut freesex). Maka menjadi merasa absahlah kita mengutuk penderitanya karena menganggap mereka sebagai orang-orang kotor dan tercela. Maka kita mengucilkan, mencela, dan menjauhi mereka.

Tetapi siapakah yang sesungguhnya pantas dicela? Tuhan tidak pernah memberi kutukan pada manusia hidup. DIA terlalu asih untuk melakukannya. Tuhan juga tidak pernah bilang untuk tidak berlaku adil. Lalu kenapa kita memberlakukan ketidakadilan pada hamba-hamba Tuhan yang teraniaya? Penderita AIDS jelas-jelas teraniaya, sebab mereka menderita, tidak saja fisik tapi lebih-lebih mentalnya.

Tekanan mental yang mereka alami semakin bertambah karena perlakuan buruk kita. Kita mengucilkan, mencela, dan jangankan berbicara, memandangnya pun enggan. Kitalah yang pantas mendapat celaan, bahkan celaan Tuhan. Sebab kita tidak menerima dan menghargai mereka sebagaimana seharusnya, agar mereka bisa menerima dan menghargai diri mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membuat mereka bahagia. Alih-alih membuat bahagia, kita malah membuat mereka tambah menderita, sebab tidak ada seorangpun yang suka dikucilkan atau dicela. Pengucilan atau pencelaan membuat orang merasa tidak berharga, padahal merasa diri cukup berharga merupakan dasar dalam kepercayaan diri sebagai landasan dalam menjalani hidup bahagia.

AIDS bukan kutukan. Ia hanya sebuah penyakit, yang bisa diderita siapapun, bahkan bayi yang baru terlahir, pun juga orang yang paling soleh sekalipun. Stigma buruk yang dilekatkan pada penyakit itu, yang membuat AIDS jadi tampak begitu mengerikan. Dan memang menjadi mengerikan melebihi keadaan objektif penyakit itu sendiri, bahwa AIDS tak tersembuhkan d sebagai kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Kengerian bersumber dari kondisi penyakit yang dinilai ganas itu, tapi terutama oleh perlakuan masyarakat yang tidak manusiawi terhadap penderitanya. Kengerian-kengerianlah yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi.Bagaimana stigma buruk terhadap AIDS terbentuk? Tidak lain karena kita tidak beroleh informasi yang benar dan cukup. Kecenderungan kita untuk lebih mudah menerima informasi yang buruk, ditambah info yang tidak lengkap cenderung memudahkan prasangka. Misalnya saja kita memperoleh info bahwa AIDS bersumber dari seks bebas. Siapapun tidak menyangkal ini. Lalu kita mengkategorikan semua penderitanya sebagai pelaku seks bebas. Maka dianggap sebagai kewajaran belaka mereka dicela. Dari prasangka muncullah stigma, yang berujung pada terbentuknya perilaku negatif terhadap penderita AIDS. Apalagi setiap orang juga cenderung untuk lebih cepat mengakui informasi yang sesuai dengan skema kognitif yang telah ada. Jika skema pikiran telah negatif (yang terbentuk karena prasangka) pada penderita AIDS, maka orang akan cenderung untuk lebih menerima informasi yang negatif daripada yang positif. Misalnya, jika sejak awal telah berpikir buruk, maka ketika ada info penderita AIDS pembawa sial, itu lebih diterima ketimbang info tentang penemuan obatnya.

Barangkali yang paling ditakutkan adalah AIDS bisa menular dengan sangat mudah melalui perantara apapun, dan obat belum lagi tersedia. Benarkah? Nyatanya AIDS tidak mudah ditularkan. Ia hanya bisa ditularkan melalui cairan darah, hubungan seksual, dan barangkali kelenjar ludah, atau yang notabene cairan dari dalam tubuh (tidak termasuk keringat tentunya). Jadi, sangat tidak beralasan untuk mengucilkan penderita AIDS. Sampai-sampai berjabat tangan pun enggan, bahkan mengusir mereka para penderita dari lingkungan tempat tinggal. Tidak ada satupun penjelasan ilmiah yang bisa membenarkan pengucilan terhadap mereka. Kita yang mengaku manusia modern yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keilmiahan dibalik segala sesuatu, sudah semestinya menentang pengucilan itu. Sebab pengucilan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.

Penderita AIDS umumnya mengalami depresi, dimana perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmasisasi masyarakat terhadap AIDS. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang diderita. Penderita AIDS yang mengalami kemunduran fisik secara bertahap, semestinya harus didorong untuk tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mereka yang telah kehilangan kesehatan, ibarat orang telah kehilangan hartanya yang paling berharga. Jadi, dukungan penuh dari lingkungan akan sangat membantu penderita untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan. Tapi alih-alih mendukung, perilaku kita malahan diskriminatif; menekan mereka. Sungguh benar-benar tidak manusiawi, orang yang tertimpa kesusahan diperberat kesusahannya oleh perlakuan kita yang mendiskreditkan.

Sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif, penderita diberhentikan dari pekerjaan, dijauhi dalam pergaulan dan malahan juga keluarga, tidak diterima di tempat-tempat publik, ditangkap seperti napi untuk diamankan, dan bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Maka, dapat diterimalah banyak penderita tidak mau mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya karena takut kehilangan lahan penghidupan karena tidak ada jaminan sosial jika berhenti kerja, dan lebih-lebih takut lagi tidak diterima masyarakat, yang akan sama berarti dengan kehilangan sifat manusianya sebagai mahluk sosial. Pengumuman kepada publik sama dengan bunuh diri secara sosial. Bahkan benar-benar bunuh diri yang sesungguhnya (baca:menyediakan diri untuk dibunuh) seperti di beberapa tempat di afrika. Bilamana diketahui ada penderita , maka penderita itu akan dirajam sampai mati.

Ketidakadilan masyarakat yang menyebabkan kekejaman itu.. Andai saja penderita AIDS diterima dan dihargai, serta diperlakukan sebagai manusia selayaknya, tentu penyebaran AIDS dapat ditekan. Sebab penderita bisa sukarela mengungkapkan diri kepada publik sehingga penanganan yang tepat bisa dilakukan. Kalau profesi penderita berpotensi menularkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain (ex: pelacur), maka itu dapat dihindarkan jika penderita berhenti berprofesi. Hal ini akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas. Masalahnya, tidak ada jaminan sosial jika mereka berhenti kerja, dan terlebih mereka akan ditolak masyarakat bila mengumumkan penderitaan mereka.

Hakekat keadilan adalah keadilan sosial. Keadilan tidak dapat di formulasikan tanpa ada konteks sosialnya. Kita tidak bisa menganggap diri adil tanpa melihat perbandingannya dengan orang lain, dan apa yang diperbuat serta akibat yang kita perbuat pada orang lain. Salah satu bentuk keadilan adalah keadilan distributif, dimana salah satu prinsipnya adalah menggunakan prinsip karikatif, yaitu santunan kepada orang yang tidak dapat berusaha, dan secara potensial kurang dapat berusaha guna mendapatkan hasil bagi kehidupan yang layak. Termasuk didalamnya anak yatim, orang cacat, lansia, orang sakit (penderita AIDS salah satunya) dan lainnya yang sejenis. Bantuan tidak sekedar bermakna memberi untuk mencukupi pihak yang menerima, tetapi juga perhatian dan kepercayaan dari pihak lain. Disinilah jelas kiranya, penderita AIDS selayaknya untuk diperhatikan dan dipercayai sebagai manusia adanya. Pemenuhan bantuan tidak cuma soal jaminan sosial, tapi mutlak perlu pemenuhan kebutuhan psikologisnya.

Keadilan interaksional adalah jenis keadilan yang lain. Aspeknya yang penting adalah penghargaan dan kepercayaan. Sikap dan perilaku memaki, mencela, diskriminatif, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah hal-hal yang berlawanan dengan penghargaan. Salah satu bagian kepercayaan adalah kepedulian. Hal itu bisa ditunjukkan dengan perhatian dan empati pada penderita AIDS. Akhirnya, sudahkah kita berlaku adil?

Kita bisa memulainya dengan bersikap adil pada diri kita sendiri dengan meyakini bahwa setiap orang berhak berbahagia. Dari sana akan tumbuh penerimaan dan penghargaan terhadap setiap orang, yang akhirnya bisa membahagiakan siapapun termasuk penderita AIDS. Dan untuk sampai ke sana, informasi yang utuh dan lengkap tentang AIDS menjadi mutlak, agar tidak mudah berprasangka. Sebab prasangka tumbuh dari kurangnya informasi yang akhirnya menimbulkan stigma. Selanjutnya tentu agar kita tidak diskriminatif dan menerima mereka dengan tulus.

Jika kita adalah orang yang perduli dengan sesama, kepedulian kita pada penderita AIDS adalah salah satu yang terluhur sebab mereka adalah orang-orang yang teraniaya. Langkah terbaik yang pertama-tama sebagai wujud kepedulian kita adalah mencari informasi mengenai AIDS secara utuh dan benar. Kemudian ketika ada penderita disekitar kita, berlaku tidak diskriminatif atau berkeadilan menjadi wajib dilakukan. Tidak saja demi penderita itu sendiri, tapi juga demi diri kita sendiri dalam mencapai sifat adil sebagai jalan mencapai manusia sejati. Adalah muskil keadilan bisa tercapai seperti yang diidamkan setiap orang bila masih ada diskriminasi: terhadap apapun terhadap siapapun