PRASANGKA ETNIK
Achmanto Mendatu
(Tulisan tahun 2004)
Tulisan ini membahas prasangka etnik dari perspektif psikologi. Apa sebab-sebab munculnya, apa akibatnya, dan bagaimana menguranginya, menjadi tema utama. Dan karena berbicara mengenai etnik, buku inipun membahas mengenai etnisitas. Lalu, karena prasangka etnik muncul dalam masyarakat multietnik maka tulisan inipun membahas mengenai pluralitas etnik dan berbagai konsekuensinya.
Pengantar
Bab I. Etnik dan Etnisitas
A. Mendefinisikan Etnik
Istilah Etnik dan Etnis
Pengertian Etnik
Mengkritisi Etnisitas
B. Identitas Etnik
Identitas Etnik: Pengertian
Perkembangan Identitas Etnik
C. Etnosentrisme
Bab II. Pluralitas Etnik
A. Pluralisme: Keberagaman Kehidupan
B. Keberagaman dalam Masyarakat Plural
C. Pluralitas Etnik di Indonesia
D. Hubungan Antar Etnik
E. Konsekuensi Pluralitas Etnik
Bab III. Memahami Prasangka
A. Definisi Prasangka
Stereotip
Jarak Sosial
Diskriminasi
B. Sebab-sebab Prasangka
1. Faktor Sosial Penyebab Prasangka
Teori Kategorisasi Sosial
Teori Identitas Sosial
Teori Perbandingan Sosial
Teori Deprivasi Relatif
Teori Konflik-realistis
Teori Frustrasi-agresi
Teori Belajar Sosial
2. Faktor Individual Pemicu Prasangka
Kepribadian Otoritarian dan Dogmatik
Teori Biologis
Teori Psikodinamika
Bab IV. Prasangka Etnik
A. Minoritas dan Prasangka
Prasangka Etnik Minoritas
Kebijakan Terhadap Etnik Minoritas
B. Manifestasi prasangka etnik
Prasangka dan Stereotip
C. Konflik Antar Etnik: Peranan Prasangka
Apakah Konflik?
Sumber Konflik Antar Etnik
Bab V. Mengurangi Prasangka Etnik
A. Upaya Mengurangi Prasangka
Melalui Hubungan Antar Kelompok
Melalui Sosialisasi
Melalui Rekayasa Sosial
Melalui Penyadaran Diri
B. Menumbuhkan Pemahaman Lintas Budaya
3. Melalui Rekayasa Sosial
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, Ubed. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesia Tera.
A. Mendefinisikan Etnik
Istilah Etnik dan Etnis
Pengertian Etnik
Mengkritisi Etnisitas
B. Identitas Etnik
Identitas Etnik: Pengertian
Perkembangan Identitas Etnik
C. Etnosentrisme
Bab II. Pluralitas Etnik
A. Pluralisme: Keberagaman Kehidupan
B. Keberagaman dalam Masyarakat Plural
C. Pluralitas Etnik di Indonesia
D. Hubungan Antar Etnik
E. Konsekuensi Pluralitas Etnik
Bab III. Memahami Prasangka
A. Definisi Prasangka
Stereotip
Jarak Sosial
Diskriminasi
B. Sebab-sebab Prasangka
1. Faktor Sosial Penyebab Prasangka
Teori Kategorisasi Sosial
Teori Identitas Sosial
Teori Perbandingan Sosial
Teori Deprivasi Relatif
Teori Konflik-realistis
Teori Frustrasi-agresi
Teori Belajar Sosial
2. Faktor Individual Pemicu Prasangka
Kepribadian Otoritarian dan Dogmatik
Teori Biologis
Teori Psikodinamika
Bab IV. Prasangka Etnik
A. Minoritas dan Prasangka
Prasangka Etnik Minoritas
Kebijakan Terhadap Etnik Minoritas
B. Manifestasi prasangka etnik
Prasangka dan Stereotip
C. Konflik Antar Etnik: Peranan Prasangka
Apakah Konflik?
Sumber Konflik Antar Etnik
Bab V. Mengurangi Prasangka Etnik
A. Upaya Mengurangi Prasangka
Melalui Hubungan Antar Kelompok
Melalui Sosialisasi
Melalui Rekayasa Sosial
Melalui Penyadaran Diri
B. Menumbuhkan Pemahaman Lintas Budaya
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Memiliki lebih dari 500 etnik, Indonesia merupakan salah satu bangsa paling plural di dunia. Hebatnya lagi, masing-masing etnik benar-benar memiliki akar tradisi dan keterikatan yang kuat dengan tanah Indonesia. Kecuali etnik Cina, Arab, dan India, etnik-etnik lain memiliki tanah leluhur di Indonesia juga, dengan kata lain ‘asli Indonesia’. Berbeda misalnya dengan pluralisme Amerika yang dibangun oleh etnik-etnik pendatang, dimana etnik asli hanyalah etnik Indian dengan berbagai variannya. Demikian juga dengan Singapura yang dibangun oleh etnik-etnik pendatang.
Akibat dari kuatnya akar tradisi pada etnik-etnik di Indonesia, tidak mengherankan bila suatu budaya Indonesia yang tunggal tidak pernah terwujud. Masing-masing etnik tetap memiliki budayanya sendiri yang satu sama lain berbeda, bahkan beberapa di antaranya sangat kontras. Oleh karena itu, pernyataan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan sejarawan kita, bahwa Indonesia bukanlah sebuah bangsa tetapi negara yang terdiri dari bangsa-bangsa sangatlah tepat. Indonesia sebagai negara telah selesai, tetapi Indonesia sebagai bangsa tidak akan pernah selesai. Pernyataan itu mungkin menimbulkan perdebatan, tapi jika melihat fakta dilapangan dimana terjadi kontras-kontras perbedaan yang tajam antar etnik maka apa yang dikatakan Pram mendapatkan pembenaran.
Konsekuensi dari sebuah negara yang terdiri dari banyak etnik adalah terjadinya interaksi antar etnis. Beberapa interaksi berjalan mulus, dan bahkan terjadi asimilasi dan akulturasi budaya antar etnik. Namun demikian, beberapa interaksi bersisi kelam. Sejak ditasbihkannya Indonesia sebagai sebuah negara pada tahun 1945 oleh para pendiri negara, telah terjadi berbagai pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya GAM di Aceh yang terjadi terus menerus, RMS di Maluku, OPM di Papua, dan lainnya. Tidak hanya itu, pertikaian dan bentrok antar etnis telah ribuan kali terjadi, baik dalam skala besar maupun kecil. Jadi agaknya, sisi kelam interaksi memang bagian dari kehidupan kenegaraan Indonesia sendiri. Sejarah Indonesia adalah juga sejarah pertikaian antar etnis.
Pertikaian antar etnis yang terus laten terjadi adalah pertikaian yang melibatkan etnis Cina dengan etnis lainnya yang terjadi sepanjang dekade di berbagai tempat di Indonesia. Namun yang terbesar barangkali pertikaian pada tahun 1998 di berbagai kota besar di Indonesia, dimana etnis Cina dijadikan kambing hitam atas keterpurukan ekonomi masyarakat. Ratusan orang dilaporkan terbunuh, puluhan diperkosa, harta benda bernilai trilyunan lenyap. Sejarah pertikaian antar etnis skala besar yang lain adalah pertikaian antara etnis Madura dan etnis Dayak di Kalimantan yang sampai terjadi dua kali (tragedi Sambas dan Sampit). Ribuan jiwa melayang, harta benda ludes, puluhan ribu orang menjadi pengungsi di negara sendiri. Social cost yang harus dibayarkan luar biasa besar, bahkan mungkin tidak akan sanggup ditalangi oleh pemerintah meskipun diangsur puluhan tahun.
Berbagai pertikaian dalam skala kecil sangatlah banyak, mulai dari perkelahian pemuda antar etnis, tawuran antar kampung berbeda etnis, pengusiran etnis lain dan sebagainya. Semuanya terjadi hampir diseluruh kawasan Indonesia, terutama terjadi dimana terdapat banyak entitas etnis di suatu wilayah. Pada daerah-daerah yang menjadi tempat berlangsungnya program transmigrasi hampir selalu timbul friksi-friksi kecil antara warga asli dan warga pendatang. Pertanyaannya; mengapa konflik antar etnis selalu terjadi di Indonesia?
Ada banyak jawaban yang bisa diberikan untuk menerangkan mengapa konflik antar etnis selalu terjadi. Berbagai disiplin ilmu telah memberikan sumbangan dalam kajian mengenai sumber-sumber konflik dan upaya-upaya penanganan serta pencegahannya. Tulisan ini mencoba memberikan perspektif yang sedikit berbeda dalam melihat konflik. Akan diketengahkan disini bagaimana prasangka berperan dalam menciptakan konflik antar etnik. Sementara ini, berbagai kajian mengenai konflik antar etnis seolah melupakan aspek psikologis, termasuk prasangka, padahal aspek psikologis manusialah yang telah menciptakan berbagai konflik. Berbagai literatur memang selalu menyinggung peranan prasangka dalam konflik antar etnis tapi tidak pernah diterangkan secara tuntas. Tulisan ini akan menerangkannya untuk anda.
Tulisan ini membahas prasangka etnik dari perspektif psikologi. Apa sebab-sebab munculnya, apa akibatnya, dan bagaimana menguranginya, menjadi tema utama. Dan karena berbicara mengenai etnik, buku inipun membahas mengenai etnisitas. Lalu, karena prasangka etnik muncul dalam masyarakat multietnik maka tulisan inipun membahas mengenai pluralitas etnik dan berbagai konsekuensinya.
Bab pertama tulisan ini mengetengahkan mengenai etnisitas: bagaimana pengertian etnik, bagaimana seseorang mengadopsi identitas etnik, dan bagaimana dinamika dari penghayatan akan identitas etnik atau etnosentrisme. Bab kedua membicarakan mengenai pluralitas etnik. Mula-mula dibahas mengenai pluralitas itu sendiri dan prinsip-prinsip yang berlaku didalamnya. Kemudian dibahas pula mengenai konsekuensi dari keberagaman dalam masyarakat plural. Selanjutnya diketengahkan mengenai pluralitas etnik di Indonesia, dan konsekuensi dari pluralitas tersebut. Bab ketiga mengetengahkan pembahasan tentang prasangka. Didalamnya dibicarakan tentang pengertian prasangka dan sebab-sebab muncul dan berkembangnya. Bab keempat membahas mengenai prasangka etnik. Disini diketengahkan tentang prasangka terhadap etnik tertentu di Indonesia. Pembahasan dimulai dari prasangka yang berkembang karena adanya minoritas dan mayoritas etnik, lalu peranan prasangka dalam konflik antar etnik, dan manifestasi prasangka etnik di masyarakat. Bab kelima mengetengahkan tentang upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam mengurangi prasangka etnik.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bab 1. ETNIK & ETNISITAS
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
A. Mendefinisikan Etnik
Istilah Etnik dan Etnis
Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Malahan akhir-akhir ini istilah suku mulai ditinggalkan karena berasosiasi dengan keprimitifan (suku dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai ‘tribe’), sedangkan istilah etnik dirasa lebih netral. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam buku ini keduanya akan digunakan secara bergantian tergantung konteksnya.
Pengertian Etnik
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi yang:
- Dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.
- Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya.
- Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.
- Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Definisi etnik di atas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau Madura sebagai wilayah geografis asal.
Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat ‘jawa’. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni ‘durung jawa’ (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai ‘njawani’ (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa.
Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik. Di Jawa, agama yang dianut tidak menjadi penanda identitas etnik jawa (kejawaan) seseorang. Selain Islam, orang Jawa yang menganut kristen, Hindu, Budha, ataupun Kejawen juga cukup besar. Demikian juga pada etnis Betawi ataupun Sunda. Namun berbeda dengan etnik Minang. Agama dalam masyarakat Minangkabau justru dikukuhkan sebagai identitas kultur mereka sejak animisme ditinggalkan. Islam menjadi tolak ukur ke’minang’an seseorang secara legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi terhadap adat Minangkabau, sebagaimana ditafsirkan dari ‘adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah’, kendatipun secara genealogis ia tetap beretnis Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi etnis lain (Arimi, 2002).
Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya.
Antara satu etnik dengan etnik lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa. Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnik-etnik tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang mirip pula (Goodenough, 1997). Seperti misalnya bahasa jawa memiliki banyak kemiripan dengan bahasa bali, lalu bahasa minang mirip dengan bahasa banjar, dan lainnya.
Mengkritisi Etnisitas
Keanggotaan etnik yang menekankan hubungan ‘darah’ menurut keterangan di atas merupakan bagian dari perspektif teori primordial yang menyatakan bahwa etnisitas merupakan suatu keniscayaan. Keniscayaan tersebut meliputi keterpautan manusia pada kedekatan wilayah teritorial dan hubungan kerabat, bahkan juga keniscayaan bahwa individu selalu dilahirkan dalam sebuah masyarakat yang sudah terbentuk dengan sistem keagamaan, bahasa dan adat istiadatnya (Simatupang, 2003). Menurut perspektif ini, seseorang yang memiliki darah sebagai etnis Minang misalnya, maka ia tidak bisa mengelakkannya. Ia harus menerima fakta bahwa dirinya adalah seorang ‘Minang’. Etnik dalam perspektif primordial merupakan sesuatu yang memang sudah ada dan tinggal di lanjutkan.
Dalam antropologi ada tiga perspektif teori utama yang digunakan untuk membahas mengenai etnisitas, selain teori primordial, dua lainnya adalah teori situasional, dan teori relasional. Teori situasional berseberangan dengan teori primordial. Teori situasional memandang bahwa kelompok etnis adalah entitas yang dibangun atas dasar kesamaan para warganya, bagi mereka yang lebih penting bukan wujud kesamaan itu sendiri melainkan perihal penentuan dan pemeliharaan batas-batas etnis yang diyakini bersifat selektif dan merupakan jawaban atas kondisi sosial historis tertentu (Barth dalam Simatupang, 2003). Teori ini menekankan bahwa kesamaan kultural merupakan faktor yang lebih besar dibanding kesamaan darah dalam penggolongan orang-orang kedalam kelompok etnik.
Menurut perspektif teori situasional, etnik merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotakkotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Untuk seterusnya sisa warisan kolonial itu terus dipakai sampai sekarang. Contoh yang paling jelas adalah pembentukan identitas etnik Dayak. Istilah Dayak diberikan oleh colonial Belanda untuk menyebut seluruh penduduk asli pulau Kalimantan. Padahal sesungguhnya etnik Dayak terdiri dari banyak subetnik (yang sebenarnya sebagai etnik sendiri yang sangat berbeda satu sama lain, seperti Benuaq dan Ngaju). Istilah Dayak sendiri tidak dipergunakan sebagai identitas mereka. Mereka menyebut diri sebagai orang Benuaq jika itu etnis Benuaq (Trisnadi, 1996).
Teori relasional mendasarkan pada pandangan bahwa kelompok etnik merupakan penggabungan dua entitas atau lebih yang memiliki persamaan maupun perbedaan yang telah dibandingkan dalam menentukan pembentukan etnik dan pemeliharaan batas-batasnya. Kesamaan-kesamaan yang ada pada dua atau lebih entitas yang disatukan akan menjadi identitas etnik. Menurut perspektif relasional ini, etnik ada karena adanya hubungan antara entitas yang berbeda-beda; etnik Sasak tidak akan menjadi etnik Sasak bila tidak mengalami hubungan dengan entitas di luar kelompok itu. Etnik tergantung pada pengakuan entitas lain di luar kelompok.
Saat ini sepertinya tidak relevan lagi membicarakan mengenai etnik mengingat batas-batas etnik telah semakin kabur. Batas-batas budaya antar etnik telah semakin tidak jelas. Saat ini segala manusia dari berbagai etnik telah semakin melebur dalam kehidupan sosial yang satu. Apalagi globalisasi yang begitu deras dan nyaris tak tertahankan bertendensi memunculkan keseragaman budaya, baik dalam pola pikir, sikap, tingkah laku, seni, dan sebagainya. Saat ini, menemukan kekhasan perilaku dari etnik tertentu bukan hal yang mudah. Semua etnis pada dasarnya memiliki perilaku yang sama. Misalnya hampir tak dapat dibedakan lagi seorang Minang dengan seorang Jawa, seorang Bugis dengan seorang Batak di Jakarta dalam hal tata pergaulan. Lantas, apa perlunya lagi berbicara mengenai etnik?
Etnik sebagai kategori untuk membedakan ‘perilaku’ orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. ‘Model untuk’ yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan.
Persoalannya kemudian beranjak kepada masalah identitas. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Etnik dijadikan alat politik untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih tinggi dalam meraih sumber daya tertentu. Beberapa manifestasi politik identitas etnik diantaranya, munculnya negara-negara etnik (seperti yang terjadi di bekas negara Soviet), tuntutan kemerdekaan atas suatu wilayah karena diklaim milik etnik tertentu (seperti di Aceh), tuntutan akan pengembalian tanah adat yang dipergunakan untuk perkebunan dan lainnya (terjadi hampir diseluruh Indonesia, terutama di luar jawa), tuntutan pengembalian kekuasaan adat (terlihat dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, tahun 2003 lalu, lihat Kompas, 24 september 2003) dan berkembangnya isu putera daerah dalam era otonomi daerah (terjadi hampir di seluruh daerah).
Jadi, agaknya berbicara mengenai etnisitas tetap tidak kehilangan momentum. Hanya saja, pemahaman mengenai etnisitas perlu ditambahkan. Tidak saja etnik sebagai kategori orang-orang karena budaya dan darah, tetapi lebih penting lagi telah menjadi kategori identitas politis, dimana identitas etnis tetap dipertahankan karena memang bermanfaat. Meminjam istilah Edward Said, guru orientalisme, identitas etnikpun bisa dipilah sebagai identitas murni dan identitas politis. Identitas etnik menjadi identitas politis manakala identitas itu dipergunakan demi tujuan tertentu untuk memperoleh kemanfaatan tertentu.
B. Identitas Etnik
Identitas Etnik: pengertian
Pertanyaan yang selalu muncul ketika bertemu orang-orang baru adalah pertanyaan “orang darimana?” Jawaban yang menunjuk pada wilayah geografis seringkali cukup, namun juga seringkali tidak memuaskan. Dalam masyarakat multietnik seperti Indonesia, jawaban yang diharapkan tidak jauh dari asal etnik. Jadi, pertanyaan “Anda orang darimana?”, sering sama berarti dengan “etnik ada apa?”
Johan, teman saya misalnya, atas pertanyaan “Orang darimana?”, selalu dijawabnya orang dari Irian (Papua sekarang). Sebab di sanalah ia lahir dan tumbuh besar. Kesana pula ia pulang ke rumah orangtuanya. Akan tetapi jawabannya itu jarang sekali memuaskan penanya, sebab secara fisik jelas-jelas kelihatan ia tidak termasuk kategori salah satu etnis di Irian. Ia lebih mirip orang daerah barat Indonesia. Kenyataannya memang demikian, kedua orangtuanya berasal dari Minangkabau. Lalu apakah ia, Johan, mesti menjawab orang Minang, halmana akan lebih dipercayai ketimbang menjawab sebagai orang Irian?! Ia mengaku mengalami dilema. Bagaimanapun ia tidak merasa sebagai orang Minang, ia merasa orang Irian dan sangat Irianis. Tapi disisi lain, ia butuh identitas etnis, minimalnya untuk menjawab pertanyaaan “orang darimana?” Pertanyaan yang akan selalu mampir dimanapun ia berada.
Ada banyak kisah semacam, yang intinya menuntut seseorang untuk memiliki identitas etnik. Seorang dosen Psikologi UGM pernah bercerita tentang tugasnya sebagai penguji tesis Mahasiswa Magister Administrasi Publik. Mahasiswa yang diujinya adalah pegawai Pemda Sumatera Barat yang disekolahkan lagi atas biaya Pemda. Logatnya, Curiculum Vitae-nya, fisiknya, sama sekali tidak meragukan kalau dia orang Minang, kecuali satu, namanya Tarno. Sang dosen tadi menduga-duga bahwa Tarno mesti bukan orang Minang. Lalu ditanyalah ia, “Benar kamu orang Minang?”
“Benar, pak!” jawabnya.
“Benar..?!” desak sang dosen
“Benar, Pak!”
“Benar..?!” desak sang dosen sekali lagi.
Senyum-senyum si Tarno menjawab “Bukan Pak! orang Jawa!”
Demikianlah, identitas etnik penting di Indonesia. Umumnya orang Indonesia melakukan pengolahan informasi sosial orang lain berdasarkan skema kognitif berbasis asal etnik. Hal ini merupakan kewajaran karena Indonesia memang dikontruksi atas sub-sub yang berupa kelompok etnik. Maka kelompok etniklah yang menjadi salah satu referensi utama dalam menilai orang, bukannya menurut wilayah secara geografis atau agama. Di beberapa negara, misalnya di Irlandia, agama menjadi dasar kategorisasi utama. Sementara itu di beberapa negara yang lain, misalnya di Amerika Serikat, Jerman, Dan Perancis, ras yang menjadi kategorisasi utama.
Keterangan asal geografis tidak akan dipertanyakan lebih lanjut hanya jika seseorang mirip baik secara fisik ataupun perilakunya, dan bahasanya dengan anggota kelompok etnis pemilik ‘asli’ wilayah geografis itu. Misalnya orang Minang yang ada di Jawa, mungkin tidak akan dipertanyakan lebih lanjut jika menjawab sebagai orang Jawa karena orang Minang dan orang Jawa secara fisik cukup mirip. Akan tetapi akan lain ceritanya kalau orang Bugis mengaku sebagai orang Irian. Pertanyaan berikutnya pasti akan menyusul untuk meminta kejelasan asal etnik.
Masyarakat kita memang belum beranjak dari masyarakat yang ditandai dengan ‘darah’, seperti kasta, keturunan dan etnis. Saat ini identitas etnis masih merupakan identitas yang penting. Memang telah mulai terjadi pergeseran dimana masyarakat seksualitas mulai terbentuk, yakni suatu masyarakat yang ditandai dengan norma, pengetahuan, kehidupan, makna, disiplin, dan peraturan (Haryatmoko, 2002). Dalam masyarakat seksualitas, hubungan-hubungan darah menjadi tidak begitu penting lagi sehingga akan sampai pada suatu tahap dimana identitas etnis mungkin tidak berguna lagi dan akan ditinggalkan. Akan tetapi mungkin saja identitas etnik malahan semakin penting kedepan. Munculnya semangat etnis belakangan ini mengarah pada gejala itu. Artinya, dalam keadaan itu masyarakat seksualitas tidak menjadi kenyataan.
Perbedaan etnik mungkin juga merupakan determinan perilaku yang lebih penting dibandingkan perbedaan filsafat hidup yang diyakini dan sistem ekonomi yang dijalankan. Orang-orang yang jarang mau berperang demi ideologi atau perbedaan aliran politik, seringkali mau berperang demi bangsa dan etnik (Whelan, 1994). Fenomena ini telah berlangsung lama dan tetap akan menggema sepanjang zaman. Contoh yang bagus adalah fenomena pertikaian antar etnik di Kalimantan beberapa waktu lalu. Mereka mungkin enggan saling bertikai jika yang berbeda adalah falsafah hidup semata. Akan tetapi ketika isu yang dikembangkan adalah penyerangan terhadap etnisitas, maka muncullah semangat perlawanan terhadap etnis lain yang diklaim telah melakukan penyerangan. Kemudian runtuhnya Uni Sovyet pada era 90-an membuat terbentuknya banyak negara-negara baru yang hampir semuanya merupakan bangsa etnik. Hal ini menepiskan anggapan banyak orang bahwa selepas perang dunia II, etnis-etnis yang ada akan kehilangan identitasnya dan akan menghilang.
Menurut Phinney dan Alipora (1990) identitas etnik adalah sebuah konstruksi yang kompleks yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat didalam dan berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang berhubungan dengan etnisitas. Jadi, identitas etnik akan membuat seseorang memiliki harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya.
Weinreich (1985) menyebutkan bahwa identitas sosial, termasuk identitas etnik merupakan penggabungan ide-ide, perilaku, sikap, dan simbol-simbol bahasa yang ditransfer dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Jadi, identitas etnik seseorang tidak berhenti ketika orang ditasbihkan sebagai anggota etnik tertentu melalui bukti ‘darah’. Akan tetapi identitas itu terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat lingkungannya. Seorang yang terlahir sebagai etnis bugis misalnya, tidak akan merasa memiliki identitas etnis bugis apabila tidak ada sosialisasi identitas terhadapnya.
Salah satu yang mendorong terbentuknya identitas etnik adalah kesamaan-kesamaan sesama anggota etnik yang terbentuk melalui kesamaan proses belajar, kesamaan pengalaman, dan kesamaan latar belakang, halmana membuat mereka memiliki kesamaan adat dan perilaku. Kesamaan-kesamaan itu menumbuhkan perasaan seidentitas (Freedman, Peplau & Sears, 1999). Mereka merasa bahwa mereka adalah kelompok yang berbeda dengan kelompok lain karena dalam satu kelompok memiliki kesamaan-kesamaan yang besar, baik dalam hal bahasa, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Perasaan seidentitas inilah yang mula-mula memunculkan identitas etnis.
Kesamaan dalam kelompok belum cukup untuk menebalkan identitas etnik. Dalam proses untuk mengalami perasaan seidentitas, mereka juga memerlukan kehadiran entitas atau etnik lain sebagai komparasi dan penegas identitas tersebut. Identitas etnik merupakan hasil dari interaksi sosial. Kelompok yang tidak berinteraksi dengan kelompok lain mungkin tidak akan menyadari bahwa mereka memiliki kesamaan-kesamaan yang besar. Hanya dengan interaksi dengan kelompok lain identitas etnik mereka terbangun, dan semakin intens interaksi itu, semakin berkembang pula identitas etnisnya.
Menurut Keefe (1992) identitas etnis terdiri dari dua elemen, yaitu: 1) Identifikasi etnik sendiri vs kelompok etnik lain melalui proses kognitif, 2) Derajat keterikatan pada kelompok dan kebudayaannya yang merupakan elemen afektif. Tatkala seseorang merasa memiliki identitas etnis, maka ia mengidentifikasi siapa yang menjadi anggota kelompok etnik sendiri dan siapa yang menjadi anggota kelompok etnik lain. Ia pun mengidentifikasi perbedaan-perbedaan yang ada antara kelompok etnik sendiri dan kelompok lain. Ia juga memiliki keterikatan emosional tertentu terhadap etniknya.
Elemen diatas menggambarkan bahwa identitas etnik merupakan fenomena objektif dan subjektif (Hocoy, 1996). Fenomena objektif manakala seseorang menegaskan identitas etniknya melalui kriteria-kriteria tertentu yang pasti. Misalnya seorang anak yang memiliki orangtua dengan etnik tertentu maka ia merasa sebagai bagian dari etnik orangtuanya. Identitas etnis merupakan fenomena subjektif karena terkandung derajat perasaan kepemilikan (sense of belonging) akan kelompok etnisnya. Seseorang bisa sangat memuja etniknya, sementara yang lain bisa jadi tidak memiliki keterikatan yang dalam dengan etniknya. Bisa jadi seseorang yang menurut kriteria umum diakui sebagai anggota kelompok etnik tertentu (karena keturunan misalnya), namun menolak untuk memakai etnik itu sebagai identitasnya. Ada banyak kasus dimana seseorang yang digolongkan kedalam satu etnik tertentu berdasarkan kriteria darah menolak identitas etnik yang dilekatkan padanya. Alasannya bisa beragam. Namun ada kecenderungan penolakan identitas itu berkaitan dengan tidak menguntungkannya identitas asli yang dimiliki baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam berbagai kerusuhan antar etnis, banyak orang tidak mau mengakui identitas etniknya demi alasan keamanan. Dalam kasus berdarah antara warga etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, banyak warga etnis Madura tidak mengaku diri sebagai etnis Madura karena akan jadi sasaran kemarahan etnis Dayak, demikian pula sebaliknya. Namun saat bersamaan juga terjadi identitas etnis mereka yang bertikai ditonjolkan begitu kuatnya ketika terjadi kerusuhan antar etnis sebagai bentuk solidaritas etnis.
Ada fakta yang menarik pada saat terjadinya konflik antar etnis di Kalimantan yang melibatkan etnis Dayak dan etnik Madura. Ternyata konflik antar dua etnis itu juga berakibat memperkuat identitas etnis lain di daerah tersebut. Banyak bangunan-bangunan, baik toko, rumah, dan semacamnya diberi label milik orang Bugis, milik orang Jawa, milik orang Minang dan sebagainya untuk menghindari sasaran penghancuran. Demikian pula mereka dengan terang-terangan mengumumkan identitas etnis mereka agar tidak menjadi korban. Jadi, di tengah pertikaian antar etnis penonjolan identitas etnis bagi etnis yang tidak bertikai menjadi sangat penting demi keamanan. Terjadi dimana identitas asal etnik yang mungkin telah digantikan dengan identitas geografis sebagai orang Kalimantan dimunculkan kembali dan diperkuat.
Dalam keadaan damai, penolakan identitas etnis memiliki alasan yang kurang lebih sama. Banyak warga etnis pendatang di suatu wilayah tertentu menanggalkan identitas etnisnya lalu melebur diri dan memakai identitas etnis baru. Hal ini dilakukan agar di terima dalam masyarakat baru, sebab faktor etnis mempengaruhi penerimaan masyarakat. Kesamaan etnik antara subyek dan obyek penerimaan diasumsikan akan menyebabkan penerimaan lebih tinggi (Conger, 1973). Akan tetapi hal ini bukan hal mudah karena biasanya pendatang tetap dianggap sebagai etnis yang berbeda oleh warga etnis asli meskipun melakukan hal-hal yang sama dengan warga etnis asli di suatu wilayah.
Secara umum identifikasi terhadap kelompok etnik mempunyai dua pandangan pengertian; 1) sebagai unit objektif yang dapat diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang, 2) sebagai hasil pemikiran subjektif orang perorang yang kemudian menyatakan diri sebagai kelompok etnis (Manger, 1994) Perbedaan yang tampak antara dua kelompok etnis, baik dalam hal tradisi, adat, bahasa, dan lainnya menjadi kriteria objektif bagi identifikasi kelompok. Akan tetapi perbedaan itu tidak akan menjadi sebuah identitas kelompok etnis bila masing-masing anggota kelompok tidak mengakui bahwa mereka berbeda dengan yang lain, dan menegaskan diri mereka sebagai satu kelompok tersendiri.
Sampai disini masih tersisa pertanyaan, bisakah seorang yang secara ‘darah’ ditasbihkan sebagai etnis tertentu kemudian diakui sebagai etnis lain pula? Tampaknya hal itu dimungkinkan. Mengadopsi dua indentitas etnis secara bersamaan adalah sah. Menurut Stephan dan Stephan (1989) nilai budaya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari oleh siapapun. Maka sesungguhnya, kendatipun memberikan ciri khas etnik (baca: identitas etnik) ia cukup terbuka bagi siapapun untuk menginternalisasinya dan memberikan seseorang identitas etnik. Pendapat ini didasarkan pada fenomena pernikahan antar etnik dimana kemudian salah satu pihak melebur dan memakai identitas etnik pasangannya. Demikian juga anak-anak dari perkawinan antar etnis umumnya tetap dinilai sah bila memakai identitas etnis kedua orangtuanya secara bersamaan.
Perkembangan Identitas Etnik
Bagaimana seseorang menghayati identitas etniknya? Bagaimana seseorang menyadari dan mengakui bahwa ia memiliki identitas etnik tertentu? Pertanyaan ini terkait dengan proses seseorang mengadopsi identitas etnik yang dimulai sejak kanak-kanak, remaja, bahkan hingga dewasa.
Identitas etnis dan adanya sikap positif terhadap etnik sendiri dimunculkan melalui sosialisasi etnis atau ras. Sosialisasi ras atau etnis itu berlangsung sejak kecil sampai dewasa. Terdapat bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Mulai dari mengenal kategori etnik itulah proses sosialisasi etnis dimulai. Sosialisasi etnis adalah proses dimana orangtua mengajarkan kepada anak-anaknya mengenai identitas etnik mereka dan tentang hal-hal khusus yang mungkin berguna untuk hidup dalam masyarakat yang lebih luas, dengan memberikan latar belakang etnik mereka.
Sosialisasi etnis pada etnik minoritas berbeda dengan sosialisasi etnis pada etnik mayoritas karena pada kelompok minoritas masalah etnisitas dipersepsi jauh lebih penting. Menurut Steinberg (2002) sosialisasi etnis dalam keluarga minoritas memfokuskan pada tiga tema:
- Mengerti budaya miliknya sendiri. Artinya mengajarkan bagaimana mengenal adat dan tradisi etnisnya dan bertingkah laku sesuai dengan nilai budaya etnisnya.
- Mendapatkan tempat dalam masyarakat luas. Artinya mengajarkan bagaimana strategi agar diterima oleh masyarakat secara luas, meskipun mereka merupakan etnik minoritas.
- Bagaimana menghadapi rasisme. Artinya mengajarkan bagaimana cara mereka menghadapi diskriminasi, prasangka, pelecehan, dan berbagai hal terkait dengan etnisitas mereka.
Pencapaian identitas etnik merupakan masalah mendasar yang berkaitan dengan kebanggaan etnisitas seseorang dengan kelompok etniknya. Remaja yang sedang mengalami proses pencarian identitas untuk membentuk konsep diri sangat berkepentingan dalam penelusuran identitas etnik. Membangun identitas etnik lebih penting bagi remaja kelompok etnik minoritas daripada kelompok mayoritas. Bagi etnik minoritas kebanggaan terhadap kelompok etniknya akan membantu dalam membangun konsep diri yang positif yang memudahkan mereka dalam bergaul dengan kelompok mayoritas. Akan tetapi tidak semua remaja bisa menemukan identitas etnik yang positif. Bisa jadi seorang remaja malu akan identitas etnisnya dan enggan mengakuinya. Menurut Phinney dalam Steinberg (2002) ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnik minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:
- Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya)
- Marginality (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima)
- Separation (memisahkan diri dari budaya mayoritas dan tetap memakai budaya sendiri)
- Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan)
Marcia mengkategorisasikan identitas status etnik dalam empat kategori yang berbeda. Bila telah mengeksplorasi etniknya dan akhirnya ada komitmen terhadap etnik maka individu akan mencapai identitas status achievement. Bila ada eksplorasi terhadap etniknya tetapi tidak memiliki komitmen terhadap etnik maka individu mencapai identitas status moratorium. Bila tidak ada eksplorasi atau pengetahuan mengenai etniknya tetapi memiliki komitmen terhadap etnik maka disebut memiliki identitas status foreclosure. Dan terakhir bila tidak mengeksplorasi terhadap etniknya dan juga tidak meiliki komitmen terhadap etnik maka individu disebut memiliki identitas diffusion.
Menurut Steinberg (2002) individu dengan kecenderungan kepribadian tertentu akan memiliki kecenderungan memiliki identitas etnik dalam kategori tertentu juga. Orang-orang yang memiliki identitas etnik achieved(achievers) paling sehat secara psikologis daripada individu dalam kategori lain. Individu dalam kategori ini memiliki motivasi berprestasi tinggi, penalaran moral yang sehat, memiliki keakraban dengan teman-teman pergaulan, dan sanggup melakukan refleksi diri atas apa yang telah diperbuat. Orang yang memiliki identitas etnik moratorium memiliki kecemasan tinggi dan memiliki kecenderungan untuk melawan atau mencipta konflik dengan pemegang otoritas, memiliki sikap yang luwes dan paling tidak otoritarian. Individu yang memiliki identitas etnik diffusion biasanya bermasalah secara psikologis dan interpersonal, menarik diri dari pergaulan sosial, dan memiliki level rendah dalam instuisi dengan kelompok pertemanannya (kurang peka). Sedangkan individu yang memiliki identitas etnik foreclosure umumnya berkepribadian otoritarian, sangat berprasangka, memiliki kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial dan memiliki level rendah akan otonomi atau sangat tergantung.
Status identitas etnik atau derajat identifikasi etnik yang dimiliki seseorang tergantung pada banyak hal. Dua yang terpenting adalah derajat dari homogenitas dan heterogenitas kehidupan lingkungan tempat tinggal. Semakin homogen masyarakat yang ada di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etniknya juga semakin rendah dan semakin heterogen masyarakat di lingkungan tempat tinggal maka identifikasi terhadap kelompok etnik semakin tinggi. Dalam masyarakat yang homogen, dalam hal ini satu etnik, tidak ada kebutuhan untuk menunjukkan identitas kelompok etniknya pada orang lain halmana membuat kurang kuatnya identifikasi terhadap kelompok etnik.
Selama ini kita mengira bahwa melalui pendidikan yang diselenggarakan oleh negara yang muatan pendidikannya lebih bersifat kebangsaan maka keeratan peserta didik terhadap etniknya akan berkurang. Akan tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian. Pendidikan memang meningkatkan kesadaran pentingnya bangsa tetapi tidak mengurangi anggapan bahwa etnik seseorang itu penting (Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, 1990). Sangat mungkin hal itu didorong oleh adanya pengajaran untuk menghargai dan bersikap positif terhadap kelompok sendiri dan kelompok lain. Menurut Phinney, Ferguson & Tate dalam Steinberg (2002) sikap positif terhadapingroup (kelompok etnik sendiri) berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (kelompok etnik lain). Adanya anggapan etnisitas tetap penting juga didorong faktor praktis; bahwa seseorang membutuhkan identitas yang lebih spesifik ketimbang identitas bangsa, paling tidak dalam pergaulan dengan anak bangsa yang lain.
C. Etnosentrisme
Sebagai konsekuensi dari identitas etnis muncullah etnosentrisme. Menurut Matsumoto (1996) etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Berdasarkan definisi ini etnosentrisme tidak selalu negatif sebagimana umumnya dipahami. Etnosentrisme dalam hal tertentu juga merupakan sesuatu yang positif. Tidak seperti anggapan umum yang mengatakan bahwa etnosentrisme merupakan sesuatu yang semata-mata buruk, etnosentrisme juga merupakan sesuatu yang fungsional karena mendorong kelompok dalam perjuangan mencari kekuasaan dan kekayaan. Pada saat konflik, etnosentrisme benar-benar bermanfaat. Dengan adanya etnosentrisme, kelompok yang terlibat konflik dengan kelompok lain akan saling dukung satu sama lain. Salah satu contoh dari fenomena ini adalah ketika terjadi pengusiran terhadap etnis Madura di Kalimantan, banyak etnis Madura di lain tempat mengecam pengusiran itu dan membantu para pengungsi.
Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Indikator terbaik menentukan tipe etnosentrisme seseorang dapat ditemukan pada respon orang tersebut dalam menginterpretasi perilaku orang lain. Misalnya Pita, seorang etnis Minang makan sambil jalan di gang rumah kita di Jogja, jika kita semata-mata memandang dari perspektif sendiri dan mengatakan “dia memang buruk”, “dia tidak sopan”, atau “itulah mengapa dia tidak disukai” berarti kita memiliki etnosentrisme yang kaku. Tapi jika mengatakan “itulah cara yang dia pelajari untuk melakukannya,” berarti mungkin kita memiliki etnosentrisme yang fleksibel.
Lawan dari etnosentrisme adalah etnorelativisme, yaitu kepercayaan bahwa semua kelompok, semua budaya dan subkultur pada hakekatnya sama (Daft, 1999). Dalam etnorelativisme setiap etnik dinilai memiliki kedudukan yang sama penting dan sama berharganya. Dalam bahasa filsafat, orang yang mampu mencapai pengertian demikian adalah orang yang telah mencapai tahapan sebagai manusia sejati; manusia humanis.
Sikap etnosentrik dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya tipe kepribadian, derajat identifikasi etnik, dan ketergantungan. Semakin tinggi derajat identifikasi etnik umumnya semakin tinggi pula derajat etnosentrisme yang dimiliki, meski tidak selalu demikian. Helmi (1991) misalnya menemukan bahwa generasi muda etnik Cina memiliki sikap etnosentrik lebih rendah daripada yang tua. Temuan ini membuktikan bahwa semakin terikat seseorang terhadap etniknya maka semakin tinggi pula etnosentrisme yang dimiliki, sebab generasi tua etnik Cina umumnya memang masih cukup kuat terikat dengan negeri leluhurnya dibandingkan generasi mudanya yang telah melebur dengan masyarakat mayoritas lainnya.
Ketergantungan merupakan faktor penting yang menentukan etnosentrisme. Wanita yang notabene lebih tergantung terhadap keluarga dan kelompok memiliki sikap etnosentrik yang lebih tinggi. Sebuah penelitian mengenai etnosentrisme pada etnis Cina membuktikan bahwa wanita etnis Cina memiliki sikap etnosentrik lebih tinggi daripada laki-laki etnis Cina (Helmi, 1991). Hal ini nampaknya juga berlaku untuk etnik-etnik lainnya, karena praktis saat ini wanita masih lebih tergantung daripada laki-laki. Meskipun tentu saja sejalan dengan berkembangnya kesadaran gender dimana saat ini wanita menjadi semakin tidak tergantung lagi pada laki-laki dan kelompok, wanita akan menjadi tidak lebih etnosentrik daripada laki-laki. Mungkin kita menduga bahwa keterikatan yang kuat dengan budaya etniknya akan menyebabkan rendahnya rasa kebangsaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Panggabean (1996) membantah hal tersebut. Ia menemukan bahwa meningkatnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang positif. Sebaliknya, menurunnya keterikatan seseorang dengan nilai budayanya akan diikuti dengan sikap kebangsaan yang negatif. Jadi tidak berarti seseorang yang sangat terikat dengan budaya etniknya lantas melunturkan keindonesiaannya. Seseorang yang sangat etnosentrik belum tentu kurang Indonesianis ketimbang mereka yang kurang etnosentrik.
Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibel-lah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya.
Mengingat pentingnya memiliki etnosentrisme yang fleksibel dalam masyarakat multikultur seperti Indonesia maka diperlukan upaya-upaya untuk memperkuatnya. Tiga cara yang bisa kita lakukan untuk memperkuat etnosentrisme fleksibel menurut Matsumoto (1996), adalah:
- Mengetahui bagaimana cara kita memahami realitas sebagaimana yang biasa kita lakukan dalam cara tertentu. Misalnya saja kita mengerti bagaimana kita melakukan penilaian tentang ketidaksopanan. Sebab apa yang sopan menurut budaya kita mungkin saja bukan merupakan kesopanan dalam budaya yang lain.
- Mengakui dan menghargai kenyataan bahwa orang-orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki perbedaan cara dalam memahami realitas, dan bahwa versi mereka tentang sebuah realitas adalah sah dan benar bagi mereka sebagaimana versi kita sah dan benar untuk kita. Sebuah joke yang cukup populer untuk menggambarkan adanya perbedaan cara pandang terhadap realitas adalah joke tentang seorang etnis Minang, etnis Madura, dan etnis Jawa. Ketiga orang berbeda etnis itu mengikuti lomba lari maraton. Tebak siapa pemenangnya? Jawabnya adalah orang Jawa. Alasannya disetiap persimpangan, orang jawa memikirkan angkernya tempat itu sehingga bergegas. Sementara itu orang Madura akan berhenti melihat-lihat peluang cocok tidak tempat itu untuk jualan sate. Dan orang Minang akan berhenti di setiap persimpangan jalan untuk melihat apakah tempat itu cocok atau tidak untuk membuka rumah makan.
- Mengetahui mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Apa yang dikemukakan Matsumoto di atas, jelas merupakan upaya-upaya pribadi yang bisa dilakukan agar seseorang bisa memiliki etnosentrisme yang fleksibel. Dalam tataran komunitas atau masyarakat, pendidikan multikultural merupakan jalan yang bisa dilakukan dalam mengembangkan etnosentrisme fleksibel. Pendidikan multikultural berarti pendidikan akan nilai-nilai keberagaman yang mengajarkan bagaimana toleran terhadap perbedaan. Adapun pendidikan itu bisa melalui pendidikan formal ataupun nonformal, seperti melalui keluarga, perkumpulan-perkumpulan, maupun media-massa.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bab 2. PLURALITAS ETNIK
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
The more voices are allow to speak about one thing.
The more eyes, different eyes, we can use to observe one thing
The more complete will our concept of this thing, our objectivity be
(Nietzsche)
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural didunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik kedalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting. Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antar etnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antar etnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antar etnik terus terjadi. Di satu sisi di galakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi kearah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berfikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antar etnik (Koentjaraningrat, 1971). Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai budaya-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berfikir yang berbeda pula. Demikian juga dalam perilaku yang di ambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antar etnik.
Apakah perbedaan akan selalu menimbulkan konflik? Jawabnya tentu tidak. Adakalanya perbedaan-perbedaan yang dihayati dengan sungguh-sungguh akan melahirkan persatuan. Semakin tampak berbeda tidak selalu berarti konflik juga semakin potensial.
A. Pluralisme: Keberagaman Kehidupan
Masyarakat Indonesia umumnya memahami adanya pluralitas manakala menjumpai suatu komunitas yang terdiri dari banyak etnik dan terdapat pemeluk agama yang berbeda-beda. Hal ini tidak mengherankan bila mengingat kategori sosial utama dalam membedakan kelompok adalah etnik dan agama. Seseorang di Indonesia biasanya digolongkan mula-mula berdasarkan etniknya baru kemudian berdasarkan agamanya. Maka pertanyaan mula-mula yang paling sering dilontarkan saat bertemu orang baru adalah “anda orang mana?” yang maksudnya adalah “etnik Anda apa?” Jarang sekali pada awal-awal pertemuan akan bertanya agama yang dianut.
Pluralisme mengandung beberapa makna sesuai dengan wacana yang mengikutinya. Dalam wacana filsafat saat ini, konsep tentang pluralitas mengacu pada pandangan bahwa dunia bisa ditafsirkan dalam berbagai cara, atau untuk mengadakan evaluasi ilmu yang ternyata diperkaya oleh kompetisi antara berbagai macam penafsiran. Dalam sosiologi kebudayaan dan etnologi, pluralisme merujuk pada fragmentasi kebudayaan ke dalam sub-sub kebudayaan yang dipisahkan oleh etnik, bahasa, agama, dan batasan-batasan lain. Dalam sosiologi kognitif konsep pluralisme menggambarkan situasi sosial yang didalamnya terdapat beberapa sistem makna yang dihadirkan secara terus menerus sebagai tafsir yang dapat diterima. Dalam sosiologi fungsional, pluralisme merujuk pada diferensiasi masyarakat yang dapat diselidiki pada tingkat individual sebagai diferensiasi peran-peran (Abdilah, 2002).
Pluralisme akan jadi kenyataan bila pluralisme kegiatan, nilai, struktur, sistem ide, dan institusi yang hidup dalam masyarakat benar-benar muncul ke permukaan. Artinya pluralism baru berarti bila pluralisme itu tampak dalam hidup keseharian warga masyarakat: adanya kegiatan yang beragam, nilai-nilai berbeda bisa dijalankan tanpa kekhawatiran, struktur sosial atau organisasi yang beraneka macam, sistem ide yang tidak tunggal, dan berbagai institusi hadir di tengah masyarakat dan masing-masing menunjukkan keberadaanya. Sayangnya, sekalipun disadari bahwa masyarakat kita merupakan masyarakat yang plural, tidak semua bisa mewujudkan keberadaannya dengan bebas. Abrar (2002) menemukan, bahwa meskipun pluralisme sesuatu yang niscaya di masyarakat, media-massa yang ada kurang menfasilitasi pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan. Artinya, pluralisme yang ada ditengah masyarakat kurang mendapat tempat selayaknya.
Prinsip-prinsip kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial merupakan prinsip-prinsip utama yang seharusnya berlaku dalam masyarakat plural. Tanpa adanya prinsip-prinsip tersebut mustahil suatu masyarakat plural dapat berjalan baik dalam koridor kedamaian. Ketiadaan prinsip-prinsip itu akan membuat elemen-elemen masyarakat yang berbeda-beda saling bertikai dan terlibat konflik terus menerus.
Prinsip kesamaan dan kesetaraan mengandung arti semua hal yang berbeda-beda dipandang sama dimana yang satu tidak lebih tinggi dibanding yang lain. Prinsip kesamaan dan kesetaraan berasumsi bahwa semua orang semestinya memandang bahwa setiap orang memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa etnik yang satu tidak lebih tinggi dibanding etnik yang lain. Akan tetapi faktanya pada masyarakat Indonesia sekarang ini, masih ada pandangan etnik tertentu lebih tinggi atau lebih baik daripada etnik yang lain. Pandangan ini merupakan akibat dari adanya etnosentrisme yang kuat.
Prinsip demokrasi mengandung arti dijunjung tingginya hak setiap orang untuk berpendapat, untuk memiliki ideologi tertentu, dan untuk memiliki identitas tertentu. Demokrasi menghargai setiap pendapat yang keluar dari pikiran setiap orang. Penilaian bernilai tidaknya suatu pendapat semata-mata didasarkan pada isi pendapatnya bukan siapa yang berpendapat. Prinsip demokrasi juga mengajarkan bahwa perbedaan cara hidup karena perbedaan cara memandang hidup (baca; ideologi) sebagai sesuatu yang lumrah. Tidak bisa karena seseorang berbeda ideologi dengan umumnya anggota masyarakat maka ia dikucilkan.
Prinsip kebersamaan mengandung makna bahwa setiap elemen masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama yang harmonis demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Perbedaan menjadi tidak berarti bila satu sama lain bisa saling menumbuhkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas. Prinsip kebersamaan ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan dan kesetiakawanan sosial.
Kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial mengacu pada suatu termadasar yakni humanisme. Dalam setiap masyarakat, humanisme merupakan prinsip agung yang mendasari terbentuknya masyarakat madani. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, ketakutan-ketakutan dan kebutuhan-kebutuhannya. Humanisme berarti perspektif dimana hormat dasar diberikan kepada orang lain tidak tergantung dari ciri-ciri atau kemampuan-kemampuannya, melainkan semata-mata dari kenyataan bahwa dia manusia (Suseno, 2002). Seorang yang humanis dengan sendirinya melampaui batas-batas ideologis, agama, etnik, kelompok dan berbagai identitas lainnya. Ia akan menolong dan akan tidak mencelakai orang lain dari ideologi apapun, agama apapun, etnik apapun dan kelompok manapun.
Prinsip-prinsip kesamaan, kesetaraan, demokrasi, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial memerlukan pendidikan multikultural dalam upaya menumbuhkannya. Kedudukan dan peranan setiap kesatuan budaya yang ada juga harus memperoleh jaminan, fasilitas, dukungan dan perlindungan secara legal dan operasional (Suyata, 2002). Tanpa adanya dukungan institusional dari lembaga resmi akan sangat sulit prinsip-prinsip itu tumbuh dan menemukan aplikasinya yang nyata didalam masyarakat. Artinya diperlukan suatu institusi dan tindakan politik dalam mewujudkan pluralisme yang damai.
B. Keberagaman dalam Masyarakat Plural
Salah satu ilmu perilaku yang terpenting yakni psikologi, khususnya psikologi lintas budaya, menunjukkan bahwa kita berbeda dengan orang lain karena kita anggota kelompok budaya yang berbeda. Kita tidak hanya berbicara dalam bahasa dan cara yang berbeda tetapi juga berpikir beda, berbeda dalam merasa, dan berbeda dalam cara berhubungan dengan orang lain. Tidak hanya secara psikis, tubuh kita dan gerakan tubuh kita juga berbeda, tertawa berbeda, menggerakkan tangan berbeda, mengekpresikan wajah dengan cara berbeda (Wierzbicka, 1999). Perbedaan-perbedaan yang sedemikian besar tentunya membawa konsekuensi yang besar pula. Bila tidak terdapat saling pengertian yang mendalam akan adanya perbedaan itu maka interaksi yang terjadi bisa jadi hanya akan menimbulkan konflik.
Kita selalu diyakinkan bahwa perbedaan merupakan suatu anugerah. Demikian yang selalu digembor-gemborkan. Seolah-olah perbedaan tanpa masalah. Padahal akar dari semua konflik adalah perbedaan. Sayangnya perbedaan suatu keniscayaan. Ia sesuatu yang pasti ada dan akan tetap ada. Jadi, yang bisa dilakukan tinggal lagi bagaimana berdamai dengan perbedaan yang ada. Banyak contoh hadir ditengah kita bagaimana upaya pengabaian perbedaan dengan hanya menghadirkan kesamaan yang ada dengan alasan demi persatuan, justru malah menghancurkan persatuan yang ingin dicapai. Politik persamaan yang dilakukan orde baru, yang tidak mentolerir perbedaan yang muncul kontradiktif dengan tujuannya untuk mempersatukan, yang muncul malahan keretakan di masyarakat. Dalam kasus Indonesia, terutama pada zaman orde baru, terbukti bahwa intervensi tanpa perhatian pada perbedaan kelompok dapat membawa pada kebijakan assimilisianist dimana anggota kelompok minoritas diharapkan untuk konform atau melebur terhadap kelompok mayoritas. Fenomena ini nyata sekali pada perlakuan yang diberikan pada etnis Cina. Misalnya mereka diharuskan mengubah nama menjadi nama Indonesia. Mereka juga dilarang menyelenggarakan berbagai ritual budaya. Akibatnya mereka mengalami kegamangan budaya. Di satu sisi mereka tercerabut dari akar budayanya, di sisi lain mereka tetap kurang diterima sebagai bagian dari masyarakat mayoritas, sebab jelas mereka benar-benar berbeda, setidaknya secara fisik. Tampaknya justru ketika membiarkan suatu kelompok dengan identitas budayanya, di ikuti dengan menumbuhkan toleransi antar kelompok-lah yang akan mencipta persatuan yang hakiki.
Pada saat berbicara mengenai perbedaan, mau tidak mau kita akan sering bertemu dengan kata diversitas. Seringkali arti ‘perbedaan’ dan ‘diversitas’ kita artikan sama saja, padahal keduanya sedikit berbeda (dalam bahasa inggris ‘perbedaan’ diterjemahkan sebagai ‘difference’, sedangkan diversitas atau keberagaman diterjemahkan sebagai ‘diversity’). Perbedaan merujuk pada adanya sesuatu yang beda atau lain antara dua hal atau lebih (lebih bersifat kualitatif). Diversitas merujuk pada keberadaan dua hal atau lebih yang memiliki kesetaraan (lebih bersifat kuantitatif). Banyaknya etnik di negeri kita lebih tepat bila disebut diversitas etnik atau keberagaman etnik karena merujuk adanya banyak etnik dimana yang satu tidak lebih rendah dari yang lain.
Diversitas atau keberagaman memiliki sisi positif maupun negatif. Keberagaman akan menjadi sisi yang mana tergantung penilaian individu pada keberagaman itu sendiri. Menurut Johnson dan Johnson (2000) sebuah diversitas menjadi positif atau negatif tergantung apakah kita:
- Mengakui bahwa diversitas ada dan merupakan sesuatu yang berharga
- Membangun identitas pribadi yang utuh yang mengandung a) Pengakuan terhadap warisan budaya etnik, b) Memandang diri sebagai individu yang menghargai adanya perbedaan nilai-nilai pada setiap orang.
- Mengerti keadaan kognitif diri sendiri (seperti stereotip dan prasangka) untuk membangun hubungan dengan teman-teman yang berbeda latar belakang budaya.
- Mengerti adanya konflik antar kelompok yang dinamis
- Mengerti proses penilaian sosial dan mengetahui bagaimana proses terbentuknya penerimaan dan penolakan.
- Mampu menyusun sebuah konteks kerjasama dalam hubungan positif antara individu yang berbeda.
- Memanajemen konflik dalam cara-cara yang konstruktif: a) Konflik intelektual, yaitu pembuatan keputusan dan mempelajari situasi, b) Konflik kepentingan, yaitu pemecahan masalah melalui negosiasi dan mediasi.
- Belajar dan menginternalisasi nilai-nilai pluralitas dan demokrasi.
Bila kita mampu melakukan kedelapan hal itu dengan baik maka diversitas akan menjadi sesuatu yang positif bagi kita. Sebaliknya bila kita gagal melakukannya maka mungkin sekali kita akan menilai diversitas secara negatif. Sangat mungkin adanya diversitas kita artikan sebagai ancaman bagi diri kita dimana kita tidak merasa nyaman dengan adanya diversitas atau keberagaman. Tiliklah ke dalam diri kita, kita kadangkala enggan untuk bergaul atau berada di antara orang yang berbeda dengan diri kita.
Diversitas bisa menguntungkan dan bisa juga merugikan. Pada suatu kondisi tertentu diversitas akan menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dalam kehidupan sosial. Namun sebaliknya, dalam kondisi yang lain diversitas bisa meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Johnson dan Johnson (2000) mengidentifikasikan delapan kondisi yang menyebabkan diversitas lebih merupakan suatu keuntungan, bila:
1. Menurunkan stereotip dan prasangka,
2. Meningkatkan hubungan lebih positif,
3. Memperbaharui vitalitas masyarakat,
4. Meningkatkan prestasi dan produktivitas,
5. Meningkatkan kreativitas dalam pemecahan masalah,
6. Menjaga pertumbuhan kognitif dan penalaran moral,
7. Menjaga cara pandang yang dimiliki,
8. Membangun komitmen terhadap demokrasi bangsa.
Sementara itu diversitas menjadi sebuah kerugian, bila:
1. Meningkatkan stereotip dan prasangka,
2. Membentuk hubungan yang penuh ketegangan,
3. Meningkatkan hubungan lebih negatif, seperti pengkambinghitaman, kekerasan, penolakan,
dan lainnya,
4. Membuat hidup lebih kompleks dan sulit,
5. Membuat produktivitas rendah karena susah dalam komunikasi, koordinasi, dan pembuatan
keputusan,
6. Mengharuskan lebih banyak upaya untuk bisa berhubungan dengan orang lain,
7. Merupakan sesuatu yang mengancam,
8. Membuat cemas.
Implikasi adanya keberagaman budaya dalam suatu masyarakat cukup luas. Organisasi yang bergerak dalam masyarakat yang memiliki keberagaman mau tidak mau harus sensitive terhadap keberagaman itu. Sebuah organisasi publik, entah itu perusahaan atau instansi pemerintahan akan menghadapi kenyataan untuk menerima pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Karenanya diperlukan suatu manajemen khusus untuk mensinergikan kerja dari pegawai-pegawai yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Dalam kondisi demikian peran pemimpin sangat sentral. Untuk mengarahkan berbagai orang dengan berbagai latar belakang budaya dalam pencapaian tujuan organisasi diperlukan suatu kepemimpinan yang mampu memhami adanya perbedaan budaya diantara anggota-anggota organisasi. Menurut Chemers dan Ayman (1993) setidaknya ada empat karakter penting dalam kepemimpinan organisasi multikultural, yaitu:
- Pribadi yang memiliki visi yang luas, yang mengakui dan mendukung perbedaan dalam komunitas organisasi. Pemimpin seharusnya memiliki rencana jangka panjang termasuk memperkerjakan karyawan yang berasal dari berbagai latar belakang budaya pada semua level organisasi.
- Memiliki pengetahuan yang luas mengenai dimensi-dimensi diversitas dan memiliki kesadaran mengenai permasalahan multikultural.
- Terbuka untuk melakukan perubahan di dalam dirinya
- Membimbing dan mengarahkan pegawai yang berbeda-beda latar belakang budayanya.
- Kesadaran akan adanya diversitas merupakan kemutlakan karena kita hidup dalam masyarakat plural. Kita mesti menyadari bahwa ada begitu banyak perbedaan di sekitar kita sebelum kita memutuskan apa yang terbaik yang harus dilakukan. Tiga alasan kenapa kesadaran akan diversitas penting:
- Meningkatkan kualitas kehidupan kita. Dengan menyadari adanya beragam budaya maka kita bisa lebih humanis.
- Diversitas merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan
- Kehidupan ekonomi semakin mengglobal dan mengharuskan terjalinnya hubungan dengan berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda
C. Pluralitas Etnik di Indonesia
Terbentuknya masyarakat plural bisa melalui berbagai cara. Pluralitas nilai misalnya bisa bersumber dari perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima masyarakat. Maka tidak heran bila terjadi perbedaan nilai yang tajam antara orang berpendidikan tinggi dengan yang berpendidikan rendah dan antara orang kota dengan orang desa. Sementara itu pluralitas etnik dalam suatu komunitas masyarakat tertentu umumnya disebabkan karena migrasi. Contoh yang paling bagus untuk fenomena ini adalah kota Jakarta. Saat ini Jakarta dihuni oleh puluhan etnik yang beberapa diantaranya malah memiliki perkampungan sendiri. Jika seseorang mengaku berasal dari Jakarta, sulit untuk menduga asal etniknya karena sangat mungkin ia bukan orang Betawi. Pluralitas etnik bisa juga terbentuk karena adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik. Indonesia terbentuk melalui cara ini. Puluhan etnik yang ada di wilayah Indonesia mungkin kurang saling berinteraksi, tetapi dengan adanya ikatan politis yaitu negara Indonesia, maka semua etnik terikat dalam komunitas Indonesia. Maka jadilah sebuah Indonesia yang plural meskipun mungkin ada puluhan ribu orang yang tidak pernah bertemu etnis lain seumur hidupnya.
Satu hal yang sentral dalam diskusi mengenai pluralitas etnik adalah migrasi, yakni tentang bagaimana suatu etnik yang memiliki wilayah adat tertentu berpindah ke wilayah adat lain baik secara kelompok maupun secara individual. Misalnya orang Minang pindah ke Yogyakarta dimana Yogyakarta merupakan wilayah adat orang Jawa. Perpindahan ini membawa konsekuensi terjadinya interaksi, dan adanya interaksi itu membawa sekian banyak akibat bagi pendatang maupun bagi yang menerima. Bagi pendatang yang kerap disebut perantau, memperoleh penerimaan warga asli adalah pencapaian terpenting. Sementara itu bagi warga asli, mampu menerima warga pendatang sebagai bagian dari masyarakat merupakan indikasi keberhasilan suatu migrasi.
Penerimaan warga asli terhadap pendatang tidak selalu mudah, tidak bisa semata-mata melalui kebaikan hati. Ada banyak faktor lain yang turut berperan dalam proses penerimaan itu, di antaranya adalah tersedianya sumberdaya di wilayah tersebut, dominan tidaknya warga pendatang, dan karakteristik budaya. Bila di suatu wilayah cukup tersedia sumber daya yang melimpah dan semua orang bisa mendapatkannya tanpa perlu kompetisi yang ketat sangat mungkin warga pendatang akan diterima dengan tangan terbuka. Sebaliknya bila sumber daya yang tersedia terbatas dan memunculkan kompetisi yang ketat untuk mendapatkannya biasanya penerimaan warga pendatang kurang berjalan baik.
Kadangkala warga pendatang memiliki jumlah cukup besar, malahan lebih besar daripada warga asli dan mereka juga dominan. Seperti misalnya pada tahun 2000 dari 2.233.530 penduduk Papua, 1.460.846 atau 65,41% adalah orang Papua asli, yang 80% ada di gunung-gunung, dan 20 % ada diperkotaan. Di kota provinsi, kota kotamadya 90% adalah warga pendatang (Kompas, 23 Februari 2003). Bila hal itu meminggirkan warga asli baik secara ekonomi, sosial, dan politik, banyak kemungkinan penerimaan tidak berjalan mulus. Demikian juga bila warga asli ataupun warga pendatang memiliki budaya yang tertutup maka akan menimbulkan penerimaan yang tidak mudah.
Eksotisme menjadi tak terelakkan dalam masyarakat plural. Suatu etnik yang benar-benar berbeda dalam hal budaya, seni, dan sebagainya menjadi tontonan menarik bagi etnik lain. Sayangnya, tontonan akan eksotisme budaya tertentu seringkali berakibat munculnya pandangan bahwa suatu etnik masih primitif, bukannya menimbulkan pandangan betapa agungnya keberagaman budaya yang ada. Hal ini dipicu adanya anggapan bahwa kebenaran merupakan otoritas pihak tertentu untuk menentukannya. Menurut Trisnadi (1996) pandangan akan adanya hirarki dalam menafsirkan suatu kebenaran melahirkan pemikiran untuk mengklasifikasikan kebudayaan sebagai tradisional dan modern, atau ahistoris dan historis. Upaya tersebut mengandung maksud untuk menghirarkikan kebudayaan untuk konsumsi khalayak dan rekayasa politik dan sosial. Penghirarkian itu pada akhirnya untuk mendiskreditkan identitas lokal. Maka mudah dimengerti bila budaya yang berbau lokal dan eksotik kurang diterima sebagai sesuatu yang sama nilainya dengan budaya yang bersifat global.
Saat ini Indonesia merupakan negara dengan lebih dari 500 etnik. Namun demikian tidak lebih dari 20 etnik yang memiliki anggota cukup besar. Sebagian besar hanya memiliki anggota yang relatif kecil. Yang cukup menarik adalah keberadaan puluhan etnik di Papua. Kadangkala satu etnik hanya memiliki wilayah satu desa saja. Bahasa mereka juga berbeda satu sama lain. Disana ada ratusan bahasa yang dipergunakan untuk komunikasi sesama anggota etnis. Jadi tidak benar kebijakan yang menganggap orang papua adalah satu etnik yang besar. Mereka benar-benar masyarakat yang plural. Kesamaan mereka lebih pada kesamaan ras. Berikut adalah distribusi etnis di Indonesia pada tahun 1930 yang diambil dari Statistiche Zakhoekje voor Nederlandsch-Indie yang terbit tahun 1940 (Lihat Suryadinata, 1999, hal.188).
Angka-angka pada tabel di atas mungkin telah berubah. Akan tetapi mendasarkan pada asumsi setiap etnis memiliki tingkat pertumbuhan sama maka sangat mungkin angka-angka itu relatif tidak terlalu banyak berubah. Dan karena angka dalam tabel itu mendasarkan pada kebijakan kolonial belanda, maka didalamnya tidak terdapat etnis Cina. Saat itu etnis Cina tidak diperhitungkan masuk sebagai kelompok etnis di Hindia Belanda. Saat ini sudah seharusnya etnis Cina masuk dalam daftar. Etnis Cina hanya berjumlah 2,8% tetapi mereka menyebar ke seluruh kepulauan Indonesia (Suryadinata, 1999). Daftar di atas juga bisa diperdebatkan karena adanya pemisahan kelompok etnik. Batak misalnya, saat ini hanya dinilai sebagai kumpulan beberapa kelompok etnik berbeda seperti Dairi pakpak, Simalungun, Batak Karo, Mandailing dan lainnya. Lalu demikian juga etnik Dayak yang dulu digunakan untuk menyebut seluruh etnik yang ada di Kalimantan, sebenarnya terdiri dari berbagai etnik seperti Benuaq, Ngaju, Apau Kayan, Meratus. Murut, Punan, Ot Danum, Iban, dan lainnya.
Keberagaman bahasa menjadi fenomena menarik yang lain. Lebih dari 300 bahasa digunakan sebagai komunikasi. Menurut Laporan dari Unesco, PBB, saat ini telah puluhan bahasa lokal menghilang dan diperkirakan pada tahun 2020 bahasa lokal yang memiliki pengguna kurang dari 10.000 orang benar-benar akan menghilang. Bahasa lokal yang dimaksud adalah bahasa etnis yang jumlahnya minoritas sehingga jumlah penggunanyapun sedikit. Sebagai contoh, di Papua, bahasa yang digunakan antara satu desa dengan desa lainnya kadang-kadang sudah berbeda sama sekali. Bahkan banyak juga bahasa yang hanya digunakan oleh satu desa saja.
D. Hubungan Antar Etnik
Masyarakat yang terdiri dari banyak etnik seperti Indonesia memiliki pola hubungan antar etnik yang beragam. Menurut Suyata (2002) posisi sejumlah kelompok etnik bisa vertikal juga horizontal dengan sedikit banyak overlapping. Hubungan antar masyarakat dapat dibedakan dalam empat tipe. Masyarakat tipe A menunjuk adanya perbedaan etnik kultural yang jelas dan diperkuat oleh semacam monopoli gengsi kultural dan kekuatan politik ekonomi dipegang oleh satu kelompok. Masyarakat tipe B tersusun atas kelompok yang menjadi subordinasi dan berupaya mempertahankan hak prerogatifnya. Urusan sosial ekonomi tidak sejalan dengan perbedaan etnik. Masyarakat tipe C memiliki perbedaan etnik kultural tetapi tidak terjadi monopoli kekuasaan dan gengsi. Dan terakhir, masyarakat tipe D memiliki kesamaan structural dan posisi gengsi dan kekuasaan relatif seimbang antar kelompok etnik.
Masyarakat tipe A dan tipe B memiliki potensi konflik yang paling besar. Dalam masyarakat tipe A dan B ini stereotip dan prasangka etnik cenderung sangat kuat. Diskriminasi tumbuh subur. Identitas etnik diperkuat sebagai upaya pertahanan sosial melawan kelompok etnik lain. Pemicu sedikit saja bisa mengakibatkan pertikaian yang besar. Sementara itu dalam masyarakat tipe C dan tipe D relatif memiliki potensi konflik rendah. Batas-batas antar kelompok etnik dalam masyarakat tipe C memang masih cukup kuat akan tetapi tidak membatasi kelompok-kelompok itu untuk berinteraksi secara akrab. Berbagai kelompok etnik yang ada relatif memiliki posisi yang setara. Kekuasaan politik, penguasaan sumber daya ekonomi, dan gengsi sosial dibagi sama rata.
Dalam masyarakat Indonesia tipe masyarakatnya berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Sayangnya belum ada pemetaan mengenai pola hubungan antar etnik didalam masyarakat di Indonesia. Jika saja pemetaan diadakan, hal itu akan sangat berguna dalam mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik sehingga bisa diupayakan pencegahannya. Masyarakat Nusa Tenggara Timur merupakan contoh masyarakat yang plural. Di sana ada 5 kelompok besar etnik yaitu Timor, Sumba, Rote, Sabu, dan Flores. Secara umum di NTT terdiri dari 15 kelompok utama etnik, 75 kesatuan etnik, dan 550 sub etnik. Di kota Kupang, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, dan Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Disana juga terdapat organisasi kekeluargaan yang bertujuan mempertahankan kesatuan etnik. Misalnya Ikatan keluarga kawanua, ikatan keluarga Sumba, dan lainnya. Bahkan perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja (Liliweri,1994). Jika saja pemetaan hubungan antar etnik dilakukan, hal itu akan sangat membantu upaya pencegahan konflik antar etnik. Sebab keadaan di Kupang sendiri telah menggambarkan adanya persaingan atau pertentangan antaretnik secara tidak terbuka.
E. Konsekuensi Pluralisme Etnik
Keberagaman etnik memang indah, tapi dibaliknya terkandung pula potensi konflik yang besar. Konsekuensi negatif teringan adalah munculnya stereotip etnik, yang lebih berat munculnya prasangka etnik, lalu terparah muncul diskriminasi dan konflik antar etnik. Semuanya bertalian satu sama lain. Dalam konteks interaksi antar etnik, prasangka etnik sangat relevan untuk dikaji, karena prasangka bisa memunculkan diskriminasi dan konflik. Prasangka juga merupakan penghambat terbesar dalam membangun hubungan antaretnik yang sehat halmana berarti kegagalan bagi masyarakat plural. Buku ini memfokuskan pada masalah prasangka etnik atas alasan ini.
Tidak hanya konflik antar etnik, konflik bisa juga muncul antara etnik tertentu terhadap pemerintah. Di Indonesia, kebijakan pemerintah mengenai keberagaman etnik seringkali malah menimbulkan konflik panjang terhadap pemerintah dan terhadap kelompok etnik tertentu. Misalnya kebijakan transmigrasi (meskipun dianggap hanya sebagai kebijakan kependudukan, tapi bagaimanapun itu merupakan kebijakan kebudayaan karena membawa konsekuensi sosial budaya yang besar) sering membawa masalah sosial budaya yang parah. Akibat program itu sering muncul pertikaian antara warga etnik asli di wilayah transmigran dengan warga transmigran. Demikian juga penggunaan tanah-tanah adat untuk kepentingan industri dan perkebunan sering membawa pertikaian tak berkesudahan antara masyarakat etnik tertentu dan pemerintah.
Belakangan semangat etnis menguat. Bahkan ada kecenderungan terjadinya politik etnis, dimana identitas etnis menjadi isu politik utama. Isu putra daerah dalam era otonomi daerah sekarang ini merupakan bukti yang tak terbantah. Di beberapa daerah hanya putra daerah yang bisa diterima sebagai pegawai baru atau pejabat baru. Kriteria kapabilitas menjadi nomor sekian dalam syarat penerimaan pegawai dan pengangkatan pejabat. Pada umumnya putra daerah dilekatkan pada mereka yang memiliki nenek moyang dan orangtua asli dari daerah tersebut, dan bukan pendatang. Artinya isu etnisitas menjadi sentral dalam penyelenggaraan kekuasaan di daerah. Demikian juga gerakan-gerakan separatis umumnya menggunakan isu etnisitas. GAM di Aceh, RMS di Maluku, OPM di Papua jelas-jelas menggunakan isu etnis sebagai dasar perjuangan. Dengan alasan memperjuangkan etnis itulah maka gerakan-gerakan itu mendapatkan landasan bagi perjuangannya.
Gerakan politik etnis yang belakangan marak mengarah pada tuntutan penguasaan wilayah dan penguasaan sumber daya ekonomi di suatu area yang diklaim sebagai milik etnis bersangkutan. Untuk tujuan itu mereka tidak perlu menjadi separatis. Mereka tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia, akan tetapi menuntut otonomi sepenuhnya. Hal ini yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam Kongres II, 19-25 September di Tanjung, Nusa Tenggara Barat. Dalam Kongres tersebut mereka ingin mempertegas kembali mahluk apa sesungguhnya yang disebut sebagai masyarakat adat. Ia lebih kurang dikatakan sebagai sebagai kelompok penduduk yang memiliki ideologi, sistem sosial, dan sistem politik yang khas dan bersifat lokal spesifik, baik yang dibangun diatas kesamaan wilayah hidup bersama secara turun temurun (basis teritorial) maupun atas dasar kesamaan nenek moyang/leluhur (hubungan darah), atau perpaduan diantara keduanya. Berbagai persoalan sosial yang melanda bangsa akibat pelecehan terhadap adat dan budaya menjadi agenda gugatan AMAN. Mereka melakukan gugatan atas hak atas tanah dan sumberdaya lainnya, serta pengurusan diri sendiri dan administrasi pemerintahan. (Kompas, 24 September 2003).
Masyarakat etnik yang plural menghadapi masalah yang kompleks yang berbeda dengan masyarakat monoetnik. Berbagai persoalan benturan sosial dan budaya antaretnik akan senantiasa ada dan harus terus menerus diupayakan tindak pencegahan terhadap meletusnya konflik. Sangat mungkin pula disintegrasi masyarakat yang terfragmentasi atas dasar kelompok etnik muncul. Sehingga upaya memelihara persatuan merupakan sesuatu yang sentral. Pada akhirnya, pluralitas etnik bukan sesuatu yang negatif atau positif. Posisinya netral. Menjadi negatif atau positif tergantung konteks mana memandangnya dan atas dasar kepentingan apa melihatnya.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bab 3. MEMAHAMI PRASANGKA
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Menurut Erich Fromm, masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya mengembangkan cinta satu sama lain. Sedangkan masyarakat yang sakit menciptakan permusuhan, kecurigaan, dan ketidaksalingpercayaan anggota-anggotanya (dalam Schultz, 1991). Senada dengan Fromm, J.E. Prawitasari dalam pidato pengukuhan Guru Besar pada fakultas Psikologi UGM tahun 2003, menyampaikan bahwa kriteria masyarakat yang sehat secara sosiopsikologis diantaranya adalah bila masyarakat mampu bercinta, yaitu mampu menggunakan cinta kasihnya untuk menumbuhkan perdamaian di antara sesama manusia. Kriteria sehat lainnya adalah bila masyarakat mampu bekerja, mampu belajar dan mampu bemain. Mendasarkan pada kriteria ini, tampak jelas bahwa adanya prasangka yang luas di masyarakat merupakan indikasi jelas ketidaksehatan sosiopsikologis dalam masyarakat bersangkutan. Hal ini karena prasangka menumbuhkan kecurigaan, ketidakpercayaan, dan permusuhan. Prasangka juga menghalangi anggota-anggota masyarakat untuk mengembangkan cinta satu sama lain di antara anggota-anggota masyarakat dan untuk menyebarkan perdamaian.
Banyak pihak yang menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini merupakan masyarakat berprasangka. Penilaian itu tentu bukan tanpa dasar. Saat ini masyarakat Indonesia memiliki kecurigaan yang akut terhadap segala sesuatu yang berbeda atau dikenal dengan istilah heterophobia. Segala sesuatu yang baru dan berbeda dari umumnya orang akan ditanggapi dengan penuh kecurigaan. Kehadiran anggota kelompok yang berbeda apalagi berlawanan akan dicurigai membawa misi-misi yang mengancam.
A. Definisi Prasangka
Prasangka adalah sikap (biasanya negatif) kepada anggota kelompok tertentu yang semata-mata didasarkan pada keanggotaan mereka dalam kelompok (Baron & Byrne, 1991). Misalnya karena pelaku pemboman di Bali adalah orang Islam yang berjanggut lebat, maka seluruh orang Islam, terutama yang berjanggut lebat, dicurigai memiliki itikad buruk untuk menteror. Sementara itu, Daft (1999) memberikan definisi prasangka lebih spesifik yakni kecenderungan untuk menilai secara negatif orang yang memiliki perbedaan dari umumnya orang dalam hal seksualitas, ras, etnik, atau yang memiliki kekurangan kemampuan fisik. Soekanto (1993) dalam ‘Kamus Sosiologi’ menyebutkan pula adanya prasangka kelas, yakni sikap-sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu. Prasangka ini ada pada kelas masyarakat tertentu dan dialamatkan pada kelas masyarakat lain yang ada di dalam masyarakat. Sudah jamak kelas atas berprasangka terhadap kelas bawah, dan sebaliknya kelas bawah berprasangka terhadap kelas atas. Sebagai contoh, jika kelas atas mau bergaul dengan kelas bawah maka biasanya kelas atas oleh kelas bawah dicurigai akan memanfaatkan mereka. Bila kelas bawah bergaul dengan kelas atas dikira oleh kelas atas akan mencuri dan sebagainya.
Sebagai sebuah sikap, prasangka mengandung tiga komponen dasar sikap yakni perasaan (feeling), kecenderungan untuk melakukan tindakan (Behavioral tendention), dan adanya suatu pengetahuan yang diyakini mengenai objek prasangka (beliefs). Perasaan yang umumnya terkandung dalam prasangka adalah perasaan negatif atau tidak suka bahkan kadangkala cenderung benci. Kecenderungan tindakan yang menyertai prasangka biasanya keinginan untuk melakukan diskriminasi, melakukan pelecehan verbal seperti menggunjing, dan berbagai tindakan negatif lainnya. Sedangkan pengetahuan mengenai objek prasangka biasanya berupa informasi-informasi, yang seringkali tidak berdasar, mengenai latar belakang objek yang diprasangkai. Misalnya bila latar belakang kelompoknya adalah etnik A, maka seseorang yang berprasangka terhadapnya mesti memiliki pengetahuan yang diyakini benar mengenai etnik A, terlepas pengetahuan itu benar atau tidak.
Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antar individu yang baik (Myers, 1999). Bisa dibayangkan bagaimana hubungan interpersonal yang terjadi jika satu sama lain saling memiliki prasangka, tentu yang terjadi adalah ketegangan terus menerus. Padahal sebuah hubungan antar pribadi yang baik hanya bisa dibangun dengan adanya kepercayaan, dan dengan adanya prasangka tidak mungkin timbul kepercayaan. Sehingga adalah muskil suatu hubungan interpersonal yang baik bisa terbangun. Dalam konteks lebih luas, kegagalan membangun hubungan antar individu yang baik sama artinya dengan kegagalan membangun masyarakat yang damai.
Menurut Poortinga (1990) prasangka memiliki tiga faktor utama yakni stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Ketiga faktor itu tidak terpisahkan dalam prasangka. Stereotip memunculkan prasangka, lalu karena prasangka maka terjadi jarak sosial, dan setiap orang yang berprasangka cenderung melakukan diskriminasi. Sementara itu Sears, Freedman & Peplau (1999) menggolongkan prasangka, stereotip dan diskriminasi sebagai komponen dari antagonisme kelompok, yaitu suatu bentuk oposan terhadap kelompok lain. Stereotip adalah komponen kognitif dimana kita memiliki keyakinan akan suatu kelompok. Prasangka sebagai komponen afektif dimana kita memiliki perasaan tidak suka. Dan, diskriminasi adalah komponen perilaku.
Stereotip
Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.
Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.
Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,:
- Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
- Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain.
- Individu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagai tipikal sama.
- Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.
Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:
1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut.
Jarak Sosial
Jarak sosial adalah suatu jarak psikologis yang terdapat diantara dua orang atau lebih yang berpengaruh terhadap keinginan untuk melakukan kontak sosial yang akrab. Jauh dekatnya jarak sosial seseorang dengan orang lain bisa dilihat dari ada atau tidaknya keinginan-keinginan berikut :
1) Keinginan untuk saling berbagi,
2) Keinginan untuk tinggal dalam pertetanggaan,
3) Keinginan untuk bekerja bersama,
4) Keinginan yang berhubungan dengan pernikahan.
Pada umumnya prasangka terlahir dalam kondisi dimana jarak sosial yang ada di antara berbagai kelompok cukup rendah. Apabila dua etnis dalam suatu wilayah tidak berbaur secara akrab, maka kemungkinan terdapat prasangka dalam wilayah tersebut cukup besar. Sebaliknya prasangka juga melahirkan adanya jarak sosial. Semakin besar prasangka yang timbul maka semakin besar jarak sosial yang terjadi. Jadi antara prasangka dan jarak sosial terjadi lingkaran setan.
Sampai saat ini masih mudah ditemui adanya keengganan orangtua bila anak-anaknya menikah dengan orang yang berbeda etniknya. Masih mudah pula ditemui orangtua yang membatasi pilihan anak-anaknya hanya boleh menikah dengan etnis sendiri atau beberapa etnis tertentu saja, sementara beberapa etnis yang lain dilarang. Kenyataan seperti itu merupakan cerminan dari adanya prasangka antar etnik. Saya pernah mendengar secara langsung ada petuah orang tua pada anaknya laki-laki, yang kebetulan etnis jawa, untuk tidak mencari jodoh etnis Dayak, etnis Minang, dan etnis Sunda. Diluar ketiga etnis itu dipersilahkan, tetapi lebih disukai apabila sesama etnis jawa.
Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, Freedman & Peplau,1999). Misalnya banyak perusahaan yang menolak mempekerjakan karyawan dari etnik tertentu. Lalu ada organisasi yang hanya mau menerima anggota dari etnik tertentu saja meskipun jelas-jelas organisasi itu sebagai organisasi publik yang terbuka untuk umum. Contoh paling terkenal dan ekstrim dalam kasus diskriminasi etnik dan ras terjadi di Afrika Selatan pada tahun 80-an. Politik aphartheid yang dijalankan pemerintah Afrika Selatan membatasi akses kulit hitam dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Diskriminisi ras itu dikukuhkan secara legal melalui berbagai peraturan yang sangat diskriminatif terhadap kulit hitam. Misalnya anak-anak kulit hitam tidak boleh bersekolah di sekolah untuk kulit putih, kulit hitam tidak boleh berada di tempat-tempat tertentu seperti hotel, restoran dan tempat publik lainnya. Kulit hitam juga tidak boleh naik kendaraaan umum untuk kulit putih, dan bahkan tidak boleh memasuki wilayah pemukiman kulit putih.
Liliweri (1994) menemukan bahwa diskriminasi antar etnik terjadi di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Perumahan, asrama, penginapan ada yang khusus diperuntukkan bagi etnik tertentu saja. Di sana, etnik-etnik tertentu terkonsentrasi di pemukiman tertentu dan memiliki konsentrasi pada jenis pekerjaan, unit dan satuan kerja tertentu. Sebagai misal, mayoritas pegawai kantor gubernur adalah orang Flores, sedangkan di Universitas Cendana mayoritas pegawainya orang Rote dan Sabu. Akan sulit orang Flores masuk menjadi pegawai di Universitas Cendana, demikian juga sebaliknya.
Diskriminasi bisa terjadi tanpa adanya prasangka dan sebaliknya seseorang yang berprasangka juga belum tentu akan mendiskriminasikan (Duffy & Wong, 1996). Akan tetapi selalu terjadi kecenderungan kuat bahwa prasangka melahirkan diskriminasi. Prasangka menjadi sebab diskriminasi manakala digunakan sebagai rasionalisasi diskriminasi. Artinya prasangka yang dimiliki terhadap kelompok tertentu menjadi alasan untuk mendiskriminasikan kelompok tersebut.
B. Sebab-sebab Prasangka
Prasangka merupakan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Munculnya prasangka merupakan akibat dari adanya kontak-kontak sosial antara berbagai individu di dalam masyarakat. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain. Akan tetapi prasangka tidak semata-mata dimunculkan oleh faktor sosial. Faktor kepribadian turut berperan dalam menciptakan apakah seseorang mudah berprasangka atau tidak. Walaupun faktor sosial sangat menunjang untuk menciptakan prasangka, belum tentu seseorang akan berprasangka karena masih tergantung pada tipe kepribadian yang dimiliki, apakah ia memiliki tipe kepribadian berkecenderungan berprasangka atau tidak. Lalu manakah yang lebih penting faktor sosial atau faktor kepribadian dalam menciptakan prasangka? Jawabannya bisa keduanya sama penting atau bisa salah satu lebih penting. Apabila tekanan dalam melihat prasangka adalah konteks sosialnya, tentu saja faktor sosial merupakan faktor terpenting. Sedangkan bila konteks individu yang ditekankan, maka faktor individual bisa jadi dinilai lebih penting.
1. Faktor Sosial Penyebab Prasangka
Prasangka merupakan hasil dari adanya interaksi sosial, maka cukup mudah menemukan sebab-sebab prasangka dalam kehidupan sosial. Faktor sosial yang menciptakan prasangka antar kelompok setidaknya bisa dikategorikan ke dalam enam hal, yakni: akibat konflik sosial antar individu dan antar kelompok, akibat perubahan sosial, akibat struktur sosial yang kaku, akibat keadaan sosial yang tidak adil, akibat terbatasnya sumber daya, dan adanya politisasi pihak-hak yang mengambil keuntungan dari adanya prasangka.
Bagaimana faktor sosial di atas bisa menyebabkan munculnya prasangka dan mengapa prasangka muncul dalam interaksi sosial? Berikut adalah beberapa teori dalam ilmu psikologi yang bisa menjelaskan ;
1. Teori Kategorisasi Sosial
2. Teori Perbandingan Sosial
3. Teori Identitas Sosial
4. Teori Deprivasi Relatif
5. Teori Konflik-realistis
6. Teori Frustrasi-Agresi
7. Teori Belajar Sosial
Teori Kategorisasi Sosial
Dunia merupakan kekomplekan yang tiada batas. Melalui kategorisasi kita membuatnya menjadi sederhana dan bisa kita mengerti. Melalui kategorisasi kita membedakan diri kita dengan orang lain, keluarga kita dengan keluarga lain, kelompok kita dengan kelompok lain, etnik kita dengan etnik lain. Pembedaan kategori ini bisa berdasarkan persamaan atau perbedaan. Misalnya persamaan tempat tinggal, garis keturunan, warna kulit, pekerjaan, kekayaan yang relatif sama dan sebagainya akan dikategorikan dalam kelompok yang sama. Sedangkan perbedaan dalam warna kulit, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, pekerjaan, tingkat pendidikan dan lainnya maka dikategorikan dalam kelompok yang berbeda.
Mereka yang memiliki kesamaan dengan diri kita akan dinilai satu kelompok dengan kita atau ingroup. Sedangkan mereka yang berbeda dengan kita akan dikategorikan sebagai outgroup. Seseorang pada saat yang sama bisa dikategorikan dalam ingroup ataupun outgroup sekaligus. Misalnya Sandi adalah tetangga kita, jadi sama-sama sebagai anggota kelompok pertetanggaan lingkungan RT. Pada saat yang sama ia merupakan lawan kita karena ia bekerja pada perusahaan saingan kita. Jadi, Sandi termasuk satu kelompok dengan kita (ingroup) sekaligus bukan sekelompok dengan kita (outgroup).
Kategorisasi memiliki dua efek fundamental yakni melebih-lebihkan perbedaan antar kelompok dan meningkatkan kesamaan kelompok sendiri. Perbedaan antar kelompok yang ada cenderung dibesar-besarkan dan itu yang sering di ekspos sementara kesamaan yang ada cenderung untuk diabaikan. Disisi lain kesamaan yang dimiliki oleh kelompok cenderung sangat dilebih-lebihkan dan itu pula yang selalu diungkapkan. Sementara itu perbedaan yang ada cenderung diabaikan. Sebagai contoh perbedaan antara etnik jawa dan etnik batak akan cenderung di lebih-lebihkan, misalnya dalam bertutur kata dimana etnis jawa lembut dan etnis Batak kasar. Lalu, orang-orang seetnis cenderung untuk merasa sangat identik satu sama lain padahal sebenarnya diantara mereka relatif cukup berbeda.
Ukuran kelompok adalah faktor penting dalam menilai apakah diantara anggota-anggotanya relatif sama ataukah plural. Kelompok minoritas menilai dirinya lebih similar dalam kelompok, sementara kelompok mayoritas menilai dirinya kurang similar. Anggota kelompok minoritas juga mengidentifikasikan diri lebih kuat ke dalam kelompok ketimbang anggota kelompok yang lebih besar. Kelompok yang minoritas juga menilai dirinya lebih berada di dalam ancaman dibanding kelompok yang lebih besar. Keadaan ini menyebabkan kelompok minoritas tidak mudah percaya, sangat berhati-hati dan lebih mudah berprasangka terhadap kelompok mayoritas. Kecemasan berlebih itu tidak kondusif dalam harmonisasi hubungan sosial. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Islam dan Hewstone (1993) hubungan yang cenderung meningkatkan kecemasan akan mengurangi sikap yang baik terhadap kelompok lain.
Pengkategorian cenderung mengkontraskan antara dua pihak yang berbeda. Jika yang satu dinilai baik maka kelompok lain cenderung dinilai buruk. Kelompok sendiri biasanya akan dinilai baik, superior, dan layak dibanggakan untuk meningkatkan harga diri. Sementara itu di saat yang sama, kelompok lain cenderung dianggap buruk, inferior, dan memalukan. Keadaan ini bisa menimbulkan konflik karena masing-masing kelompok merasa paling baik. Keadaan konflik ini baik terbuka ataupun tidak melahirkan prasangka.
Oakes, Haslam & Turner (1994) menyatakan bahwa kategorisasi sosial juga akan melahirkan diskriminasi antar kelompok jika memenuhi kondisi berikut :
- Derajat subjek mengidentifikasi dengan kelompoknya. Semakin tinggi derajat identifikasi terhadap kelompok semakin tinggi kemungkinan melakukan diskriminasi.
- Menonjol tidaknya kelompok lain yang relevan. Bila kelompok yang relevan cukup menonjol maka kecenderungan untuk terjadi diskriminasi juga besar.
- Derajat dimana kelompok dibandingkan pada dimensi-dimensi itu (kesamaan, kedekatan, perbedaan yang ambigu). Semakin sama, semakin dekat, dan semakin ambigu yang dibandingkan maka kemungkinan diskriminasi akan mengecil.
- Penting dan relevankah membandingkan dimensi-dimensi dengan identitas kelompok. Semakin penting dan relevan dimensi yang dibandingkan dengan identitas kelompok maka kemungkinan diskriminasi juga semakin besar.
- Status relatif ingroup dan karakter perbedaan status antar kelompok yang dirasakan. Semakin besar perbedaan yang dirasakan maka diskriminasi juga semakin mungkin terjadi.
Teori Identitas Sosial
Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu.
Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat. Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.
Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiersmengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya Low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.
Teori Perbandingan Sosial
Kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan kelompok kita dengan kelompok lain. Hal-hal yang dibandingkan hampir semua yang kita miliki, mulai dari status sosial, status ekonomi, kecantikan, karakter kepribadian dan sebagainya. Konsekuensi dari pembandingan adalah adanya penilaian sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Melalui perbandingan sosial kita juga menyadari posisi kita di mata orang lain dan masyarakat. Kesadaran akan posisi ini tidak akan melahirkan prasangka bila kita menilai orang lain relatif memiliki posisi yang sama dengan kita. Prasangka terlahir ketika orang menilai adanya perbedaan yang mencolok. Artinya keadaan status yang tidak seimbanglah yang akan melahirkan prasangka (Myers, 1999). Dalam masyarakat yang perbedaan kekayaan anggotanya begitu tajam prasangka cenderung sangat kuat. Sebaliknya bila status sosial ekonomi relatif setara prasangka yang ada kurang kuat.
Para sosiolog menyebutkan bahwa prasangka dan diskriminasi adalah hasil dari stratifikasi sosial yang didasarkan distribusi kekuasaan, status, dan kekayaan yang tidak seimbang diantara kelompok-kelompok yang bertentangan (Manger, 1991). Dalam masyarakat yang terstruktur dalam stratifikasi yang ketat, kelompok dominan dapat menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksakan ideologi yang menjustifikasi praktek diskriminasi untuk mempertahankan posisi menguntungkan mereka dalam kelompok sosial. Hal ini membuat kelompok dominan berprasangka terhadap pihak-pihak yang dinilai bisa menggoyahkan hegemoni mereka. Sementara itu kelompok yang didominasipun berprasangka terhadap kelompok dominan karena kecemasan akan dieksploitasi.
Deprivasi Relatif
Deprivasi relatif adalah keadaan psikologis dimana seseorang merasakan ketidakpuasan atas kesenjangan/kekurangan subjektif yang dirasakannya pada saat keadaan diri dan kelompoknya dibandingkan dengan orang atau kelompok lain. Keadaan deprivasi bisa menimbulkan persepsi adanya suatu ketidakadilan. Sedangkan perasaan mengalami ketidakadilan yang muncul karena deprivasi akan mendorong adanya prasangka (Brown, 1995). Misalnya di suatu wilayah, sekelompok etnis A bermata pencaharian sebagai petani padi sawah. Masing-masing keluarga etnik tersebut mengerjakan sawah seluas 2 ha. Rata-rata hasil panenan yang didapatkan setiap kali panen (1 kali setahun) adalah 8 ton padi. Mereka sangat puas dengan hasil tersebut dan merasa beruntung. Kemudian datanglah sekelompok etnis B yang juga mengerjakan sawah di wilayah itu dengan luas 2 ha per keluarga. Ternyata, hasil panenan kelompok etnis B jauh lebih banyak (14 ton sekali panen). Sejak itu muncullah ketidakpuasan etnis A terhadap hasil panenannya karena mengetahui bahwa etnis B bisa panen lebih banyak. Ketidakpuasan yang dialami etnis A itu merupakan deprivasi relatif.
Pada awal kedatangan etnis B, mereka disambut baik oleh etnis A. Akan tetapi setelah etnis B berhasil memanen padi di sawah barunya, mulailah timbul ketidaksukaan etnis A terhadap etnis B. Etnis A menuduh etnis B berkolusi dengan petugas pengairan sehingga mendapatkan pengairan yang lebih baik karenanya hasil panenannya lebih baik. Etnis A mulai merasakan adanya perlakuan yang tidak adil dari petugas pengairan terhadap mereka, meski sebenarnya tidak ada pembedaan perlakuan dari petugas tesebut. Tidak hanya itu, dalam berbagai hal etnis A pun jadi berprasangka terhadap etnis B, dan mulai tidak menerima kehadiran etnis B.
Contoh diatas menggambarkan timbulnya prasangka akibat dari deprivasi relatif. Hal demikian seringkali terjadi terutama di daerah-daerah dimana terdapat penduduk asli dan penduduk pendatang yang cukup besar. Contoh paling bagus adalah daerah transmigrasi dimana penduduk asli tinggal tidak jauh dari sana. Sepanjang kondisi ekonomi penduduk asli masih lebih baik daripada transmigran, penerimaan penduduk asli terhadap transmigran akan berjalan baik. Akan tetapi begitu kondisi ekonomi pendatang menjadi lebih baik daripada penduduk asli maka mulai timbullah deprivasi relatif dari penduduk asli, halmana mulai menimbulkan prasangka dan berbagai gejolak lainnya.
Teori Konflik-Realistis
Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991). Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi. Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.
Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.
Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik. Prasangka tidak selalu melahirkan diskriminasi. Apabila prasangka yang ada pada masyarakat dibiarkan saja tanpa adanya kontrol dari pihak-pihak eksternal seperti institusi pemerintah, maka prasangka akan melahirkan diskriminasi. Dan bila diskriminasi dibiarkan berlanjut tanpa adanya kontrol maka bisa memunculkan terjadinya ketegangan sosial yang bisa berujung pada terjadinya kerusuhan dan kekerasan sosial. Namun apabila ada kontrol dari pihak eksternal yang cukup kuat, misalnya adanya tekanan dari pemerintah, dari negara-negara lain dan sebagainya maka prasangka tidak akan melahirkan diskriminasi. Akan tetapi pada kondisi tidak melahirkan diskriminasi, prasangka tetap bisa memicu adanya ketegangan sosial yang berujung pada kerusuhan sosial.
Teori Frustrasi-Agresi
Prasangka bisa muncul sebagai hasil dari adanya frustrasi (frustration-agression hypothesis), dimana pencapaian tujuan mungkin dihalangi pihak lain. Seseorang yang dalam mencapai tujuan dihalangi pihak lain ini akan cenderung berprasangka terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi itu. Dalam hal ini prasangka mungkin merupakan mekanisme mempertinggi harga diri atau untuk mengalahkan dan mengalihkan ancaman terhadap harga diri (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, ketika seseorang merasa tidak akan mencapai sesuatu, ia tidak ingin tampak sebagai orang gagal karena kegagalan membuat harga dirinya terancam. Maka ia akan berprasangka pada orang-orang atau kelompok lain agar harga dirinya tidak terancam. Keinginan terhalang frustrasi harga diri turun berprasangka harga diri naik.
Frustrasi seringkali menimbulkan agresi meski tidak selalu berbentuk agresi terbuka (Berkowitz, 1995). Namun kadangkala karena sumber frustrasi tidak mungkin menjadi sasaran agresi maka agresinya dialihkan kepada pihak lain. Pengalihan agresi ini biasa dikenal sebagai pengkambinghitaman yang merupakan bentuk dari prasangka. Biasanya sasaran pengkambinghitaman adalah kelompok-kelompok yang subordinat dan lemah, atau kelompok minoritas. Sebagai contoh pada tahun 1997/1998 di saat negara kita mengalami krisis ekonomi, etnis Cina dituding sebagai biang keladinya. Pada saat itu prasangka terhadap etnis Cina meningkat dan sebaliknya etnis Cina juga menjadi lebih berprasangka terhadap etnis lainnya. Struktur sosial yang kaku merupakan salah satu penyebab frustrasi karena mobilitas sosial vertikal yang terhambat. Dalam banyak negara yang menerapkan sistem pemerintahan otoriter dan tertutup dimana mobilitas sosial masyarakatnya sangat terbatas, hal mana aspirasi untuk maju dan berkembang warganya sangat sulit diwujudkan, prasangka yang ada di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat cukup tinggi. Berdasarkan teori frustrasi-agresi, prasangka yang muncul merupakan akibat dari timbulnya frustrasi atas keadaan sosial yang tidak menfasilitasi keinginan individu ataupun kelompok untuk maju dan berkembang.
Teori Belajar Sosial
Menurut teori ini prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui proses sosialisasi. Apabila suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi, stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka. Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya bila orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis batak dengan kata-kata “dasar batak”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik batak secara keseluruhan.
Ada bukti bahwa anak pada usia 3 tahun sudah sadar akan kategorisasi sosial utama yakni gender dan etnik. Anak-anak sudah mengenal kategori-kategori dan bersikap serta bertindak berdasarkan kategori-kategori itu (Brown, 1995). Pengkategorian itu mendasarkan pada berbagai informasi yang telah diterima anak-anak dari keluarganya. Informasi yang penuh dengan stereotip negatif dan berprasangka akan membuat anak-anak bertindak sesuai dengan stereotip dan prasangka yang dimiliki terhadap kelompok lain.
Media massa juga merupakan alat dalam belajar sosial yang penting. Banyak pengetahuan mengenai kelompok lain diperoleh melalui berita-berita di media massa. Akibatnya opini yang terbentuk mengenai kelompok lain tegantung pada isi pemberitaan media massa. Misalnya bila kelompok tertentu dalam berita diposisikan sebagai ekstremis, suka kekerasan, dan teroris maka prasangka terhadap kelompok itu di masyarakat akan menguat.
2. Faktor Individual Pemicu Prasangka
Sangat sering kita temui ada seseorang yang begitu mudah berprasangka tetapi ada juga yang rendah tingkat prasangkanya meskipun mereka sama-sama berada dalam satu situasi yang serupa. Seolah ada kecenderungan individu tertentu lebih berprasangka daripada individu yang lain. Mengapa hal itu terjadi? Disinilah faktor individual berperan dalam memicu prasangka.
Kepribadian Otoritarian dan Dogmatik
Dalam tataran individu, faktor kepribadian otoritarian merupakan faktor pemicu prasangka yang terpenting. Seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian dipastikan mudah berprasangka (Adorno, dalam Brown, 1995). Adapun ciri-ciri dari kepribadian otoritarian adalah;
- Mempersepsi dunia secara bipolar, yakni selalu mengkontraskan segala sesuatu dalam dua kutub yang berlawanan; jika tidak hitam pasti putih, jika tidak benar pasti salah, jika tidak baik pasti buruk, jika tidak indah pasti jelek dan semacamnya.
- Tidak mampu toleran terhadap perbedaan, yakni tidak bisa menerima adanya orang-orang yang berbeda dari dirinya. Perbedaan yang ditemui akan menimbulkan kecemasan. Karenanya orang bertipe ini menuntut kesamaan sebesar-besarnya dari orang lain. Orang dengan ciri ini cenderung untuk selalu bersikap negatif terhadap orang-orang yang berbeda dengan dirinya.
- Permusuhan berlebihan terhadap seseorang yang belum nyata anggota sebuah kelompok.
- Seseorang yang memiliki ciri ini memiliki kecurigaan tinggi tehadap orang-orang asing dan orang-orang yang belum jelas dikategorikan masuk kelompok mana.
- Hormat berlebihan dan memiliki kebutuhan kuat untuk mengidentifikasikan diri pada figure otoritarian. Orang dengan ciri ini akan sangat patuh dan merasa cemas jika pimpinan mengabaikannya. Para penjilat masuk dalam kategori ini. Mereka berupaya agar pimpinan selalu menyadari kehadirannya, dan berharap agar pimpinan lebih memperhatikannya ketimbang kepada orang lain.
Stewart & Hoult, dalam Simpson & Yinger (1965) mengidentifikasikan delapan kondisi yang umumnya memunculkan seseorang yang memiliki kepribadian otoritarian, yaitu:
- Kurang berpendidikan
- Kaum tua
- Kaum pedesaan
- Anggota kelompok yang tidak menguntungkan, misalnya anggota kelompok minoritas
- Lebih dogmatik terhadap organisasi religius, misalnya sangat mengagungkan NU-nya, Muhamadiyah-nya, Gereja-nya, dan lain-lain dan bukan pada ajaran agamanya.
- Status sosial ekonomi rendah
- Secara sosial terisolasi
- Tumbuh dalam keluarga otoritarian
Kepribadian dogmatik juga merupakan salah satu tipe kepribadian yang memiliki kecenderungan kuat untuk berprasangka. Orang-orang dengan kepribadian dogmatik memiliki pola pemikiran yang sempit (closed-mind). Mereka sangat mempercayai sistem yang anti terhadap perubahan informasi dan ditandai penggunaan daya tarik atau kekuatan wewenang untuk menjustifikasi apa yang mereka kira benar (Rokeach, dalam Brown, 1995). Dogmatisme memproposisikan bahwa orang yang dogmatik lebih banyak melakukan penolakan terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya daripada ia menolak orang lain karena identitas kelompok (ras,etnik) mereka. Secara umum orang dengan kepribadian dogmatik ini sangat konvensional. Mereka menentang setiap upaya perubahan yang terjadi jika mengakibatkan perubahan mendasar terhadap apa yang telah lama diyakininya. Mereka tidak segan menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk membenarkan apa yang diyakininya. Pada titik ekstrim, orang dengan kepribadian dogmatik ini menganggap hanya yang diyakinilah yang benar. Dogmatisme menurut Rockeach (dalam Simpson & Yinger, 1965) adalah mereka yang:
- Memiliki keteguhan yang relatif tidak bisa dirubah mengenai keyakinan dan ketidakyakinan terhadap realitas.
- Serangkaian kepercayaan yang dimiliki diorganisasikan oleh kekuasaan absolut sebagai pemilik otoritas dalam kepercayaan itu.
- Memiliki kerangka berpikir yang terpola terhadap intoleransi dan toleransi kepada orang lain.
Jenis kepribadian lain yang mudah menderita prasangka adalah orang yang memiliki kepribadian yang keras hati atau cenderung kaku. Mereka yang keras hati ini lebih mampu memahami adanya ekstremitas, misalnya membenarkan terorisme. Mereka kurang terpengaruh keluarga dan lingkungan sosial dalam menentukan pilihan politik. Karakteristik orang berprasangka secara umum bermental kaku (rigidity), dan memiliki infleksibilitas pikiran. Tipe kepribadian dogmatik dan otoritarian dapat dibentuk melalui keluarga. Kepribadian dogmatik misalnya, berasal dari sosialisasi dalam keluarga dan hubungan orangtua dan anak yang kurang harmonis. Orang tua otoritarian berkemungkinan besar sering mengalami konflik dengan anak-anak karena kaku, sangat asertif, dan tidak responsif terhadap kebutuhan anak hal mana membuat anak memiliki kecenderungan otoritarian, menjadi dogmatik, berpikir secara kaku, dan adanya sikap permusuhan terhadap kelompok minoritas (Darke & Boriel, 1996). Kepribadian otoritarian, kepribadan dogmatik, dan kepribadian yang kaku atau keras hati memberikan kecenderungan pada seseorang untuk lebih mudah berprasangka. Namun masih ada teori lain yang menganalisis prasangka dari sisi individual, yakni teori biologis dan teori psikodinamika.
Teori Biologis
Menurut pendekatan ini prasangka memiliki dasar biologis. Hipotesisnya adalah bahwa kecenderungan untuk tidak menyukai kelompok lain dan hal-hal lain yang bukan milik kita merupakan warisan yang telah terpetakan dalam gen kita. Pendekatan biologis ini berasal dari sosiobiologi. Rushton dalam Baron dan Byrne (1991) mengistilahkan pendekatan ini sebagai genetic similarity theory. Asumsi dari teori ini adalah bahwa gen akan memastikan kelestariannya dengan mendorong reproduksi gen yang paling baik yang memiliki kesamaan. Bukti dari hal ini adalah bisa dilacaknya nenek moyang kita melalui DNA karena kita dengan nenek moyang kita memiliki kesamaan gen. Maka, menurut teori ini orang-orang yang memiliki kemiripan satu sama lain atau yang menunjukkan pola sifat yang mirip sangat mungkin memiliki gen-gen yang lebih serupa dibandingkan dengan yang tidak memiliki kemiripan satu sama lain. Misalnya orang-orang yang berasal dari etnik yang sama memiliki gen yang relatif lebih mirip daripada dengan orang dari etnik yang berbeda.
Menurut teori kesamaan gen, faktor kesamaaan gen dalam satu etnik dimungkinkan sebagai faktor yang menyebabkan individu berperilaku lebih murah hati terhadap anggota etniknya daripada kepada etnis yang berbeda. Rushton juga menyebutkan bahwa ketakutan dan kekurangpercayaan terhadap orang asing telah terpola dalam gen, sebab meskipun orang asing tidak membahayakan sama sekali, kecenderungan curiga dan tidak percaya tetap ada. Hal ini memberikan kontribusi nyata terhadap munculnya prasangka.
Banyak ilmuwan menolak teori sosiobiologis. Teori ini dinilai tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mereka yang menolak berpendapat bahwasanya prasangka semata-mata merupakan produk dari adanya interaksi sosial dan kecenderungan kepribadian tertentu.
Teori Psikodinamika
Teori psikodinamika menganalisis prasangka sebagai hasil perkembangan dari ketegangan motivasional dari dalam diri individu. Prasangka menguntungkan secara psikologis karena meningkatkan perasaan superioritas (Myers, 1999). Sebagaimana yang sering kita rasakan tapi jarang atau malah tidak pernah kita ungkapkan, kita sering merasakan kepuasan bila mengetahui ada orang lain mengalami kegagalan. Hal ini merupakan cermin dari adanya tuntutan untuk merasakan superioritas atas orang lain. Dan prasangka berfungsi membantu memenuhi kebutuhan itu. Maka menjadi mudah dimengerti mengapa prasangka tumbuh lebih subur pada masyarakat yang kondisi sosial ekonominya rendah serta berada dibawah ancaman seperti kelompok minoritas, hal itu karena mereka memiliki kebutuhan untuk menjadi superior yang lebih tinggi sebagai kompensasi atas keadaan mereka yang inferior.
Teori psikodinamika mencakup teori frustrasi-agresi yang menyebutkan prasangka sebagai hasil dari agresi yang dialihkan (displacement). Displacement adalah kecenderungan untuk mengarahkan kekejaman secara langsung kepada target yang tidak dapat secara nyata ditunjukkan sebagai sumber kesulitan. Artinya seseorang tidak dapat membuktikan bahwa seseorang atau sekelompok orang merupakan sumber dari kesulitan yang dideritanya. Akan tetapi ia merasa bahwa merekalah sumber kesulitan yang dideritanya. Sebagai kompensasi karena ia tidak bisa melakukan tindakan apa-apa terhadap sumber kesulitan maka ia memunculkan prasangka.
Dalam diri indidividu ada kecenderungan untuk memproyeksikan karakteristik internal kepada orang atau objek lain. Misalnya sifat-sifat kasar yang dimiliki diproyeksikan kepada anggota kelompok lain. Dianggapnya kelompok lainlah yang memiliki sifat kasar padahal sesungguhnya merupakan sifat-sifat kasar kelompok sendiri. Proyeksi umumnya hanya ada pada kelompok mayoritas. Kekejaman tehadap ingroup biasanya di projeksikan terhadap outgroup. Misalnya etnis Jawa membenci dan kejam terhadap etnis Cina, dalam perspektif teori dinamika hal ini karena etnis jawa memproyeksikan sifat-sifat impuls buasnya, dan etnis Cina mungkin tidak menyukai etnis jawa karena etnis jawa memproyeksikan impuls buasnya pada mereka Penggunaan proyeksi terhadap target etnik minoritas dan juga displacement sering ditunjukkan dalam bentuk-bentuk ekstrim oleh orang-orang yang menderita sakit mental, sadis dan paranoid. Mereka menggunakan prasangka untuk merasionalisasi dan menerangkan perilaku menyimpang mereka. Misalnya prasangka yang dimiliki dijadikan alasan untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok yang diprasangkai.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bab 4. PRASANGKA ETNIK DI INDONESIA
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Apakah yang paling cepat membuat kehancuran suatu bangsa? “
“Ketidakpercayaan dan prasangka anak bangsa!”
Dalam bab ini akan dibahas prasangka terhadap etnik lain dan berbagai fenomena yang berkait dengannya. Jikalau dalam bab ini lebih banyak dibahas contoh-contoh yang terkait dengan etnis Cina, tidak lain karena prasangka terhadap etnik cina dan berbagai manifestasinya merupakan fenomena yang paling sering muncul. Demikian juga konflik antar etnik yang paling kerap muncul adalah antara etnis Cina dengan etnis lainnya.
A. Minoritas dan Prasangka
Seperti yang telah disinggung dalam bab 3, prasangka muncul dalam interaksi sosial dimana terdapat minimal dua entitas yang berbeda. Entitas itu bisa setara ataupun berbeda baik dalam hal jumlah pendukung atau anggota maupun kekuasaan. Perbedaan itu melahirkan adanya entitas yang mayoritas dan minoritas. Prasangka jauh lebih sering muncul dalam kondisi masyarakat yang terdapat entitas mayoritas dan minoritas. Sementara itu dalam masyarakat yang kelompok-kelompoknya relatif setara, prasangka umumnya kurang berkembang. Definisi minoritas umumnya hanya menyangkut jumlah. Suatu kelompok dikatakan sebagai minoritas apabila jumlah anggota kelompok tersebut secara signifikan jauh lebih kecil daripada kelompok lain di dalam komunitas. Dari sudut pandang ilmu sosial pengertian minoritas tidak selalu terkait dengan jumlah anggota. Suatu kelompok akan dianggap kelompok minoritas apabila anggota-anggotanya memiliki kekuasaan, kontrol dan pengaruh yang lemah terhadap kehidupannya sendiri dibanding anggota-anggota kelompok dominan. Jadi, bisa saja suatu kelompok secara jumlah anggota merupakan mayoritas tetapi dikatakan sebagai kelompok minoritas karena kekuasan, kontrol, dan pengaruh yang dimiliki lebih kecil daripada kelompok yang jumlah anggotanya lebih sedikit.
Prasangka etnik minoritas
Indonesia paling sering menghadapi permasalahan minoritas-mayoritas ketika berkaitan dengan etnis Cina. Dari segi jumlah, etnis Cina jelas minoritas. Namun meskipun demikian, dengan jumlah sebesar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia, etnis Cina merupakan salah satu kelompok etnis yang cukup besar, setidaknya masuk dalam sepuluh besar kelompok etnik di Indonesia (lihat Suryadinata, 1999, hal. 188). Hanya sayangnya karena domisili etnis Cina tersebar diseluruh kepulauan Indonesia, maka dari segi jumlah mereka selalu minoritas dalam suatu wilayah. Perkecualian khusus diberlakukan untuk kota Singkawang, Kalimantan Barat, dimana etnis Cina merupakan mayoritas. Lebih dari 40% penduduk kota Singkawang merupakan etnis Cina, sisanya terdiri dari etnis melayu, dayak, jawa, dan lainnya. Sebenarnya, menyebut seluruh keturunan imigran dari Cina dengan istilah etnis Cina tidak terlalu tepat karena itu terlalu menggeneralisasi. Pada kenyataannya, mereka yang ada di Indonesia berasal dari etnik yang berbeda-beda di dataran Cina. Jadi, kalau kita menyamakan mereka ke dalam satu etnik saja, itu sama sekali salah. Akan tetapi, demi alasan kepraktisan dan kemudahan dalam menunjukkan identitas maka penggunaan nama etnis Cina bisa dimaklumi.
Menurut Brehm & Kassim (1994), loyalitas terhadap kelompok, demikian juga prasangka rasial (etnik) lebih intens pada kelompok minoritas daripada kelompok mayoritas karena identitas sosial mereka selalu terancam oleh kelompok mayoritas. Kita misalnya umumnya beranggapan bahwa etnis Cina memiliki persatuan yang sangat kuat diantara mereka dan juga solidaritas etniknya sangat tinggi. Hal ini sebenarnya wajar saja jika mengingat bahwa kelompok minoritas memiliki peluang untuk mengalami kekerasan sosial yang jauh lebih besar daripada kelompok mayoritas. Dalam keadaan bergejolak, kelompok minoritas akan selalu sebagai pihak yang paling rentan terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan. Misalnya saja dalam gejolak sosial yang melanda pada tahun 1998 di Indonesia, etnis Cina menjadi korban kekerasan sosial. Di berbagai kota mereka mengalami serangan dari pihak lain. Oleh karena itu sebagai bentuk pertahanan kelompok dalam mengantisipasi hal itu maka mereka mengorganisasikan diri lebih kuat dan lebih loyalis terhadap kelompoknya.
Ancaman terhadap etnik minoritas tidak hanya datang dari besarnya kemungkinan menjadi sasaran kekerasan tetapi juga terhadap identitas kultur mereka. Apalagi bila pemerintah menerapkan kebijakan asimiliasionist dimana etnik minoritas diharapkan melebur ke dalam budaya mayoritas. Kebijakan itu jelas mengancam identitas etnik minoritas sebagai kelompok tersendiri yang memiliki budaya dan tata nilai tersendiri. Ancaman terhadap identitas budaya ini juga mengakibatkan etnik minoritas lebih loyalis terhadap kelompoknya.
Reaksi terhadap ancaman terjadinya kekerasan dan ancaman kehilangan identitas budaya, bisa berbeda antara etnis minoritas yang notabene lemah dalam hal sumber daya ekonomi dan rendah dalam pendidikan dengan etnis minoritas yang memiliki sumber daya ekonomi kuat dan pendidikan yang tinggi. Pada etnis yang terhitung lemah, mereka cenderung untuk kurang loyalis terhadap etniknya karena mereka tidak mampu untuk mengorganisasikan diri dengan baik. Sementara itu pada etnis minoritas yang kuat, seperti etnis Cina yang bahkan secara umum lebih maju dibanding etnis-etnis lain di Indonesia, memiliki sumber daya ekonomi yang sangat kuat dan memiliki pendidikan serta skill yang tinggi, mereka mampu dan bisa mengorganisasikan diri dengan baik dalam keluarga dan komunitas, dan seterusnya memiliki perasaan kuat akan kohesi kelompok dan identifikasi. Artinya mereka memang sungguh-sungguh memiliki rasa kebersatuan sebagai sesama etnis Cina yang jauh lebih kuat ketimbang mayoritas etnis lainnya.
Ancaman-ancaman yang datang terhadap kelompok etnik minoritas menyebabkan mereka memiliki kecurigaan yang lebih tinggi terhadap orang lain dan mereka juga lebih tertutup dalam pergaulan sosial (Brehm dan Kassim, 1994). Ketertutupan kelompok minoritas dalam pergaulan sosial mengurangi kesempatan kelompok minoritas untuk bergaul secara akrab dengan kelompok mayoritas. Akibatnya antara kelompok minoritas dan mayoritas kurang saling mengenal hal mana berpotensi menimbulkan prasangka. Sebuah penelitian mengenai prasangka rasial yang dilakukan terhadap mahasiswa di empat perguruan tinggi di kota Bandung menunjukkan bukti bahwa ketiadaan pergaulan sosial yang luas antara berbagai ras/etnik akan menyebabkan prasangka etnik yang tinggi. Ditemukan bahwa kelompok mahasiswa yang tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan interaksi antar etnik, relatif lebih tinggi prasangka etniknya dibandingkan dengan kelompok mahasiswa yang memiliki kesempatan melakukan interaksi antaretnik. Kelompok mahasiswa etnik Cina, sebagai kelompok minoritas di kota Bandung, memiliki tingkat prasangka etnik yang lebih tinggi dibandingkan pribumi (Abidin & Darokah, 1999). Mahasiswa etnis Cina yang kuliah di perguruan tinggi yang mayoritas mahasiswanya sesama etnis Cina memiliki prasangka etnik paling tinggi dibandingkan mereka yang kuliah di perguruan tinggi yang mahasiswanya mayoritas pribumi.
Penelitian di atas masih menggunakan dikotomi pribumi-non pribumi yang seringkali menyesatkan. Kita memang telah terbiasa menggolongkan etnik di Indonesia dalam dua kategori besar, yakni pribumi dan nonpribumi (untuk nonpribumi kerap diasosiasikan dengan etnik Cina karena merupakan etnis asing minoritas terbesar) Pemakaian istilah yang dikotomis itu telah menimbulkan berbagai masalah besar, terutama tidak diterimanya etnik Cina sebagai bagian dari etnik di Indonesia. Istilah itu telah menciptakan adanya jarak yang lebar antara kelompok etnik Cina dan lainnya. Akibatnya prasangka terhadap etnik Cina oleh etnik-etnik yang dimasukkan kategori pribumi sangat tinggi. Semestinya dikotomi pribumi-nonpribumi dihilangkan yang berarti penerimaan etnik Cina sebagai bagian dari Indonesia seutuhnya. Penghilangan dikotomi dengan sendirinya akan menurunkan prasangka etnik.
Prasangka etnik berhubungan secara negatif dan signifikan dengan persepsi agresi yang dilakukan oleh anggota-anggota etnik sendiri terhadap anggota-anggota yang berasal dari etnik lain. Prasangka etnik yang semakin tinggi akan menyebabkan toleransi yang semakin tinggi terhadap kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok etnik lain oleh kelompok etnik sendiri. Abidin dan Darokah (1999) menemukan bahwa kelompok mahasiswa etnik Cina yang lebih berprasangka memiliki tingkat persepsi agresi yang lebih positif dibandingkan pribumi yang kurang berprasangka. Mereka lebih menerima jika terjadi kekerasan yang dilakukan etniknya terhadap etnik lain. Seolah-olah kalau sesama etnis melakukan kekerasan terhadap etnis lain, -bila kita berprasangka- kita akan menerima dengan senang hati hal tersebut. “Syukurin, rasain!” barangkali demikian umpat kita turut mendukung kekerasan yang dilakukan.
Selain berprasangka, golongan minoritas biasanya juga memiliki ketidakpercayaan yang tinggi (distrustful) terhadap golongan mayoritas, serta memandang mayoritas sebagai berprasangka dan kurang komunikatif (Brewer & Miller, 1996). Kelompok minoritas biasanya enggan untuk sungguh-sunggguh memiliki kerjasama yang mengharuskan mereka terikat erat dengan kelompok mayoritas. Kerjasama yang terjadi antara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas umumnya hanya kerjasama yang bersifat terbuka dan tidak menyebabkan diperlukannya suatu komitmen untuk menjaga rahasia tertentu. Artinya tidak ada kerjasama yang benar-benar erat dan saling percaya mempercayai secara sungguh-sungguh. Kecurigaannya benar-benar tinggi. Berkurangnya kemungkinan kerjasama ditambah dengan adanya penilaian bahwa kelompok mayoritas memiliki prasangka terhadap kelompok minoritas semakin menjauhkan potensi kerjasama yang erat. Belum lagi prasangka yang dimiliki kelompok minoritas mencegah mereka untuk bergaul secara akrab terhadap kelompok mayoritas. Akibatnya kelompok mayoritas menilai mereka sebagai eksklusif dan menjaga jarak sosial. Seterusnya, prasangka antara kedua kelompok akan tumbuh subur.
Tentu saja prasangka bukan monopoli kelompok minoritas semata. Kelompok mayoritas juga bisa sangat berprasangka. Dalam kasus Indonesia, prasangka terhadap minoritas etnik Cina cukup besar. Akan tetapi, khusus untuk prasangka terhadap etnik Cina, penyebabnya jauh lebih kompleks ketimbang sekedar posisi mayoritas-minoritas. Faktor politik, ekonomi, sosial, dan sejarah turut menyumbang terhadap tumbuhnya prasangka terhadap mereka. Dalam keseharian kita seringkali menemui perkataan-perkataan sarkasme berkaitan dengan persepsi agresi terhadap kelompok etnik lain. Misalnya saat ada seorang anggota etnik Cina tertuduh sebagai koruptor, dan rumahnya dibakar massa, banyak anggota etnik lain menerimanya hanya karena korban adalah etnik Cina. Perkataan “rasain, dasar cina!” kerap kita dengar.
Representasi paling nyata adanya prasangka terhadap minoritas, khususnya etnik Cina terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi tragedi Mei. Menurut laporan Komnas HAM, korban terbunuh dalam tragedi itu sebanyak 1.188 orang, korban luka-luka sebanyak 101 orang, dan korban perempuan etnis Cina diperkosa sebanyak 52 orang. Peristiwa yang menggiriskan itu semestinya menimbulkan keprihatinan besar. Tetapi, reaksi masyarakat umum terhadap kejadian itu sungguh di luar dugaan. Sedikit sekali keprihatinan ditunjukkan oleh kelompok etnik lain. Kejadian itu seolah-olah direstui atau setidaknya ditoleransi karena menyangkut etnik Cina. Prasangka terhadap kelompok minoritas setidaknya memiliki dua efek fundamental, yaitu efek pada tekanan kepribadian individu, serta efek pada struktur dan proses kelompok yang di bentuk sebagai hasil dari prasangka. Struktur dan proses kelompok yang terbentuk dalam iklim berprasangka akan menjadi lebih ekslusif, tertutup, dan sangat berprasangka terhadap kelompok lain. Keanggotaannya terbatas pada kalangan tertentu yang memiliki kriteria tertentu saja. Kelompok yang dibentuk oleh mayoritas biasanya mencegah kelompok minoritas untuk turut bergabung, demikian pula sebaliknya. Biasanya, kelompok yang ada telah memiliki acuan untuk menerima anggota dari etnik tertentu saja. Bila kelompok yang terbentuk mengharuskan kerjasama antara kelompok minoritas dan mayoritas, maka pengawasan dalam kelompok menjadi sangat ketat.
Individu yang terlibat dalam interaksi sosial dengan kelompok minoritas mengalami tekanan besar dari kelompoknya. Mudah saja kita temukan orangtua yang melarang anaknya menikah dengan seseorang dari kelompok minoritas. Sebaliknya, karena prasangka pula seringkali orangtua kelompok minoritas melarang anaknya menikah dengan seseorang dari kelompok mayoritas. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ati (1999) mengenai pernikahan Cina-Jawa menemukan bahwa sebagian besar dari mereka yang menikah antar etnik (laki-laki Jawa dengan perempuan Cina dan laki-laki Cina dengan perempuan Jawa) mengaku tidak mendapatkan dukungan keluarga atau malah minus dalam arti mendapat kecaman keluarga. Hal demikian menggambarkan bahwa masih ada keengganan untuk pernikahan antara dua etnik tersebut sebagai cermin adanya prasangka diantara kedua etnik bersangkutan.
Pugiyanto (dalam Ati, 1999) pernah melakukan survei eksplorasi mengenai pandangan orang Cina terhadap kawin campur. Terungkap bahwa 35% menganggap sesama Cina dari etnis apa saja (seperti diterangkan dimuka, keturunan Cina di Indonesia terdiri dari beragam etnis) adalah merupakan pasangan yang paling baik. Bahkan sebanyak 7,5% memilih sesama Cina dari etnis yang sama. Tidak seorangpun atau hanya 0% yang beranggapan bahwa etnis Jawa adalah jodoh yang paling baik, tetapi 57,7% berpendapat bahwa jodoh yang baik tergantung etnik asalnya. Dari survei tersebut tampak bahwa sesama etnis minoritas dalam hal ini etnis Cina cenderung untuk melakukan pernikahan sesama etnis. Kecenderungan yang hampir sama juga terjadi pada etnis Jawa.
Kebijakan terhadap Etnik Minoritas
Peran pemerintah terhadap tata kehidupan kelompok etnik minoritas sangat berpengaruh. Kebijakan-kebijakan terhadap kaum etnik minoritas secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi tata pergaulan sosial dalam masyarakat. Beberapa kebijakan yang mungkin dilakukan terhadap kaum minoritas adalah asimilasi, pluralisme, perlindungan legal terhadap kelompok etnik minoritas, pengendalian populasi, penaklukan, dan pemusnahan atau penjinakan. Kebijakan asimilasi dilakukan baik melalui paksaan ataupun sebagai suatu anjuran. Etnis Cina misalnya, melakukan asimilasi terhadap etnis lain di Indonesia melalui anjuran dan pemaksaan sekaligus. Anjuran pengubahan nama cina ke dalam nama Indonesia, penghapusan berbagai sekolah berbahasa cina, pelarangan media massa berbahasa cina dan lainnya dilakukan pemerintah orde baru dalam upaya memaksakan terjadinya asimilasi. Etnik terasing seperti etnik Anak Dalam, etnik Kubu, beberapa etnik di Papua, dan lainnya diupayakan untuk melakukan asimilasi dengan kehidupan yang lebih modern. Upaya yang dilakukan diantaranya dengan memukimkan mereka di dekat penduduk yang telah terbuka dengan dunia luar. Istilah yang sering dialamatkan untuk itu adalah transmigrasi lokal.
Setelah tahun 1998 baru disadari bahwa kebijakan asimilasi ternyata kurang berhasil. Karenanya saat ini di Indonesia kebijakan yang dilakukan adalah kebijakan pluralis, dimana semua etnik minoritas dibiarkan untuk meneruskan tradisinya dan mempertahankan identitasnya. Semua etnik dibiarkan untuk menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan sosial. Akibat perubahan kebijakan ini cukup nyata. Pemaksaan pemukiman suku terasing tidak lagi dilakukan. Sekolah-sekolah dan media berbahasa Cina diijinkan untuk beroperasi, dan berbagai ritual tradisi Cina bisa diselenggarakan. Bila akhir-akhir ini kita sering melihat adanya barongsai, tidak lain itu merupakan akibat dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia.
Kebijakan perlindungan legal terhadap kelompok etnik minoritas dimunculkan sebagai bagian dari kebijakan pluralis yang diambil pemerintah Indonesia. Bentuknya beragam, diantaranya mengakui adanya tanah adat yang tidak boleh digunakan pemerintah untuk tujuan apapun dan kebebasan untuk menjalankan tradisi budaya. Hanya memang aplikasi di lapangan masih sangat rendah. Terbukti berbagai sengketa tanah adat jarang yang diselesaikan dengan tuntas. Bahkan masih saja terjadi pengalihan tanah adat untuk kegunaan industri, pertambangan, perkebunan, dan lainnya. Tercatat, etnik yang telah menikmati perlindungan legal adalah etnis Badui di Jawa Barat yang memperoleh hak istimewa atas tanah adat.
Program transmigrasi yang dilakukan pemerintah secara tidak langsung juga merupakan kebijakan terhadap kelompok minoritas. Pengalihan penduduk dari pulau jawa ke pulau-pulau lain dilakukan dalam upaya mengikatkan wilayah-wilayah itu kedalam negara kesatuan Indonesia. Akan tetapi seringkali proses migrasi itu tidak berjalan lancar sehingga menimbulkan permasalahan yang parah. Perselisihan yang paling kerap muncul adalah sengketa tanah, dimana pemerintah ternyata memukimkan para warga transmigran diatas tanah yang bersengketa, atau menyerobot tanah ulayat warga etnik masyarakat setempat.
Kebijakan penaklukan dan pemusnahan atau penjinakan tidak dilakukan pemerintah Indonesia. Namun agaknya kebijakan terhadap etnik Aceh sedikit banyak mengandung upaya penaklukan. Dalam upaya mempertahankan wilayah Aceh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia maka dilakukan penaklukan politis terhadap etnis Aceh. Kebijakan penaklukan akan menyebabkan tumbuhnya prasangka terhadap kelompok dominan, atau yang dianggap menaklukkan. Sampai saat ini sangat sulit etnis Jawa masuk ke tanah Aceh karena dianggap sebagai penjajah. Etnis jawa yang datang ke aceh akan diprasangkai. Meskipun kita bernaung di bawah bendera PBB, LSM atau lainnya yang bertujuan untuk membantu rakyat Aceh, tetapi apabila kita memiliki nama jawa maka akan sangat sulit kita diterima di daerah bergolak di Aceh. “Bila nama akhiranmu ‘To’, sudahlah lupakan keinginan untuk bekerja di LSM di Aceh, susah diterima masyarakat” demikian ucap seorang kawan asal Aceh kepada saya suatu kali ketika saya menanyakan peluang untuk bekerja di LSM di Aceh.
Masyarakat yang memiliki entitas etnik yang berposisi mayoritas-minoritas memiliki keragaman persoalan yang lebih besar daripada masyarakat monoetnik. Mereka menghadapi kemungkinan konflik dan disintegrasi yang lebih besar. Pola hubungan antar entitas juga beragam. Setidaknya ada empat hal yang biasa dilakukan kelompok minoritas dalam kaitannya dengan kehidupan sosial bersama kelompok mayoritas, yaitu:
_ Pluralistik
Minoritas berdamai dengan mayoritas dan minoritas yang lain. Hal ini sering sebagai prekondisi peradaban yang dinamis. Dalam kondisi ini, setiap kelompok etnik minoritas tidak menyatu diri dengan kelompok mayoritas. Mereka tetap mempertahankan identitasnya namun dapat hidup berbaur dengan kelompok lain dengan baik. Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang ingin dicapai dalam kebijakan terhadap etnisitas oleh pemerintah Indonesia. Semua etnik diharapkan tetap menunjukkan jati dirinya dengan tetap mempertahankan identitas etniknya namun bisa dan mampu bergaul secara baik dengan etnik mayoritas.
_ Assimilationist
Kaum minoritas larut dan meleburkan diri ke dalam kaum mayoritas. Dalam kondisi ini minoritas etnik melepaskan identitas etniknya dan mengadopsi nilai-nilai dan cara hidup kelompok mayoritas. Misalnya Etnis Jawa yang ada Jambi, tidak lagi mengakui identitas etnis jawanya, tetapi memakai identitas Jambi. Demikian juga cara-cara hidup dan tata nilai yang dianut tidak lagi tata nilai Jawa tetapi tata nilai melayu.
_ Secessionist
Kaum minoritas mencari kemerdekaan politik dan kultural dengan menarik diri dari kehidupan bersama kaum mayoritas dan minoritas yang lain. Gerakan ini jarang terjadi di Indonesia, tapi contoh yang bagus adalah etnik Badui di Jawa Barat. Mereka dengan sengaja memisahkan diri dari kehidupan sosial bersama kaum mayoritas dan minoritas lainnya. Mereka tetap memilih untuk tinggal di wilayah yang terisolasi agar tetap dapat melanjutkan tradisi leluhur yang dimilikinya. Dengan jelas mereka mencari kemerdekaan kultural. Adapun kemerdekaan politis agaknya sedikit banyak telah mereka dapatkan pula dimana tidak ada tangan-tangan birokrat sampai di kampung mereka. Keputusan mereka untuk tidak memilih pada pemilu 2004 juga merupakan salah satu bentuk kemerdekaan politis.
_ Militant
Kaum minoritas melakukan perlawanan terhadap kaum mayoritas dan minoritas lainnya. Hal ini masih sering kita dengar di Indonesia sampai sekarang. Berbagai pemberontakan atas nama etnis terus berlangsung dari dulu sampai sekarang. Misalnya saja Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS) dimana masing-masing mengatasnamakan etnis sebagai landasan perjuangan.
B. Manifestasi Prasangka Etnik
Sebagai sebuah sikap, bagaimana prasangka dalam suatu masyarakat bisa dilihat? Apakah diperlukan suatu pengukuran sikap sebagaimana yang biasa dilakukan psikolog? Mengetahui prasangka yang berkembang dalam suatu masyarakat tidaklah harus serumit itu. Secara sederhana, kita bisa mengetahui adanya prasangka melalui berbagai bentuk manifestasinya, seperti berkembangnya stereotip buruk terhadap etnis lain, diskriminasi dan pengucilan, penolakan terhadap kehadiran etnis lain, dan berbagai ungkapan lainnya. Semua hal itu bisa diobservasi dilapangan. Stereotip negatif misalnya bisa dilihat melalui ungkapan verbal yang biasa ditujukan terhadap suatu etnik tertentu, melalui joke-joke yang beredar dan juga melalui tulisan-tulisan.
Bagaimana prasangka mempengaruhi perilaku? Setidaknya ada tiga bentuk tindakan sebagai respon terhadap adanya prasangka, yakni penghindaran, perlawanan dan penerimaan. Penghindaran sebagai pola respon yang digunakan dalam menghadapi prasangka paling mudah terlihat di sekitar kita. Sebagai contoh kita sering mendengar bahwa etnis Cina ekslusif, tidak mau bergaul, rumahnya selalu tetutup dan seterusnya. Hal ini mudah dimengerti sebagai efek dari adanya prasangka. Seorang etnis Cina yang berprasangka terhadap etnis lain cenderung untuk tidak mau bergaul dalam lingkungan sosial. Mereka menarik diri dari pergaulan sosial. Efek balik dari hal ini adalah peneguhan prasangka yang dimiliki etnis lain terhadap etnis Cina dan sebaliknya prasangka etnis Cina terhadap etnis lain dilestarikan karena kurangnya kontak yang akrab antar etnis. Sebuah kisah nyata yang diceritakan seorang kawan kepada saya akan menggambarkan dengan jelas.
Prasangka menyebabkan seseorang enggan bertemu dengan yang diprasangkai. Penghindaran itu beraneka macam, misalnya menghindari jalan-jalan yang banyak digunakan oleh etnis lain, tidak mau bekerja sama dengan etnis lain, selalu menutup pintu rumah, tidak mau berbicara dengan etnis lain, menghindari terjadinya pernikahan dengan etnis lain, dan lainnya. Adanya penghindaran itu menyebabkan terjadinya komunikasi yang tidak lancar. Akibatnya tidak pernah terjalin keakraban sosial antar etnik. Seterusnya, antara etnis-etnis yang berbeda jadi kehilangan kesempatan untuk bergaul secara akrab halmana merupakan jalan yang efektif untuk mengurangi prasangka. Maka, jadilah penghindaran terhadap obyek prasangka semakin meneguhkan prasangka yang ada.
Kita sering mendengar seseorang dari etnis tertentu mengatakan ‘etnis A itu suka menjilat, nggak dapat percaya, penipu, dan semacamnya yang negatif-negatif” Dalam skala yang lebih besar ketimbang sekedar menghindari pertemuan fisik, adalah penolakan dan penghindaran terhadap etnik tertentu untuk memiliki usaha di daerah tertentu. Penolakan ini khususnya dialamatkan pada etnis Cina, yang tidak lain akar masalahnya adalah prasangka terhadap mereka. Agak kurang masuk akal alasan penolakan adalah untuk melindungi usaha warga setempat. Karena sementara itu etnik selain Cina bebas berusaha disana. Disinyalir, sampai saat ini masih ada beberapa kota yang menolak kehadiran etnik lain untuk membuka usaha di sana.
Bentuk respon kedua terhadap prasangka adalah perlawanan, yang berarti melakukan tindakan negatif tertentu yang diarahkan pada etnis yang diprasangkai. Etnik yang menjadi objek prasangka etnis lain akan dilawan melalui tindakan agresif seperti menyerang, memaki, menghina, dan lainnya. Mereka secara konfrontatif menghadapi pihak-pihak yang diprasangkai. Seringnya konflik antar etnik, baik berupa konflik terbuka maupun konflik tetutup merupakan penanda penting bahwa terdapat prasangka etnik yang tinggi disana.
Respon ketiga terhadap prasangka yaitu penerimaan adalah kondisi dimana pihak-pihak yang berprasangka menerima dan mengakui adanya prasangka diantara mereka. Kehadiran etnis yang diprasangkai diterima karena tak terhindarkan dalam pergaulan sosial. Dalam kondisi ketiga ini, prasangka terpelihara namun tidak menimbulkan konflik secara terbuka dengan etnik lain. Dalam posisi penerimaan ini pula prasangka bisa dikurangi karena adanya kesadaran masing-masing bahwa satu sama lain saling mencurigai tanpa dasar yang jelas.
Prasangka dan Stereotip
Prasangka etnik didalam suatu masyrakat bisa dilihat melalui ada tidaknya stereotip etnis negatif yang berkembang di masyarakat. Stereotip-stereotip negatif yang dilekatkan pada etnik tertentu merupakan wujud dari adanya prasangka. Sebagai contoh, stereotip etnis Jawa oleh etnis Cina adalah aji mumpung, santai dan lamban, serta munafik (Lee, 1995), etnis yang poligamis dan sering kawin cerai (Ati, 1999). Stereotip etnis Madura di Kalimantan di antaranya bertemperamen keras dan kasar (kecuali yang dari Sumenep), arogan, keras, mudah tersinggung, angkuh, pendendam, suka carok karena balas dendam (Mustofa, dkk., 2001). Stereotip Dayak di antaranya percaya pada hal-hal gaib dan kurang kepercayaan diri (Trisnadi, 1996). Stereotip Bugis memiliki sikap keras, solidaritas tinggi, dan suka melibatkan diri dalam konflik dalam membela keluarga dan kerabat. Stereotip Minang adalah pedagang, perantau, ulet, dan licik. Stereotip etnik Batak keras, kasar, penggertak, dan lainnya.
Penulis pernah tinggal di kota Jember selama setahun, banyak pengalaman menarik mengenai stereotip etnik ditemukan disana. Jember adalah sebuah kota kecil yang berpenduduk etnis jawa dan madura. Di kota Jember sendiri, mayoritas penduduk menggunakan bahasa madura, meskipun pada umumnya mereka juga menguasai bahasa jawa. Artinya bahasa jawa dan bahasa madura dipergunakan sebagai bahasa pengantar bersama-sama. Namun meski demikian, stereotip etnik ternyata masih ada diantara kedua etnik tersebut. Hampir tidak berbeda dengan stereotip orang Madura di Kalimantan, orang Madura di Jember juga memiliki stereotip negatif keras, mudah tersinggung, arogan, dan mau menang sendiri. Sementara stereotip negatif etnis jawa adalah pemalas dan suka menjilat. Dan stereotip orang Sumatera (yang diwakili profil mahasiswa dari sumatera di Jember) adalah tidak tahu sopan santun, berterus terang, dan sombong.
Sepanjang yang saya ingat, di Jember pula saya mendengar prasangka yang dialamatkan pada Masyarakat Osing di Banyuwangi, terutama untuk kaum mudanya. Dari cerita-cerita yang beredar diantara mahasiswa di kota Jember, masyarakat osing memiliki suatu ilmu ‘pengasihan’ semacam pelet asmara yang ampuh. Siapapun yang terkena ‘aji pengasihan’ itu sudah dipastikan akan jatuh cinta kepada yang memberi ‘aji pengasihan’ tersebut. Strategi ini kerap digunakan kaum muda masyarakat osing untuk memikat seseorang yang disukainya jika cara konvensional gagal. Hal itu biasanya juga didorong oleh orangtua agar anaknya lekas mendapat jodoh. Terlepas dari benar tidaknya gambaran itu, efeknya sangat jelas. Umumnya mereka yang hendak pergi ke daerah Masyarakat Osing melengkapi diri dengan berbagai ‘azimat’ agar tidak terkena “aji pengasihan’. Mereka, para mahasiswa, juga enggan untuk dekat dengan mahasiswa dari masyarakat Osing. Namun bagi yang sedikit nakal, mereka memanfaatkan teman dari Osing untuk mencarikan pengasihan buat mereka sendiri. Jadi, prasangka akan dikenai ‘aji pengasihan’ menjadi sebab mereka enggan berakrab ria dengan masyarakat Osing.
Untuk menggambarkan stereotip sebagai manifestasi dari adanya prasangka etnik di suatu daerah, saya akan menggunakan contoh sebuah daerah dimana saya berasal yakni Mukomuko, Bengkulu. Mukomuko merupakan wilayah yang terbuka terhadap pendatang, bahkan disinyalir lebih dari 60% penduduk Mukomuko saat ini adalah pendatang yang berada di Mukomuko kurang dari 20 tahun, baik perpindahan karena program transmigrasi maupun perpindahan biasa. Karenanya tidak mengherankan bila wilayah ini cukup plural. Berbagai etnik ada di wilayah ini, mulai dari etnik Batak dengan berbagai marga, etnik Bali, etnik Jawa, etnik Sunda, etnik Madura, etnik Minangkabau dan warga asli yang lebih dekat dikategorikn sebagai etnik minangkabau atau melayu. Saat ini Mukomuko telah menjadi kabupaten tersendiri yang mencakup beberapa Kecamatan. Untuk memfokuskan perhatian, kita hanya akan melihat fenomena di tiga kecamatan, yakni kecamatan Teras Terunjam, kecamatan Lubuk Pinang, dan kecamatan Mukomuko yang dulu tergabung ke dalam kecamatan Mukomuko Utara. Di daerah Teras Terunjam, Mukomuko, dan Lubuk Pinang, etnis Jawa masih banyak yang menyebut warga asli dengan “Wong Mbilung”, yang bermakna orang yang tidak tahu aturan. Hal itu menggambarkan bahwa etnis Jawa merasa memiliki harkat yang lebih tinggi, setidaknya memiliki tatakrama dan tata nilai yang lebih luhur. Dalam kacamata kosmologi jawa, perilaku warga asli yang cenderung lebih bebas dan terbuka baik dalam berkata-kata maupun dalam bertindak memang seringkali terasa keluar dari aturan, tidak sopan, dan terbelakang. Tapi kalau melihat dari kosmologi setempat, hal itu masih dalam tata aturan. Disinilah letak kesalahan pemerintah, dimana baik kaum transmigran maupun kaum asli tidak dipersiapkan secara kultural untuk menghadapi perbedaan budaya. Akibatnya mereka tetap memandang budaya yang lain melalui kacamata budaya sendiri.
Secara khusus, seorang etnis jawa, dan kemudian dikuatkan oleh pernyataan beberapa orang lainnya mengatakan bahwa dalam berdagang, etnis asli suka main kayu atau curang. Jadi harus berhati-hati bila berbisnis dengan mereka. Demikian juga bila ada urusan apapun sebaiknya berhati-hati karena warga asli kurang bisa dipercaya. Ada juga satu cerita yang sedikit mengerikan mengenai warga asli, yakni cerita tentang racun. Menurut cerita dari beberapa orang etnis jawa yang saya temui, mereka selalu berhati-hati menerima suguhan minuman dari warga asli karena kadangkala minuman itu dicampur racun apabila sang tuan rumah kurang senang dengan sang tamu. Dari pernyataan itu, jelaslah terdapat adanya prasangka terhadap warga asli oleh etnis jawa.
“Orang jawa itu pekerja keras, pintar, dan sopan, akan tetapi ia tidak bisa diberi hati sedikit saja” demikian ucap salah seorang tokoh terkemuka di Mukomuko. Maksud perkataannya adalah bila orang jawa di beri berbagai kesempatan yang luas, dibiarkan terlalu dekat, maka ia bisa jadi akan ‘nglunjak” atau meminta kompensasi yang jauh lebih luas lagi. Artinya mungkin saja orang jawa akan menikam dari belakang. Hal itu digambarkan dengan sangat jelas melalui peribahasa “kecil disayang-sayang, besar menikam dari belakang”.
Pernyataan sang tokoh di atas menggambarkan adanya sikap hati-hati terhadap etnis Jawa, justru karena penilaian bahwa etnis jawa pintar. Tokoh tadi berargumen bahwa ketidakterusterangan orang jawa seringkali tidak mampu dipahami oleh mereka. Sehingga mereka hanya bisa menangkap apa yang memang dinyatakan orang jawa. Tapi sementara itu, di sisi lain, orang jawa justru bisa berbuat lain dari yang diungkapan sebagaimana yang dipahami mereka. Pernyataan tokoh tadi juga menyiratkan adanya suatu kekhawatiran yang mendalam mengenai keberlangsungan kehidupan warga asli karena akan didesak oleh kehadiran orang jawa (pendatang). Pengakuan bahwa orang jawa pintar sekaligus dirasakan sebagai ancaman terhadap posisi warga asli, baik kehidupan ekonomis, kultural maupun politis. Bagi masyarakat awam, kekhawatiran itu mewujud ke dalam adanya prasangka terhadap etnis pendatang. Oleh karenanya tidak mengherankan bila etnis pendatang cenderung ditolak bila menduduki jabatan strategis. Apalagi ternyata disekolah-sekolah yang muridnya campuran berbagai etnis, faktual, mereka yang masuk kategori juara berasal dari warga pendatang. Saya ingat betul, di SMU Negeri satu-satunya di kecamatan Lubuk Pinang, hampir tidak ada satupun warga asli yang bisa menduduki juara. Alasan yang selalu dipakai pelajar warga asli kepada orangtuanya untuk menjelaskan prestasinya yang pas-pasan biasanya berkisar pada pernyataan seperti “Orang Jawa (pendatang) pintar-pintar, saya bisa dapat rangking saja sudah untung”.
Sebagai catatan, warga asli umumnya tidak membedakan etnis-etnis di antara warga pendatang. Semua yang berasal dari Jawa, akan disebut orang jawa meskipun mungkin ia etnis madura, etnis sunda, atau jawa asli. Akan tetapi warga pendatang biasanya mengkategorikan sesama warga pendatang berdasarkan etnisnya. Oleh karena itu ada stereotip etnis madura, etnis jawa, etnis sunda, etnis bali oleh etnis lainnya. Misalnya etnis sunda digambarkan sebagai etnis yang suka kawin cerai. Perempuan etnis sunda dianggap perempuan ‘gampangan’, artinya mudah diajak laki-laki. Etnis Bali digambarkan sebagai etnis yang keras hati dan kasar. Etnis madura digambarkan mudah tersinggung dan temperamental serta mau menang sendiri. Etnis jawa digambarkan bermuka dua dan suka menjilat.
Terlepas dari stereotip negatif, di ketiga kecamatan diatas, terutama di kecamatan Lubuk Pinang berkembang polarisasi warga berdasarkan statusnya sebagai pendatang atau bukan. Disana terbentuk suatu paguyuban atau perkumpulan warga asli untuk memperjuangkan kekuasaan politis bagi warga asli. Sebagai balasannya masyarakat pendatang (terutama jawa) membentuk paguyuban orang jawa. Bahkan dikabarkan ada tuntutan dari warga pendatang jawa untuk memisahkan diri membentuk kecamatan tersendiri yang terdiri dari desa-desa yang berawal dari desa transmigrasi. Keadaan demikian tentunya sangat mencemaskan. Friksi-friksi antar etnis, terutama antara etnis pendatang dengan warga asli telah terjadi dan semakin menajam. Prasangka antar etnik semakin menguat. Tanpa adanya social engineering yang tepat untuk mengatasi hal itu, konflik tinggal menunggu saat yang tepat.
Masih di daerah Bengkulu, ada terdapat etnik Rejang yang juga dilekati stereotip negatif. Etnis rejang dinilai temperamental, suka main ‘tujah’ (menusuk dengan senjata kecil semacam badik), dan suka mencari kesempatan dalam kesempitan orang. Bahkan menurut cerita seorang teman, di daerah Bengkulu Selatan, masih ada pertentangan antara warga Manna dengan orang rejang. Teman saya mengaku bahwa orangtuanya memperbolehkan untuk menikah dengan orang darimanapun terkecuali dengan orang rejang. Menurut teman saya, orang rejang begitu pula terhadap kelompok teman saya itu.
Ada seorang kawan yang berorangtua etnis Jawa baru menikah setelah umurnya lebih dari 30 tahun karena selalu gagal mendapat restu orang tua. Apa pasal? Ternyata orang tuanya tidak setuju kalau teman saya menikah dengan perempuan minang. Ironisnya, teman saya selalu jatuh cinta dan punya pacar orang minang karena ia memang tinggal dan bekerja di kota padang. Pernah saya bertemu dengan orang tua teman saya itu dan berbincang-bincang. Mereka bilang bahwa kalau menikah dengan perempuan minang, mereka takut akan kehilangan anaknya. Menurut mereka, teman saya akan dikuasai sang istri dan akan lupa dengan keluarganya sendiri. Semua harta benda yang diperoleh nantinya akan jadi hak istri, dan teman saya tidak akan mendapatkan apa-apa. Kalau nantinya ada masalah dan bercerai, teman saya akan pergi hanya membawa kain di badan saja. Mereka juga bercerita kalau perempuan minang memiliki ilmu yang bernama ‘cirik berendang’ yang bisa membuat laki-laki setelah menikah tunduk padanya. Mereka tidak rela anaknya akan jadi abdi bagi istrinya kelak. Tapi toh akhirnya teman saya menikah dengan orang minang karena orang tuanya merasa anaknya sudah terlalu terlambat untuk menikah sedangkan calon yang dikenalkan selalu orang minang. Mereka pada akhirnya menyerah dengan keputusan teman saya. Itupun, kalau tidak salah, setelah pacar keenam atau ketujuh Dari cerita orangtua teman saya diatas, jelas sekali kalau mereka berprasangka terhadap orang minang. Cerita negatif itu saya dengar setahun sebelum teman saya menikah. Ketika saya bertemu lagi dengan orang tua teman setahun setelah pernikahan, pendapat mereka tentang orang minang sudah sama sekali berubah. Rupanya setelah bergaul lebih akrab dengan menantunya yang orang minang, mereka jadi sadar bahwa prasangka mereka terhadap orang minang sesuatu yang salah.
Beralih ke Kalimantan, beberapa etnis Jawa yang saya temui di Jawa dan pernah ke Kalimantan membawa cerita mistis yang sedikit mengerikan mengenai etnis Dayak. Salah satu ceritanya, bila menikah dengan perempuan etnis Dayak maka tidak ada peluang lagi untuk menikah, sebab perempuan etnis dayak memiliki ilmu yang bisa membuat ‘senjata’ laki-laki mengecil atau bahkan hilang. Entah benar atau tidak tapi ada yang bercerita bahwa dirinya (si pencerita) bersama temannya pernah pergi ke salah seorang warga Dayak. Karena kemalaman ia menginap disana. Kebetulan warga Dayak itu memiliki anak perempuan yang cantik. Malamnya, sebelum tidur, sang teman mengaku pada si pencerita, bahwa ia tertarik dengan anak gadisnya. Tapi tentu saja itu tidak disampaikan kepada empu rumah. Pagi-pagi ketika bangun tidur, si pencerita bersama temannya hendak buang air kecil. Tiba-tiba sang teman berteriak bahwa ‘alat vitalnya’ tidak ada. Setengah mati ketakutan, sang teman menghadap ke empu rumah. Oleh si empu rumah disilahkan makan. Ketika membuka tutup makanan ia menemukan ‘alat vitalnya’ ada di sana.
Saya tidak yakin cerita itu benar. Lagipula si pencerita juga tidak mengatakan etnik dayak yang mana. Seringkali cerita semacam merupakan hasil dibesar-besarkannya sebuah kisah sederhana dan biasa saja. Dengan tambahan bumbu disana-sini jadilah cerita itu menarik. Bagi saya yang menarik justru bukan ceritanya tetapi makna dari cerita itu. Berkembangnya cerita semacam itu menjelaskan adanya prasangka yang besar terhadap etnis dayak. Kalau cerita itu semakin berkembang luas maka masyarakat juga akan semakin berprasangka terhadap etnik dayak. Mereka jadi enggan dan takut untuk berhubungan dengan etnis dayak halmana semakin mengukuhkan prasangka yang dimiliki.
Adanya stereotip, terutama stereotip negatif sebagai cermin utama adanya prasangka, sangat tidak menguntungkan untuk kehidupan sosial, terutama bila stereotip itu dilekatkan pada kelompok etnik minoritas. Etnik Dayak Meratus di Kalimantan sampai sekarang terisolasi tidak lain karena adanya stereotip negatif atau prasangka yang dialamatkan pada mereka. Mereka dianggap tidak bersahabat, menakutkan bahkan dianggap belum ‘beradab’. Stereotip menyakitkan itu sampai kini tetap terasa bahkan masyarakat kota Banjarmasin pun masih menjuluki mereka sebagai orang Bukit. Masyarakat kota di Banjarmasin, apalagi diluar pulau Kalimantan, masih menganggap berkunjung ke pedalaman Dayak tidak aman. Berkunjung ke Balai (rumah adat Dayak Meratus) bisa-bisa tidak dapat pulang karena orang-orang Dayak dianggap mempunyai kekuatan magis yang bisa digunakan untuk keperluan jahat (Kompas, 7 Oktober 2003).
Di Sumatera, khususnya di Jambi juga terdapat stereotip negatif terhadap etnik Minoritas yakni suku Anak Dalam, yang oleh masyarakat luas lebih dikenal sebagai orang Kubu. Mereka dianggap pemalas, bodoh, dan peminta-minta. Sebenarnya, meskipun nama suku Kubu sudah diberikan selama berabad-abad oleh masyarakat umum kepada etnik-etnik minoritas yang ada di Jambi, mereka yang dikategorikan sebagai orang Kubu saat ini tidak ingin dikenal dengan nama orang Kubu. Mereka lebih suka dikenal sebagai orang Rimba atau orang Kelam (Weintre, 2003). Pernyataan Butet Manurung, seorang guru bagi anak-anak suku Kubu menegaskan hal tersebut; "Kubu artinya bau, jorok, dan bodoh. Makanya, mereka sering marah jika disebut Suku Kubu. Mereka lebih senang bila dipanggil dengan sebutan Orang Rimba," (Kompas Cyber Media, 14 Maret 2004). Artinya, meskipun pada awalnya makna Kubu bersifat netral dan hanya merupakan sebutan bagi sebuah etnik, tetapi begitu terjadi pergeseran makna akibat stereotip negatif yang dilekatkan maka pemilik identitas menjadi enggan menggunakan nama itu.
Joke atau anekdot yang berkait dengan etnik juga bisa menggambarkan adanya prasangka etnik bila isi dari joke-joke itu memojokkan etnik tertentu. Misalnya saja joke tentang etnik Jawa, etnik Minang dan etnik Cina. Pada suatu hari ada tiga orang dari tiga etnik berbeda itu jalan-jalan di pasar malam. Ketika sampai di rumah Hantu mereka bersepakat untuk masuk ke dalamnya di mana di dalamnya terdapat tiga patung Nyi Roro Kidul. Giliran pertama orang jawa. Setelah masuk selama 15 menit, ia keluar dan membisikkan sesuatu pada kedua temannya “ssssttttt, aku ambil kacamata dipatung Nyi Roro Kidul.” Kemudian giliran etnis Minang, ketika keluar iapun berbisik pada dua temannya “Sssst aku ambil kacamata dan kain yang dipakai Nyi Roro Kidul.” Terakhir, giliran etnis Cina. Ketika keluar tampak pakaiannya menggelembung dan ia berbisik pada rekan-rekannya “Ssssttt, aku ambil kacamata, kain dan sekaligus patung Nyi Roro Kidul”.
Bila diidentifikasi lengkap akan diketahui betapa banyaknya stereotip negatif etnik yang berkembang di masyarakat. Baik itu stereotip dalam konteks nasional maupun stereotip dalam konteks lokal setempat. Kaitannya dengan prasangka etnis, tentunya akan sangat berguna apabila ada penelitian dalam skala luas yang mencoba meneliti mengenai hal itu. Paling tidak, hasil penelitiannya bisa menjadi panduan bagi warga masyarakat dalam berhubungan dengan etnis yang berbeda. Artinya bisa mementahkan berbagai anggapan dan sikap yang keliru terhadap etnik lain. Dalam skala lebih luas, penelitian mengenai prasangka etnik juga sekaligus sebagai pemetaan terhadap daerah-daerah yang rawan konflik antar kelompok etnis.
C. Konflik Antar Etnik :Peranan Prasangka
Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air. Tentunya sebagaimana konflik lain, mencari akar penyebab konflik antar etnik merupakan kunci dalam upaya meredam konflik dan mencegah terulangnya kembali konflik serupa. Berbagai perspektif telah memberikan pandangannya, baik itu perspektif politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, dan lainnya. Berbagai sebab konflik telah pula diidentifikasi. Salah satu sebab yang sering ditemukan dalam konflik antar etnik adalah prasangka antar etnik. Dalam bagian ini akan diketengahkan bagaimana peranan prasangka dalam konflik antar etnik.
Apakah konflik?
Apakah konflik? Lebih spesifik apakah konflik antar etnik? Menurut Hocker dan Wilmot (dalam Isenhart dan Spangle, 2000) konflik adalah ekpresi perjuangan antara minimal dua belah pihak yang saling tergantung untuk mencapai tujuan tertentu, dimana dua pihak itu merasa tidak memiliki kesamaan tujuan, memperebutkan sumber daya yang langka, dan merasa adanya campur tangan pihak lain dalam upaya pencapaian tujuan. Definisi konflik itu mencakup segala tindakan yang merupakan efek dari perjuangan mencapai tujuan, seperti saling memaki atau permusuhan verbal, menghindari pertemuan, perkelahian, perang, dan lainnya. Konflik bisa dalam skala besar bisa juga kecil. Memaki pihak lawan ketika bertemu di jalan mungkin hanya merupakan konflik skala kecil. Tapi itupun tergantung konteksnya, karena kalau yang bertemu dan saling memaki itu merupakan pemimpin dua belah pihak yang sedang berkonflik, efeknya bisa sangat besar.
Kita semua hampir selalu mengidentikkan konflik dengan pertentangan. Akan tetapi pertentangan tidak selalu bermakna konflik. Tidak semua pertentangan menciptakan konflik. Pertentangan yang terjadi antara dua pihak dalam forum diskusi misalnya, jarang sekali menimbulkan konflik. Menurut Gurr (1980) kriteria agar sebuah pertentangan bisa dikatakan sebagai sebuah konflik adalah :
- Sebuah konflik melibatkan minimal dua pihak atau lebih.
- Pihak-pihak tersebut saling tarik menarik dalam aksi saling memusuhi
- Mereka cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan pihak lawan
- Hubungan pertentangan antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas karena peristiwa pertentangan itu dapat dideteksi dengan mudah oleh para pengamat yang tidak terlibat dalam pertentangan.
Konflik antar etnik berarti dua pihak yang berlawanan adalah dua atau lebih kelompok etnik. Dalam konflik itu sendiri bisa saja pelakunya mengatasnamakan etnik dan bisa juga tidak. Demikan juga lawan dalam konflik bisa disebutkan mengatasnamakan etnik bisa juga tidak. Dalam kasus konflik antara etnik Madura dan etnik Dayak, jelas sekali mereka membawa bendera etnik. Pada kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan berbagai kota besar lainnya, tampak sekali bahwa sasaran kerusuhan adalah etnik Cina, sementara pelakunya etnik mana tidak jelas. Namun demikian, kerusuhan Mei di Jakarta, tetap bisa disebut konflik antar etnik, karena setidaknya salah satu pihak bisa diidentifikasi sebagai etnik mana.
Seringkali terjadi segerombolan pemuda etnik tertentu berkelahi dengan gerombolan pemuda etnik lain karena memperebutkan seorang gadis. Apakah hal ini juga bisa disebut konflik antar etnik? Apabila tidak melibatkan struktur dalam etnik masing-masing dalam konflik, maka perkelahian itu tidak bisa disebut konflik antar etnik. Perkelahian disebut perkelahian antar etnik bila telah membawa identitas etnik masing-masing.
Sumber konflik antaretnik
Konflik bisa disebabkan oleh suatu sebab tunggal. Akan tetapi jauh lebih sering konflik terjadi karena berbagai sebab sekaligus. Kadangkala antara sebab yang satu dengan yang lain tumpang tindih sehingga sulit menentukan mana sebenarnya penyebab konflik yang utama. Faturochman (2003) menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa melatarbelakangi terjadinya konflik, 1) Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, 2) Perebutan sumber daya, 3) Sumber daya yang terbatas, 4) Kategori atau identitas yang berbeda, 5) Prasangka atau diskriminasi, 6) Ketidakjelasan aturan (ketidakadilan). Sementara itu, Sukamdi (2002) menyebutkan bahwa konflik antar etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama: (1) konflik muncul karena ada benturan budaya, (2) karena masalah ekonomi-politik, (3) karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial. Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka.
Bisa kita lihat, bahwa apa yang dikemukakan Sukamdi di atas merupakan turunan dari apa yang disampaikan faturochman mengenai penyebab konflik. Benturan budaya antar etnik terjadi karena adanya kategori atau identitas sosial yang berbeda. Perbedaan identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Sikap etnosentrik yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan. Sebagai tambahan, pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan seseorang lebih berprasangka, halmana juga merupakan sumber konflik yang potensial. Terkait dengan resolusi konflik, karena konflik dimunculkan salah satunya karena adanya identitas budaya, yang mengandaikan adanya perbedaan dalam memahami realitas, maka sangatlah penting untuk membuat suatu resolusi konflik yang mempertimbangkan asal budaya (Kumolohadi & Andrianto, 2002). Seringkali pelaksana resolusi konflik gagal menjalankan perannya dalam menghentikan konflik antaretnik karena metode yang dipakai mengharuskan adanya sikap dan persepsi tertentu dari mereka yang bertikai, tapi sementara itu mereka yang bertikai memiliki sikap dan persepsi terhadap konflik yang beragam akibat perbedaan budaya.
Persoalan ekonomi sebagai penyebab konflik antar etnik merupakan sesuatu yang tak terbantah, meskipun tentu tidak semua konflik antar etnik ditimbulkan karena persoalan ekonomi belaka. Ketersediaan sumber daya ekonomi di suatu wilayah menjadi indikator penting bagi kemungkinan terjadinya konflik. Semakin mudah sumber daya itu didapatkan oleh setiap orang, maka kemungkinan konflik juga semakin rendah. Sebaliknya semakin langka sumber daya yang tersedia sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan sumber daya maka kemungkinan terjadinya konflik semakin besar. Persoalan ekonomi juga menyangkut distribusi sumber daya. Ketidakjelasan aturan dalam kompetisi memperebutkan sumber daya merupakan sumber konflik yang potensial. Dalam hal ini ketidakjelasan aturan bisa dimaknai sebagai kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Adanya kesenjangan sosial sebagai akibat adanya kesenjangan ekonomi yang besar merupakan cerminan dari adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Bila terjadi kesenjangan yang besar antar berbagai kelompok etnik maka kemungkinan terjadinya konflik juga semakin besar, karena perasaan ketidakadilan akan mendorong timbulnya semangat perlawanan.
Sementara itu peranan politik dalam konflik antar etnik berkaitan dengan adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap adanya konflik. Haryanto (2002) menunjukkan bahwa konflik sosial yang terjadi di Indonesia salah satu akar permasalahannya adalah adanya faktor pemicu, selain faktor adanya deprivasi antar kelompok masyarakat dan faktor dominasi sosial, politik, dan agama. Faktor pemicu konflik antar etnik mungkin dimunculkan secara sengaja oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Penguasaan sumber daya tertentu yang diinginkan oleh beberapa pihak mungkin menjadi salah satu sebab yang membuat pihak-pihak yang terlibat menggunakan konflik antar etnik sebagai jalan untuk memenangkan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari siapa yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.
Faktor pemicu dengan sendirinya mengandaikan telah adanya faktor-faktor yang potensial mencipta konflik. Berbagai sebab konflik seperti yang dikemukakan Faturochman diatas, diandaikan telah ada dalam masyarakat. Dalam hal ini faktor prasangka merupakan determinan penting. Semakin besar prasangka antar etnik yang timbul maka semakin sedikit faktor pemicu yang diperlukan untuk menciptakan konflik antar etnik secara terbuka. Faktor prasangka sendiri seperti yang telah dibahas dalam bab tiga, bisa dimunculkan oleh lima sebab lainnya. Sehingga sangat beralasan kalau dinyatakan bahwa prasangka merupakan sumber konflik antar etnik terbesar.
Konflik antar etnik yang paling sering terjadi di Indonesia melibatkan etnik Cina sebagai korban, dan etnik lainnya sebagai pemegang inisiatif. Beberapa konflik menunjukkan skala yang luas dan berat, sementara yang lain berskala lebih kecil dan lokal. Menurut Arifin (1998) konflik antar etnik yang melibatkan etnik Cina tidak banyak terkait dengan dengan soal rasial dan pengakuan masyarakat terhadap mereka. Hal ini terlihat dari kenyataan, bahwa pada umumnya sasaran kerusuhan dan amuk massa berbentuk perusakan, penjarahan, dan pembakaran terhadap hak milik, dan bukan dalam bentuk rasa permusuhan terhadap etnis Cina, dan pembunuhan jiwa. Setelah tahun 70-an kerusuhan lebih banyak terkait dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kerusuhan di Medan (1995), di Situbondo (1996), di Jakarta (14-15 Mei 1998) dan di Solo (1998) lebih dipicu oleh persoalan dominasi ekonomi dan kolusi oleh kelompok-kelompok elit WNI etnis Cina dengan kekuasaan.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya etnis Cina merupakan penggerak perekonomian Indonesia yang utama. Mereka menguasai sebagian besar sektor perekonomian sehingga memiliki sumber daya ekonomi paling besar. Sayangnya, keberhasilan etnis Cina itu tidak berbarengan dengan keberhasilan etnis lain dalam mencapai kemakmuran. Dalam bahasa ekstrim, etnis Cina merupakan pemenang kompetisi perebutan sumber daya sementara etnis lain sebagai pihak yang dikalahkan. Sayangnya pula kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan etnis lain cukup besar, bahkan makin melebar dari waktu ke waktu. Kenyataan ini mendorong adanya deprivasi relatif, dimana seseorang merasa tidak mendapatkan kemakmuran yang ingin dicapai meskipun telah berupaya keras mendapatkan (menurutnya). Deprivasi ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan sumber dari adanya prasangka dan konflik. Jadi, etnik bukanlah merupakan sumber konflik. Kesenjanganlah yang menjadi sumber konflik utama halmana telah memunculkan prasangka, sedangkan etnik sebagai sebab-sebab yang memadai.
Selain adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja memobilisasi massa untuk melakukan perusuhan terhadap etnis Cina (disinyalir kerusuhan Mei 1998 di Jakarta massa di kerahkan pihak-pihak tertentu demi kepentingan tertentu. Baca “Kapok Jadi Nonpri’, terbitan Zaman Wacana Mulia). Nampaknya jelas bahwa kerusuhan yang melibatkan etnis Cina lebih merupakan persoalan ekonomis. Adapun dari persoalan-persoalan ekonomi itu terciptalah berbagai prasangka yang menciptakan jarak sosial yang lebar antar etnis. Dan dalam konflik, prasangka digunakan untuk menjustifikasi tindakan destruktif yang dilakukan terhadap etnis Cina.
Siahaan (2002) menunjukkan bahwa berbagai prasangka, generalisasi, stereotip, serta tuduhan yang secara konvensional dialamatkan kepada etnik Cina ternyata tidak selalu factual (tidak didukung fakta). Terbukti bahwa segala asumsi dan tesis mengenai Cina di tingkat makro (nasional) tidak selalu koheren dengan realitas lapangan (lokal). Misalnya dalam tingkat makro selalu didengung-dengungkan etnis Tonghoa bertindak secara eksklusif dan tidak mau bergaul dengan etnis lain, pada kenyataannya di tingkat lokal justru banyak sekali etnis Cina yang sudah sulit dibedakan identitas kecinannya. Mereka melebur dalam masyarakat secara keseluruhan. Dalam sebuah penelitian di Kalimantan Barat, Siahaan (2002) menemukan bahwa secara empiris terbukti bahwa sukses dan dominasi ekonomi Cina bukan merupakan fungsi ras serta bakat, dan juga bukan semata-mata berkait konsesi dan privilese, tetapi hasil pemanfaatan peluang setempat secara tepat, cepat, efisien, dan efektif. Dalam sejarah, semangat dan etos kerja, daya juang, dan keuletan perantau cenderung menjadi determinan yang memungkinkan keunggulan dan keberhasilan kelompok perantau itu di atas penduduk lokal. ‘Keterasingan dan kesendirian’ sang perantau di negeri seberang, jauh dari sanak saudara dan sahabat yang dapat dimintai bantuan, lebih besar peranannya sebagai pendukung motivasi dan semangat kerja daripada faktor-faktor bawaan seperti bakat, budaya, dan ras.
Namun sementara itu prasangka yang berkembang terhadap mereka, beberapa juga melandaskan pada kesuksesan yang diraih etnis Cina. Seperti misalnya berkembang anggapan bahwa dalam berbisnis etnis Cina sering bermain curang dan suka menyuap pihak penguasa untuk mendapatkan konsesi ekonomi. Halmana membuat mereka cepat sekali sukses. Lalu jika ada etnis Cina datang untuk berbisnis di suatu wilayah, maka segera akan mendatangkan rekan-rekannya sesama etnis Cina untuk berbisnis di daerah itu dan akan mematikan bisnis warga setempat. Maka akibatnya dibanyak tempat bisa ditemui dimana etnis Cina dilarang melakukan perdagangan.
Sebenarnya konflik antar etnis yang melibatkan etnis Cina sesuatu yang memang sangat mungkin terus terjadi bahkan untuk waktu-waktu mendatang. Menurut analisis Amy Chua, seorang profesor dari Yale University, dimana ada sekelompok minoritas etnis yang mendominasi pasar dan sekaligus ada sistem politik yang menganut demokrasi, bisa diramalkan akan terjadi serangan terhadap kelompok minoritas Menurutnya terjadinya konflik bukan persoalan membaur atau tidak membaurnya etnik minoritas dengan etnik mayoritas, sebagaimana yang secara konvensional kita pahami. Masalahnya ada pada terdapatnya arketdominant minorities, yaitu keberadaan kelompok minoritas yang kaya raya yang memperolehnya berkat ekonomi pasar.
Sistem pasar pada saat ini sudah menjadi semacam dogma yang tidak boleh dilanggar. Akan tetapi, justru sistem yang dipuji-puji inilah yang melahirkan sekelompok kecil yang kebetulan adalah kelompok minoritas etnis yang memiliki kekayaan menonjol. Oleh karena hal itu tumbuhlah iri hati kelompok mayoritas. Lalu bagaimana menyalurkan kemarahan itu? Lewat proses demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kemenangan kelompok mayoritas dijamin ketika berhadapan dengan kelompok minoritas. Maka, tidak mengherankan justru ketika proses demokratisasi dimulai, dimulai juga serangan terhadap kelompok market-dominant minorities (untuk Indonesia etnis Cina). Kemenangan kelompok mayoritas dalam pemilu menjadi legitimasi untuk menetapkan kebijakan dan peraturan yang membatasi, bahkan memangkas hak-hak dari kelompok market-dominant minorities. Padahal demokrasi merupakan dogma wajib pada saat ini. Kesimpulannya, selama sistem ekonomi pasar dan demokrasi secara bersamaan diterapkan maka kekerasan terhadap market-dominant minorities akan terus berlanjut. Untuk konteks Indonesia, etnis Cina diramalkan akan terus menghadapi tantangan kekerasan terhadap mereka (Paragraf ini meringkas dari Review Buku Prof. Amy Chua, oleh I Budiman dalam kompas 20 maret 2004, h.45).
Setelah membahas konflik antar etnik yang terkait dengan etnik Cina, sekarang kita akan membicarakan konflik antar etnik yang paling besar yang pernah terjadi di Indonesia, yakni konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan beberapa tahun lalu (tragedi Sambas dan Sampit), dimana ribuan orang terbunuh dan puluhan ribu lainnya harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Hidayah (2002) menyebutkan bahwa sebenarnya pemantik konflik hanya disebabkan oleh perkelahian antar pemuda etnis dayak dengan etnis madura. Akan tetapi karena dalam perkelahian itu ada yang terbunuh maka muncullah solidaritas dan balas dendam kesukuan karena pada konflik tersebut terjadi pembunuhan, dan kemudian diperkuat pula oleh prinsip-prinsip adat sehingga konflik menjadi berkepanjangan dan membawa korban yang luar biasa besar.
Banyak analisis telah dilakukan untuk mencari tahu akar dari adanya konflik. Selain analisis yang menunjukkan adanya pihak-pihak tertentu yang sengaja mengorganisir terjadinya kekerasan, ada banyak analisis lain yang mendasarkan pada berbagai perspektif. Sebuah analisis menyimpulkan bahwa terjadinya perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas yang telah menyebabkan terjadinya konflik. Dulu saat sumber daya ekonomi cukup melimpah dan mudah didapatkan maka konflik terhindarkan. Akan tetapi begitu sumberdaya ekonomi semakin terbatas dan semakin banyak orang memperebutkannya maka terjadilah kompetisi perebutan sumberdaya. Sebagai konsekuensi logis dari adanya kompetisi perebutan sumber daya adalah terciptanya prasangka antar etnik. Dan lalu adanya prasangka terhadap etnik lain menjadi justifikasi kekerasan terhadap etnik tersebut.
Sebagai lanjutan dari analisis diatas, analisis lain menunjukkan bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara etnis Dayak dan etnis Madura sebagai penyebab konflik. Kesenjangan ekonomi itu tercipta sebagai konsekuensi dari adanya kompetisi perebutan sumberdaya ekonomi dimana relatif etnis Madura memenangkannya. Namun menurut Purbangkoro (2002) kondisi sosial ekonomi etnik Madura dan etnik lain relatif sama sehingga tak ada alasan yang menyatakan telah terjadi kecemburuan sosial antara etnik Dayak dan etnik Madura di Kalimantan.
Sementara itu Asykien (2001) menunjukkan bahwa konflik antar etnik itu terjadi karena sifat negatif keduanya. Sifat-sifat kurang terpuji etnik Dayak : 1) Fanatis dan mendewakan kesukuan, 2) tidak punya tenggang rasa dan pendengki etnis yang dimusuhi, 3) menggeneralisasikan kesalahan orang-perorang kepada keseluruhan etnis, 4) melestarikan budaya mengayau, 5) suka menyebarluaskan kebencian dan prasangka buruk. Sedangkan sifat-sifat etnik Madura yang menimbulkan dendam etnik lain : 1) mencuri, menjambret, dan menipu, 2) menempati tanah orang lain tanpa izin, 3) membuat kekacauan dalam perjudian, 4) melanggar lalu lintas, 5) merampas milik etnik lain di penambangan emas. Dari sifat-sifat negatif yang diklasifikasikan Asykien diatas menjadi jelas bahwasanya pertentangan antar etnis merupakan kulminasi dari adanya prasangka etnik. Berbagai keburukan anggota etnik lain dicatat, disimpan, dan digunakan sebagai dasar dalam bergaul dengan etnik tersebut, meskipun toh sebetulnya pelakunya hanyalah segelintir orang saja. Rupa-rupanya generalisasi sifat-sifat buruk seseorang menjadi sifat-sifat buruk kelompok yang telah menjadi penyebab berkembangnya prasangka etnik di Kalimantan. Akibatnya kesalahan satu orang atau kelompok kecil orang juga digeneralisasikan ke keseluruhan etnik. Seterusnya konflik antar etnik tinggal menunggu saat yang tepat.
Sekarang kita akan mencoba melihat kasus Ambon yang juga berskala besar pada tahun-tahun awal reformasi. Pertikaian yang membawa ribuan korban itu bermula dari isu etnis yang kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga tidak kunjung selesai hingga hari ini. Sebelum terjadi konflik, praktis kehidupan ekonomi di Ambon dikuasai oleh tiga etnis yaitu Buton, Bugis, dan Makassar, yang notabene merupakan etnis pendatang dari Sulawesi, sementara itu orang Ambon sendiri kurang memiliki peranan dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian mudah saja kita mengerti bila menimbulkan konflik antar etnik. Sebab pertama mungkin adalah timbulnya deprivasi orang Ambon dimana mereka merasa kalah di tanah sendiri oleh pendatang. Sebab kedua, munculnya prasangka mayoritas-minoritas, sebagaimana yang juga terjadi di berbagai tempat lain di Indonesia terhadap etnis Cina. Prasangka muncul karena etnis Buton, Bugis, dan Makassar sebagai minoritas menguasai perekonomian di Ambon. Sebab ketiga, munculnya faktor pemicu, yakni dihembuskannya isu keagamaan oleh pihak-pihak tertentu dalam isu etnisitas. Di Ambon ternyata etnisitas tumpang tindih dengan keagamaan. Etnis Bugis, Buton dan Makassar notabene beragama Islam dan orang Ambon umumnya beragama kristen.
Pengusiran etnis Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dari Ambon oleh orang-orang Ambon asli pada awalnya boleh jadi hanya dipicu oleh persoalan etnisitas belaka, mirip dengan pertikaian antara etnis Madura dan Dayak di Kalimantan. Namun jika hanya persoalan etnisitas tentunya begitu etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon maka selesailah sudah permasalahan di Ambon. Faktanya, konflik di Ambon justru semakin menghebat. Setelah etnis Bugis, Buton dan Makassar keluar dari Ambon, kemudian yang berkonflik adalah orang Ambon yang beragama Islam kontra orang Ambon yang beragama kristen. Selanjutnya, konflik itu terus menerus membesar dan dilabeli konflik antar agama. Secara gampang bisa dikatakan bahwa konflik antar agama di Ambon muncul sebagai bentuk solidaritas agama. Tatkala etnis Bugis, Buton, dan Makassar yang beragama Islam terusir oleh orang Ambon yang beragama Kristen, lalu muncullah rasa solidaritas sesama muslim pada orang Ambon yang beragama Islam. Akibatnya kemudian pertikaian yang terjadi adalah antara penganut agama Islam dan agama Kristen.
Akibat konflik yang luas dan merusak antara penganut agama, muncullah prasangka masing-masing pihak terhadap pihak lain, halmana menyulitkan upaya rekonsiliasi. Prasangka inilah yang terus-menerus, sampai saat ini, menyebabkan potensi konflik antar agama di Ambon tetap besar. Menurut seorang teman dari Ambon, sampai saat ini masih sering terjadi konflik-konflik kecil di Ambon yang berpotensi melahirkan konflik berskala besar kembali. Jadi, konflik yang berawal dari adanya prasangka kemudian menghasilkan prasangka pula.
Di Indonesia, agama merupakan isu utama yang paling sensitif dalam menimbulkan konflik, sedangkan urutan kedua adalah etnis. Pada kasus pertikaian terhadap etnis Cina, dan pertikaian etnis di Kalimantan, persoalannya hanyalah persoalan etnisitas. Sedangkan pada kasus Ambon pertikaian yang terjadi dimulai dengan isu etnisitas tetapi kemudian berkembang menjadi isu keagamaan sehingga persoalannya lebih kompleks. Semua kasus diatas dipicu salah satunya oleh prasangka yang kemudian juga melahirkan prasangka. Hubungan prasangka dengan konflik antar etnis seperti lingkaran setan. Prasangka melahirkan konflik antar etnis, dan konflik antar etnis melahirkan prasangka.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bab 5. MENGURANGI PRASANGKA ETNIK
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kita telah melihat bahwasanya prasangka merupakan faktor yang potensial menciptakan konflik antar etnik. Prasangka bahkan terbukti telah melahirkan konflik antar etnik yang paling merusak. Atas alasan demikian, prasangka dapat dikategorikan sebagai ancaman besar berbahaya bagi terbentuknya suatu masyarakat multietnik yang sehat. Dalam rangka membentuk masyarakat plural (multietnik) yang sehat dan damai, rendahnya prasangka adalah prasyarat penting. Oleh karena itu upaya-upaya mengurangi prasangka di masyarakat sangatlah penting dan mendesak.
Upaya mengurangi prasangka bisa dilakukan dalam banyak cara. Beberapa upaya yang bisa dilakukan diantaranya melalui rekayasa dalam hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi. Kita tahu, prasangka dipengaruhi juga oleh sejarah, politik, ekonomi, dan struktur sosial (Brown, 1995), karenanya diperlukan pula adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Prasangka muncul dalam kondisi rendahnya pemahaman lintas budaya di masyarakat. Sementara itu, pemahaman lintas budaya adalah sendi dari sebuah masyarakat multietnik yang sehat, dimana setiap orang sadar akan perbedaan dan menghargai perbedaan itu. Pemahaman lintas budaya merupakan kemampuan seseorang untuk memahami perbedaan dan sadar akan adanya perbedaan budaya, serta mampu menerima adanya perbedaan itu melalui kemampuan melihat fenomena dunia melalui sudut pandang budaya yang lain. Pada hakekatnya mengurangi prasangka sama artinya dengan menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Menumbuhkan pemahaman lintas budaya dan upaya-upaya mengurangi prasangka lainnya, bisa dilakukan di segenap aspek kehidupan, dimulai dari keluarga, lingkungan pertetanggaan, sekolah, organisasi, dan masyarakat secara lebih luas.
A. Upaya Mengurangi Prasangka
Berikut adalah upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam mengurangi prasangka, yakni melalui hubungan antar kelompok, melalui sosialisasi, melalui rekayasa sosial, maupun melalui penyadaran diri pribadi.
1. Melalui Hubungan Antar Kelompok
Menurut salah satu teori hubungan antar kelompok yakni ‘the contact hypothesis’, diasumsikan bahwa anggota kelompok yang berbeda bila melakukan interaksi satu sama lain akan mengurangi banyak prasangka antara mereka, dan menghasilkan sikap antar kelompok dan stereotip yang lebih positif (Manstead & Hewstone, 1995). Semakin banyak dan erat interaksi yang terjadi maka prasangka dan stereotip negatif akan semakin berkurang.
Dalam buku ‘Prejudice: It’s Social Psychology’, Brown (1995) menyebutkan bahwa interaksi yang membuat suatu hubungan bisa mengurangi prasangka setidaknya memenuhi empat prasyarat berikut:
_ Dukungan sosial dan dukungan institusional.
Adanya kerangka sosial dan dukungan institusional yang bisa mendorong kontak lebih erat antara etnik yang berlainan. Dukungan institusional ini diberikan oleh pihak otoritas yang berwenang, dalam hal ini bisa pemerintah, sekolah, pemimpin organisasi, orangtua, dan lain-lain. Ada tiga alasan mengapa hal ini penting ;
a. Otoritas biasanya berada dalam posisi bisa memberi sanksi (dan rewards) untuk tindakan
berparasangka.
b. Ada peraturan yang tegas tentang anti-diskriminasi, yang akan memaksa orang untuk berperilaku dalam perilaku yang tidak berprasangka. Hal mana diharapkan akan membuat seseorang menginternalisasi perilaku tidak berprasangka itu sebagai sikap mereka
c. Menciptakan lingkungan sosial yang penuh toleransi dimana nilai-nilai toleransi bisa
dikembangkan.
_ Ada potensi untuk saling mengenal
“Orang Cina itu pelit, sombong, nggak mau bergaul, seringkali licik” ujar Vivi, seorang etnis Jawa berkomentar tentang etnik Cina “Kecuali Dewi dan Diana, mereka baik, tidak seperti orang Cina lainnya” tambahnya melanjutkan. Dewi dan Diana adalah dua orang teman dekat Vivi yang beretnis Cina.
Apa yang dikatakan Vivi merupakan tipikal yang umumnya dilakukan oleh orang-orang. Mereka memiliki stereotip negatif terhadap etnis lain tetapi menolak bila orang yang dikenalnya secara akrab, yang kebetulan berasal dari etnis bersangkutan memiliki stereotip-stereotip itu. Cerita itu menggambarkan bahwa stereotip negatif dan prasangka tumbuh karena ketiadaan pergaulan yang erat dan akrab antar pribadi diantara etnis yang berbeda.
Hubungan antar etnik yang memungkinkan saling mengenal secara pribadi antar anggota kelompok etnik yang berlainan bisa mengurangi prasangka secara signifikan. Hubungan itu mesti dalam waktu yang cukup, dengan frekuensi yang tinggi, dan adanya kedekatan yang memungkinkan peluang membangun hubungan erat dan bermakna antara anggota kelompok etnik yang berkaitan. Apabila hubungan antar anggota kelompok etnik tidak memungkinkan terjalinnya hubungan akrab maka kurang bisa mengurangi prasangka antar etnik.
Ada tiga alasan mengapa potensi untuk saling mengenal penting guna mengurangi prasangka:
a. Membangun hubungan interpersonal yang fair dan dekat menimbulkan pikiran untuk menghargai orang lain secara positif, dan diharapkan digeneralisasikan ke keseluruhan kelompok.
b. Akan memungkinkan menerima info baru yang lebih akurat tentang kelompok lain yang menjadikan orang sadar bahwa kenyataannya ada banyak kesamaan antara kelompok yang berbeda. Menurut hipotesis similarity-attraction, kesamaan-kesamaan yang dipersepsi seseorang dengan orang lain dari kelompok lain akan meningkatkan kesukaan pada kelompok tersebut.
c. Seseorang akan menemukan bahwa stereotip negatif kelompok lain tidak benar. Hal mana akan mengubah pandangan seseorang terhadap kelompok lain.
_ Status yang setara antara pihak-pihak yang berinteraksi
Dalam masyarakat, organisasi, sekolah, atau yang lain, harus ada status yang setara antara pihak-pihak yang berprasangka sebelum terjadi interaksi. Jika satu kelompok etnik lebih dominan dibanding kelompok etnik lain, maka interaksi antar kelompok etnik belum tentu dapat mengurangi prasangka. Hal ini karena sudah ada presdiposisi sebelumnya bahwa kelompok etnik yang satu lebih tinggi dibandingkan kelompok etnik yang lain. Misalnya bila satu kelompok etnik selalu berada dalam posisi berkuasa dan selalu menjadi bos, sedangkan yang lain yang dikuasai maka hubungan antar kelompok kurang bisa mengurangi prasangka.
_ Kerjasama
Sebuah interaksi akan mengurangi prasangka jika interaksi yang terjadi berbentuk kerjasama bukannya konflik. Dalam kerjasama itu, juga harus terjadi ketergantungan. Mendasarkan pada teori realistic-group conflict theory,harus ada alasan instrumental untuk bekerjasama dan membangun persahabatan. Tujuan bersama biasanya harus konkret, skala kecil, dan bisa dilakukan bersama-sama. Contohnya pada saat banjir,semua orang bekerja sama untuk menanggulangi. Interaksi semacam ini bisa mengurangi prasangka.
Secara ringkas Cook dalam Brewer dan Miller (1996) menunjukkan enam syarat agar suatu kontak atau interaksi antar anggota kelompok etnik bisa mengurangi prasangka, yaitu:
- Kelompok yang berinteraksi harus memiliki status sosial ekonomi yang setara.
- Interaksi harus berbentuk kerjasama dan interdependensi.
- Interaksi harus informal sehingga bisa mengenal secara pribadi.
- Interaksi harus terjadi dalam situasi dimana norma-norma yang berlaku mendukung kesamaan kelompok.
- Kelompok harus berinteraksi dalam suatu cara tertentu yang memungkinkan untuk membuktikan bahwa kepercayaan negatif (prasangka dan stereotip) terhadap kelompok lain adalah tidak benar.
- Individu harus memandang satu sama lain sebagai tipikal dari kelompok masing-masing sehingga bisa menggeneralisasikan hal positif dari interaksi.
2. Melalui Sosialisasi
Upaya sosialisasi nilai-nilai egalitarian dan tidak berprasangka bisa dilakukan di rumah atau keluarga, di sekolah maupun dimasyarakat. Keluarga adalah faktor yang sangat penting dalam sosialisasi nilai-nilai yang mendorong anak-anak tidak berprasangka. Hanya memang, keluarga tidak menjadi satu-satunya faktor yang dominan. Bisa jadi keluarga yang telah mendorong sikap berprasangka tetap tidak berhasil membuat anak tidak berprasangka karena sekolah atau teman-teman sebayanya tidak mendukung upaya itu. Demikian juga sebaliknya, upaya sekolah untuk mengurangi prasangka mungkin tidak akan berhasil jika di rumah situasi keluarga tidak mendukung.
Sebuah keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam memberikan dasar-dasar bagi tumbuhnya kesadaran akan pluralitas. Ketika suatu keluarga memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok lain, maka itulah yang cenderung ditanamkan pada anak-anak dalam keluarga itu melalui idiom-idiom bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Apalagi stereotip dan juga prasangka dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa tanpa pernah ada kontak dengan tujuan/objek stereotip dan prasangka (Brisslin, 1993). Keadaan ini membuat kecenderungan kuat bahwa orangtua yang berprasangka akan melahirkan anak-anak berprasangka. Sebagai misal, meskipun anak-anak etnis jawa tidak pernah bertemu dengan etnis Batak, tetapi bila sang orangtua terus menerus mengatakan pada anak-anak secara negatif tentang etnik Batak maka anak-anak juga akan mengembangkan perasaan negatif pada etnik Batak.
Anak-anak belajar melalui identifikasi atau imitasi, atau melalui pembiasaan. Apa yang dilakukan orangtua, anggota keluarga lain dan semua yang dilihat anak-anak akan ditiru. Misalnya orang tua sering mengata-ngatai tetangganya yang beretnis jawa dengan kata-kata “dasar jawa”, maka sang anak juga akan meniru dan mengembangkan perasaan tidak suka terhadap etnik jawa secara keseluruhan. Ada beberapa cara yang mungkin berguna dalam upaya mendidik anak-anak dalam keluarga agar memiliki pemahaman lintas budaya yang tinggi, yang pada gilirannya akan mengurangi prasangka, yaitu:
- Berkata tidak pada komentar yang merendahkan etnis tertentu (Breitman & Hatch, 2001). Orangtua harus tegas menyatakan sikap tidak senang, kalau perlu disertai hukuman secara konsisten atas kata-kata rasis-diskriminatif-etnosentris yang diucapkan anak-anak. Misalnya menegur anak-anak yang berkata-kata mengumpat teman lainnya dengan kata-kata menghina berdasarkan etnik, seperti “dasar orang sunda”,”dasar orang madura”, dan lain-lain.
- Di rumah disediakan bacaan yang berpotensi menumbuhkan kesadaran akan pluralitas, misalnya dongeng-dongeng dari berbagai etnik dari seluruh nusantara.
- Lebih mendorong dengan pujian jika anak berhasil menjalin hubungan perkawanan dengan anak dari etnik lain.
- Tidak mentoleransi adanya perlakuan diskriminatif oleh anak-anak pada teman-temannya hanya karena didasarkan pada latar belakang etniknya.
Sekarang ini sekolah telah menjadi agen utama bagi sosialisasi nilai-nilai. Sekolah yang buruk bisa menumbuhkan prasangka dan sebaliknya melaui metode yang tepat sekolah juga merupakan sarana yang efektif dalam mengurangi prasangka. Brown (1995) memberikan dua saran untuk mengurangi prasangka melalui manajemen kelas belajar yang baik, yakni:
- Adanya perlakuan yang adil terhadap murid. Semua murid dari semua latar belakang etnik diperlakukan sama dan fair.
- Kerjasama dalam kelompok belajar dibawah kondisi-kondisi tertentu, yakni: a) Belajar dalam satu kelompok yang saling tergantung satu sama lain, b) Aktivitas belajar bersama mereka mengharuskan mereka sering berinteraksi, c) Adanya status yang sama diantara seluruh anggota kelompok dan semua ikut berkontribusi dalam pencapaian tujuan kelompok, 4) Belajar bersama dikelola dan diperintahkan oleh guru, sehingga pelajar merasa mendapat dukungan institusional.
Selain melalui manajemen kelas, hal yang tak kalah penting dalam mengurangi prasangka adalah kurikulum yang menunjang dan guru yang benar-benar memahami dan sadar akan perbedaan budaya, karena apa perkataan guru, dan cara guru mengajar sangat mempengaruhi kognitif dan afektif murid. Kurikulum pendidikan di Indonesia yang sentralistis telah mengabaikan keberagaman yang menjadi ciri khas rakyat Indonesia dan berakibat siswa tercerabut dari praktek budaya dan kebutuhan riil di tempat tinggalnya (Jayadi, 2000). Padahal, loyalitas ingroupseseorang berkorelasi positif dengan sikap positif pada outgroup (Phinney, Ferguson, & Tate dalam Steinberg, 2002). Seseorang yang tercerabut dari akar budayanya justru biasanya malah bersikap negatif (juga berprasangka) terhadap kelompok lain.
Senada dengan Brown, Santrock (1999) mengemukakan beberapa strategi untuk meningkatkan hubungan antara pelajar yang berbeda etnik, namun berbasis pada kurikulum, yaitu:
- Memanajemen kelas dengan mengubah-ngubah pasangan kelompok tugas secara acak sehingga memungkinkan setiap murid bisa saling berinteraksi dengan semua murid dari etnis berbeda.
- Mendorong pelajar untuk memiliki perpectives taking (kemampuan untuk memahami dan mengerti perspektif orang lain dan mengerti pikiran dan perasaannya).
- Membantu pelajar untuk berpikir kritis dan memiliki kecerdasan emosional ketika menghadapi masalah-masalah kultural. Pelajar yang berpikir kritis dan mendalam mengenai hubungan antar etnik mungkin bisa mengurangi prasangka mereka. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional mampu mengerti sebab-sebab perasaan seseorang, mengelola kemarahan, mendengarkan apa yang dikatakan orang, memiliki motivasi untuk berbagi dan bekerja sama.
- Mengurangi bias melalui pelajaran yang mendorong pemahaman lintas budaya.
- Membentuk sekolah dan komunitas sebagai sebuah tim untuk mendukung pendidikan.
- Menjadi mediator budaya yang kompeten.
Dunia pendidikan dalam masyarakat multietnik seperti Indonesia sudah semestinya menerapkan pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996). Penghayatan variasi etnik perlu dikenalkan sejak dini. Sayangnya seperti yang dikemukakan Jayadi, pendidikan kita kurang menfasilitasi pendidikan multikultur. Salah satu bentuk pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya adalah pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia. Dimensi-dimensi dalam ethnoscience adalah: 1) keterpaduan isi, yakni materi yang diajarkan merupakan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar, dan dikaitkan dengan pengajaran budaya 2) pembentukan pengetahuan, dan 3) pereduksian prasangka buruk (Lara-Alecio dkk., 2001).
Suyata (2002) dalam artikelnya yang berjudul ‘Pendidikan Multikultural’ menawarkan sebuah kerangka kerja pengembangan pendidikan multikultural dalam dimensi struktural sosial. Kerangka yang ditawarkan merupakan kerangka pendidikan multikultural yang bisa mendorong terjadinya perubahan struktur sosial. Diharapkan kerangka itu bisa menjadi patokan bagi setiap upaya pengembangan pendidikan multikultural yang jelas sangat penting artinya bagi masyarakat plural seperti indonesia. Kerangka kerja yang ditawarkan Suyata, yaitu:
- Pengajaran terhadap mereka yang berbeda secara kultural dan eksepsional dengan titik berat pada pemberian kompensasi agar terjadi perubahan secara kultural.
- Pentingnya hubungan-hubungan manusia, fokusnya adalah mendorong para siswa memiliki perasaan positif, mengurangi stereotip, mengembangkan konsep diri, toleransi dan menerima orang lain.
- Aneka studi satu kelompok budaya sebagai upaya mendorong persamaan struktural sosial, dan advokasi pengakuan suatu kelompok etnik-kultural sebagai suatu yang berbeda.
- Pendidikan multikultural sebagai upaya mendorong persamaan struktur sosial dan pluralism kultural dengan pemerataan kekuasaan antar kelompok.
- Pendidikan multikultural sekaligus rekontruksi sosial, plus menyiapkan setiap warga agar aktif mengusahakan persamaan struktur sosial.
Salah satu media sosialisasi nilai-nilai toleransi adalah media massa, baik berupa TV, radio, media cetak seperti buku, majalah, koran, buletin, internet dan lainnya. Sayangnya media kurang menfasilitasi pluralisme nilai dalam berita yang mereka siarkan (Abrar, 2002). TV misalnya, memiliki potensi terbesar untuk mentransmisikan suatu keyakinan dari kelompok ke orang atau ke kelompok lain (Dewi, 2002), akan tetapi, acapkali materi siaran TV malah semakin meneguhkan prasangka. Misalnya stereotip orang jawa yang suka hutang dikuatkan dalam cerita Si Doel melalui tokoh Karyo, halmana bisa mengakibatkan prasangka pada orang jawa bila berbaik-baik pada orang lain, dikira mau berhutang. Tampaknya perlu kehati-hatian pihak media dalam setiap tayangannya agar tidak terjadi hal semacam itu. Sebab media yang baik adalah media yang mampu berperan dalam membentuk masyarakat yang sehat dan sejahtera. Dan dalam menjalankan fungsi yang demikian itu, media harus jeli terhadap kemungkinan prasangka dan diskriminasi.
Prasangka etnik tidak hanya disebabkan oleh faktor psikologis semata, ia juga disebabkan oleh faktor sejarah, ekonomi, politik, budaya, dan struktur sosial (Brown, 1995). Karenanya diperlukan adanya political will yang kuat dari pemerintah untuk melakukan upaya-upaya mengurangi prasangka. Sebab hanya pemerintah yang memiliki kemampuan melakukan social engineering secara luas dan memaksa, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial.
Dalam bidang sejarah perlu adanya pelurusan pencatatan sejarah, terutama yang terkait dengan hubungan etnis Cina dengan etnis lain. Selama ini prasangka terhadap etnis Cina salah satunya ditumbuhkan melalui cerita-cerita yang menganggap mereka tidak nasionalis karena menjadi ‘antek’ kolonial Belanda. Padahal jumlah perlawanan etnis Cina terhadap penjajah cukup besar, akan tetapi hal itu tidak pernah dimunculkan.
Isu-isu hubungan antar etnik di antaranya kebijakan terhadap kelompok minoritas, kebijakan imigrasi, dan hak-hak sipil perlu mendapat perhatian. Salah satu kebijakan politik yang masih mengganjal dalam hubungan antar etnik di Indonesia, dan berpotensi untuk tetap melestarikan prasangka adalah kebijakan agar setiap etnis Cina memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), meskipun seseorang itu merupakan generasi kelima di Indonesia. Umumnya etnik cina sendiri tidak puas dengan bentuk-bentuk pembedaan yang akan menghambat mereka melakukan identifikasi terhadap indonesia. SKBRI ini dirasakan sebagai hambatan terbesar (Suhendy, 1997). Alangkah baiknya jika persyaratan SBKRI dihapuskan, yang berarti ‘penerimaan’ negara secara politis terhadap etnis Cina.
Tidak dapat dipungkiri, pemberlakuan desentralisasi politik menguatkan semangat kedaerahan, dan etnosentrisme. Keadaan ini dapat menimbulkan dan memperkuat prasangka etnik. Toety Heraty menyatakan bahwa semangat penonjolan identitas etnik dalam era desentralisasi politik pasca orde baru perlu diberi ruang partisipasi dalam tatanan kebijakan publik (Kompas, 17 Februari 2003). Salah satu bentuk partisipasi itu adalah mempersilahkan kelompok etnik tertentu untuk mewujudkan keberadaannya melalui pembentukan partai politik. Ekonomi memainkan peran hubungan antar kelompok dalam masyarakat. Pola-pola hubungan ekonomi yang tidak adil bisa menimbulkan prasangka. Penguasaan kelompok etnis tertentu akan sumber daya ekonomi bisa menggiring kelompok etnis lain untuk berprasangka, dan berpotensi menimbulkan konflik. Oleh karena itu pemerintah harus merencanakan pemberdayaan ekonomi rakyat secara adil.
Struktur sosial mempengaruhi dalam hal memproduksi dan memelihara prasangka. Struktur sosial yang kaku secara hierarki lebih berpeluang menimbulkan prasangka, karenanya perlu suatu mobilitas sosial yang tinggi dalam struktur sosial sehingga setiap orang bisa mencapai hierarki tertinggi. Perubahan struktur sosial bisa dilakukan dalam berbagai cara, baik secara evolusioner maupun revolusioner.
Prasangka tetap lestari karena adanya pihak-pihak yang mengambil keuntungan darinya. Seperti yang telah dikemukakan dimuka, keuntungan itu bisa bersifat ekonomis maupun politis. Misalnya saja, adanya prasangka terhadap etnis lain mencegah etnis tersebut menerima kerjasama dari etnis lain itu, dan hal ini menguntungkan pihak-pihak tertentu yang mendapatkan kerjasama dan fasilitas dari etnis bersangkutan. Akibatnya pihak yang diuntungkan itu akan berusaha memelihara prasangka yang berkembang di masyarakat.
4. Melalui Penyadaran Diri
Sejauh ini telah dikemukakan beberapa upaya mengurangi prasangka melalui interaksi dengan pihak lain, melalui keluarga, sekolah dan media, maka tiba saatnya kita berupaya mengurangi prasangka yang kita miliki sendiri yang mungkin kurang kita sadari. David W. Johnson (2000) memberikan pada kita beberapa saran untuk mengurangi prasangka yang kita miliki:
- Mengakui bahwa kita berprasangka dan bertekad untuk menguranginya.
- Mengidentifikasi stereotip yang merefleksikan atau menggambarkan prasangka kita dan mengubahnya.
- Mengidentifikasi tindakan-tindakan yang merefleksikan atau menggambarkan prasangka kita dan mengubahnya.
- Mencari umpan balik dari teman dan rekan yang berbeda-beda latar belakangnya tentang seberapa baik cara kita berkomunikasi, apakah terlihat cukup respek pada mereka dan menghargai perbedaan yang ada.
B. Menumbuhkan Pemahaman Lintas Budaya
Seperti kita lihat, upaya mengurangi prasangka etnik nyaris identik dengan upaya menumbuhkan pemahaman lintas budaya. Tapi ada hal yang berbeda, yakni bahwa pemahaman lintas budaya berupaya lebih dari sekedar mengurangi prasangka. Di dalamnya juga terkandung pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur. Pemahaman lintas budaya ini jelas sangat terasa penting dalam masyarakat multienik-multikultur seperti di Indonesia, meskipun belakangan ini berbagai variasi kultur etnik, terutama folkways mulai menghilang digantikan oleh kultur-kultur baru yang diadopsi dari kultur ‘barat’.
Agaknya tidak keluar konteks jika penumbuhan pemahaman lintas budaya diketengahkan disini, karena seperti telah disinggung diatas, pemahaman lintas budaya yang tinggi berkorelasi tinggi dengan rendahnya prasangka. David Matsumoto dalam bukunya ‘Culture and Psychology’ memberikan panduan bagaimana meningkatkan pemahaman lintas budaya yang berguna dalam hubungan lintas budaya, yaitu:
- Mengakui bahwa budaya adalah sebuah konstruksi psikologis semata. Kultur tidak sama dengan ras, etnik, kebangsaan atau tempat lahir. Karena kultur adalah hasil sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai. Adalah kurang tepat ketika orang berpikir tentang hubungan antar budaya dan perbedaan budaya jika yang dipikirkan soal ras, etnik, dan kebangsaan. Sebab seorang batak bisa sangat ‘jawa’, dan seorang jawa sangat ‘batak’. Banyak orang Amerika sangat ‘Indonesia’, tapi juga sangat banyak orang Indonesia yang sangat ‘Amerika’.
- Mengakui perbedaan individu dalam sebuah kelompok kultur. Mengakui perbedaan individu dalam kelompok budaya dan sadar bahwa perbedaan itu berhubungan dengan perilaku adalah tahap pertama dalam mengeliminasi ketergantungan pada stereotip negatif yang mengganggu dalam hubungan yang erat. Salah satu kunci untuk mengembangkan hubungan antar kelompok dan hubungan interpersonal adalah membangun fleksibilitas yang sehat. Bila kita mengakui adanya perbedaan individual dalam sebuah kelompok kultur, hal itu akan membantu kita membangun fleksibilitas dalam etnosentrisme dan stereotip yang kita miliki.
- Mengerti Filter kultural pola pikir kita dan etnosentrisme kita. Kita tidak selalu sadar dasar-dasar budaya dari perilaku dan tindakan kita. Ada banyak cara melihat dunia, dan inilah perbedaan fundamental setiap orang dari budaya yang berbeda. Halmana bisa menjadi pertentangan karena perbedaan menginterpretasi dan bereaksi terhadap suatu realitas. Langkah penting pertama untuk mendapatkan pengertian bahwa budaya mempengaruhi perilaku adalah mengakui bahwa kita memiliki filter untuk persepsi dan dasar-dasar untuk perilaku yang disebabkan oleh latar budaya kita. Kita tidak selalu sadar filter kultural kita, yang kita rasakan, kita pikirkan tentang sesuatu, dan menginterpretasi sekitar kita dan perilaku orang lain.
- Mengerti kemungkinan bahwa konflik bisa terjadi karena budaya. Kita harus mengerti bahwa betapapun sudah sangat paham akan budaya orang lain, dan demikian juga setiap orang telah sadar, konflik masih mungkin timbul dan akan tetap terjadi. Konflik bisa timbul dari perbedaan individu, pengabaian, kebodohan, atau pikiran yang sempit. Dan kita juga harus sadar bahwa budaya sangat mungkin memberikan kontribusi terhadap konflik.
- Mengakui bahwa perbedaan budaya (terjadi sebagai apa adanya) adalah sah. Kita harus mengerti ada perbedaan terhadap penilaian pada satu perilaku tertentu. Perilaku baik menurut budaya tertentu mungkin dinilai buruk oleh budaya yang lain.
- Memiliki toleransi, kesabaran dan berpraduga baik. Hanya dengan toleransi perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masyarakat multietnik tidak akan merisaukan kita.
- Belajar lebih banyak mengenai dasar-dasar budaya yang mempengaruhi perilaku.
- Dalam mengerti orang lain, kita akan bisa mengetahui dan mengerti diri sendiri. Karena dunia ini terlalu kompleks untuk bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang budaya.
Salah satu bentuk nyata dari terbangunnya pemahaman lintas budaya dalam masyarakat adalah terbangunnya komunikasi antar kelompok yang efektif. Liliweri (1994) menyatakan bahwa dalam masyarakat majemuk, efektivitas komunikasi antar etnik sangat ditentukan oleh mutu efektivitas komunikasi intraetnik. Sedangkan efektivitas komunikasi intraetnik dapat dicapai manakala setiap etnik mempunyai kemampuan untuk memelihara suasana kemajemukan melalui:
- Efektivitas komunikasi antara intraetnik dengan antaretnik.
- Memandang ciri dan sifat khas yang positif antara intraetnik dengan antaretnik.
- Memilih dan memelihara keseimbangan dalam pelbagai bentuk interaksi sosial intraetnik dengan antar etnik.
- Bertindak secara adil dalam tindakan diskriminasi anggota intraetnik dengan antaretnik.
Ia juga menambahkan bahwa masalah SARA, yang diasumsikan sebagai bahaya laten dapat dipecahkan melalui peningkatan dan pengembangan pelbagai media komunikasi antar etnik. Media itu harus tidak memihak dan menggambarkan secara objektif jika memberitakan suatu kelompok etnik tertentu. Bila tidak, media hanya akan meneguhkan dan melebarkan jarak antaretnik. Media bisa berperan memberikan pengetahuan akan kelompok lain dan cara hidup dalam masyarakat multikultur. Dalam hal ini Johnson and Johnson (2000) menyatakan bahwa agar tercipta suatu komunikasi yang efektif antar etnik, maka perlu ditingkatkan sensitivitas bahasa dan kesadaran akan adanya gaya-gaya dasar yang berbeda dalam berkomunikasi. Halmana itu baru bisa tercapai jika memiliki pengetahuan cukup akan kelompok lain.
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah, Ubed. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesia Tera.
Abidin, Zainal, dan Marcham Darokah (1999). Prasangka Rasial dan Persepsi Agresi pada Kelompok Mahasiswa Pribumi dan Cina dari 4 Universitas di Kota Bandung. Sosiohumanika, 12 (3): 393-411.
Abrar, Ana Nadhya. (2002). Pluralisme Informasi: Sebuah Jalan Untuk Meneguhkan Pluralisme Masyarakat. Gama Sains, IV (1): 87-96.
Arifin, M.T. (1998). Pengakuan Persepsi Terhadap WNI Etnis Cina. Dalam Alfian Hamzah (ed.), Kapok Jadi Nonpri: Warga Cina Mencari Keadilan. Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 64-75.
Arimi, Sailal. (2003). Komparasi Budaya Batak dan Minang: Sebuah Pengenalan Empirik. Buletin Komsbat, 1 (1): 1-6.
Asykien, Sofyan H. (2001). Tragedi Sambas Sampit Berdarah. Jember: Perhimmi
Ati, Abigael Wohing (1999). Menguji Cinta: Konflik Pernikahan Cina-Jawa. Yogyakarta: Tarawang.
Baron, Robert A., & Donn Byrne (1991). Social Psychology: Understanding Human Interaction. 6thed. Boston: Allyn and Bacon.
Barth, Frederick. (1988). Kelompok Etnis dan Batasannya (terj). Jakarta: UI Press.
Berkowitz, Leonard. (1995). Agresi (terj.). Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo
Bourhis, Richard Y., John C. Turner & Andre Gagnon (1997). Interdependence, Social Identity and Discrimination, dalam Russel Spears, Penelope J. Oakes, Naomi Ellemers, & S. Alexander Haslam (eds.),The Social Psychology of Stereotyping and Group Life. UK: Blackwell Publishers Ltd. 273-295.
Brehm, S.S., & S.M. Kassim (1994). Social Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Breitman, Patti & Connie Hatch (2001). How to Say No Without Feeling Guilty. Jakarta: Erlangga.
Brewer, M.B., & N. Miller. (1996). Intergroup Relation. Buckingham: Open University
Brisslin, R. (1993). Understanding Culture’s Influence on Behavior. FortWorth, TX.: Harcourt Brace Jovanovich
Brown, Rupert. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science Teacher, 63 (2), 28-31.
Chemers, Martin M., & Roya Ayman. (1993). Leadership Theory and research: Perspective and Directions. San Diego: Academic Press.
Conger, J.J. (1973). Adolescence and Youth Psychology Development in Changing World. New York: Harper & Row.
Daft, Richard L. (1999). Leadership Theory and Practice. Orlando: Harcourt Brace College Publisher.
Darke, Ross D., & Boriel Raymond (1998). Socialization in the Family: Ethnic and Ecological Perspectives, dalam William Damon and Nancy Essenberg (eds.), Hand Book of Child Psychology, 5thed. John Wiley and Sons, Inc.
Dewi, Herianita Setia (2002). Representasi Ideologi Patriarki Dalam Hegemoni Budaya Jawa di TV. Thesis, 1 (1): 21-33.
Duffy, Karen Grover, & Frank Y. Wong (1996). Community Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Ensiklopedi Indonesia. (1981). Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Faturochman (2003). Materi Kuliah Isu-isu Kontemporer Psikologi Sosial untuk fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.
Freedman, John L., Anne Peplau & John O. Sears. (1999). Psikologi Sosial (terj.). Jakarta: Erlangga.
Goodenough, Ward H. (1997). Phylogenetically Related Cultural Traditions. Cross-Cultural Research, Volume 31, Number 1, Sage Periodically Press.
Gurr, Tedd Robert. (1980). HandBook of Political Conflict: Theory and Research. New York: The Free Press.
Haryanto, Rohadi. (2002). Pengungsian dan Penderitaan Penduduk. Dalam Tukiran, Abdul Haris, Pande Made Kutanegara, & Setiadi (eds.), Mobilitas Penduduk Indonesia. PSKK UGM.
Haryatmoko. (2002). Kekuasaan Akan Melahirkan Anti Kekuasaan. Majalah Basis, Nomor 01- 02, Tahun ke 51, 21.
Helmi, Avin Fadilla (1991). Sikap Etnosentrik Pada Generasi Tua dan Muda Etnik Cina. Laporan Penelitian fakultas Psikologi UGM (tidak diterbitkan).
Hidayah, M. Shohibul. (2002). Konflik Komunal dan Resolusi Damai Studi kasus di Kalimantan Tengah.Psikologika, Nomor 13, 14-31
Hocoy, Dan (1996). Empirical Distinctiveness between Cognitive and Affective Elements of Ethnic Identity and Scales for Their Measurements. Dalam Hector Grad, Amalio Blanco, & James Georgas. Key Issues in Cross-Cultural Psychology, 128-137, Netherlands: Swits & Zeitlinger Publishers.
I. Budiman (2004). Apakah Kerusuhan Anti-Tionghoa Akan Meledak Lagi? Kompas 20 Maret 2004, h. 45.
Isenhart, Myra Warren & Michael Spangle (2000). Collaborative Approaches to Resolving Conflict. UK: Sage Publications, Inc.
Islam, M.R., & M. Hewstone. (1993). Intergroup Attributions and affective Consequences in Majority and Minority Groups. Journal of Personality and Social Pychology, 64, 936-950.
Jayadi, Iwan (2000). Mencermati Perubahan Paradigma Pendidikan Indonesia. Kompas, 25 Maret 2000.
Johnson, David W. (2000). Reaching Out: Interpersonal Effectiveness and Self Actualization, 6th ed. Boston: Allyn and Bacon.
Johnson, Frank P., & David W. Johnson (2000). Joining Together: Group Theory and Group Skills, 7th ed. Boston: Allyn and Bacon
Keefe, S.E. (1992). Ethnic Identity: The Domain of Perceptions of and Attachment To Ethnic Group and Cultures. Human Organization, 51: 35-34.
Koentjaraningrat (1971). Rintangan-rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia, seri 1 & 2. Jakarta: LIPI, Bhratara
Kompas, 17 Februari 2003, Kearifan Lokal Diharapkan Redam Revolusi Budaya. (hal.10)
Kompas, 7 Oktober 2003, 31.
Kompas (23 Februari 2003)
Kompas (24 September 2003)
Kompas Cyber Media (14 maret 2004). Saur "Butet" Marlina Manurung: Mengabdi di Jalan Sunyi.(www.kompas.com)
Kumolohadi, Retno & Sonny Andrianto (2002). Resolusi Konflik dalam Perspektif Psikologi Lintas Budaya. Psikologika, Nomor 13, 5-13.
Lara-Alecio, R dkk. (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51.
Lee, Yeo Beng. (1995). Asimilasi Menuju Persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia; Studi Kasus di Yogyakarta. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UGM, tidak diterbitkan.
Liliweri, Alo (1994). Prasangka Sosial dan Komunikasi antar Etnik. Prisma, Nomor 12, tahun XXIII.
Manger, Martin N., (1994). Race and Ethnic Relations: American and Global Perspectives. California: Wordsworth Publishing Company.
Manstead, Anthony S.R. & Miles Hewstone (1996). The Blackwell Encyclopedia of Social Psychology. Cambridge: Blackwell Publisher Ltd
Matsumoto, David. (1996). Culture and Psychology. California: Brooks/Cole Publishing Co.
Mustofa, dkk (2001). Pembantaian Etnis Madura. Surabaya: Pena Mas Press.
Myers, David G. (1999). Social Psychology, 6thed. USA: Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Oakes, Penelope J., S.Alexander Haslam, & John C. Turner. (1994). Stereotyping and Social Reality. Oxford: Blackwell.
Panggabean, Hana R. (1996). Hubungan Keterikatan dengan Nilai Budaya Etnik dan Sika Kebangsaan Pada Dua Generasi Suku Bangsa Batak Toba di Tarutung dan Jakarta. Jurnal Psikologi Indonesia, Volume IV, Nomor 1.
Phinney, Jean S., & Linda Line Alipora (1990). Ethnic Identity in college Students from Four Ethnic Groups. Journal of Adolescence, 13: 171-183.
Purbangkoro, Murdijanto. (2002). Migrasi Etnis Madura Ke Sampit Dan Konflik yang Terjadi, dalam Tukiran, Abdul Haris, Pande Made Kutanegara, & Setiadi (eds.), Mobilitas Penduduk Indonesia, PSKK UGM.
Poortinga, Y.B. (1990). Cross-Culture Psychology: Research & Applications. Netherlands: Tilburg University.
Prawitasari, J.E. (2003). Psikologi Klinis: Dari Terapan Mikro ke Makro. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan
Santrock, John W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA: Mc Graw Hill.
Schultz, Duanne. (1991). Psikologi Pertumbuhan: Model-model Kepribadian sehat, (terj). Yogyakarta: Kanisius.
Sears, David O., Jonathan L. Freedman, & L. Anne Peplau. (1999). Psikologi Sosial (terj.). Jakarta: Erlangga.
Segall, Marshal H., Pierre R. Dasen, John W. Berry, Y.H. Poortinga. (1990). Human Behavior in Global Perspective: an Introduction to Cross-Cultural Psychology. New York: Pergamon Press.
Siahaan, Harlem (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press, 479-490.
Simatupang, Lono Lastoro. (2003). Meninjau Ulang Etnik dan Ras. Makalah Diskusi Komunitas Studi Budaya Etnik (Komsbat), 28 Maret 2003.
Simpson, George Eaton, & J. Milton Yinger (1965). Racial a Cultural Minorities: an analysis of prejudice and discrimination 3ed. New York: Harper and Row.
Smith, M.G. (1991). Social ad Cultural Pluralism, dalam Peter Weisley (ed.), The New Modern Sociology Readings, New York, Penguin. P. 392-400
Soekanto, Soerjono (1993). Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Steinberg, Laurence. (2002). Adolescence, 6thed. New York: Mc Graw-Hill
Stephan, C.W., & W.G. Stephan. (1989). After Intermarriage: Ethnic Identity among Mixed Heritage Japanese-Americans and Hispanics. Journal of Marriage and the Family, 51: 507-519.
Suhendy, Tan. (1997). Makna Identitas Nasional Bagi Generasi Muda Indonesia Keturunan Cina. Skripsi Fakultas Sastra UGM, tidak diterbitkan.
Sukamdi (2002). Konflik dan Masalah Pengungsi di Indonesia, dalam Tukiran, Abdul Haris, Pande Made Kutanegara, & Setiadi (eds.), Mobilitas Penduduk Indonesia, PSKK UGM.
Suryadinata, Leo. (1999). Etnis Cina dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES.
Suseno, Frans Magnis (2001). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Suseno, Frans-Magnis (2002). Agama, Humanisme, dan Masa Depan Tuhan. Majalah Basis, nomor 05-06, Tahun ke 51, 34-40.
Suyata. (2002). Pendidikan Multikultural. Majalah Ekspresi, Edisi XIV Tahun IX Maret 2002, 66-67.
Trisnadi, Wiwied. (1996). Penghirarkian Kebudayaan dan Penghilangan Identitas Lokal. Skripsi Fakultas Sastra UGM, tidak diterbitkan.
Weinreich, P. (1985). Rationality and Irrationality in Racial and Ethnic Relations: A Methatheoretical Framework. Ethnic and Racial Studies, 8: 500-515.
Weintre, Johan (2003). Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas Indonesia: Studi kasus masyarakat Orang Rimba di Sumatera. Hasil Penelitian Lapangan, Universitas Gadjah Mada dan University of New England, tidak diterbitkan.
Wierzbicka, Anna (1999). Emotions Accross Languange and Cultures: Diversity and Universals. UK: Cambridge University Press.
Whelan, Susan A. (1994). Group Proccesses: a Developmental Perspectives. Boston: Allyn and Bacon.