17.1.19

Jalan

JALAN RUSAK




Sudah 2 tahun bolak-balik melintasi jalanan rusak trans-sulawesi sepanjang daerah Morosi, yang masih masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (yang belum lama ini gubernurnya tersandung kasus korupsi dan sebelumnya tersangkut kasus plagiarisme di UNJ). Sejak kali pertama hingga hari ini, jalanannya nyaris tak terasa berubah: tetap rusak parah.

Jalan, sepanjang sejarahnya adalah penanda peradaban. Sedini abad ke 4 sebelum masehi, Kekaisaran Romawi sengaja membuat jalan-jalan raya nan lebar ke seantero Eropa untuk mempermudah gerak pasukannya, demi menjaga kekaisarannya yang maha luas itu. Meski sejatinya untuk menegakkan kekuasaan, agar rakyat di seantero kekaisaran tahu bahwa Kekaisaran Romawi benar-benar efektif kuasanya, mereka juga mahfum bahwa jalan akan membawa kemakmuran pada Roma. Jalan akan membuat denyut ekonomi semakin kencang, itu artinya kelimpahan harta akan memasuki Roma. Dan itulah yang terjadi. Sejak jalanan bagus dibuat, Roma mencapai puncak kemakmuran ekonomi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Jalur sutra adalah kisah yang lain. Dirintis oleh para pedagang gagah berani, jalur sutra menjadi legenda karena selama ribuan tahun berhasil menghubungkan Cina dengan Timur Tengah, dan yang akhirnya dengan Eropa. Berkat jalanan itu, pertukaran pengetahuan dan kebudayaan antara timur dan barat menjadi mungkin. Dan sejak pertukaran terjadi, maka dunia tak pernah sama lagi. Orang menjadi tahu bahwa saling pengaruh antar kebudayaan adalah nyata adanya dengan atau tanpa disadari, dan dengan demikian cikal bakal globalisasi pun dimulai.

Pun jalur sutra tak semata-mata melulu soal ekonomi. Jalur itu juga penanda legitimasi kekuasaan. Dalam sejarahnya, denyut perdagangan di sana mengalami pasang surut seiring pasang surutnya kekuasaan. Para pemegang kekuasaan di China dan di Timur Tengah paham benar, bahwa apabila jalanan berhasil mereka amankan, maka kekuasaan mereka akan mendapatkan pengakuan, perdagangan akan marak, dan kemakmuran akan datang. Sebaliknya, jika jalanan tak berhasil mereka amankan, dan dengan demikian maka rompak bersimaharajalela, legitimasi kekuasaan mereka akan hancur, perdagangan surut, dan kemakmuran menjauh. Tak kurang dari Genghis Khan, yang citranya begitu kelam sebagai penakluk dunia, pun sangat serius menjaga jalur dagang itu. Ditempatkannya pasukan-pasukan penjaga di sepanjang jalur. Pos-pos keamanan didirikan setiap 20 km (konon, penyampai berita atau tukang pos di sepanjang jalur itu bisa menempuh 200 km dalam sehari berkuda melalui pesan berantai). Dia tahu, amannya jalan itu berarti meningkatkan legitimasi kekuasaan dan sekaligus kemakmuran kekaisaran yang baru dibangunnya. Demikianlah, formulasi mereka untuk menjaga legitimasi kekuasaan dan menghela kemakmuran sangat sederhana: “Amankan jalannya!”

Pulau Jawa memiliki jalan besar pertamanya di abad ke 19, ketika Daendels membentangkan jalan dari Anyer hingga Panarukan sejauh 1400 km. Tujuannya tak lain untuk memudahkan pergerakan pasukan dalam mempertahankan pulau Jawa. Tapi siapa menyangkal kalau jalan itu juga menghela ekonomi Jawa? Pada era itu, terjadi involusi pertanian di Jawa. Lahan tak bertambah luas, sementara penduduk terus meningkat. Adanya jalanan besar itu menghela sektor perdagangan sebagai salah satu sektor ekonomi orang jawa yang utama. Kemandegan pertanian pun menjadi tak terlalu terasa.

Formulasi “Amankan Jalannya!” sebagai penjaga legitimasi kekuasaan dan penghela kemakmuran tetap tak berubah hingga hari ini di manapun tempatnya di dunia ini. Ketika Negara aman, maka jalanan yang baik menjadi penanda hadirnya kekuasaan yang berhasil. Jalanan semacam itu akan memberikan warga Negara itu suatu harapan akan kemajuan. Dan mereka akan cukup cerdas untuk menemukan cara meningkatkan kemakmurannya sendiri. Adanya jalan yang baik akan meningkatkan kreativitas berusaha, membuka peluang usaha yang lebih menguntungkan, mengamankan pasokan, meratakan distribusi, dan sebagainya, dan sebagainya. Faktanya, tak ada prospek tempat yang lebih menjanjikan ketimbang di tepian jalan-jalan mulus. Laju ekonomi pun bisa dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya. Sebaliknya, jalanan yang buruk, lain dan tidak hanya akan menyebabkan kemandegan ekonomi, jika bukan kemunduran.

Bagi saya, hakikat sebuah pemerintahan adalah menyediakan ‘jalan’ bagi rakyatnya (jalanan yang sesungguhnya maupun jalan kemajuan melalui pendidikan). Persoalan lain tak terlalu penting. Sepanjang jalan bisa disediakan sebagus-bagusnya, pada dasarnya masyarakat tak akan banyak protes dengan selebihnya. Sebab, hanya dengan jalan yang bagus sajalah masyarakat bisa berharap adanya perbaikan bagi hidupnya. Mereka juga tahu, pada dasarnya percuma mengharapkan sesuatu dari pemerintah, yang toh telah terbukti tak banyak memberikan. Mereka paham, bahwa mereka hanya memerlukan jalan, selebihnya bisa mereka urus sendiri. Tapi rupanya, di negeri ini, para pemimpin lebih suka berganti mobil lebih bagus ketimbang berganti jalan menjadi lebih mulus.

Jalanan adalah cermin pemimpinnya (baca: pemerintahan). Di mana-mana orang akan mengukur keberhasilan pemimpinnya dari jalanan di daerahnya. Semakin baik jalannya, maka semakin dipujalah pemimpinnya. Semakin buruk jalan-nya, maka sebaiknya para pemimpinnya tak usah berharap akan dikenang baik oleh warganya. Namun tampaknya, banyak pemimpin tak paham-paham juga. Mereka lebih suka dirinya dicerminkan melalui mobil yang bagus dan bangunan yang megah. Takaran keberhasilan adalah seberapa bagus mobil dinasnya, seberapa megah bangunan kantornya, dan seberapa wah acara-acara seremoni yang diselenggarakan. Berkali-kali saya menyaksikan ironi: mobil bagus milik pemimpin di sebuah daerah yang harus berjibaku di jalanan hancur di daerahnya sendiri. Tidakkah mereka menangis ketika melewatinya?

Konon, beberapa pemimpin di provinsi itu berujar tentang jalanan rusak di provinsinya, sebagai bukan tanggungjawab mereka. Jalan itu adalah “itu jalan negara”, yang artinya bukan kewenangan provinsi buat menyelesaikannya. Buat saya, itu hal teraneh yang pernah saya dengar dari seorang pemimpin.

Saya bayangkan jalanan 'Morosi' sebagai sebuah kapal yang bocor di sana-sini, dan bocornya terus menerus bertambah dari hari ke hari. Tapi sang kapten merasa dirinya beruntung tak memikul tanggungjawab menyelamatkan kapal, sebab, bocornya kapal ada di bagian yang bukan wewenangnya. Si kapten bersorak sorai, “bukan salahku, lho!”, meski kapal pelan-pelan mulai karam.

Saya bayangkan, jika sang kapten segera menambal kebocoran kapal itu sehingga menjaga kapal selalu mulus dan aman, maka dia akan disambut soraksorai sebagai pahlawan. Mereka yang ada di pinggir-pinggir jalan itu pun akan membelanya hingga titik darah penghabisan, dan berteriak lantang, “Dia pemimpin kami.”

Tapi jangan-jangan, persoalannya lain. Saya jadi ingat sebuah kisah nyata yang dituturkan dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohamad dalam majalah Tempo (edisi 12 Oktober 2009). Diceritakan bagaimana seorang gubernur mengirim sebuah surat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud. Gubernur itu, lantas bertanya seakan-akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Jangan-jangan, pemimpin kita ini menghadapi tembok birokrasi yang sedemikian tebalnya seperti yang dihadapi gubernur itu. Dan dia menyerah. Hmm.... tapi dalam kasus ini, gubernurnya tersandung kasus korupsi. Jadi?