28.5.19

Produktivitas Pekerja Indonesia


Produktivitas Pekerja Indonesia


Achmanto Mendatu

Sekelumit cerita dari Kawasan Industri berbasis nikel di Morowali.


“Apakah benar bahwa karyawan kita kalah produktif dengan tenaga kerja dari Tongkok?” 

Yang saya lihat adalah potensi besar. Karyawan Indonesia secara inheren merupakan para pekerja keras. Saya tak meragukan itu. Mereka akan sama efisien dan sama produktifnya dengan pekerja dari Tiongkok. Tidak ada alasan tidak bisa demikian.

Mengapa saya yakin bahwa karyawan kita bakal seefisien dan seproduktif pekerja dari Tiongkok yang telah masyhur di dunia sehingga membuat sebagian besar perusahaan-perusahaan raksasa manufaktur dunia mengalihkan produksinya ke negeri itu? Saya memiliki alasan kuat untuk optimis karena karyawan di Kawasan industri ini memiliki semua potensinya.

Secara garis besar ada dua bekal utama bagi pekerja untuk bertahan dan sukses di dunia industri modern, yakni memiliki inteligensi memadai dan memiliki mentalitas industri. Inteligensi merupakan kemampuan untuk mempelajari dan memahami segala sesuatu, yang mencakup kemampuan bernalar, perencanaan, pemecahan masalah, berpikir abstrak, memahami ide yang kompleks, belajar dengan cepat dan belajar dari pengalaman. Salah satu ukuran yang kerap digunakan untuk mengukur inteligensi adalah IQ (intelligence quotient). Semakin tinggi IQ-nya berarti semakin tinggi inteligensinya secara umum. Secara normatif, IQ yang dimiliki seseorang memberinya batasan pencapaian. Diketahui untuk menjadi ilmuwan kelas dunia diperlukan IQ sekitar 120 (sekitar 8% orang memiliki potensi menjadi ilmuwan kelas dunia); diperlukan 112 untuk menjadi ahli profesional-teknikal seperti misalnya konsultan teknik (sekitar 25% orang memiliki potensi menjadi ahli profesional-teknikal yang sukses); diperlukan 104 untuk menjadi administrator dan manager sukses (sekitar 37% orang memiliki potensi menjadi manajer sukses); diperlukan 101 untuk menjadi pekerja terlatih, klerikal (tukang, pengrajin), pramuniaga/marketing; diperlukan 92 untuk menjadi tenaga kerja semi-terlatih; dan diperlukan minimal 82 untuk menjadi tenaga-kerja tidak terlatih (Kaufman, 2009). Dengan demikian, asalkan seseorang memiliki IQ rata-rata saja (90-110), maka hampir semua bidang pekerjaan terbuka untuknya.

Bagaimana dengan IQ para pekerja Indonesia? Tidak ada data IQ pekerja yang tersedia, tapi dari pencapaian pendidikan para pekerjanya bisa diperkirakan berapa skor IQ mereka. Data menunjukkan bahwa 17% berpendidikan Diploma/Sarjana/Pasca Sarjana, 78% berpendidikan SMA/SMK, dan hanya 5% yang berpendidikan di bawah SMA/SMK. Dari data itu bisa diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki IQ di atas 100 karena untuk bisa menyelesaikan pendidikan setingkat SMA/SMK dengan baik (bukan asal lulus) diperlukan minimal IQ 100. Artinya, sekurang-kurangnya 95% pekerja memiliki potensi bisa melakukan hampir semua jenis pekerjaan di dalam dunia industri modern, termasuk hingga pekerjaan manajerial. Dengan kata lain, para pekerja itu adalah pekerja cerdas dengan potensi berkembang yang sangat luas. Bekal inteligensi mereka sudah lebih dari memadai. Mereka bisa belajar cepat semua model kerja dan teknologi baru yang didatangkan dari Tiongkok sekaligus dilatih untuk menguasainya.

Bekal kedua adalah mentalitas industri, berupa mentalitas bekerja keras dan berdisiplin tinggi. Tanpa keduanya, IQ yang tinggi kurang ada artinya. Hanya dengan kerja keras dan disiplin tinggi saja maka potensi IQ bisa dimaksimalkan. Telah dipastikan bahwa etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan pembeda Negara-negara yang berhasil membangun dunia industrinya dengan yang masih tertinggal. Keduanya adalah pembeda antara perusahaan yang berkembang dan perusahaan yang gagal.

Lazim terdengar klaim bahwa orang Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak memiliki mentalitas bekerja keras setinggi orang-orang dari Asia Timur, seperti Korea, Jepang dan Tiongkok. Disiplinnya juga lebih rendah. Hal itu memang sepertinya sulit dibantah. Etos kerja keras dan berdisiplin tinggi merupakan alasan dibalik Korea, Jepang dan kini Tiongkok menjadi raksasa industri dunia.

Sudah sejak ratusan tahun lalu di Indonesia para pekerja dari Tiongkok dikenal sebagai pekerja keras. Dalam buku Denys Lombard, “Nusa Jawa: Silang Budaya” (Lombard, 1996), terdapat cuplikan data yang sangat menarik tentang perkebunan tebu di pulau Jawa pada tahun 1700-an: “...masalah pemilihan tenaga: apakah sebaiknya mempekerjakan tenaga orang Cina yang bayarannya mahal namun mampu bekerja keras (30 orang cukup untuk mengerjakan tanah dan merawat tanaman); atau tenaga orang Jawa… yang puas dengan upah sedikit namun harus dipekerjakan dalam jumlah yang banyak untuk menyelesaikan segala pekerjaan (dari 70 sampai 80 orang dibandingkan dengan 30 orang Cina).”

Etos kerja keras dan disiplin tinggi itu berasal dari budaya mereka yang sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusius yang secara inheren mempercayai bahwa keberhasilan adalah hasil dari kerja keras. Sejak era kuno, mereka memiliki pepatah “Tidak ada seorangpun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari setahun gagal membuat keluarganya berkecukupan.” Pepatah itu mencerminkan mentalitas dasar mereka yang mengagungkan kerja keras sebagai jalan meraih kehormatan diri; bahwa kerja keras pasti akan terbayar. Alhasil, dimanapun berada, mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi ketimbang kelompok lainnya. Tidak mengherankan apabila mereka juga cenderung lebih berhasil di manapun mereka berada.

Ada fakta yang sangat menarik mengenai kelompok Asian-American (warga negara Amerika Serikat yang berasal dari Asia, khususnya dari Jepang, Korea dan Tiongkok). Mereka cukup memiliki IQ 93 untuk bisa melakukan pekerjaan profesional atau teknikal atau manajerial yang bagi White-American (warga negara Amerika Serikat kulit putih) membutuhkan IQ sekurangnya 100. Diketahui, meskipun jumlah Asian-American tidak lebih dari 2% populasi di negara tersebut, tetapi jumlah mahasiswa Asian-American di perguruan tinggi paling terkemuka di AS, misalnya Harvard mencapai 20% dan Berkeley mencapai 45%, atau jauh menjulang di atas yang diharapkan (harusnya hanya 2% sesuai jumlah populasi). Padahal, dari segi skor IQ, kelompok Asian-American tidak lebih tinggi ketimbang kelompok lainnya. Richard E. Nisbett, pakar inteligensi dan profesor psikologi dari Universitas Michigan, AS, dalam bukunya “Intelligence and How to get it: Why schools and cultures count” (2009) pun menyimpulkan, “Tidak terbantah lagi bahwa Asian-American meraih capaian jauh di atas capaian yang diharapkan dari skor IQ-nya. Pencapaian intelektualitas orang Asia adalah hasil keringat ketimbang otak yang istimewa.

Begitulah. Mereka lebih berhasil karena resep yang sudah diketahui bersama: mereka bekerja lebih keras dan berdisiplin lebih tinggi. Itu saja.

Jadi, apakah benar belaka bahwa pekerja kita memang kalah dalam hal etos kerja keras dan kedisiplinan dibandingkan pekerja Tiongkok? Saya punya perspektif lain. Saya meyakini bahwa pekerja kita secara inheren juga merupakan pekerja keras dan punya kedisiplinan. Mereka hanya belum terbiasa dengan pola kerja industri, atau meminjam istilah Morgan Freeman dalam film Shawshank Redemption, ‘belum terinstitusionalisasi” ke dalam budaya kerja industri. Tidak boleh dilupakan bahwa lebih dari 90% pekerja belum pernah bekerja di sektor industri manufaktur sebelumnya. Kawasan ini merupakan tempat pertama mereka bekerja di dunia industri.

Dalam dunia industri modern, kerja keras dan disiplin kerja diharuskan terjadi dalam basis harian sepanjang tahun. Di dalam jam-jam kerja yang telah ditentukan seorang pekerja harus bisa mengerahkan segenap energinya dan harus menjaga disiplinnya. Waktu kerja dan waktu istirahat ditentukan oleh perusahaan. Seorang pekerja tidak bisa suka-suka memilih kapan mau bekerja keras dan kapan mau beristirahat. Apabila tidak bisa menunjukkan kerja keras yang konsisten dan tidak bisa menjaga disiplin di waktu-waktu yang telah ditentukan, seorang bekerja dianggap berperforma rendah yang bisa berujung pada pemberhentian. Sumber periuk nasinya bisa terguling.

Model kerja industri modern mirip dengan model kerja pertanian sawah basah. Para petani padi sawah harus bekerja dalam basis harian sepanjang tahun melakukan kerja-kerja yang tidak ada henti-hentinya, mulai dari menyiapkan bibit, menyiapkan lahan, menanam, mengairi, mengeringkan, menyiangi, memupuk, memanen dan seterusnya. Siklusnya tiada henti. Pergi ke sawah harus dilakukan setiap hari karena batang padi dan lahan harus diperiksa harian. Keterlambatan dirawat, misalnya terjadi kekeringan di lahan atau daun padi terendam air terlalu lama bisa mengakibatkan gagal panen. Mau tidak mau, para petani padi sawah pun harus bisa secara konsisten bekerja keras dalam basis harian dan berdisiplin dengan waktu. Lakukan itu selama bertahun-tahun, terbentuklah mentalitas industri. Lakukan itu selama puluhan, ratusan tahun atau bahkan ribuan tahuan, jadilah mentalitas industri sebagai bagian dari budaya keseharian. Alhasil, ketika industri modern datang, orang-orang yang berlatar budaya dari pertanian sawah pun menjadi yang paling siap. Inilah mengapa Korea, Jepang, dan Tiongkok sangat siap ketika peluang industrialisasi datang karena orang-orangnya mayoritas berlatar tradisi pertanian sawah. Mereka telah memiliki budaya yang siap untuk dunia industri modern sejak ribuan tahun sebelumnya (Gladwell, 2008). Jadi, bukan tanpa alasan banyak kawasan industri di Pulau Jawa dibangun di sentra-sentra persawahan. Bukan saja karena ketersediaan lahan yang luas, tapi lebih penting karena penduduk sekitarnya lebih siap untuk bergabung dengan industri modern. Budaya kerja dan disiplin mereka cocok belaka.

Model kerja pertanian lahan berpindah atau peladang dan perambah hutan/laut berbeda dengan model kerja pertanian sawah basah. Para petani peladang atau perambah bisa bekerja sama kerasnya dengan para petani sawah, atau malah bisa lebih keras. Akan tetapi oleh karena sifat peladangan itu sendiri, mereka tidak harus bekerja keras secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Mereka akan bekerja sangat keras di waktu-waktu tertentu, khususnya saat buka lahan, namun kemudian bisa berleha-leha cukup panjang. Mereka bisa menghabiskan waktu mengerjakan hal-hal lain atau rehat selama masa tunggu panen karena pertanian peladangan relatif tidak memerlukan banyak perawatan. Hal serupa dilakukan oleh para perambah hutan, yang bekerja super keras saat merambah tetapi ketika sudah mendapatkan hasil bisa berleha-leha di rumah. Tidak ada yang menuntut mereka untuk terus menerus bekerja setiap hari karena tidak ada “padi” yang harus dipelihara setiap hari, yang jika tidak dilakukan bisa membuat mereka kelaparan. Pendek kata, mereka bisa memilih sendiri kapan harus bekerja keras dan kapan istirahat. Maka, budaya kerja yang berurat dalam diri mereka adalah budaya kerja keras temporer, bukan kerja keras konsisten harian. Disiplinnya juga temporer, bukan disiplin terus menerus. Alhasil, orang-orang dari latar budaya peladangan dan perambahan relatif kurang siap ketika industrialisasi modern datang. Inilah salah satu alasan mengapa sangat jarang ada kawasan industri dibangun di area yang masyarakatnya para peladang dan perambah: masyarakat kurang siap. Apabila harus juga dibangun di wilayah demikian, maka pasti ada insentif besar untuk industri di wilayah itu, misalnya di sana tersedia bahan baku indusri yang melimpah. Sebagai misal, banyak industri semen dibangun di daerah kapur yang tandus di tengah masyarakat peladang, karena kapur merupakan bahan baku utama industri semen. Hal yang sama dengan Kawasan industri ini yang membangun smelter nikel di tengah masyarakat peladang dan perambah karena ketersediaan ore melimpah di wilayah ini.

Apa konsekuensi dari industri yang dibangun di tengah masyarakat peladang dan perambah? Tentu saja proses ‘penginstitusionalisasian’ budaya kerja industri modern ke para pekerjanya membutuhkan waktu lebih panjang. Apabila pekerja yang datang dari tradisi pertanian sawah basah mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa bulan membiasakan diri, maka pekerja yang datang dari tradisi pertanian ladang membutuhkan hingga beberapa tahun lamanya agar benar-benar bisa fit bekerja di dunia industri. Proses lebih lama itu diperlukan karena mereka harus mengadopsi model kerja baru yang tidak familiar dengan kerangka budaya kerja yang dimiliki. Dari budaya bekerja keras yang leluasa mengatur sendiri ritme kerja dan disiplin kerjanya, mereka ditantang untuk bisa bekerja keras dan berdisiplin secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Siapa yang cepat dan mampu beradaptasi akan bertahan dan sukses, dan siapa yang lambat atau malah gagal beradaptasi akan tersisih.

Budaya kerja keras ala peladang dan perambah yang dibawa pekerja ke dunia industri menciptakan inkonsistensi performa. Adakalanya begitu bersemangat bekerja dan sanggup bekerja keras melebihi siapapun, namun ada kalanya lesu kehilangan energi dan semangat. Padahal, sudah tidak ada keleluasaan mengatur diri kapan bekerja dan kapan beristirahat. Mereka harus bekerja terus menerus di waktu-waktu yang ditentukan. Dampaknya para pekerja mudah mengalami fatigue atau kelelahan berlebih, baik secara fisik maupun mental karena kebelummampuan mengelola energi secara efisien. Simptom yang kerap muncul adalah sakit-sakit ringan seperti sakit kepala, sakit pernafasan, sakit perut atau kejang otot (myalgia). Umumnya simptom-simptom tersebut merupakan jenis alasan tertinggi penyebab pekerja memeriksakan diri ke klinik perusahaan. Secara psikologis, pekerja juga menjadi lebih mudah frustrasi dan stres. Mereka pun mencari kambing hitam kondisinya yang biasanya diarahkan ke perusahaan. Alih-alih bersikap positif terhadap perusahaan tempatnya mencari makan, mereka malah bersikap negatif. Mereka kerap menuduh perusahaan tidak layak memperlakukan para pekerjanya, bahkan meskipun perusahaan secara objektif telah memenuhi kewajibannya. Tapi pada akhirnya, mereka yang mampu beradaptasi akan menyatu dengan ritme kerja industri modern: dari yang dulu inkonsisten menjadi konsisten, dari yang dulu kurang disiplin menjadi berdisiplin, dari yang dulu kurang suka ke perusahaan menjadi jatuh hati.

Saat ini sebagian karyawan di dalam kawasan berasal dari tradisi pertanian sawah, lengkap dengan mentalitas kerjanya. Mereka berasal dari wilayah pertanian sawah yang tersebar di seantero pulau Sulawesi. Secara hipotetik, mereka yang paling siap beradaptasi dengan dunia industri modern. Akan tetapi, sepertinya jumlahnya kalah dengan pekerja yang berlatar belakang tradisi perladangan dan perambahan. Mahfum diketahui bersama, mayoritas penduduk dan daerah di pulau Sulawesi didominasi oleh tradisi berladang dan merambah. Hanya ada kantong-kantong khusus yang merupakan pertanian sawah basah.

“Apa yang bisa kita lakukan untuk menurunkan angka izin-izin dan izin sakit yang besar sekali. Lebih dari 500 izin setiap minggu, lebih dari 5000 kunjungan ke klinik setiap bulan?” ungkap seorang pimpinan perusahaan mengajak diskusi. Saya sampaikan padanya, “Memperketat aturan mungkin tidak akan mengurangi. Ini persoalan para pekerja yang belum fit 100% dengan budaya kerja industri. Ketika para pekerja sudah mulai ‘terinstitusionalisasi’ dengan budaya kerja industri modern maka disiplin kerja mereka pasti meningkat. Izin-izin akan berkurang. Produktivitas akan naik.”

Ya, saya sangat optimis. Sebab, para pekerja di Kawasan sesungguhnya adalah pekerja keras. Bukankah ada pepatah kuno dari Sulawesi yang bunyinya, “Resopa temangingi namalomo naletei pammase dewata’ yang artinya 'Perjuangan dan kerja keras yang terus-menerus akan mendapat ridha Tuhan?” Dengan kata lain, bagi orang Sulawesi, bekerja keras terus menerus berdimensi ilahiah. Bekerja keras secara konsisten bukanlah sekedar untuk mencari materi, tapi juga bagian dari pengabdian kepada Tuhan.

Kerap mendengar bahwa perantau selalu bekerja lebih keras dari penduduk asli? Para perantau memang harus bekerja lebih keras karena jika gagal di negeri orang bakal lebih terhempas nasibnya. Dan faktanya, mayoritas pekerja merupakan perantau dari berbagai penjuru Sulawesi. Umum diketahui juga bahwa orang Sulawesi terkenal dengan kolektivitasnya. Persatuannya kuat dan di mana-mana ingin sukses bersama kerabatnya. Kondisi itu membuat mereka cenderung memiliki budaya pantang dipermalukan atau mempermalukan kerabat. Menjadi membanggakan merupakan salah satu tujuan hidup penting orang-orang Sulawesi. Ketika merantau berpantang gagal. Lihat saja tradisi uang panai yang hanya ditemukan di Sulawesi, yang membuat seorang pria yang mau menikahi seorang gadis harus membayar sejumlah besar uang, yang seringkali jumlahnya fantastis. Seorang pria yang gagal mengumpulkan uang panai akan dianggap bukan lelaki potensial alias bukan pekerja keras. Jadi, sungguh sulit mengelakkan pernyataan bahwa para pekerja memiliki semua dorongan yang diperlukan untuk menjadi pekerja keras.

Per 31 Desember 2017, jumlah pekerja yang bekerja di dalam Kawasan mencapai 17.831 orang, tidak termasuk pekerja perusahaan-perusahaan kontraktor dan pemasok. Tahun ini dan seterusnya jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Dari jumlah sebesar itu, sebagian telah memiliki mentalitas industri yang siap mengarungi dunia industri modern: sanggup bekerja keras dan berdisiplin tinggi secara konsisten dalam basis harian sepanjang tahun. Sebagian masih dalam masa adaptasi. Merupakan tugas besar perusahaan untuk membuat masa adaptasi ini berjalan sebaik mungkin.

Saat ini pekerja kita diuntungkan karena bekerja bersama-sama dengan orang Tiongkok yang memiliki budaya kerja yang fit dengan dunia industri modern. Para pekerja kita bisa belajar langsung dari mereka. Apalagi, para pekerja kita adalah pekerja muda yang masih luwes mengubah dirinya dan masih memiliki karir panjang. Data memperlihatkan bahwa 77% pekerja berusia di bawah 30 tahun (43% usia 18-24 tahun, 34% 25-29 tahun), 20% berusia 30-39 tahun, dan hanya 3% yang berusia di atas 40 tahun. Ini merupakan sebuah potensi besar untuk membentuk kawasan industri yang para pekerjanya memiliki efisiensi dan produktivitas tinggi. Apabila itu terjadi, maka tesis Paul Krugman, ekonom tersohor peraih Nobel itu, bahwa pekerja yang memiliki efisiensi dan produktivitas sama meskipun berproduksi di Negara berbeda pada akhirnya akan mendapatkan nilai upah yang kurang lebih sama, bisa saja terwujud.

Ada satu peristiwa yang membuat saya optimis bahwa proses adopsi budaya industri modern akan terjadi cukup cepat. Selama beberapa bulan, jalanan di depan Mesjid Al Khairaat Fatufia mengalami kemacetan parah. Akibat adanya perbaikan gorong-gorong jembatan, hanya tersisa satu jalur yang bisa dilewati. Pada saat-saat jam masuk dan pulang kerja, menumpuklah karyawan di situ karena adanya bottle-neck traffic. Lalu, suatu hari ada aksi demonstrasi segelintir orang yang mencegat para karyawan di jalan yang sudah macet itu. Walhasil lebih banyak lagi yang terjebak kemacetan di sana. Saat itu beredar kabar bahwa keesokan harinya pada jam masuk kerja (jam 6-7 pagi) akan dilakukan aksi demonstrasi di tempat yang sama. Dan apa yang terjadi pada esok harinya? Banyak karyawan yang sudah berangkat ke tempat kerja sehabis subuh. Hampir semuanya datang lebih dulu ke tempat kerja. Walhasil untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan tidak ada kemacetan. Jalanan lancar belaka. Jadi, bagaimana saya tidak optimis?

Bacaan
Hofstede, G. (1980). Cultural Consequences: International Differences in Work-Related Value. Beverly Hills, CA.: Sage.
Kaufman, A.S. (2009). IQ Testing 101. New York: Springer Publishing
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya (terj.). Jakarta: Gramedia.
Gladwell, M. (2008). Outliers: The story of success. New York: Little, Brown and Company.
Nisbett, R.E. (2009). Intelligence and How to get it: Why schools and cultures count. New York: W.W.  Norton

4.2.19

Pasca Tambang: Kemana masyarakat beranjak?

Pasca Tambang:
Kemana masyarakat beranjak?



(Sebuah catatan dari Kutai Barat, Kaltim)


Masa depan tambang batubara tampak suram. Tren sumber energi dunia mulai beralih ke penggunaan sumber energi terbarukan yang semakin lama semakin murah. Tak terelakkan, nilai keekonomisan batubara akan berakhir dalam waktu yang tak terlalu lama lagi. Pertanyaannya, selagi industri ini masih bernilai ekonomis, apa yang bisa disumbang untuk masyarakat di sekitar tambang? 

Dead capital vs live capital 

Sejauh ini, sumbangan terbesar dan terpenting industri batubara untuk masyarakat di sekitar tambang adalah perannya menjadikan modal mati (dead capital, yakni aset yang tidak mudah dibeli, dijual, dinilai atau digunakan untuk investasi) yang dimiliki masyarakat menjadi modal hidup (live capital, yakni aset yang mudah untuk dijualbelikan, dinilai dan digunakan untuk investasi, misalnya untuk mendapatkan pinjaman ke bank).[1] Sebelum perusahaan tambang datang, tanah atau properti yang dimiliki masyarakat pada umumnya tanpa legalitas surat yang bernilai bagi sistem keuangan modern. Aset-aset itu tidak gampang diperjualbelikan dan tidak bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman ke lembaga keuangan. Alhasil, aset mati itu tidak memberikan sumbangan apapun dalam upaya peningkatan kemakmuran. Kehadiran perusahaan tambang mengubah situasi. Aset-aset mati itu tiba-tiba menjadi bernilai tinggi. Perusahaan bersedia memberikan kompensasi lahan/properti meskipun tanpa dokumen legal memadai. Nilainya bahkan seringkali jauh lebih tinggi ketimbang taksiran pihak bank jika tanah/properti itu telah bersertifikat hak milik. Uang pun mengguyur bak durian runtuh di siang bolong. 

Mengikuti penjelasan ekonom Hernando de Soto, kemakmuran sebuah negeri/daerah dan penduduk berbanding lurus dengan live capital yang dimiliki. Semakin banyak live capital-nya berarti semakin kaya. Oleh karena itu, rumus kemakmuran pun sederhana, yakni mengubah sebanyak-banyaknya dead capital menjadi live capital. Lalu live capital dikonversi menjadi uang, dan lantas usaha dan investasi masyarakat untuk mengakumulasikan kekayaan pun dimulai. Dalam sejarahnya, jalan pertama yang telah ditempuh oleh negara-negara maju untuk menuju kemakmuran adalah melakukan revolusi di bidang legal atas kepemilikan pribadi, dengan melegalkan hak milik atas tanah dan properti. Tanah-tanah dan properti disertifikasi sehingga bisa diperjualbelikan atau dijadikan jaminan memperoleh uang ke lembaga keuangan. Uang itu yang kemudian digunakan untuk menggerakkan perekonomian (misalnya untuk berinvestasi di dunia usaha) dan akhirnya menciptakan kemakmuran. Usaha pengubahan dead capital menjadi live capital itu biasanya membutuhkan waktu sangat lama hingga berpuluh-puluh tahun bahkan abad, yang berbeda-beda di setiap negara. Nah, industri batubara menciptakan revolusi legal itu dalam sekejap. Tiba-tiba, dead capital berubah menjadi live capital tanpa proses panjang berbelit-belit. 

Lantas, apakah pengalihan bentuk aset itu serta merta menciptakan kemakmuran? Jawabannya ya dan tidak. Ya, jika kemakmuran hanya dilihat dari sudut daya beli, karena daya beli masyarakat memang meningkat drastis. Tapi juga tidak, jika kemakmuran dilihat dari sudut pandang keberlanjutan daya beli yang tinggi. Apabila uang-uang itu tidak diinvestasikan untuk suatu aset yang memberi penghasilan berkelanjutan, maka kemakmurannya hanya akan singkat. Ketika uang habis, maka kemakmuran pun lenyap. Hanya dengan investasi pada live capital atau dunia usaha maka uang kaget itu akan bisa terus mempertahankan kemakmuran pemiliknya dan atau bahkan meningkatkannya. Tapi persis disitulah persoalannya. Pada negara-negara yang proses pengalihan asetnya perlahan, warga negaranya sempat untuk beradaptasi dan belajar menggunakan uang dengan cara yang benar. Mereka belajar berinvestasi dan membangun mentalitas sebagai investor. Namun hal berbeda terjadi pada masyarakat yang tiba-tiba diguyur uang dalam sekejap, seperti halnya masyarakat di sekitar tambang batubara. Mereka belum memiliki mentalitas sebagai investor dus belum paham benar bagaimana berinvestasi untuk kemakmuran lebih tinggi. Yang paling mereka pahami, sebagai bagian dari masyarakat peladang, adalah mengonsumsi.[2]

Masyarakat konsumtif 

Pengamat dari luar akan mengira bahwa masyarakat di sekitar tambang merupakan masyarakat makmur karena daya beli yang tinggi, sebagaimana bisa dilihat dari maraknya jual beli dan tingginya harga-harga barang. Akan tetapi, jika ditilik lebih dalam, kemakmuran itu semu. Perekonomian memang meningkat, namun merupakan perekonomian konsumsi belaka. Uang sumbernya adalah uang yang dipompa oleh perusahaan tambang (melalui kompensasi lahan, gaji karyawan, dan lainnya) yang tidak berkelanjutan. Ketika uang itu habis, maka daya beli menurun jauh, dan ekonomi pun ambruk. Hanya segelintir orang yang bisa dan mau berinvestasi yang akan berhasil melewati malaise ekonomi pasca tambang tutup. Persoalan lainnya dalam ekonomi konsumsi ini, penduduk lokal yang makmur dengan uang tambang hanya berperan sebagai pembeli. Para penjual hampir seluruhnya pendatang. Alhasil terjadi perpindahan kekayaan. Apabila pada awalnya yang makmur adalah penduduk lokal, maka kelak (atau sudah) para pendatanglah yang mengakumulasi kekayaan. Jika proses ini tidak diperhatikan dan disiasati dengan cermat, maka pergantian kemakmuran itu akan menjadi bom waktu kerusuhan sosial di masa depan. 

Dari sudut pandang perusahaan tambang, berkurangnya daya beli masyarakat sekitar tambang merupakan kondisi berbahaya yang harus diperhatikan seksama. Kondisi daya beli masyarakat yang melemah bisa mendorong masyarakat mencari uang mudah dengan jalan melakukan berbagai aksi preman melalui berbagai skenario melemahkan pengoperasian tambang untuk mencari kompensasi, misalnya dengan demonstrasi penutupan-penutupan jalan. 

Mengapa masyarakat di sekitar tambang cenderung konsumtif dan mengabaikan investasi? Saya duga, salah satu jawabannya terletak pada cara hidup yang berbasis pada model pertanian “tebang-bakar-tanam-tinggalkan”. Dalam tradisi berladang berpindah itu, tidak ada investasi tenaga yang dilakukan secara terus menerus dan rutin setiap harinya agar padi bisa dipanen. Di sini, padi tidak perlu dipupuk dan tanah tidak perlu dirawat dalam basis harian. Ketika tanah telah kurang subur, maka solusinya sederhana: tinggalkan. Mereka akan membuka lahan baru dengan menebang lagi. Pola pertanian semacam itu terbawa dalam cara pandang terhadap investasi. Bagi mereka, akan selalu tersedia lahan alternatif apabila satu ladang tidak lagi menghasilkan. Oleh karena itu mereka kurang hirau terhadap investasi tenaga atau modal untuk merawat apa yang sudah ada agar yang sudah ada itu bisa terus menghasilkan. 

Mindset investasi ladang berpindah terbukti sukses selama ratusan atau bahkan ribuan tahun di Kalimantan karena ketersediaan lahan. Sayangnya, dunia saat ini telah jauh berbeda dan tidak lagi cocok dengan mindset lama itu. Ladang-berpindah tidak akan lagi berkelanjutan karena lahan yang terus menyempit atau malah sudah dijual ke tambang batubara atau perkebunan sawit. Mau tidak mau, mereka harus berinvestasi dari apa yang sudah mereka miliki untuk memastikan keberlangsungan penghasilan di masa mendatang. Mereka, masyarakat budaya ladang berpindah itu pun menghadapi masalah serius karena belum sempat belajar beradaptasi dalam ekonomi modal. Mereka masih belum siap menjadi investor. Tetapi tiba-tiba saja uang sudah di tangan. Alhasil, mereka pun melakukan sesuatu yang paling mereka tahu: berbelanja barang konsumsi tanpa berpikir keberlanjutan penghasilan masa depan. 

Khusus untuk komunitas masyarakat di sekitar perusahaan tambang batubara PT XXX di Kutai Barat, Kalimantan Timur, tempat saya pernah bekerja, mindset ladang berpindah terpilin erat dengan tradisinya yang berorientasi pada pencapaian materi. Masyarakat di sekitar tambang itu merupakan komunitas dayak kelompok Barito yang menjadikan pencapaian materi sebagai salah satu sendi bermasyarakat.[3] Mereka memiliki tradisi mengucap syukur atas kesuksesan yang berhasil diraih dengan mempertontonkan barang-barang yang berhasil dibeli berikut menyebutkan harganya secara detail dan rinci. Acara adat yang lain, misalnya ritus upacara penguburan kedua bagi yang meninggal berupa pemotongan kerbau dan serangkaian acaranya (disebut kwangkay) juga sarat nuansa kesengajaan mempertontonkan perolehan materi. Artinya, tidak ada rem dalam budaya mereka untuk tidak menjadi konsumtif. 

Membangun budaya investasi 

Peran istimewa bisa dimainkan oleh perusahaan tambang dalam menciptakan kemakmuran masyarakat sekitar tambang, yakni peran membangun budaya investasi. Langkah pertama sudah dimulai dengan mengguyurkan uang. Maka, tinggal bagaimana perusahaan berbuat untuk membantu masyarakat berinvestasi secara tepat dari uang yang diterimanya. Perusahaan bisa membantu masyarakat belajar bagaimana mengelola uangnya dengan bijak, plus menawarkan alternatif-alternatif investasi yang masuk akal bagi mereka, baik investasi dalam bidang ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. Menurut saya, itulah inti dari program pemberdayaan masyarakat: itulah bentuk pertanggungjawaban sosial perusahaan yang paling baik. 

Budaya investasi seperti apakah yang perlu ditanam pada masyarakat dan bagaimana melakukannya? Budaya investasi yang dimaksud adalah pola pikir (mindset) investor, yakni bahwa tindakan-tindakan yang diambil lebih kuat didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebaikan di masa depan yang lebih baik, sehingga bersedia menginvestasikan uang, waktu dan tenaganya. Membentuknya tidak akan mudah karena secara kultural mereka merupakan masyarakat konsumtif. Namun, dengan strategi yang tepat dan kontinuitas dalam jangka panjang, mengubah mindset sangat mungkin dilakukan. Apabila mindset investor terbentuk, maka masyarakat akan dengan sendirinya berinvestasi uang, waktu dan tenaga untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dalam jangka panjang (misalnya melalui investasi pertanian/perkebunan yang produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi, membangun usaha jasa tertentu, dan lainnya); dalam pendidikan anak, sejak anak usia dini hingga setinggi-tingginya; dan untuk investasi dalam bidang kesehatan, baik untuk dirinya, anak dan keluarga serta lingkungannya. 

Pertimbangan investasi harus menjadi pertimbangan utama dalam program untuk masyarakat. Sebelum sebuah program dibuat atau diluncurkan, beberapa pertanyaan harus diajukan terhadap program itu: 
  1. Apakah program itu terprediksi baik sebagai salah satu bentuk investasi bagi masyarakat untuk masa depan yang lebih baik? Apa dasar pertimbangannya? 
  2. Apakah program itu memiliki nilai tambah lebih tinggi bagi masyarakat ketimbang model-model investasi uang/waktu/tenaga yang sudah biasa dilakukan masyarakat sebelumnya? Apa dasar pertimbangannya? 
Pertanyaan di atas penting diajukan agar program yang diluncurkan tetap dalam platform membangun budaya investasi, bukan sekedar program yang asal orang senang, asal ada produknya, asal kelihatan wah, dan asal bisa dipamerkan. Pada saat yang sama, investasi perusahaan dalam menjalankan program itu juga berhasil berupa asosiasi positif perusahaan di benak masyarakat. 


Notes:

[1] Dead capital (modal mati) versus live capital (modal hidup) adalah konsep dari ekonom Hernando de Soto, yang memformulasikan rumus dari pencapaian kemakmuran sebuah negara, yakni dengan mengubah sebanyak-banyaknya modal mati menjadi modal hidup. 

[2] Masyarakat peladang berpindah, berbeda dengan masyarakat petani sawah, cenderung tidak memiliki mentalitas berinvestasi (baik tenaga maupun modal) secara terus menerus dalam basis harian dan jangka panjang untuk mencapai hasil tertentu, yang diakibatkan oleh sifat dari perladangan itu sendiri yang bersifat temporer dan akan segera ditinggalkan apabila tanah sudah menjadi gersang. 

[3] Menurut studi Bernard Sellato, yang menggolongkan kelompok dayak yang berada di wilayah bagian tengah sungai Mahakam dan Barito sebagai kelompok barito, dengan sub-kelompoknya antara lain dayak Siang dan Murung di hulu sungai Barito, dayak Luangan dan Mayang di wilayah tengah sungai Barito; dan dayak Benuaq, Tunjung dan Bentian di wilayah tengah sungai Mahakam, berikut sub-sub kelompoknya. 

Diskriminasi

Diskriminasi Penderita AIDS


---Tulisan entah tahun berapa (Tahun 2000 rasanya)

Jika ditanya apa yang paling dinginkan dalam hidup ini, jawabannya pasti, kebahagiaan. Berasal dari manakah kebahagiaan? Tidak lain dari perasaan keadilan. Lalu dari manakah keadilan berasal? Ia bersumber dari penerimaan dan penghargaan dari orang lain, penerimaan serta penghargaan pada orang lain, dan penerimaan serta penghargaan pada diri sendiri. Seterusnya, berasal dari manakah penerimaan dan penghargaan? Tidak lain dari perasaan tulus bahwa semua orang sama dan berhak untuk berbahagia.

Meskipun kita yakin dan percaya berlaku adil merupakan kebajikan tertinggi, namun melaksanakannya tidak pernah mudah. Selalu lebih mudah untuk berlaku tidak adil. Wujud paling nyata dari ketidakadilan adalah perlakuan diskriminatif: terhadap apapun, terhadap siapapun. Ironisnya, diskrimasi sangat kerap kita lakukan, sadar ataupun tidak. Kita berlaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu, pekerjaan tertentu, sekolah tertentu, budaya tertentu, orang dengan karakter dan atribut tertentu, dan sebagainya. Dan diskriminasi terhadap penderita penyakit tertentu adalah yang paling tidak manusiawi. Ironis memang, justru inilah jenis diskriminasi yang paling diterima masyarakat.

Sejarah pernah mencatat, penderita lepra dikucilkan dan dijauhi masyarakat semata-mata karena menderita lepra. Bahkan kemudian dianggap pula sebagi kutukan Tuhan. Sekarang, penderita AIDS mengalami hal serupa. AIDS dianggap sebagai kutukan Tuhan. Tidak lain karena dianggap sebagai penyakit orang-orang kotor (baca: penganut freesex). Maka menjadi merasa absahlah kita mengutuk penderitanya karena menganggap mereka sebagai orang-orang kotor dan tercela. Maka kita mengucilkan, mencela, dan menjauhi mereka.

Tetapi siapakah yang sesungguhnya pantas dicela? Tuhan tidak pernah memberi kutukan pada manusia hidup. DIA terlalu asih untuk melakukannya. Tuhan juga tidak pernah bilang untuk tidak berlaku adil. Lalu kenapa kita memberlakukan ketidakadilan pada hamba-hamba Tuhan yang teraniaya? Penderita AIDS jelas-jelas teraniaya, sebab mereka menderita, tidak saja fisik tapi lebih-lebih mentalnya.

Tekanan mental yang mereka alami semakin bertambah karena perlakuan buruk kita. Kita mengucilkan, mencela, dan jangankan berbicara, memandangnya pun enggan. Kitalah yang pantas mendapat celaan, bahkan celaan Tuhan. Sebab kita tidak menerima dan menghargai mereka sebagaimana seharusnya, agar mereka bisa menerima dan menghargai diri mereka sendiri, yang pada akhirnya akan membuat mereka bahagia. Alih-alih membuat bahagia, kita malah membuat mereka tambah menderita, sebab tidak ada seorangpun yang suka dikucilkan atau dicela. Pengucilan atau pencelaan membuat orang merasa tidak berharga, padahal merasa diri cukup berharga merupakan dasar dalam kepercayaan diri sebagai landasan dalam menjalani hidup bahagia.

AIDS bukan kutukan. Ia hanya sebuah penyakit, yang bisa diderita siapapun, bahkan bayi yang baru terlahir, pun juga orang yang paling soleh sekalipun. Stigma buruk yang dilekatkan pada penyakit itu, yang membuat AIDS jadi tampak begitu mengerikan. Dan memang menjadi mengerikan melebihi keadaan objektif penyakit itu sendiri, bahwa AIDS tak tersembuhkan d sebagai kutukan Tuhan atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Kengerian bersumber dari kondisi penyakit yang dinilai ganas itu, tapi terutama oleh perlakuan masyarakat yang tidak manusiawi terhadap penderitanya. Kengerian-kengerianlah yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi.Bagaimana stigma buruk terhadap AIDS terbentuk? Tidak lain karena kita tidak beroleh informasi yang benar dan cukup. Kecenderungan kita untuk lebih mudah menerima informasi yang buruk, ditambah info yang tidak lengkap cenderung memudahkan prasangka. Misalnya saja kita memperoleh info bahwa AIDS bersumber dari seks bebas. Siapapun tidak menyangkal ini. Lalu kita mengkategorikan semua penderitanya sebagai pelaku seks bebas. Maka dianggap sebagai kewajaran belaka mereka dicela. Dari prasangka muncullah stigma, yang berujung pada terbentuknya perilaku negatif terhadap penderita AIDS. Apalagi setiap orang juga cenderung untuk lebih cepat mengakui informasi yang sesuai dengan skema kognitif yang telah ada. Jika skema pikiran telah negatif (yang terbentuk karena prasangka) pada penderita AIDS, maka orang akan cenderung untuk lebih menerima informasi yang negatif daripada yang positif. Misalnya, jika sejak awal telah berpikir buruk, maka ketika ada info penderita AIDS pembawa sial, itu lebih diterima ketimbang info tentang penemuan obatnya.

Barangkali yang paling ditakutkan adalah AIDS bisa menular dengan sangat mudah melalui perantara apapun, dan obat belum lagi tersedia. Benarkah? Nyatanya AIDS tidak mudah ditularkan. Ia hanya bisa ditularkan melalui cairan darah, hubungan seksual, dan barangkali kelenjar ludah, atau yang notabene cairan dari dalam tubuh (tidak termasuk keringat tentunya). Jadi, sangat tidak beralasan untuk mengucilkan penderita AIDS. Sampai-sampai berjabat tangan pun enggan, bahkan mengusir mereka para penderita dari lingkungan tempat tinggal. Tidak ada satupun penjelasan ilmiah yang bisa membenarkan pengucilan terhadap mereka. Kita yang mengaku manusia modern yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keilmiahan dibalik segala sesuatu, sudah semestinya menentang pengucilan itu. Sebab pengucilan tidak memiliki dasar ilmiah apapun.

Penderita AIDS umumnya mengalami depresi, dimana perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna, bahkan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Ini akibat dari stigmasisasi masyarakat terhadap AIDS. Penolakan dan pengabaian orang lain, terutama keluarga akan menambah depresi yang diderita. Penderita AIDS yang mengalami kemunduran fisik secara bertahap, semestinya harus didorong untuk tetap bersemangat dan optimis dalam menjalani kehidupan. Mereka yang telah kehilangan kesehatan, ibarat orang telah kehilangan hartanya yang paling berharga. Jadi, dukungan penuh dari lingkungan akan sangat membantu penderita untuk menjalani kehidupan yang menyenangkan. Tapi alih-alih mendukung, perilaku kita malahan diskriminatif; menekan mereka. Sungguh benar-benar tidak manusiawi, orang yang tertimpa kesusahan diperberat kesusahannya oleh perlakuan kita yang mendiskreditkan.

Sangat banyak kasus, setelah diketahui HIV positif, penderita diberhentikan dari pekerjaan, dijauhi dalam pergaulan dan malahan juga keluarga, tidak diterima di tempat-tempat publik, ditangkap seperti napi untuk diamankan, dan bahkan dibunuh sebab dianggap sebagai pencemar masyarakat. Maka, dapat diterimalah banyak penderita tidak mau mengungkapkan keadaan mereka yang sebenarnya karena takut kehilangan lahan penghidupan karena tidak ada jaminan sosial jika berhenti kerja, dan lebih-lebih takut lagi tidak diterima masyarakat, yang akan sama berarti dengan kehilangan sifat manusianya sebagai mahluk sosial. Pengumuman kepada publik sama dengan bunuh diri secara sosial. Bahkan benar-benar bunuh diri yang sesungguhnya (baca:menyediakan diri untuk dibunuh) seperti di beberapa tempat di afrika. Bilamana diketahui ada penderita , maka penderita itu akan dirajam sampai mati.

Ketidakadilan masyarakat yang menyebabkan kekejaman itu.. Andai saja penderita AIDS diterima dan dihargai, serta diperlakukan sebagai manusia selayaknya, tentu penyebaran AIDS dapat ditekan. Sebab penderita bisa sukarela mengungkapkan diri kepada publik sehingga penanganan yang tepat bisa dilakukan. Kalau profesi penderita berpotensi menularkan virus HIV yang diidapnya pada orang lain (ex: pelacur), maka itu dapat dihindarkan jika penderita berhenti berprofesi. Hal ini akan mencegah penyebaran HIV yang lebih luas. Masalahnya, tidak ada jaminan sosial jika mereka berhenti kerja, dan terlebih mereka akan ditolak masyarakat bila mengumumkan penderitaan mereka.

Hakekat keadilan adalah keadilan sosial. Keadilan tidak dapat di formulasikan tanpa ada konteks sosialnya. Kita tidak bisa menganggap diri adil tanpa melihat perbandingannya dengan orang lain, dan apa yang diperbuat serta akibat yang kita perbuat pada orang lain. Salah satu bentuk keadilan adalah keadilan distributif, dimana salah satu prinsipnya adalah menggunakan prinsip karikatif, yaitu santunan kepada orang yang tidak dapat berusaha, dan secara potensial kurang dapat berusaha guna mendapatkan hasil bagi kehidupan yang layak. Termasuk didalamnya anak yatim, orang cacat, lansia, orang sakit (penderita AIDS salah satunya) dan lainnya yang sejenis. Bantuan tidak sekedar bermakna memberi untuk mencukupi pihak yang menerima, tetapi juga perhatian dan kepercayaan dari pihak lain. Disinilah jelas kiranya, penderita AIDS selayaknya untuk diperhatikan dan dipercayai sebagai manusia adanya. Pemenuhan bantuan tidak cuma soal jaminan sosial, tapi mutlak perlu pemenuhan kebutuhan psikologisnya.

Keadilan interaksional adalah jenis keadilan yang lain. Aspeknya yang penting adalah penghargaan dan kepercayaan. Sikap dan perilaku memaki, mencela, diskriminatif, menyepelekan, mengabaikan, menghina, mengancam dan membohongi adalah hal-hal yang berlawanan dengan penghargaan. Salah satu bagian kepercayaan adalah kepedulian. Hal itu bisa ditunjukkan dengan perhatian dan empati pada penderita AIDS. Akhirnya, sudahkah kita berlaku adil?

Kita bisa memulainya dengan bersikap adil pada diri kita sendiri dengan meyakini bahwa setiap orang berhak berbahagia. Dari sana akan tumbuh penerimaan dan penghargaan terhadap setiap orang, yang akhirnya bisa membahagiakan siapapun termasuk penderita AIDS. Dan untuk sampai ke sana, informasi yang utuh dan lengkap tentang AIDS menjadi mutlak, agar tidak mudah berprasangka. Sebab prasangka tumbuh dari kurangnya informasi yang akhirnya menimbulkan stigma. Selanjutnya tentu agar kita tidak diskriminatif dan menerima mereka dengan tulus.

Jika kita adalah orang yang perduli dengan sesama, kepedulian kita pada penderita AIDS adalah salah satu yang terluhur sebab mereka adalah orang-orang yang teraniaya. Langkah terbaik yang pertama-tama sebagai wujud kepedulian kita adalah mencari informasi mengenai AIDS secara utuh dan benar. Kemudian ketika ada penderita disekitar kita, berlaku tidak diskriminatif atau berkeadilan menjadi wajib dilakukan. Tidak saja demi penderita itu sendiri, tapi juga demi diri kita sendiri dalam mencapai sifat adil sebagai jalan mencapai manusia sejati. Adalah muskil keadilan bisa tercapai seperti yang diidamkan setiap orang bila masih ada diskriminasi: terhadap apapun terhadap siapapun

17.1.19

Jalan

JALAN RUSAK




Sudah 2 tahun bolak-balik melintasi jalanan rusak trans-sulawesi sepanjang daerah Morosi, yang masih masuk wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara (yang belum lama ini gubernurnya tersandung kasus korupsi dan sebelumnya tersangkut kasus plagiarisme di UNJ). Sejak kali pertama hingga hari ini, jalanannya nyaris tak terasa berubah: tetap rusak parah.

Jalan, sepanjang sejarahnya adalah penanda peradaban. Sedini abad ke 4 sebelum masehi, Kekaisaran Romawi sengaja membuat jalan-jalan raya nan lebar ke seantero Eropa untuk mempermudah gerak pasukannya, demi menjaga kekaisarannya yang maha luas itu. Meski sejatinya untuk menegakkan kekuasaan, agar rakyat di seantero kekaisaran tahu bahwa Kekaisaran Romawi benar-benar efektif kuasanya, mereka juga mahfum bahwa jalan akan membawa kemakmuran pada Roma. Jalan akan membuat denyut ekonomi semakin kencang, itu artinya kelimpahan harta akan memasuki Roma. Dan itulah yang terjadi. Sejak jalanan bagus dibuat, Roma mencapai puncak kemakmuran ekonomi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Jalur sutra adalah kisah yang lain. Dirintis oleh para pedagang gagah berani, jalur sutra menjadi legenda karena selama ribuan tahun berhasil menghubungkan Cina dengan Timur Tengah, dan yang akhirnya dengan Eropa. Berkat jalanan itu, pertukaran pengetahuan dan kebudayaan antara timur dan barat menjadi mungkin. Dan sejak pertukaran terjadi, maka dunia tak pernah sama lagi. Orang menjadi tahu bahwa saling pengaruh antar kebudayaan adalah nyata adanya dengan atau tanpa disadari, dan dengan demikian cikal bakal globalisasi pun dimulai.

Pun jalur sutra tak semata-mata melulu soal ekonomi. Jalur itu juga penanda legitimasi kekuasaan. Dalam sejarahnya, denyut perdagangan di sana mengalami pasang surut seiring pasang surutnya kekuasaan. Para pemegang kekuasaan di China dan di Timur Tengah paham benar, bahwa apabila jalanan berhasil mereka amankan, maka kekuasaan mereka akan mendapatkan pengakuan, perdagangan akan marak, dan kemakmuran akan datang. Sebaliknya, jika jalanan tak berhasil mereka amankan, dan dengan demikian maka rompak bersimaharajalela, legitimasi kekuasaan mereka akan hancur, perdagangan surut, dan kemakmuran menjauh. Tak kurang dari Genghis Khan, yang citranya begitu kelam sebagai penakluk dunia, pun sangat serius menjaga jalur dagang itu. Ditempatkannya pasukan-pasukan penjaga di sepanjang jalur. Pos-pos keamanan didirikan setiap 20 km (konon, penyampai berita atau tukang pos di sepanjang jalur itu bisa menempuh 200 km dalam sehari berkuda melalui pesan berantai). Dia tahu, amannya jalan itu berarti meningkatkan legitimasi kekuasaan dan sekaligus kemakmuran kekaisaran yang baru dibangunnya. Demikianlah, formulasi mereka untuk menjaga legitimasi kekuasaan dan menghela kemakmuran sangat sederhana: “Amankan jalannya!”

Pulau Jawa memiliki jalan besar pertamanya di abad ke 19, ketika Daendels membentangkan jalan dari Anyer hingga Panarukan sejauh 1400 km. Tujuannya tak lain untuk memudahkan pergerakan pasukan dalam mempertahankan pulau Jawa. Tapi siapa menyangkal kalau jalan itu juga menghela ekonomi Jawa? Pada era itu, terjadi involusi pertanian di Jawa. Lahan tak bertambah luas, sementara penduduk terus meningkat. Adanya jalanan besar itu menghela sektor perdagangan sebagai salah satu sektor ekonomi orang jawa yang utama. Kemandegan pertanian pun menjadi tak terlalu terasa.

Formulasi “Amankan Jalannya!” sebagai penjaga legitimasi kekuasaan dan penghela kemakmuran tetap tak berubah hingga hari ini di manapun tempatnya di dunia ini. Ketika Negara aman, maka jalanan yang baik menjadi penanda hadirnya kekuasaan yang berhasil. Jalanan semacam itu akan memberikan warga Negara itu suatu harapan akan kemajuan. Dan mereka akan cukup cerdas untuk menemukan cara meningkatkan kemakmurannya sendiri. Adanya jalan yang baik akan meningkatkan kreativitas berusaha, membuka peluang usaha yang lebih menguntungkan, mengamankan pasokan, meratakan distribusi, dan sebagainya, dan sebagainya. Faktanya, tak ada prospek tempat yang lebih menjanjikan ketimbang di tepian jalan-jalan mulus. Laju ekonomi pun bisa dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya. Sebaliknya, jalanan yang buruk, lain dan tidak hanya akan menyebabkan kemandegan ekonomi, jika bukan kemunduran.

Bagi saya, hakikat sebuah pemerintahan adalah menyediakan ‘jalan’ bagi rakyatnya (jalanan yang sesungguhnya maupun jalan kemajuan melalui pendidikan). Persoalan lain tak terlalu penting. Sepanjang jalan bisa disediakan sebagus-bagusnya, pada dasarnya masyarakat tak akan banyak protes dengan selebihnya. Sebab, hanya dengan jalan yang bagus sajalah masyarakat bisa berharap adanya perbaikan bagi hidupnya. Mereka juga tahu, pada dasarnya percuma mengharapkan sesuatu dari pemerintah, yang toh telah terbukti tak banyak memberikan. Mereka paham, bahwa mereka hanya memerlukan jalan, selebihnya bisa mereka urus sendiri. Tapi rupanya, di negeri ini, para pemimpin lebih suka berganti mobil lebih bagus ketimbang berganti jalan menjadi lebih mulus.

Jalanan adalah cermin pemimpinnya (baca: pemerintahan). Di mana-mana orang akan mengukur keberhasilan pemimpinnya dari jalanan di daerahnya. Semakin baik jalannya, maka semakin dipujalah pemimpinnya. Semakin buruk jalan-nya, maka sebaiknya para pemimpinnya tak usah berharap akan dikenang baik oleh warganya. Namun tampaknya, banyak pemimpin tak paham-paham juga. Mereka lebih suka dirinya dicerminkan melalui mobil yang bagus dan bangunan yang megah. Takaran keberhasilan adalah seberapa bagus mobil dinasnya, seberapa megah bangunan kantornya, dan seberapa wah acara-acara seremoni yang diselenggarakan. Berkali-kali saya menyaksikan ironi: mobil bagus milik pemimpin di sebuah daerah yang harus berjibaku di jalanan hancur di daerahnya sendiri. Tidakkah mereka menangis ketika melewatinya?

Konon, beberapa pemimpin di provinsi itu berujar tentang jalanan rusak di provinsinya, sebagai bukan tanggungjawab mereka. Jalan itu adalah “itu jalan negara”, yang artinya bukan kewenangan provinsi buat menyelesaikannya. Buat saya, itu hal teraneh yang pernah saya dengar dari seorang pemimpin.

Saya bayangkan jalanan 'Morosi' sebagai sebuah kapal yang bocor di sana-sini, dan bocornya terus menerus bertambah dari hari ke hari. Tapi sang kapten merasa dirinya beruntung tak memikul tanggungjawab menyelamatkan kapal, sebab, bocornya kapal ada di bagian yang bukan wewenangnya. Si kapten bersorak sorai, “bukan salahku, lho!”, meski kapal pelan-pelan mulai karam.

Saya bayangkan, jika sang kapten segera menambal kebocoran kapal itu sehingga menjaga kapal selalu mulus dan aman, maka dia akan disambut soraksorai sebagai pahlawan. Mereka yang ada di pinggir-pinggir jalan itu pun akan membelanya hingga titik darah penghabisan, dan berteriak lantang, “Dia pemimpin kami.”

Tapi jangan-jangan, persoalannya lain. Saya jadi ingat sebuah kisah nyata yang dituturkan dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohamad dalam majalah Tempo (edisi 12 Oktober 2009). Diceritakan bagaimana seorang gubernur mengirim sebuah surat dinas ke direktur kebun binatang di Ragunan. Berhari-hari ia tak menerima jawaban dari bawahannya itu. Kemudian baru ia ketahui, surat yang ditandatanganinya itu perlu waktu tiga bulan untuk keluar dari kantor gubernuran. Berminggu-minggu kertas itu diteruskan dari biro satu ke biro lain di dalam kantor yang sama, sebelum akhirnya dikirim ke alamat yang dimaksud. Gubernur itu, lantas bertanya seakan-akan pada dirinya sendiri: ”Kantor macam apa ini?”

Jangan-jangan, pemimpin kita ini menghadapi tembok birokrasi yang sedemikian tebalnya seperti yang dihadapi gubernur itu. Dan dia menyerah. Hmm.... tapi dalam kasus ini, gubernurnya tersandung kasus korupsi. Jadi?