Pembunuhan oleh Pemerintah:
Genosida, Politisida & Pembunuhan massal
Achmanto Mendatu
Tulisan 2010
Secara sistematis, negara memprakarsai penghancuran suatu kelompok tertentu yang merupakan warga negaranya sendiri. Mereka, para korban: diusir, disiksa, dan dibunuh (bahkan diperkosa) semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu yang tak lagi dikehendaki hidup bersama dengan yang lainnya. Meskipun terdengar seperti gema dari abad-abad lampau yang kusam, pembunuhan oleh penguasa juga fenomena hari ini. Abad 20 dan 21 menjadi saksi puluhan pembunuhan semacam itu yang terjadi di seluruh benua. Puluhan juta jiwa melayang menjadi korbannya. Lebih banyak lagi yang terusir dari rumahnya dan menjadi pengungsi di manca negara.
Tulisan ini mengetengahkan apa dan bagaimana pembunuhan oleh pemerintah, terkhusus membahas salah satu tipe pembunuhannya yakni genosida; apa yang melatarbelakanginya, apa yang membuat seseorang mau menjadi pelaku genosida dan bagaimana prosesnya sehingga genosida terjadi. Sejumlah 14 kasus genosida dipaparkan singkat, mulai dari latar belakang hingga eksekusinya. Satu bab khusus menyoroti genosida terhadap kaum indigenous atau suku asli minoritas di berbagai belahan dunia. Sebagai catatan, belum semua peristiwa yang masuk dalam kategori genosida sudah dimasukkan dalam tulisan ini karena keterbatasan waktu penulis meramunya dari berbagai sumber yang tersedia.
-----------------------------------------------------------------------------------
DAFTAR ISI
Pengantar: Pembunuhan Oleh Pemerintah
Bab 1. Genosida Herero
Bab 2. Genosida Armenia
Bab 3. Genosida Yahudi
Bab 4. Genosida Gipsi
Bab 5. Genosida Bangladesh
Bab 6. Genosida Burundi & Rwanda
Bab 7. Genosida Kamboja
Bab 8. Genosida Timor Timur
Bab 9. Genosida Guatemala
Bab 10. Genosida Kurdi
Bab 11. Genosida Bosnia-Herzegovina & Kosovo
Bab 12. Genosida Darfur
Bab 13. Genosida Indigenous People
-----------------------------------------------------------------------------------
Pengantar:
Pembunuhan Oleh Pemerintah
The imagination and the spiritual strength of Shakespeare’s evildoers
stopped short at a dozen corpses. Because they had no ideology.
Alexander Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago [1]
Pada hari Minggu, 26 April 1996, Martin Bryant mengendarai mobilnya menuju Semenanjung Tasman, yang terletak sekitar 90 menit perjalanan dari rumahnya di utara kota Hobart, Tasmania, Australia. Sebelumnya, pria berusia 29 tahun itu mengantar pulang pacarnya, dan hanya mengatakan kalau ada yang harus dilakukannya. Bermobil sendirian, dibawanya tiga senjata api, sepaket amunisi, sebuah pisau, satu jerigen bensin, tali dan borgol, serta sebuah kamera video. Sesudah diselingi berhenti membeli segelas kopi dan membeli rokok (sebelumnya dia bukan perokok), akhirnya Bryant sampai di Seascape, sebuah tempat penginapan dan sarapan. Di sana dia membunuh dua orang suami-istri pemilik sekaligus pengelola tempat tersebut. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah rumah pertanian kecil (farm) di selatan Port Arthur milik seorang wanita setempat dan bertanya padanya. Wanita itu beruntung karena menjauh.
Bryant melanjutkan perjalanan ke Port Arthur, sebuah tempat bersejarah di Tasmania yang pernah menjadi penjara bagi para tahanan politik Inggris di abad ke 19. Setelah membayar tiket masuk kawasan dan memarkir mobilnya di taman parkir, dibelinya sepaket makanan di kafe Broad Arrow, yang kemudian dimakannya di anjungan kafe di luar. Sembari makan, dia bercakap-cakap dengan beberapa pengunjung. Tidak berapa lama setelah memasuki kafe lagi, Bryant mengambil senjata semiotomatis dari tasnya, dan mulai menembaki pengunjung serta pegawai kafe. Saat itu, kafe dan toko souvenir yang ada di dekatnya sedang disesaki turis. Sembilan belas orang tewas dan beberapa yang lainnya terluka. Penembakan terus dilakukan di taman parkir. Setelah itu dia mengendarai mobilnya keluar dari kawasan. Pada jalur keluar, ditembaknya seorang wanita dan dua orang anak yang tengah berusaha menjauh dari tempat kejadian. Lalu ditembaknya pula empat orang turis di jalur masuk kawasan. Lantas mobilnya ditinggalkan, dan dibawanya mobil pengunjung lain. Tidak jauh dari sana, di sebuah tempat perbaikan, dia menawan satu pasangan muda: menembak yang perempuan dan memaksa yang pria masuk ke bagasi mobil.
Sepanjang perjalanan kembali ke Seascape, Bryant menembaki setiap mobil yang melaju berlawanan. Sesampainya di tempat pembunuhan pertamanya itu, dia membakar mobil yang dirampasnya, lalu sarapan dan tidur. Polisi segera berdatangan mengepung Seascape. Oleh karena kuatir dengan nasib tawanan yang belum diketahui masih hidup atau tidak, mereka tidak segera menyerang masuk. Esok paginya, Bryant membakar Seascape dan membuat dirinya terperangkap lingkaran api. Tubuhnya penuh luka bakar saat berhasil ditangkap sehingga kemudian dirawat di rumah sakit. Beberapa bulan kemudian dia diadili untuk pembunuhan terhadap 35 orang, dan dihukum penjara seumur hidup.
Martin Bryant merupakan penderita gangguan skizofrenia. Motif pembunuhannya adalah balas dendam terkait bunuh diri yang dilakukan ayahnya. Dia menganggap bahwa penyebab ayahnya bunuh diri adalah penolakan pemilik Seascape dan wanita di rumah pertanian untuk menjual kepemilikannya pada ayahnya. Dipercaya, Bryant melakukan penembakan di Port Arthur agar dirinya terbunuh oleh polisi atau petugas keamanan. Akan tetapi saat itu tidak ada polisi di tempat tersebut sehingga dia tidak mendapatkan perlawanan. Akhirnya dia pun kembali ke Seascape dengan harapan akan terbunuh di sana oleh polisi yang akan datang menangkapnya. Akan tetapi, alih-alih menembaknya, polisi justru menciptakan garis pengamanan untuk menangkapnya dalam kondisi hidup. Frustrasi oleh keadaan tersebut, Bryant mencoba membakar Seascape dalam upaya bunuh diri atau untuk memprovokasi polisi agar menembaknya. Lagi-lagi rencananya gagal. Polisi berhasil menangkapnya hidup-hidup.[2]
Kasus pembunuhan massal yang dilakukan Martin Bryant sudah tentu kasus yang luar biasa. Sejumlah 35 orang tewas karena perbuatannya. Demikian juga kasus pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Jeffrey Dahmer antara tahun 1987-1990 di Wisconsin, Amerika Serikat, yang menewaskan sekurang-kurangnya 15 orang. Dahmer merupakan penderita gangguan kepribadian dengan fantasi seksual menyimpang. Seluruh korbannya adalah pria-pria muda. Sebelum dibunuh, mereka disodomi terlebih dahulu setelah dibuat tidak sadarkan diri.[3] Kasus-kasus terkenal lainnya adalah kasus Gary Ridgway, yang membunuh 48 pelacur di negara bagian Washington, Amerika Serikat; kasus Clifford Olson di Vancouver, Kanada, yang memperkosa dan membunuh sebelas anak-anak karena gangguan sosiopath; kasus John Wayne Gacy, yang membunuh 33 pria dan anak-anak di Chicago, Amerika Serikat; kasus John Allen Mohammad dan Lee Boyd Malvo pada tahun 2002 yang membunuh sepuluh orang demi tebusan, dan lainnya.[4] Masing-masing pelaku memiliki alasan dan motifnya sendiri, yang mendorong mereka melakukan kejahatan tersebut, terentang dari motif seksual, ekonomi, atau gangguan kepribadian. Yang pasti, mereka semua mengingkari hak hidup orang lain dan menghasilkan banyak korban.
Para pembunuh massal dan pembunuh berantai di atas tepatlah benar seperti kata-kata Alexander Isayevich Solzhenitsyn. Mereka, seperti para penjahat dalam karya-karya William Shakespeare kehilangan kekuatan spiritual dan imajinasi yang mendorong tindak kejahatannya setelah jatuhnya beberapa korban saja. Para penjahat itu melakukan pembunuhan hanya berdasarkan naluri sadis dalam diri mereka sendiri. Setelah beberapa korban dan nalurinya terpuaskan, mereka berhenti membunuh, seperti halnya Martin Bryant atau Jeffrey Dahmer. Jumlah korban para pembunuh itu memang banyak, tapi tidak cukup banyak dan tidak terlalu luar biasa dibandingkan dengan pembunuhan massal atas nama ideologi. Berbeda dengan para pembunuh biasa, para pelaku pembunuhan ideologis tidak akan berhenti hanya dengan beberapa puluh korban saja. Mereka akan terus menerus membunuh untuk menegakkan atau mempertahankan ideologinya, meskipun korban sudah jutaan banyaknya. Abad 20 dan 21 telah menjadi saksi tewasnya ratusan juta jiwa hanya gara-gara ideologi/kepentingan politik yang berseberangan. Ideologi, yakni pandangan hidup dan organisasi sosial ideal yang diyakini merupakan bahan bakar yang tak ada habisnya bagi pembunuhan massal.
Para pembunuh massal dan pembunuh berantai di atas tepatlah benar seperti kata-kata Alexander Isayevich Solzhenitsyn. Mereka, seperti para penjahat dalam karya-karya William Shakespeare kehilangan kekuatan spiritual dan imajinasi yang mendorong tindak kejahatannya setelah jatuhnya beberapa korban saja. Para penjahat itu melakukan pembunuhan hanya berdasarkan naluri sadis dalam diri mereka sendiri. Setelah beberapa korban dan nalurinya terpuaskan, mereka berhenti membunuh, seperti halnya Martin Bryant atau Jeffrey Dahmer. Jumlah korban para pembunuh itu memang banyak, tapi tidak cukup banyak dan tidak terlalu luar biasa dibandingkan dengan pembunuhan massal atas nama ideologi. Berbeda dengan para pembunuh biasa, para pelaku pembunuhan ideologis tidak akan berhenti hanya dengan beberapa puluh korban saja. Mereka akan terus menerus membunuh untuk menegakkan atau mempertahankan ideologinya, meskipun korban sudah jutaan banyaknya. Abad 20 dan 21 telah menjadi saksi tewasnya ratusan juta jiwa hanya gara-gara ideologi/kepentingan politik yang berseberangan. Ideologi, yakni pandangan hidup dan organisasi sosial ideal yang diyakini merupakan bahan bakar yang tak ada habisnya bagi pembunuhan massal.
“Menelaus, mengapa kamu begitu risau mengambil nyawa orang? Apakah orang Troya telah begitu baiknya memperlakukanmu saat mereka di rumahmu? Tidak; kita tak akan meninggalkan satu pun dari mereka hidup, bahkan bayi di kandungan ibunya- mereka tak boleh hidup. Seluruhnya harus dibinasakan, dan maka tak seorang pun bisa memikirkan tentang mereka dan menitikkan air mata karenanya.” (Raja Agamemnon)
Kata-kata di atas seolah hanya gema dari abad-abad lampau. Tak terbayangkan bahwa kata-kata semacam itu diucapkan manusia zaman ini, tatkala perdamaian dan hak asasi manusia didengung-dengungkan, serta uluran tangan bagi yang kesusahan ikhlas diberikan. Dunia sekarang adalah dunia yang menyaksikan begitu banyak kebaikan. Ketika gempa dan tsunami melanda Sumatra tahun 2004, kita tahu bahwa manusia bisa begitu saling peduli atas derita sesamanya: anak-anak sekolah di berbagai negara mengorganisir pengumpulan dana bantuan, ribuan relawan dari puluhan negara langsung turun ke lokasi bencana, dan berbagai organisasi keagamaan di seluruh penjuru dunia mendorong jemaatnya mengulurkan tangan. Kita telah menyaksikan dunia yang turut bersedih dan bertukar bahu. Hal serupa terjadi di setiap tragedi bencana lainnya di manapun tempatnya. Kita melihat dunia yang bertaut. Sungguh sulit dibayangkan kalau ‘kekejaman’ yang tersurat dalam ucapan Raja Agamemnon itu menjadi bagian dari dunia seperti ini.
Benar, kata-kata Raja Agamemnon memang telah lampau, berakar jauh di masa silam. Homer, penulis epik klasik Yunani Kuno, “Iliad”, mengutip perkataan Raja Agamemnon pada adiknya itu saat perang Troya. Kisah epik menuturkan bahwa Paris, pangeran dari kerajaan Troya, berkunjung ke rumah Menelaus. Melihat Helen, istri Menelaus yang begitu cantik, dia terpikat dan jatuh cinta. Helen pun tak menolak. Lantas, Paris melarikannya ke Troya. Marah karena harga dirinya dilukai, Menelaus meminta tolong kakaknya yang merupakan penguasa Yunani untuk membawa kembali Helen padanya. Sang kakak, Raja Agamemnon, tak menolak. Lagi pula, itu adalah kesempatan emas untuk menyerang Troya yang sejak lama telah diinginkannya. Pasukan Yunani pun menyeberang menuju Troya. Di tanah Troya, mereka melakukan pembunuhan di mana-mana. Hal itu membuat risau Menelaus yang hanya punya satu tujuan: merebut kembali Helen, dan tak ingin pertumpahan darah yang tak perlu. Raja Agammenon lalu mengucapkan kata-kata terkenalnya itu.
Tidak diketahui apakah Raja Agamemnon mewujudkan kata-katanya atau tidak. Terlepas dari hal itu, kisah epik tersebut mengindikasikan bahwa genosida merupakan hal yang umum di dunia kuno, sekaligus diterima sebagai bagian dari penaklukan wilayah. Filsuf Yunani Kuno, Xenophon, dalam karyanya ‘Cyropaedia’menyatakan: “merupakan hukum universal dan abadi bahwa segala sesuatu di dalam sebuah kota yang ditaklukkan selama perang, termasuk orang dan harta benda, menjadi milik si pemenang.
Lukisan Genosida di Kartago |
Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa genosida telah berulang kali terjadi di dunia kuno. Sebagai contoh, Sennacherib, raja kerajaan kuno Asiria antara tahun 701-681 SM[1] bertanggungjawab atas genosida terhadap Babilonia tatkala merebut kota itu pada tahun 689 SM. Seluruh penghuni kota yang mencapai 200,000 (dimungkinkan kota pertama di dunia yang penduduknya mencapai jumlah itu) dibantai dan air sungai dialirkan untuk menenggelamkannya (Bjornson, 2005., Frey, 2009). Pada tahun 416 SM, kekuatan militer Athena menyerang pulau kecil Melos yang penghuninya disebut Melian. Mereka dikepung sehingga kelaparan dan akhirnya menyerah. Thucydides, sejarawan Yunani Kuno menulis bahwa Athena “membunuh semua pria Melian dewasa yang ditangkap dan memperbudak anak-anak dan wanita. Mereka mengambil tempat itu untuk diri mereka sendiri dengan mengirim lima ribu koloni” (Bosworth, 2005). Antara tahun 149-146 SM, Scipio, memimpin pasukan Romawi meluluhlantakkan kota Kartago yang merupakan saingan kota Roma di wilayah Mediterania, hingga kota itu nyaris tanpa sisa. Dari populasi sekitar 200,000 orang, sekurang-kurangnya 150,000 penduduknya dilenyapkan, dan 50,000 sisanya dijual ke perbudakan (Fronda, 2005., Jones, 2005). Sebagian ahli menyebut bahwa pembantaian Kartago merupakan tipikal genosida modern pertama di dunia karena peran penuh seluruh elemen negara di dalamnya. Keputusan penghancuran Kartago diputuskan dalam sidang senat Romawi, dan saat pembantaian dilaksanakan, puluhan senator ikut menyaksikannya dari kapal yang berlabuh tidak jauh dari kota Kartago.
Dunia kuno dihiasi dengan banyak cerita genosida, tapi keliru jika menyangka dunia saat ini telah terbebas dari kekejaman itu. Kata-kata Raja Agamemnon juga suara zaman ini. Abad 21 menjadi saksi genosida di Darfur, Sudan, ketika antara tahun 2003-2004, tidak kurang dari 150 ribu orang di wilayah itu dilenyapkan hanya karena mereka beretnis Afrika yang berkulit hitam. Empat tahun sebelumnya di Kosovo, pada tahun 1999, puluhan ribu etnis Albania terbunuh dan ratusan ribu menjadi pengungsi karena mereka etnis Albania. Sebelum Kosovo, antara tahun 1992-1995, di wilayah tetangganya, Bosnia-Herzegovina, sekitar 200,000 kaum Muslim-Bosnia dibantai hanya karena mereka menjadi Muslim-Bosnia, jutaan yang lain menjadi pengungsi. Sekitar saat yang sama, pada tahun 1994, tidak kurang dari 800,000 etnis Tutsi dibantai etnis Hutu di Rwanda. Lima tahun sebelum Rwanda, pada tahun 1988, suku Kurdi di Irak dihancurkan lewat serangan militer brutal dan penggunaan senjata kimia dalam sebuah operasi militer yang disebut operasi Anfal. Sedikitnya 200 ribu jiwa orang Kurdi melayang.
Penggalian Korban Genosida Bosnia |
Merunut peristiwa-peristiwa ke belakang, tak pelak kita harus mengakui kalau abad 20 adalah abad genosida. Antara tahun 1981-1983, genosida terjadi di Guatemala terhadap etnis Maya, yang menimbulkan korban jiwa sekurang-kurangnya 140 ribu orang. Berselang setahun sebelumnya, antara 1975-1980, sekitar 200 ribu warga Timor Timur atau sepertiganya binasa. Pada saat yang bersamaan, antara tahun 1975-1979, sedikitnya 2 juta warga Kamboja kehilangan nyawa di bawah rejim Khmer Merah. Dekade 70-an menyaksikan setidaknya dua genosida lagi ketika pada tahun 1972, sekitar 300 ribu etnis Hutu dibinasakan etnis Tutsi di Burundi; dan setahun sebelumnya pada tahun 1971 sekitar 3 juta etnis Bengali-Bangladesh terbunuh di tangan militer Pakistan. Ajang genosida paling terkenal tak lain adalah Perang Dunia II, dengan binasanya 6 juta etnis Yahudi di Eropa atau 1 dari 3, di tangan rejim Nazi-Jerman. Pada saat yang sama, 500 ribu kaum Gipsi juga menjadi korban. Dua dekade sebelum itu, antara tahun 1915-1923, tidak kurang dari 1,5 juta etnis Armenia meregang nyawa akibat kebijakan genosida Pemerintah Turki. Kasus genosida terkenal yang mengawali rangkaian genosida di abad 20 adalah kasus genosida etnis Herero di Namibia antara tahun 1904-1907. Dalam peristiwa itu, sedikitnya 60 ribu etnis Herero menjadi korban pembantaian kolonial Jerman, yang artinya, 6 dari 8 orang Herero binasa.
Jumlah korban genosida dari hanya 14 peristiwa genosida di atas mencapai setidaknya 11,52 juta jiwa. Itu belum termasuk korban pelecehan seksual dan perkosaan, serta korban cacat tubuh. Belum juga dihitung para pengungsi yang jumlahnya berlipat-lipat lebih banyak. Sekedar ilustrasi, dalam peristiwa genosida Bosnia-Herzegovina (1992-1995), dari sekitar 200 ribu korban tewas, ada 1,8 juta pengungsi. Angka itu pun belum termasuk genosida skala kecil yang dilakukan terhadap penduduk asli suatu wilayah atau indigenous peopleyang terjadi di seluruh dunia. Rudolph J. Rummel, seorang Sejarawan Politik dari University of Hawaii, Amerika Serikat, menyatakan bahwa korban genosida dan pembunuhan massal lainnya pada abad 20 mencapai 262 juta jiwa (lihat Baum, 2008). Jumlah itu sangat mencengangkan karena bahkan lebih besar dari seluruh korban perang di abad tersebut. Belum pernah di abad-abad sebelumnya, korban genosida -dan pembunuhan massal lainnya- setinggi itu. Perkiraan lain menunjukkan bahwa jumlah korban berkisar pada angka ‘hanya’ 60 juta jiwa (lihat Waller, 2002). Perbedaan angka jumlah korban itu muncul dari perbedaan definisi genosida dan pembunuhan massal, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kategorisasi peristiwa: mana yang peristiwa genosida dan pembunuhan massal serta mana yang bukan.
---------------------------------------------------------------------------------
MENJELASKAN KONSEP
PEMBUNUHAN OLEH PEMERINTAH
---------------------------------------------------------------------------------
Negara dan pemerintah merupakan salah satu pengejawantahan ideologi. Suatu pemerintahan hadir karena ideologi yang diusungnya. Pada saat berkuasa, pihak pemerintah, akan berusaha untuk menciptakan suatu kondisi sosial ideal yang selaras dengan ideologi yang dianutnya. Persoalannya muncul tatkala upaya penegakan ideologi itu dibarengi dengan memasukkan suatu kelompok tertentu sebagai musuh atau ancaman. Pada tahap ini, pemerintah yang destruktif bisa saja menerapkan kebijakan penghancuran/pembunuhan terhadap anggota kelompok-kelompok yang dianggap mengancam tersebut. Tentu saja kebijakan itu kebijakan yang kejam dan melanggar hak-hak hidup. Akan tetapi, ironisnya itulah yang banyak terjadi di abad modern. Abad ini dan abad yang lalu sulit dibantah telah menjadi pertunjukan besar kekuasaan pemerintah negara-negara di berbagai belahan dunia dalam membunuhi rakyatnya sendiri.
Rudolph J. Rummel, seorang ilmuwan politik dari University of Hawaii, Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul “Death by Government”, menyebutkan bahwa selama abad 20, sedikitnya 170 juta jiwa melayang akibat pembunuhan yang dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya sendiri. “Pria, wanita, dan anak-anak ditembak, dipukul, disiksa, dibacok, dibakar, dilaparkan dibekukan, dihancurkan atau dipekerjakan sampai mati; dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, digantung, dibom atau dibunuh dengan beragam cara nan kejam lainnya, karena pemerintah menghendaki kematian pada warga negaranya yang tak bersenjata dan tak berdaya serta pada orang asing.” [5] Perhitungan terbaru yang dilakukan Rummel pada tahun 2005 menghasilkan kesimpulan jumlah korban mencapai 262 juta jiwa.[6] Apabila diasumsikan setiap korban memiliki tinggi 1,5 meter dari ujung kaki ke ujung kepala, maka terentang sambungan mayat sepanjang 393,000 km atau lebih panjang dari rerata jarak bumi dan bulan yang ‘hanya’ 384,400 km.[7] Jumlah itu 6 kali lebih banyak dari semua korban perang di abad 20, yang diperkirakan sebesar 40 juta orang.
Berikut adalah tabel perhitungan korban pemerintah yang dilakukan oleh Rummel selama abad 20, antara tahun 1900-1999.[8]
Kategori
|
Mortakrasi
|
Tahun
|
Korban
|
Deka-Megamurderer
(Korban di atas 10 juta)
|
China (PRC)
Uni Soviet
Kolonialisme
Jerman
China (Kuomintang)
|
1949-1987
1917-1987
1933-1945
1928-1949
|
76,702,000
61,911,000
50,000,000
20,946,000
10,075,000
|
Megamurderer
(korban antara 1-10 juta)
|
Jepang
China (Mao-Soviet)
Kamboja
Turki
Vietnam
Polandia
Pakistan
Yugoslavia (Tito)
Korea Utara
Meksiko
Rusia
|
1936-1945
1923-1948
1975-1979
1909-1918
1945-1987
1945-1948
1958-1987
1944-1987
1948-1987
1900-1920
1900-1917
|
5,964,000
3,468,000
2,035,000
1,883,000
1,670,000
1,585,000
1,503,000
1,072,000
1,663,000
1,417,000
1,065,000
|
Centi-Kilomurderer
(Korban antara 100 ribu sampai 1 juta)
|
China (Warlords)
Turki (Ataturk)
Inggris
Portugal (Diktator)
Indonesia
Lainnya
|
1917-1949
1919-1923
1900-1987
1926-1982
1965-1987
1900-2000
|
910,000
878,000
816,000
741,000
729,000
10,844,000
|
Pembunuhan lebih kecil (kurang dari 100 ribu)
|
1900-1987
|
2,729,000
| |
Total seluruh dunia
|
1987-1999
|
1,331,000
| |
Total seluruh dunia
|
1900-1999
|
262,000,000
|
Bagi Rummel, konsep pembunuhan oleh negara/pemerintah sama dengan konsep pembunuhan dalam masyarakat sipil. Apabila kita memenjarakan seorang pembantu di rumah kita, memaksanya bekerja berlebihan di luar daya tahan selama 16 jam sehari, tidak memberinya makan dengan cukup bahkan kurang dari kebutuhan minimal, tidak memberinya pakaian yang layak, dan kita menyaksikan kondisinya memburuk dari hari ke hari tanpa memberinya bantuan, lalu dia mati, maka bukan sekedar kesalahan kita yang telah membuatnya mati. Secara sah kita telah dianggap melakukan pembunuhan terhadapnya, meskipun mungkin kita tidak pernah berniat membunuhnya. Jika seorang ibu membiarkan anaknya mati karena malnutrisi, maka dia pun telah dianggap melakukan pembunuhan. Hal tersebut dikarenakan kita dan si ibu bertanggungjawab dalam penyelenggaraan cara-cara yang menyebabkan kematian si pembantu dan si bayi. Nah, jika yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan cara-cara yang menimbulkan kematian itu adalah negara, maka negara adalah pembunuh. “Saya menggunakan definisi sipil tentang pembunuhan; di mana seseorang bisa dinyatakan bersalah atas suatu pembunuhan jika mereka bertanggungjawab atas suatu perlakuan sembrono/ceroboh yang berujung pada hilangnya nyawa, seperti memenjarakan orang di kamp di mana mereka dimungkinkan segera mengalami kematian akibat malnutrisi, penyakit dan kerja paksa, atau mendeportasikan mereka ke wilayah yang keras/ekstrem di mana mereka dimungkinkan segera mengalami kematian akibat kondisi wilayah itu atau penyakit.”[9] Sebagai contoh, Uni Soviet mengirimkan para tahanan politik ke kamp-kamp kerja di berbagai penjuru negara yang disebut gulag. Dalam prosesnya, ratusan ribu tahanan mati oleh penjaga kamp dan kriminal atau akibat dari kepanasan, kedinginan, atau kurangnya makanan dan air. Meskipun tewasnya para tahanan itu tidak diniatkan terjadi, namun tetap saja hal tersebut digolongkan pembunuhan oleh negara karena negara yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan kamp-kamp tersebut. Para pejabat negara secara langsung mengontrol kamp-kamp itu.
Pembunuhan yang diprakarsai oleh negara diistilahkan oleh Rummel sebagai “democide” (dialihbahasakan ke bahasa indonesia menjadi demosida), yang berasal dari kata demo yang artinya rakyat dan cide yang artinya pembunuh atau pembunuhan. Menurutnya, demosida adalah pembunuhan yang diprakarsai pemerintah terhadap orang atau rakyat, yang mencakup genosida, politisida, dan pembunuhan massal.[10] Tindakan tersebut tidak harus dilakukan langsung oleh kekuatan aparat pemerintah, tapi bisa juga oleh pihak-pihak lain, seperti paramilisi atau organisasi kepemudaan yang disponsori atau mendapat persetujuan pejabat pemerintah. Istilah demosida melingkupi penghancuran kelompok etnik, ras, bangsa, agama, dan juga pembunuhan atas nama politik. Pada saat yang sama, demosida juga mencakup kematian yang ditimbulkan oleh kesengajaan pemerintah menciptakan atau mengabaikan kondisi hidup rakyatnya yang berada di ujung tanduk, seperti penciptaan/pengabaian kelaparan massal.
Pemerintah China pernah menerapkan kebijakan “Lompatan Besar ke Depan” sekitar tahun 1950-an, untuk mempercepat kemajuan, dengan cara memobilisasi rakyat untuk turut serta dalam beberapa produksi barang, terutama baja. Akan tetapi akibatnya justru terjadi bencana kelaparan akut di berbagai wilayah di China. Sekurang-kurangnya 30 juta orang menjadi korban. Pada awalnya, Rummel menganggap peristiwa itu bukan demosida karena menurutnya, setelah presiden/chairman Mao Zedong mengetahui bencana tersebut, kebijakan itu segera dicabut, sehingga bencana itu hanya merupakan kesalahan kebijakan. Akan tetapi, studi lebih baru menunjukkan kalau Mao telah mengetahui bencana kelaparan itu sejak awal, namun tetap melanjutkan kebijakannya bertahun-tahun kemudian sampai mendapat tentangan keras oleh partai. Oleh karena itu, Rummel kemudian menggolongkannya sebagai demosida.[11]
Korban perang, baik yang tewas secara langsung dalam perang atau dalam tugas-tugas lainnya yang terkait dengan perang, tidak termasuk sebagai korban demosida. Demikian juga pihak nonkombatan yang terbunuh selama serangan terhadap target-target militer, sepanjang tujuan utamanya adalah target militer.[12] Akan tetapi apabila korban sipil sengaja diniatkan dibunuh dalam suatu serangan militer, maka kejadian itu diperhitungkan sebagai demosida. Menurut Rummel, aksi-aksi melawan kaum sipil bersenjata dalam suatu pemberontakan atau huruhara bukan merupakan tindakan demosida. Sebagai contoh, aksi-aksi pemadaman pemberontakan terhadap kaum gerilyawan Kurdi oleh pemerintah Irak tidak akan dianggap sebagai demosida sepanjang aksi tersebut hanya menyasar kaum gerilyawan. Akan tetapi, karena aksi pemadaman pemberontakan itu dengan sengaja diniatkan menyasar kaum sipil Kurdi, maka aksi tersebut tergolong sebagai demosida.
Ketimbang demosida, publik pada umumnya lebih mengenal pembunuhan oleh pemerintah terhadap warga negaranya sendiri sebagai genosida. Secara legal, genosida merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan kejahatan tersebut. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB, United Nations) menggunakannya sebagai istilah resmi sejak tahun 1948, setelah menyelenggarakan konvensi tentang genosida, sebagai responsatas tindakan rejim Nazi-Jerman membunuhi jutaan etnis Yahudi selama Perang Dunia II. Pada tanggal 9 Desember 1948, Sidang Umum PBB menyetujui hasil Konvensi untuk Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide), dan merumuskan genosida sebagai berikut:
… segala tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, baik seluruhnya atau sebagian, sebuah kelompok bangsa, ras atau religius, yaitu:
(a) Membunuh anggota kelompok
(b) Menyebabkan bahaya serius terhadap tubuh dan mental anggota kelompok
(c) Secara sengaja memaksakan suatu kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan membawa penghancuran fisik, baik sebagian atau seluruhnya
(d) Memaksakan suatu metode yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok
(e) Dengan paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain
Genosida dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), sesuai dengan definisi yang dikeluarkan oleh Pengadilan Perang Nuremberg, untuk mengadili para penjahat perang di Era Perang Dunia II.
“Kejahatan terhadap kemanusiaan: yakni pembunuhan, pembinasaan, pembudakan, pendeportasian, dan tindakan-tindakan tidak berperikemanusiaan lainnya, yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi berdasar latar belakang politik, ras, atau agama yang lebih lanjut bersesuaian atau tersangkut dengan segala kejahatan dalam yurisdriksi Pengadilan Internasional, baik itu melanggar hukum domestik negara di mana kejahatan itu berlangsung ataupun tidak.”[13]
Dengan demikian, genosida dianggap sebagai kejahatan internasional, yang para pelakunya, baik negara ataupun individu pelaku, bisa diadili dalam suatu pengadilan sipil di negara lain atau oleh suatu pengadilan internasional. Sidang Umum PBB, menyatakan:
“Genosida adalah pengingkaran hak eksistensi seluruh kelompok manusia, sebagaimana homisida adalah pengingkaran hak hidup seorang manusia… Banyak peristiwa kejahatan genosida terjadi ketika kelompok ras, agama, politik, dan kelompok lainnya dihancurkan, seluruhnya atau sebagian… Sidang Umum, oleh karena itu menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan di bawah hukum internasional yang dunia beradab mengutuknya, dan untuk pelakunya, baik pimpinan atau kakitangannya —apakah itu individu pribadi, pejabat publik atau negara, dan apakah kejahatan itu dilatarbelakangi agama, ras, politik atau segala latar belakang lainnya— dihukum.[14]
Rumusan genosida di atas menjadi definisi legal genosida yang dipergunakan dalam pengadilan-pengadilan internasional. Akan tetapi, hingga saat ini, definisi tersebut terus menjadi perdebatan panas. Banyak kalangan ilmuwan menganggap definisi itu tidak memadai untuk melingkupi beragam kejahatan kemanusiaan yang terkait dengan pembunuhan massal atau penghancuran suatu kelompok tertentu. Keberatan utama terhadap definisi legal genosida adalah batasannya yang begitu sempit tentang kelompok korban. Konvensi Genosida hanya memasukkan empat kelompok korban, yakni bangsa, ras, etnik atau religius. Kelompok politik, baik karena posisi politiknya atau tindakan politiknya, tidak dimasukkan di dalamnya. Pada draft awal yang disampaikan dalam Konvensi Genosida, kelompok politik termasuk dalam proposal. Akan tetapi hal tersebut ditentang oleh Uni Soviet dan negara-negara satelitnya, sehingga akhirnya dikeluarkan dari proposal.[15]Besarnya pembunuhan politik di negara-negara tersebut menjadi penyebab penolakan mereka. Akhir era 1920-an dan awal 1930-an, rejim Joseph Stalin di Uni Soviet membersihkan sekitar 8 juta orang yang dianggap kelompok ekonomi makmur beserta keluarganya (kulaks) dengan cara dibunuh dan dikirim ke kamp-kamp kerja yang mematikan karena mereka didefinisikan sebagai kelompok ekonomi anti-sosialis, yang bertentangan dengan ideologi politik saat itu. Oleh karena hal tersebut, Uni Soviet berupaya memastikan bahwa pembunuhan massal atas dasar ideologi dan kelompok kelas tidak dimasukkan dalam kategori korban.[16] Apabila kategori lawan politik dimasukkan ke dalam definisi, memang akan lebih gampang menyeret negara-negara yang melakukan pembunuhan politik sebagai pelaku kejahatan internasional.
Leo Kuper, salah satu peneliti dan aktivis masalah genosida paling terkemuka[17], menyatakan:
“Saya akan mengikuti definisi genosida yang ditetapkan oleh Konvensi. Ini bukan berarti saya mengatakan setuju dengan definisi itu. Sebaliknya, saya percaya bahwa tidak dicantumkannya kelompok politik dari daftar kelompok yang dilindungi merupakan kehilangan utama. Dalam dunia kontemporer, perbedaan politis, betapapun sedikitnya sudah signifikan sebagai alasan untuk pembunuhan massal dan pelenyapan perbedaan ras, bangsa, etnik atau religius. Lalu juga, genosida terhadap kelompok ras, bangsa, etnik atau religius pada umumnya adalah konsekuensi dari, atau sangat erat terkait dengan konflik politik. Bagaimanapun, saya tidak berpikir akan banyak membantu jika menciptakan definisi baru tentang genosida, ketika ada sebuah definisi yang mendapat pengakuan internasional dan Konvensi Genosida mungkin bisa menjadi basis untuk aksi-aksi efektif, meskipun terbatas sesuai konsepsinya. Tetapi karena definisi itu mengeluarkan kelompok-kelompok politik dalam analisis, saya akan bisa secara bebas merujuk… untuk melakukan aksi-aksi penghancuran atau pembinasaan terhadap mereka.”[18]
Maksud Kuper sangat jelas: apabila kelompok politik tidak dimasukkan dalam definisi, maka dia, dan setiap orang lainnya, bisa secara bebas mempromosikan atau merujukkan tindakan-tindakan penghancuran atau pembinasaan terhadap kelompok-kelompok politik tanpa kuatir bertentangan dengan hukum internasional. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya para pelaku yang mengelak tuduhan genosida dengan menyatakan bahwa tindakannya didorong oleh alasan politis, seperti untuk memadamkan pemberontakan.
Sebagian ahli merumuskan konsepnya sendiri tentang genosida untuk kajian akademisnya. Seperti telah diterangkan di atas, Rudolp J. Rummel mengajukan konsep demosida untuk menyebut semua pembunuhan oleh pemerintah. Baginya, konsep genosida seperti yang dinyatakan dalam hukum internasional, terlalu sempit karena hanya melindungi kelompok bangsa, etnik, ras, atau agama. Padahal, lawan politik merupakan kelompok yang paling sering menjadi sasaran pembunuhan oleh negara. Oleh karena itu diajukannya konsep politisida untuk pembunuhan terhadap lawan politik. Bagi Rummel, genosida dan politisida pun belum melingkupi semua bentuk pembunuhan oleh pemerintah, karena ada peristiwa-peristiwa pembantaian massal yang dilakukan oleh pemenang perang terhadap tahanan perang atau orang-orang di wilayah yang baru ditaklukkan. Untuk fenomena tersebut, Rummel hanya menyebutnya sebagai pembunuhan massal. Ketiganya —genosida, politisida, pembunuhan massal— merupakan bagian dari demosida.[19] Salah satu contoh pembunuhan massal dalam konsep Rummel adalah pembantaian Nanking, China, pada tahun 1937. Pada saat itu, sekitar 300 ribu orang China di kota Nanking dibunuh secara massal oleh balatentara Jepang yang menduduki wilayah tersebut. Sejumlah puluhan ribu wanitanya diperkosa. Secara hukum, balatentara Jepang adalah penguasa dan orang China-Nanking merupakan tawanan perang. Jadi, kekejaman itu antara pemenang perang terhadap pihak yang kalah perang, bukan lazimnya negara terhadap warga negaranya dalam pengertian biasa.[20]
Secara umum, definisi genosida yang diajukan para ahli bisa dibedakan menjadi dua golongan, yakni definisi lunak dan definisi keras.[21] Definisi keras cenderung sempit dalam memberikan batasan sehingga lebih mudah diaplikasikan dalam pengadilan. Salah satu contoh definisi keras dikemukakan oleh Manus I. Midlarsky, yang menyatakan bahwa genosida adalah pembunuhan massal yang dilakukan secara sistematis dan diprakarsai penguasa/negara, terhadap orang yang tak bersalah dan tak berdaya, wanita, dan anak-anak yang terkait dengan identitas etnik-agama tertentu, dengan tujuan menghapuskan kelompok tersebut dari suatu wilayah tertentu.[22] Dengan jelas dan tegas, Midlarsky menyatakan bahwa genosida hanya bisa diaplikasikan apabila kelompok etnik dan agama yang menjadi korbannya. Apabila korban pemerintah adalah kelompok politik, maka namanya bukan genosida, melainkan politisida. Berbeda dengan genosida yang sasarannya kelompok etnis-agama tertentu, korban politisida bisa lintas etnis dan agama. Artinya, korban politisida bisa siapa saja tapi bisa juga hanya kelompok etnis-agama tertentu karena tidak jarang suatu gerakan politik dilakukan oleh satu kelompok etnik-agama tertentu.
Seperti halnya Midlarsky, Barbara Harf , seorang profesor ilmu politik dari U.S. Naval Academy, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian luas terhadap puluhan peristiwa yang dianggap sebagai genosida setelah Perang Dunia II, membedakan konsep genosida dan politisida. Barbara Harf mengemukakan bahwa tindakan genosida dan politisida adalah tindakan “mempromosikan, menjalankan, dan atau menyetujui suatu kebijakan berkelanjutan oleh aparat pemerintah atau kakitangannya —atau, dalam kasus perang sipil di mana salah satunya menentang pihak otoritas—, yang diniatkan untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, sebuah kelompok komunal, politik atau kelompok etnik berpolitik.” Kelompok korban dalam genosida didefinisikan oleh pelaku berdasarkan karakteristik komunalnya, sedangkan kelompok korban dalam politisida didefinisikan berdasarkan term politik oposisi mereka terhadap rejim atau kelompok dominan.[23] Dengan jelas Harf menyebutkan bahwa apabila suatu kelompok etnik tertentu berpolitik, dan lantas dihancurkan karena tindakan atau posisi politiknya, dan bukan karena karakternya sebagai kelompok etnik, maka hal tersebut harus digolongkan sebagai politisida dengan korban komunal, bukan genosida. Operasi penghancuran suku Kurdi oleh Pemerintah Irak (1988-1991) sering ditasbihkan sebagai genosida karena sasarannya memang hanya suku Kurdi. Akan tetapi, menurut Harf, tindakan tersebut adalah politisida, mengingat banyak suku Kurdi yang ikut terlibat dalam tata pemerintahan dan militer Irak, serta beberapa orang ikut sebagai anggota elit Partai Baath, yang merupakan partai penguasa di Irak. Suku Kurdi yang dihancurkan dalam operasi Anfal adalah basis pendukung Kurdish Democratic Party dan Patriotic Union of Kurdistan yang dianggap sebagai pemberontak.
Berikut adalah daftar genosida dan politisida yang terjadi antara tahun 1955-2001, yang dipelajari oleh Barbara Harf.[24]
Negara dan tanggal
|
Jenis kejadian
|
Perkiraan Jumlah korban
|
Sudan, 10/56–3/72
South Vietnam, 1/65–4/75
China, 3/59–12/59
Iraq, 6/63–3/75
Algeria, 7/62–12/62
Rwanda, 12/63–6/64
Congo-K, 2/64–1/65
Burundi, 10/65–12/73
Indonesia, 11/65–7/66
China, 5/66–3/75
Guatemala, 7/78–12/96
Pakistan, 3/71–12/71
Uganda, 2/72–4/79
Philippines, 9/72–6/76
Pakistan, 2/73–7/77
Chile, 9/73–12/76
Angola, 11/75–2001
Cambodia, 4/75–1/79
Indonesia, 12/75–7/92
Argentina, 3/76–12/80
Ethiopia, 7/76–12/79
Congo-K, 3/77–12/79
Afghanistan, 4/78–4/92
Burma, 1/78–12/78
El. Salvador, 1/80–12/89
Uganda, 12/80–1/86
Syria, 4/81–2/82
Iran, 6/81–12/92
Sudan, 9/83–present
Iraq, 3/88–6/91
Somalia, 5/88–1/91
Burundi, 1988
Sri Lanka, 9/89–1/90
Bosnia, 5/92–11/95
Burundi, 10/93–5/94
Rwanda, 4/94–7/94
Serbia, 12/98–7/99
|
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Genosida dan politisida
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Politisida dengan korban komunal
Genosida dan politisida
Politisida
Genosida dan politisida
Politisida dengan korban komunal
Politisida dan genosida
Politisida dengan korban komunal
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Politisida oleh UNITA dan pemerintah
Politisida dan genosida
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Politisida
Politisida dengan korban komunal
Politisida
Genosida
Politisida
Politisida dan genosida
Politisida
Politisida dan genosida
Politisida dengan korban komunal
Politisida dengan korban komunal
Politisida dengan korban komunal
Genosida
Politisida
Genosida
Genosida
Genosida
Politisida dengan korban komunal
|
400,000–600,000
400,000–500,000
65,000
30,000–60,000
9,000–30,000
12,000–20,000
1,000–10,000
140,000
500,000–1,000,000
400,000–850,000
60,000–200,000
1,000,000–3,000,000
50,000–400,000
60,000
5,000–10,000
5,000–10,000
500,000
1,900,000–3,500,000
100,000–200,000
9,000–20,000
10,000
3,000–4,000
1,800,000
5,000
40,000–60,000
200,000–500,000
5,000–30,000
10,000–20,000
2,000,000
180,000
15,000–50,000
5,000–20,000
13,000–30,000
225,000
50,000
500,000–1,000,000
10,000
|
Perbedaan antara genosida dan politisida terkadang kabur dan tumpang tindih, sehingga genosida dan politisida bisa diaplikasikan sekaligus. Sebagai contoh, pembunuhan massal rejim Khmer Merah Kamboja terhadap warga negara Kamboja (1975-1979) yang menelan korban hingga 2 juta jiwa (1 dari 4) selalu ditasbihkan sebagai genosida karena korban komunal yang dihasilkannya. Khmer Merah dengan sengaja meniatkan penghancuran etnis-etnis minoritas (etnis China, Cham, Vietnam, dan lainnya) serta kelompok keagamaan. Pada saat yang sama, peristiwa itu juga politisida. Selama 4 tahun berkuasa, Khmer Merah menyasar kaum urban/perkotaan, penguasa/kaya dan elit terdidik sebagai sasaran pembersihan karena keberadaan mereka tidak sesuai dengan ideologi yang dibangun oleh Khmer Merah. Dengan demikian, etnis China dan etnis Vietnam yang merupakan kelompok urban dan terdidik di Kamboja jatuh sebagai korban genosida dan politisida sekaligus.[25]
Definisi lunak cenderung meluaskan definisi genosida agar bisa mencakup pembunuhan terhadap kelompok yang lebih luas, tanpa perlu menambahkan idiom baru. Definisi-definisi lunak tidak membatasi jenis kelompok terbatas pada empat kelompok seperti yang ada dalam definisi legal. Apapun jenis kelompoknya, asalkan memenuhi syarat tindakan genosida, maka sudah dianggap sebagai genosida. Sebagai contoh, Israel W. Charny, seorang ahli psikologi peneliti masalah kejahatan genosida dari Institute on the Holocaust and Genocide, di Jerusalem, menyatakan bahwa genosida adalah:
“pembunuhan massal umat manusia dengan jumlah substansial, yang terjadi bukan dalam aksi militer melawan kekuatan militer musuh yang dinyatakan secara terbuka, saat korban berada di bawah kondisi yang secara esensial tanpa pertahanan dan tanpa bantuan.”[26]
Frank Chalk dan Kurt Jonassohn:
“Genosida adalah pembunuhan massal satu sisi di mana sebuah pemerintahan atau otoritas lainnya berniat menghancurkan sebuah kelompok, di mana kelompok dan anggota-anggotanya didefinisikan oleh pelaku.”[27]
Henry Huttenbach:
“Genosida adalah segala tindakan yang menjadikan eksistensi sebuah kelompok berada dalam situasi berbahaya.”[28]
Helen Fein:
“Genosida adalah tindakan-tindakan berkesinambungan bertujuan yang dilakukan oleh pelaku untuk secara fisik menghancurkan sebuah kolektivitas secara langsung atau tidak langsung, melalui penghambatan reproduksi biologis dan sosial anggota-anggota kelompok, yang terus berlanjut meskipun korban sudah menyerah atau kurangnya ancaman dari korban.”[29]
Adam Jones:
“Genosida adalah aktualisasi dari niat, yang berhasil diwujudkan, untuk membunuh seluruhnya atau sebagian dari kelompok bangsa, etnik, ras, religius, politik, sosial, gender atau ekonomi, apapun artinya kelompok itu.”[30]
Perbedaan definisi membuat terjadinya perbedaan dalam menafsirkan suatu kejadian. Ada kasus-kasus yang dianggap genosida oleh sebagian ahli, namun dianggap bukan genosida oleh sebagian yang lainnya. Ada juga kasus-kasus yang dianalisis sebagai genosida oleh satu ahli, tapi oleh ahli yang lain digolongkan sebagai politisida. Sebagai misal, kasus pembunuhan massal oleh pemerintah Indonesia di Timor Timur antara tahun 1975-1992, oleh James Dunn disebut sebagai genosida.[31] Sedangkan oleh Barbara Harf hanya digolongkan sebagai politisida dengan korban komunal.[32] Contoh lainnya adalah pembunuhan massal di Nanking, China, oleh tentara Jepang. Gavan McCormack menasbihkannya sebagai genosida,[33] namun Rudolp J. Rummel mengategorikannya sebagai bentuk pembunuhan massal oleh pemerintah di luar genosida maupun politisida.[34] Hanya ada sangat sedikit kasus yang hampir tidak menimbulkan perdebatan, bahwa peristiwa itu adalah genosida. Salah satu contoh dari yang sedikit itu adalah genosida suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda pada tahun 1994.
Saya tidak hendak memegang erat satu definisi genosida untuk digunakan sebagai patokan kaku, apalagi mengajukan definisi genosida sendiri. Di sini, pemahaman bahwa pembunuhan massal oleh pemerintah telah terjadi dan mengambil bentuk seperti yang telah diterangkan dalam definisi-definisi di atas —baik genosida, politida, atau pembunuhan massal, apapun definisinya— sudah memadai untuk memenuhi tujuan tulisan ini. Tekanan utama dalam tulisan ini adalah menuturkan kisah pembunuhan-pembunuhan yang bersifat massal oleh pemerintah, bukan untuk memperdebatkan konsep. Akan tetapi, bagaimana pun, sebuah patokan tetap diperlukan untuk memilah kasus-kasus. Untuk itu, saya menggarisbawahi empat unsur penting dalam definisi genosida/politisida, yakni pelaku, niat, strategi dan korban.
Para pelaku genosida/politisida adalah pemerintah atau alat pemerintah atau pihak yang mendapat persetujuan oleh pejabat pemerintah (misalnya paramilisi). Jika pun bukan penguasa dalam pengertian biasa, mereka haruslah kelompok dominan yang memegang otoritas atau superior (bisa dari sisi keunggulan jumlah, persenjataan, organisasi dan lainnya). Niat, dalam pengertian hukum kriminal adalah kesengajaan. Jaksa penuntut hanya perlu membuktikan bahwa tindakan itu diniatkan terjadi (disengaja), bukan suatu ketidaksengajaan (aksidental), tidak penting apapun motifnya. Sedangkan dalam pengertian normal, genosida harus diniatkan untuk menghancurkan suatu kelompok, baik sebagian atau seluruhnya.[35] Unsur strategi, terlepas dari bentuk tindakannya, harus dilakukan secara sistematis, tertruktur, disengaja dan terorganisir, serta berkelanjutan. Tindakan aksidental tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan genosidal/politisidal. Sedangkan unsur korban yang harus dipenuhi adalah pihak sipil bukan kombatan. Para korban itu jatuh menjadi korban kejahatan pemerintah/negara, semata-mata karena identitas kelompok yang disandangnya. Jumlah korban tidak harus jutaan atau ribuan. Sebuah aksi pembunuhan seluruh anggota sebuah etnik minoritas dengan anggota beberapa ratus orang yang hanya berdiam di sebuah kampung di pedalaman Papua Nugini sudah memenuhi kriteria genosida.
Termasuk dalam genosida adalah pembersihan etnis (ethnic cleansing), yakni pembersihan/pengusiran suatu kelompok etnis homogen tertentu dari suatu wilayah yang diakui sebagai milik mereka oleh kelompok etnis lainnya.[36] Biasanya, pembersihan/pengusiran itu disertai dengan penghancuran seluruh jejak etnis yang dibersihkan dari wilayahnya. Catatan tertua tentang pembersihan etnis datang dari tahun 416 SM ketika Athena menguasai pulau Melos, membunuh atau mendeportasi semua penghuninya, dan kemudian mengisinya dengan orang Athena. Thucydides, sejarawan Yunani Kuno menulis bahwa Athena “membunuh semua pria Melian dewasa yang ditangkap dan memperbudak anak-anak dan wanita. Mereka mengambil tempat itu untuk diri mereka sendiri dengan mengirim lima ribu koloni.”[37] Istilah pembersihan etnis populer sejak Perang Balkan yang berlangsung antara tahun 1991-1999 di negara-negara pecahan Yugoslavia. Saat itu, Serbia, Kroasia dan Bosnia-Herzegovina bertikai satu sama lain. Etnis Serbia di Bosnia-Herzegovina bersama dengan Serbia berusaha membersihkan etnis Muslim-Bosnia dari wilayah leluhurnya dan menggantikannya dengan etnis Serbia. Setelah menduduki wilayahnya, mereka membunuh dan mengusir penduduk Muslim-Bosnia yang ada, serta menghancurkan semua jejak budaya Muslim-Bosnia, dari mulai rumah, artefak, masjid, hingga catatan-catatan dan buku-buku. Hal yang sama dilakukan etnis Serbia di Kroasia terhadap etnis Kroasia yang ada di wilayah yang mayoritas dihuni etnis Serbia. Sebaliknya, sebagai pembalasan, etnis Kroasia juga melakukan pembersihan etnis terhadap etnis Serbia di wilayah Kroasia.[38] Sejak saat itu, idiom pembersihan etnis secara formal sering digunakan. Mulai tahun 1993, PBB secara resmi menggunakan istilah tersebut untuk menyebut genosida-genosida yang berujud pada pembersihan etnis.
Dalam tulisan ini, saya menggunakan definisi genosida yang dikemukakan oleh Manus I. Midlarsky, dalam bukunya “The Killing Trap: Genocide in the Twentieth Century”. Menurutnya, genosida adalah suatu “pembunuhan massal” yang dilakukan secara sistematis dan “diprakarsai penguasa/negara”, terhadap orang yang tak bersalah dan tak berdaya, wanita, dan anak-anak yang terkait dengan identitas etnik-agama tertentu, dengan tujuan menghapuskan kelompok tersebut dari suatu wilayah tertentu (Midlarsky, 2005). Ini artinya, pelaku haruslah pihak penguasa/negara atau jika dilakukan oleh kelompok lain, misalnya oleh paramilisi atau kelompok sipil lainnya, negara tetap berperan sebagai sponsornya. Dengan demikian, perang antar suku yang menghasilkan pembunuhan massal yang menghancurkan suku lainnya jelas bukan sebuah genosida. Hanya jika ada prakarsa negara/penguasa, misalnya negara memprovokasi dan mempersenjatai salah satu suku, maka baru bisa memenuhi salah satu syarat genosida. Demikian juga jika suku penyerang itu sendiri merepresentasikan negara, maka satu syarat genosida telah dipenuhi. Sebagai contoh, genosida suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi tahun 1972 bisa terjadi karena kala itu suku Tutsi merupakan pemegang kekuasaan politis dan militer di Burundi. Sebaliknya, genosida suku Tutsi oleh suku Hutu di Rwanda tahun 1994 juga terjadi saat suku Hutu memegang kekuasaan.
Syarat lain yang harus dipenuhi dalam genosida adalah korban berada dalam posisi tak berdaya atau rapuh dan merupakan kaum sipil. Korban bukan merupakan kombatan (kombatan adalah orang yang secara formal terlibat perang resmi, misalnya tentara atau gerilyawan). Apabila genosida terjadi dalam situasi perang, maka pihak kombatan yang terbunuh tidak dihitung sebagai korban genosida, melainkan sebagai korban perang. Misalnya, dalam perang yang dilancarkan Irak terhadap gerilyawan Kurdi pada tahun 1988, pihak gerilyawan Kurdi yang tewas dalam perang dihitung sebagai korban perang. Akan tetapi kaum sipil yang tewas karena operasi militer tersebut harus dihitung sebagai korban genosida.
Dalam definisi genosida oleh Manus I. Midlarsky di atas, kelompok korban secara eksklusif adalah kelompok etnik atau kelompok agama. Di dalam kelompok etnik tercakup kelompok bangsa atau ras, baik yang dilabelkan oleh diri sendiri maupun yang dilabelkan oleh pelaku. Lantas bagaimana dengan kelompok politik? Bagaimana dengan kasus Uni Soviet yang berupaya melenyapkan seluruh musuh politiknya dari seluruh negeri? Menurut Midlarsky, konsep genosida kurang memadai untuk menerangkan hal tersebut. Ditawarkannya konsep “politisida” untuk menyebut pembunuhan massal yang diarahkan pada musuh sosial-ekonomi atau musuh politik negara. Politisida berbeda dengan genosida karena politisida masih menyisakan mayoritas populasi untuk tergabung dengan kekuatan ekonomi atau politik pelaku setelah pembunuhan massal selesai dilakukan. Dalam politisida juga tidak diperlukan penghancuran infrastruktur budaya milik korban. Apabila politisida biasanya memerlukan adanya korban dalam jumlah besar untuk mencapai tujuannya, genosida tidak perlu. Sebuah aksi pembunuhan seluruh anggota sebuah etnik minoritas dengan anggota beberapa ratus orang yang hanya berdiam di sebuah kampung sudah memadai untuk disebut genosida.
Syarat genosida berikutnya adalah meniatkan pembunuhan massal itu untuk menghancurkan sebuah kelompok etnik/bangsa atau kelompok religius di suatu wilayah. Senada dengan Manus I. Midlarsky, peneliti masalah genosida, Eric D. Weitz, dalam bukunya “A Century of Genocide: Utopias of race and nation”, menekankan bahwa yang membedakan antara genosida dengan korban sipil yang terjadi dalam perang, pembunuhan berencana, atau deportasi paksa lainnya, meskipun sama-sama menghasilkan pembunuhan massal dengan korban berjumlah besar, dan meskipun sesudah itu bisa menelurkan genosida, adalah pada niat aksinya. Genosida dilandasi niat untuk menghancurkan suatu kelompok ‘populasi’ tertentu baik sebagian atau seluruhnya (Weitz, 2003b). Operasi militer Irak pada tahun 1988 untuk menghancurkan gerilyawan Kurdi tidak akan disebut genosida jika niatnya hanya untuk melenyapkan ancaman pemberontakan, dan korban yang disasar hanya gerilyawan semata-mata. Akan tetapi, oleh karena operasi itu diniatkan untuk menghancurkan suku Kurdi seluruhnya, maka operasi militer itu tergolong genosida.
Banyak orang yang bertanya-tanya, apakah pengeboman kota Nagazaki dan Hiroshima dengan bom atom pada Perang Dunia II, bisa dimasukkan sebagai genosida? Eric D. Weitz menyatakannya tidak. Pengeboman itu tidak bisa dianggap sebagai genosida karena dimaksudkan untuk meraih kemenangan perang terhadap Jepang, bukan penghancuran orang Jepang meskipun korbannya ratusan ribu orang sipil (Weitz, 2003b). Atas argumen yang sama, pengeboman terhadap daratan Jepang oleh tentara sekutu (AS) pada akhir Perang Dunia II yang memakan korban sekitar 900,000 jiwa, tidak digolongkan sebagai genosida. Demikian juga pengeboman kota-kota di Jerman oleh sekutu dalam Perang Dunia II yang menghasilkan korban sipil antara 300,000 sampai 600,000 jiwa, yang kebanyakan adalah wanita, anak-anak, dan orang berusia lanjut bukan tergolong genosida (lihat Jones, 2005).
Salah seorang pembaca awal draft naskah buku ini bertanya: “Bagaimana bisa peristiwa Timor Timur digolongkan sebagai genosida? (lihat bab 8 tentang genosida Timor Timur). Dari sisi jumlah korban, peristiwa itu memakan korban hingga 200 ribu jiwa sehingga jelas merupakan pembunuhan massal. Akan tetapi pemerintah Indonesia tidak pernah berencana untuk menghancurkan rakyat Timor Timor, melainkan hanya untuk mengatasi gerilyawan Fretilin, jadi tentu bukan genosida, bukan? Menurut saya, senada dengan James Dunn (lihat, Dunn, 2004), Pemerintah Indonesia memang tidak bisa disimpulkan mendesain rencana besar untuk melakukan penghancuran sistematis terhadap orang Timor Timur. Akan tetapi, strategi pendudukan yang dijalankannya dan perilaku militer dalam melaksanakan strategi tersebut jelas-jelas menghasilkan kehancuran orang Timor Timor, sehingga tidak mungkin tidak ada niat penghancuran. Saat itu orang Timor Timur pun berada dalam posisi rapuh dan sebagian besar korbannya adalah kaum sipil yang tak berdaya. Dengan demikian, peristiwa itu sah untuk dikatakan sebagai genosida sesuai dengan konvensi PBB tentang definisi genosida, yakni adanya “penghancuran baik seluruhnya atau sebagian sebuah kelompok bangsa..” (lihat atas).
Harus diakui bahwa konsep genosida merupakan konsep yang masih sangat terbuka untuk diperdebatkan karena sedemikian luas dimensinya sekaligus sangat besar implikasinya. Sebagai contoh, apabila term genosida hanya bisa diberikan jika korban genosida harus dibinasakan seluruhnya dari suatu wilayah, maka nyaris tidak ada satu pun peristiwa genosida yang dianggap telah terjadi di abad 20 dan 21, karena selalu ada yang tersisa dan biasanya lebih banyak dari yang menjadi korban. Oleh karena definisi menentukan peristiwa mana saja yang bisa dimasukkan sebagai genosida dan mana yang tidak, saya pun harus mengambil sebuah definisi untuk menjadi patokan pemilihan kasus. Berdasarkan definisi Midlarsky, saya memilih 14 kasus genosida untuk diuraikan dalam tulisan ini. Namun tentu saja Anda boleh tidak sepakat dengan definisi yang saya ambil. Dengan demikian, Anda juga bisa mengklaim kasus yang saya uraikan dalam tulisan ini bukan merupakan genosida berdasarkan definisi yang Anda pegang.
Raphael Lemkin (sumber: Adam jones, 2006) |
RAPHAEL LEMKIN
(1900-1959)
Genosida (genocide dalam bahasa inggris) merupakan istilah modern. Raphael Lemkin (1900-1959), seorang intelektual dari Polandia yang mengenalkan istilah tersebut pada tahun 1944. Sebelumnya, kejahatan itu tanpa nama. Genosida berasal dari bahasa yunani kuno ‘genos’ (ras, suku, atau bangsa) dan bahasa latin ‘caedere/cide’ (pembunuhan). Sebagai alternatif, dia mengusulkan term ‘ethnos’ yang secara esensial memiliki arti yang sama dengan genos, sehingga menjadi ethnocide (etnosida).[39] Lemkin merupakan salah satu tokoh utama penggagas penyelenggaraan konvensi Genosida. Secara individual, Lemkin melakukan lobi-lobi tingkat tinggi agar Konvensi Genosida terselenggara. Saat konvensi berlangsung, dia menjadi penasehat Sekretaris Jenderal PBB dan memainkan perang penting di dalamnya.[40]
---------------------------------------------------------------------------------
LATAR BELAKANG
GENOSIDA & POLITISIDA
---------------------------------------------------------------------------------
Katakan saudaraku,
Mengapa para diktator membunuh dan berperang?
Untuk kejayaan, untuk harta, untuk kepercayaan, melampiaskan dendam;
Demi kekuasaan.
Apa yang membuat para pemimpin mengambil keputusan melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya sendiri? Beragam analisa dilakukan untuk membedakan ragam kejadian genosida/politisida berdasarkan latar belakang kejadiannya. Helen Fein, dalam artikelnya “Scenarios of Genocide: Models of genocide and critical responses” mengidentifikasi adanya empat tipe genosida/politisida, yakni ideologis, retributif, despotik dan developmental.[42] Genosida ideologis terjadi ketika elit baru penguasa berhasil meraih kekuasaan, biasanya melalui perang sipil atau revolusi, dengan sebuah visi membentuk masyarakat baru yang dimurnikan dari elemen-elemen yang tidak diinginkan atau mengancam. Status korban dengan jelas bisa dilihat melalui penyebutan pada mereka, seperti “musuh kelas”, “kontra revolusi”, dan “bid’ah” atau “kelompok penyimpang.” Semakin intens perjuangan meraih kekuasaan sebelumnya dan semakin besar ancaman yang dirasakan oleh rejim baru, maka semakin mungkin kelompok yang mengancam itu menjadi korban genosida/politisida. Contohnya adalah pembersihan kelompok kelas ekonomi mapan dan pendukung aliran komunisme selain stalinisme di Uni Soviet, pada era rejim Stalin di akhir 1920-an dan dekade 1930-an. Contoh lainnya adalah genosida/politisida di Kamboja oleh rejim Khmer Merah terhadap masyarakat urban dan terdidik pada tahun 1975-1979. Kala itu tidak kurang dari 2 juta penduduk atau 1 dari 4 penduduk Kamboja binasa. Contoh berikutnya adalah gerakan Revolusi Kebudayaan yang digagas oleh rejim Mao di China antara tahun 1966-1976 berupa pembersihan unsur-unsur masyarakat yang dianggap anti-sosialisme ala Mao. Diperkirakan 850 ribu jiwa menjadi korbannya.
Genosida/politisida retributif merupakan strategi yang diambil selama atau segera setelah perang sipil. Biasanya hal tersebut terjadi pada perang sipil berkepanjangan. Salah satu pihak, yang biasanya pemerintah, secara sistematis mencari dan menghancurkan daerah-daerah pendukung musuhnya. Contoh peristiwa ini adalah politisida etnis Kurdi oleh pemerintah Irak pada tahun 1988-1991. Kala itu, pemerintah Irak mengadakan operasi Anfal, yang bertujuan menghancurkan basis suporter pejuang Kurdi yang menjadi suporter kelompok pejuang kemerdekaan Kurdish Democratic Party dan Patriotic Union of Kurdistan. Diperkirakan setidaknya 200 ribu jiwa menjadi korban. Selama operasi Anfal, 4049 desa kaum Kurdi dihancurkan total, di mana sekitar 2000-nya tidak lagi bisa dihuni sama sekali. Hanya tersisa 673 desa yang tetap berdiri di seluruh wilayah Kurdistan-Irak. Contoh lainnya adalah peristiwa politisida di Indonesia pada tahun 1965-1966 dengan korban antara 500 ribu sampai 1 juta orang, untuk menghapuskan kaum komunis yang sebelumnya dianggap melakukan kudeta, dan pada tahun 1975-1992 terhadap Timor Timur untuk mematahkan perlawanan gerilyawan Fretilin, dengan perkiraan korban 200 ribu jiwa. Genosida/politisida ideologis dan retributif merupakan jenis yang paling banyak terjadi selama abad 20 dan 21.
Genosida despotik, yakni bentuk genosida yang diarahkan pada orang-orang yang menolak kolonialisme atau imperialisme, banyak terjadi di era sebelum abad 20.[43] Dari jumlah sekitar 100 juta jiwa penduduk asli Amerika (Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan) sebelum kedatangan Eropa di benua tersebut pada abad ke 15, sebanyak 90%-nya lenyap oleh genosida/politisida despotik. Antara tahun 1885-1908, Raja Leopold II dari Belgia yang menguasai Kongo, Afrika, bertanggungjawab terhadap kematian sekitar 10 juta jiwa penduduk asli Kongo, atau 50% dari populasi total. Diperkirakan, total di seluruh dunia, seperlima penduduk asli lenyap oleh aksi-aksi Kolonialisme.
Genosida developmental (pembangunan) menyasar pelenyapan kaum indigenous ketika mereka menolak dipindahkan untuk dimukimkan di suatu tempat khusus (reservasi) atau menolak eksploitasi terhadap lahan mereka.[44] Hal tersebut lazim terjadi ketika pemerintah ingin membuka pertambangan atau perkebunan di suatu lahan yang sudah dihuni dan dimiliki kaum indigenous secara turuntemurun. Salah satu contohnya adalah suku Ogoni di Nigeria. Pada tahun 1950-an, di wilayah mereka ditemukan cadangan minyak melimpah. Pemerintah Nigeria lantas menjalin kerjasama dengan perusahaan minyak internasional Shell Oil untuk pengeborannya. Alih-alih mendapatkan bagian kemakmuran, suku Ogoni malah tersingkir. Lingkungan mereka rusak parah. Penyakit mewabah. Imbasnya, populasi mereka berkurang jauh. Ketika suku Ogoni berusaha untuk meminta pertanggungjawaban, respons Pemerintah Nigeria adalah pengabaian dan kekerasan terhadap mereka.
Senada dengan Helen Fein, Frank Chalk dan Kurt Jonassohn mengemukakan bahwa motif genosida/politisida setidaknya ada empat, yakni (1) untuk mengeliminasi ancaman potensial yang ada saat itu atau di masa depan (seperti dalam genosida retributif); (2) mendapatkan kekayaan ekonomi (seperti dalam genosida/politisida developmental dan despotik); (3) mencipta teror agar yang lain tidak melawan; dan (4) mengimplementasikan kepercayaan, teori, atau ideologi tertentu (seperti dalam genosida/politisida ideologis).[45] Sebuah peristiwa genosida/politisida bisa hanya dilandasi satu motif dan bisa juga dilandasi beberapa motif sekaligus.
Faktor risiko genosida/politisida
Faktor-faktor apa saja yang meningkatkan peluang terjadinya genosida/politisida? Menurut Barbara Harf, berdasarkan hasil studinya terhadap ratusan peristiwa, terdapat 6 faktor risiko yang memberikan peluang kemunculan genosida/politisida, yakni pergolakan politik selama revolusi atau perang, genosida/politisida sebelumnya oleh rejim yang sama, sistem politik otokrasi, ideologi keterpisahan, etnis minoritas sebagai penguasa, dan ketertutupan dari dunia internasional.[46] Keenam hal tersebut mempengaruhi para pemegang otoritas dalam situasi-situasi konflik: apakah akan mengakomodasi kelompok rival atau membinasakan mereka.
Faktor risiko 1. Pergolakan politik.
Pergolakan politik bisa didefinisikan sebagai perubahan mendadak dalam komunitas politik yang disebabkan oleh pembentukan sebuah negara atau rejim melalui konflik keras/berdarah, perubahan perbatasan negara, atau kekalahan dalam perang internasional (perang melawan negara lain). Bentuk pergolakan politik beragam, mulai dari terjadinya perang internasional, revolusi, pemberontakan anti-kolonial, perang pemisahan diri (separatisme), kudeta, hingga transisi rejim ke rejim yang elit politiknya menganut ideologi ekstrem. Dalam studi yang dilakukan oleh Barbara Harf ditemukan bahwa antara tahun 1955 sampai 1988, semua genosida/politisida (36 dari 37) terjadi selama atau setelah pergolakan politik, yakni ketika negara gagal menangani perang etnik dan revolusi, serta perubahan rejim. Sejumlah 4 kegagalan negara diikuti dengan pembentukan negara baru yang merdeka atau perpecahan negara. Faktor kegagalan negara merupakan faktor yang diperlukan dalam setiap kejadian genosida/politisida.[47]
Semakin keras, besar dan luas pergolakan politik yang terjadi, maka semakin mungkin keputusan genosida/politisida diambil pihak otoritas/pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan semakin besarnya skala konflik, maka pihak otoritas pun semakin merasa terancam, dan semakin berkeinginan untuk mengambil bentuk-bentuk penyelesaian yang ekstrem. Selain itu, semakin besarnya pergolakan juga menyediakan kesempatan lebih besar bagi mereka untuk mencari solusi final terhadap ancaman yang ada saat itu atau ancaman potensial di masa mendatang. Jadi, ironisnya, daya tarik kebijakan genosida/politisida adalah potensinya untuk menyelesaikan secara tuntas konflik antar kelompok dengan melenyapkan musuh secara total.
Faktor risiko 2. Genosida sebelumnya.
Kesuksesan pembunuhan massal untuk mengatasi konflik di era sebelumnya akan memperbesar peluang dilaksanakannya kembali kebijakan tersebut di masa-masa selanjutnya. Dalam bahasa ekstrem, terjadi “kebiasaan genosida.” Barbara Harf menemukan sedikitnya 10 negara yang dalam kurun waktu 45 tahun (1955-2000) melakukan genosida/politisida berulang kali. Pada saat terjadi kegagalan negara, risiko terjadinya genosida/politisida 3 kallipat lebih tinggi pada negara-negara yang sebelumnya pernah menjalankan kebijakan tersebut. Ketimbang skala pergolakan politik, genosida/politisida yang terjadi sebelumnya lebih berpengaruh dalam menghasilkan keputusan genosida/politisida.
Faktor risiko 3 & 4. Sistem politik otokrasi dan ideologi keterpisahan.
Pergolakan politik merupakan kondisi yang diperlukan tapi tidak cukup untuk menimbulkan genosida/politisida. Antara tahun 1955-1996 terjadi lebih dari 90 kegagalan negara yang tidak berujung pada terjadinya genosida/politisida. Dua hal penting yang mempengaruhi peluang adalah komitmen ideologis para elit politik penguasa dan seberapa besar asas demokrasi yang dianut dalam sistem politik. Genosida/politisida lebih mungkin terjadi jika para elit politik memegang ideologi keterpisahan, yakni ideologi yang mengandung justifikasi untuk membatasi, menghukum atau melenyapkan kategori orang tertentu. Imbasnya, para elit politik lebih berpeluang membinasakan suatu kelompok tertentu, termasuk kelompok yang tidak benar-benar memberikan ancaman nyata terhadap para elit politik. Contoh ideologinya adalah rasisme dan antisemistime, yang selama berabad-abad dianut oleh banyak elit politik di banyak negara.
Pada intinya, ideologi keterpisahan adalah ideologi yang mengutamakan satu kelompok di atas kelompok lainnya, dan melarang ekspresi kelompok lainnya, seperti penganut variasi kaku dari Marxisme-Leninisme (misalnya Laos, Vietnam, Republik Rakyat China dan Korea Utara); Negara-negara Islam yang diatur berlandaskan basis hukum syariah Islam kaku (misalnya Iran, Saudi Arabia, dan Sudan); penganut doktrin anti-komunis yang kaku sehingga elit politiknya didominasi militer (misalnya Taiwan dan Korea Selatan sampai tahun 1980-an dan beberapa rejim di Amerika Latin selama tahun 1960-an dan 1970-an); penganut doktrin superioritas atau eksklusivitas etnis dan nasionalisme-etnis (misalnya Irak, Afrika Selatan selama era Aphartheid, Serbia, dan Bhutan); dan penganut doktrin nasionalisme-sekuler yang kaku, yang menepiskan partisipasi politik dari gerakan keagamaan (misalnya Turki, Mesir dan Algeria). Negara-negara yang elit penguasanya menganut ideologi keterpisahan berpeluang dua setengah kali lipat untuk menjalankan kebijakan genosida/politisida saat terjadi kegagalan negara, dibandingkan dengan yang tidak memiliki ideologi seperti itu.
Rejim politik otokrasi, yakni rejim yang memerintah secara mutlak dan berbasis non-demokrasi (misalnya karena keturunan seperti dalam kerajaan atau karena hasil kudeta), lebih mungkin untuk menghasilkan kebijakan genosida/politisida ketimbang rejim demokrasi. Ketika terjadi kegagalan negara dalam rejim otokrasi, peluang terjadinya genosida/politisida tiga setengah kali lipat dibandingkan pada rejim demokrasi. Pada negara-negara demokrasi terdapat sistem pengawasan sehingga terciptanya kekerasan bisa dicegah. Selain itu, mekanisme demokrasi menyulitkan penganut ideologi ekstrem untuk muncul menjadi penguasa.
Faktor risiko 5. Perpecahan etnik dan religi.
Temuan Barbara Harf menunjukkan bahwa dua per tiga (24 dari 37) genosida/politisida yang terjadi antara tahun 1955-2000 bermula dari konflik etnik. Akan tetapi tidak seperti yang banyak diduga, bukan heterogenitas etnik yang memicu genosida/politisida. Heterogenitas etnik hanya berpengaruh hanya jika elit politik penguasa didominasi oleh etnik minoritas, baik sebagian besar atau seluruhnya. Diketahui, risiko genosida/politisida dua setengah kali lipat lebih tinggi jika elit politiknya didominasi etnis minoritas. Situasi dominannya etnik (atau religi) minoritas dalam kekuasaan cenderung memicu kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk melawan. Para elit politik yang merupakan kaum minoritas takut dengan ancaman-ancaman tersebut sehingga mereka cenderung untuk melindungi kepentingan dan keamanan diri mereka dalam term-term komunal, misalnya dengan mendesain kebijakan rasial atau mengadopsi nasionalisme berbasis etnis. Kondisi tersebut pada akhirnya bisa berujung pada kebijakan genosida/politisida.
Temuan Barbara Harf menunjukkan bahwa dua per tiga (24 dari 37) genosida/politisida yang terjadi antara tahun 1955-2000 bermula dari konflik etnik. Akan tetapi tidak seperti yang banyak diduga, bukan heterogenitas etnik yang memicu genosida/politisida. Heterogenitas etnik hanya berpengaruh hanya jika elit politik penguasa didominasi oleh etnik minoritas, baik sebagian besar atau seluruhnya. Diketahui, risiko genosida/politisida dua setengah kali lipat lebih tinggi jika elit politiknya didominasi etnis minoritas. Situasi dominannya etnik (atau religi) minoritas dalam kekuasaan cenderung memicu kelompok-kelompok yang kurang terwakili untuk melawan. Para elit politik yang merupakan kaum minoritas takut dengan ancaman-ancaman tersebut sehingga mereka cenderung untuk melindungi kepentingan dan keamanan diri mereka dalam term-term komunal, misalnya dengan mendesain kebijakan rasial atau mengadopsi nasionalisme berbasis etnis. Kondisi tersebut pada akhirnya bisa berujung pada kebijakan genosida/politisida.
Faktor risiko 6. Keterbukaan ekonomi pada dunia internasional.
Diketahui, semakin besar derajat keterbukaan perdagangan sebuah negara dengan negara lain, maka semakin berkurang peluang para pemimpinnya untuk mengambil kebijakan genosida/politisida. Sebaliknya, para pemimpin di negara-negara yang terisolasi lebih mungkin melakukannya karena tidak perlu menguatirkan risiko yang muncul dari dunia internasional. Barbara Harf menemukan bahwa negara-negara yang keterbukaan perdagangannya rendah memiliki peluang dua setengah kali lipat lebih tinggi untuk mengambil kebijakan genosida/politisida dibandingkan negara-negara dengan keterbukaan perdagangan tinggi. Sayangnya, elit politik penguasa dari kalangan minoritas biasanya juga enggan melakukan perdagangan terbuka dengan negara lain.
Banyak orang beranggapan bahwa kemiskinan atau kesulitan ekonomi merupakan wahana utama bagi terjadinya genosida/politisida, sebagaimana dalam konflik sosial lainnya. Diketahui, mayoritas genosida/politisida di dunia memang terjadi di negara-negara yang sedang dilanda kesulitan ekonomi atau miskin. Akan tetapi, studi yang dilakukan Barbara Harf menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang lemah bukanlah faktor risiko langsung terhadap genosida/politisida, melainkan sebagai faktor umum penyebab terjadinya konflik sipil dan ketidakstabilan rejim yang bisa mengarah pada kegagalan negara. Dengan kata lain, kemiskinan hanya bisa mengarah ke genosida/politisida hanya jika faktor-faktor risiko lainnya hadir. Tanpa hadirnya faktor risiko lainnya, kesulitan ekonomi tidak mempengaruhi peluang terjadinya genosida.
Kotak 2.
Peluang genosida/politisida pada saat terjadinya kegagalan negara[48]
. 1,7 kali lebih tinggi pada negara-negara yang mengalami kegagalan negara ketimbang pada negara-negara yang tidak mengalaminya.
. 3,39 kali lebih tinggi pada negara yang sebelumnya pernah memiliki sejarah melakukan genosida/politisida.
. 3,5 kali lebih tinggi pada rejim otokrasi ketimbang pada rejim demokrasi.
|
. 2,55 kali lebih tinggi di negara-negara yang elit politiknya menganut ideologi keterpisahan
. 2,56 kali lebih tinggi di negara-negara yang elit politiknya didominasi sebagian besar atau seluruhnya oleh satu etnik minoritas tertentu
. 2,58 kali lebih tinggi di negara-negara yang perdagangan internasionalnya rendah atau terisolasi daripada di negara-negara yang tinggi ketergantungannya pada ekonomi global.
|
---------------------------------------------------------------------------------
BENTUK TINDAKAN
PEMBUNUHAN
---------------------------------------------------------------------------------
Apa saja cara-cara yang digunakan oleh para pelaku dalam upaya menghancurkan kelompok lainnya? Dari laporan saksi mata dalam puluhan kejadian genosida yang terjadi selama abad 20 dan 21, ternyata ada banyak sekali model tindakan yang dijalankan. Metode itu terentang dari pendeportasian, penembakan acak, penyiksaan, kamp konsentrasi, hingga penguburan hidup-hidup. Berikut adalah sebagian dari tindakan-tindakan itu:
Deportasi. Proses ini biasanya diawali dengan peringatan pada korban untuk meninggalkan rumahnya. Biasanya korban diberi waktu untuk berkemas. Pada kasus genosida Armenia (1915-1923), pemerintah Turki memberikan waktu 3 hari pada seluruh orang Armenia untuk meninggalkan rumahnya. Biasanya kendaraan disediakan oleh pelaku, tapi banyak juga yang harus pergi sendiri dengan moda transportasi apapun yang dimiliki, termasuk dengan hanya berjalan kaki. Korban deportasi lalu diarahkan ke wilayah lain yang sudah ditunjuk. Pada kasus Genosida Armenia, tempat itu adalah gurun Siria. Tempat pendeportasian biasanya sangat tidak layak, kurang air dan suplai makanan sehingga bencana kelaparan terjadi dan korban berjatuhan.
Kamp konsentrasi. Korban biasanya langsung diambil dari rumah-rumah mereka dan dibawa paksa ke suatu kamp konsentrasi. Di kamp-kamp tersebut, korban biasanya melakukan kerja paksa dan diperlakukan kejam. Suplai air dan makanan sangat terbatas sehingga bencana kelaparan terjadi. Fasilitas kesehatan juga tidak memadai sehingga wabah penyakit berjangkit. Kombinasi kelaparan, penyakit dan kejamnya perlakuan menghasilkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Pada sebagian kasus, misalnya kasus genosida Bosnia-Herzegovina dan Darfur-Sudan, para pelaku memblokir akses korban mendapatkan makanan untuk menciptakan kelaparan di suatu wilayah tertentu.
Kamp pembinasaan. Di sini, korban dibunuh dengan beragam cara. Salah satu contoh, adalah penggunaan kamar gas oleh Nazi-Jerman. Para korban dimasukkan ke kamar-kamar gas berisi gas sianida yang mematikan. Setelah seluruh korban mati, mayat-mayat dikeluarkan. Lalu rombongan korban berikutnya dimasukkan ke dalamnya.
Pembunuhan acak. Tindakan ini terjadi ketika korban masih di lingkungan tempat tinggal mereka, dalam perjalanan pengungsian atau ketika sudah berada di kamp. Secara acak dipilih seseorang atau beberapa orang untuk dibunuh. Dalam sebagian kasus genosida tidak ada proses pilih memilih. Setiap orang yang berhasil diidentifikasi sebagai kelompok yang harus dibinasakan langsung dibunuh. Sebagai contoh, dalam kasus genosida Rwanda (1994), suku Hutu membunuh setiap suku Tutsi yang ditemuinya.
Penembakan massal. Para pelaku biasanya mengumpulkan korban untuk mengelompok bersama-sama, lalu ditembaki bersamaan. Tidak jarang satu keluarga dibunuh semuanya di dalam rumah mereka dan lalu rumahnya di bakar. Pada banyak kasus, para korban diminta menggali lubang terlebih dahulu. Setelah selesai mereka diperintahkan berjejer di tepi lubang dan lantas ditembaki. Cukup sering para pelaku enggan repot-repot mengumpulkan orang, tapi langsung menembaki kerumunan para pengungsi.
Medan penembakan. Dalam prosesnya, orang-orang yang dipilih untuk dieksekusi diminta untuk datang ke suatu medan/area tertentu atau dibawa paksa ke sana. Sesampainya di tempat itu, mereka ditembaki. Wilayah itu menjadi tempat khusus untuk pembunuhan. Biasanya, wilayahnya terletak di luar desa atau di tempat terpencil.
Penyerangan fisik. Para pelaku melakukan kekerasan fisik terhadap korban, seperti pemukulan, penendangan, penyabetan atau penusukan. Pada banyak kasus, korban akhirnya ditembak.
Penyiksaan. Model penyiksaannya beragam, mulai cabut kuku, ditenggelamkan, didudukkan di kursi listrik, ditusuk, pemotongan anggota badan, dan sebagainya. Sebagian akhirnya meninggal akibat siksaan berat.
Penghancuran tubuh. Baik mayat maupun yang masih hidup dihancurkan tubuhnya, misalnya melalui cara dilindas dengan bulldozer atau dengan cara dibakar. Pembakaran hidup-hidup merupakan salah satu metode yang cukup sering dilakukan pelaku.
Penguburan hidup-hidup. Banyak laporan menunjukkan bahwa sebagian korban genosida dikuburkan dalam kondisi hidup, baik saat dalam keadaan sudah terluka maupun ketika masih dalam kondisi segar bugar.
Kekerasan seksual. Para pelaku memerkosa wanita dari kelompok korban. Sebagian diperkosa beramai-ramai. Tidak jarang perkosaan dilakukan di depan keluarganya. Pada banyak kasus, sebagian wanita diambil untuk dijadikan budak seks para pelaku. Setelah kurun waktu tertentu, mereka dikembalikan ke kelompoknya atau dibunuh.
Pengeboman. Dalam proses ini, para pelaku melakukan pengeboman, baik dari udara maupun melalui serangan artileri terhadap wilayah-wilayah yang dihuni korban. Dalam kasus genosida suku Kurdi di Irak tahun 1988, digunakan juga bom gas sarin dan gas mustard, yang sangat mematikan.
Perampasan dan penghancuran properti. Biasanya harta-harta berharga milik korban, seperti emas dan logam berharga lainnya atau batu berharga dirampas. Rumah-rumah yang ditinggalkan korban dihancurkan. Pada kasus genosida Armenia dan Bosnia-Herzegovina, seluruh artefak budaya milik korban dimusnahkan karena ingin menghapuskan jejak korban (misalnya gereja dalam kasus Armenia dan masjid dalam kasus Bosnia-Herzegovina).
---------------------------------------------------------------------------------
PARA PELAKU:
Orang Biasa Sebagai Pelaku Genosida/Politisida[49]
---------------------------------------------------------------------------------
…the most outstanding common characteristic of perpetrators is their normality,
not their abnormality;
they are extraordinary only in what they have done,
not in who they are.[50]
Siapakah mereka para pelaku genosida? Mereka adalah saya dan Anda. Seperti saya dan Anda, mereka orang-orang normal senormal orang lainnya. Mereka bukan orang yang memiliki kepribadian terganggu atau tak mampu membedakan yang benar dan yang salah. Tak ada yang luar biasa dengan latar belakang mereka. Para pelaku terentang dari semua kalangan; dari semua profil yang bisa dikategorikan. Sejarawan Christopher Browning, dalam bukunya “Ordinary Men: Reserve Police Battalion 101 and the Final Solution in Poland,”[51]menunjukkan dengan jelas bahwa para pelaku genosida adalah orang-orang biasa. Buku tersebut merupakan hasil penelitian Browning terhadap Batalion Polisi Cadangan 101 dalam Kepolisian Jerman (Ordnungpolizei atau Orpo) di era Perang Dunia II. Batalion yang berkekuatan 500 orang ini berasal dari kota Hamburg, sebuah kota yang pengaruh Nazi-nya paling kecil. Mereka dipanggil bertugas ke Polandia pada bulan Juni 1942, dan selama 16 bulan berpartisipasi dalam penembakan langsung terhadap 38,000 Yahudi, serta mengirimkan lebih dari 45,000 lainnya ke kamar-kamar gas di Treblinka. Total korban hasil kerja batalion tersebut adalah 83,000 orang. Dengan demikian, satu orang rerata membunuh 166 orang, atau kira-kira 10 orang per bulan.
Seperti apa kehidupan anggota Batalion 101 sebelum bertugas di Polandia? Mereka adalah pria-pria paruh baya berkeluarga, orang sipil dan kelas pekerja menengah-bawah. Pekerjaannya terentang dari sopir truk, sales, guru, pegawai, pelayan, pengrajin, dan pekerja galangan kapal. Sebelumnya mereka tidak pernah terlibat dalam pelayanan militer apapun, kecuali sebagian sangat kecil yang berusia paling tua yang merupakan veteran Perang Dunia I. Mereka tak tahu apa-apa tentang strategi pendudukan di front selatan. Alasan mereka dimasukkan ke batalion kepolisian cadangan adalah karena telah terlalu tua untuk bertempur, dan juga terlalu tua untuk dimasukkan dalam dinas kepolisian. Mereka pun tidak pernah mendapatkan indoktrinasi apapun dari Nazi atau dari pihak militer Jerman. Mereka pergi ke Polandia karena panggilan tugas, dan di Polandia menjalankan apa yang ditugaskan. Setelah masa 16 bulan bertugas selesai, mereka kembali ke Jerman menjalani kehidupan sipil dan berkeluarga seperti biasa.
Dalam kasus-kasus genosida yang lain selalu ditemui model-model yang serupa dengan apa yang ditemukan Christopher Browning pada Batalion 101: para pelaku adalah orang-orang biasa. Suku Hutu yang menjadi pelaku genosida di Rwanda berasal dari segala macam latar belakang, mulai dari petani di pedesaan, pengangguran yang motivasi membunuhnya untuk mencari penghasilan dengan merampas barang korban, dokter, guru, wartawan, bahkan pendeta. Semua tingkat strata sosial dan ekonomi memberikan wakilnya untuk terlibat dalam genosida.
Anda mungkin bertanya, “Lantas bagaimana dengan kaum militer terlatih? Bukankah mereka yang menjadi mayoritas pelaku genosida?” Anda benar. Mayoritas pelaku genosida adalah kaum militer dan atau paramilisi (orang sipil yang dipersenjatai militer). Akan tetapi justru karena mereka bisa terlibat dalam dinas militer, maka mereka pasti orang-orang normal. Orang yang memiliki gangguan kepribadian atau sakit mental tidak akan bisa mengikuti latihan atau tata kehidupan ala militer. Mereka akan ditolak saat mendaftar atau akan dikeluarkan kalau mereka terlanjur masuk. Sulit disangkal kalau mereka adalah orang-orang terpilih. Pasukan SS (Schutzstaffel) yang menjadi tulang punggung Nazi-Jerman dalam tindak pembinasaan jutaan kaum Yahudi, Gipsi, Poland dan Slav merupakan orang-orang terpilih dan unggul di dalam masyarakat Jerman. Salah satu kriteria utama pemilihannya adalah integritas moral dan intelektualitas. Mereka yang pernah melakukan tindak kejahatan tidak akan bisa masuk SS. Pembentukan mereka pun didasari atas prinsip keunggulan moral, yakni untuk memberikan contoh keunggulan moral ideal pada masyarakat Jerman.
Jadi, pertanyaan terpentingnya, mengapa orang-orang biasa bisa berubah menjadi pelaku kejahatan luar biasa seperti genosida?
Jawabannya ternyata sederhana: kepatuhan! Mereka melakukan kejahatan karena mereka patuh pada otoritas. Mereka hanya mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya, baik perintah dari atasannya secara konkret atau persepsi bahwa situasi memerintahkannya untuk berbuat kejahatan itu. Situasi pertama lazim ditemui pada orang-orang yang terlibat dalam struktur hierarki, misalnya militer, kepolisian, milisi, pegawai negeri, atau semacamnya. Situasi kedua biasa ditemui pada orang-orang sipil. Sebagai contoh, dalam kasus genosida di Rwanda, banyak orang-orang sipil suku Hutu terlibat dalam pembunuhan karena mereka merasa bahwa suku Hutu yang lain menghendaki mereka berbuat demikian. Apalagi negara juga mendorong tindakan tersebut, sehingga mereka pun merasa sudah selayaknya untuk patuh.
Pada tahun 1961, Stanley Milgram membangun sebuah laboratorium di Universitas Yale, Amerika Serikat, lalu mengundang ribuan orang dari berbagai latar belakang melalui iklan di media massa untuk mengikuti eksperimennya, yang disebut eksperimen kepatuhan (obedience to authority experiment). Prosedur eksperimennya sederhana. Mula-mula, subjek penelitian diminta mengajari serangkaian daftar pasangan kata pada seorang pembelajar. Lalu, jika si pembelajar melakukan kesalahan, si subjek penelitian dipersilakan untuk memberikan kejutan listrik. Mesin pemberian kejutan listrik terdiri dari 30 tombol, yang dimulai dari tombol 15 volt hingga 450 volt (masing-masing tombol berselisih 15 volt). Setiap tombol diberi keterangan kata-kata, mulai dari “Tegangan ringan”, sampai “Bahaya: tegangan tinggi.” Dua tombol terakhir, yakni tombol 435 volt dan 450 volt, hanya diberi kata-kata “XXX.” Untuk setiap kesalahan yang terjadi, subjek diinstruksikan untuk memberikan kejutan listrik dari mulai voltase terendah. Setiap kesalahan berikutnya, pembelajar dihukum dengan pemberian kejutan di voltase yang setingkat lebih tinggi. Sang pembelajar sendiri adalah seorang aktor yang tidak dikenal subjek, dan tidak benar-benar mengalami kejutan listrik.
Hasil eksperimen Stanley Milgram sangat mengejutkan dunia. Sejumlah 65% dari subjek penelitian bersedia memberikan hukuman kejutan listrik hingga 450 Volt pada pembelajar. Temuan-temuan hasil replikasi eksperimen itu di berbagai negara juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, bahkan ada yang mencapai 90%. Padahal, sebelumnya para psikiater menduga bahwa paling banyak hanya 1% orang saja yang bersedia untuk memberikan kejutan listrik hingga 450 volt, yakni hanya mereka-mereka yang memang memiliki psikopatologi (kelainan mental). Ini artinya, orang-orang normal biasa pun sanggup menjadi pelaku kejahatan ekstrem jika situasinya tepat. Temuan Milgram itu kemudian banyak digunakan untuk menjelaskan para pelaku genosida dan pembunuhan massal.[52]
Apakah para pelaku genosida merupakan orang-orang yang tidak begitu cerdas sehingga tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar, serta jadi lebih patuh berbuat kejahatan? Tidak juga. Gustave Gilbert, psikolog Amerika Serikat yang ditugasi untuk melakukan pemeriksaan psikologis terhadap para petinggi Nazi-Jerman yang ditangkap, menemukan bahwa dari 21 orang yang diujinya menggunakan tes inteligensi terbaik di dunia saat itu, Wechsler-Bellevue Intelligence Test, rerata IQ-nya 128, yang terentang dari 106 sampai 143 (dari kemampuan intelektual superior sampai sangat superior, sebagian termasuk jenius). Sebagai catatan, rerata normal orang memiliki IQ 100, rerata IQ mahasiswa Perguruan Tinggi adalah 118, dan rerata IQ mahasiswa doktoral adalah 125.[53] Jadi, mereka bahkan lebih tinggi IQ-nya ketimbang para mahasiswa doktoral. Itu artinya, alih-alih bodoh, mereka adalah orang-orang yang sangat cerdas.
Kalau begitu, apakah mereka patuh melakukan kejahatan genosida karena di bawah ancaman? Ternyata juga tidak. Saul Friedlander, sejarawan dari University of California Los Angeles (UCLA), menulis kesimpulannya tentang para pelaku genosida Yahudi dalam Perang Dunia II, “Proseding-proseding yang ada selama 30 tahun lebih sesudah perang, tidak menunjukkan ada bukti bahwa setiap orang yang menolak untuk berpartisipasi dalam operasi pembunuhan akan ditembak, dipenjarakan atau dihukum dalam beragam cara, kecuali paling-paling di kirim ke garis depan, tapi hal itu sudah nasib semua tentara Jerman untuk dikirim ke garis depan.”[54]Dengan kata lain tidak ada ancaman apapun yang diterima para pelaku seandainya mereka menentang perintah, setidaknya dalam kasus Nazi-Jerman. Akan tetapi toh mereka tidak menentang dan memilih patuh melakukan operasi pembunuhan.
Pertanyaan penting berikutnya, mengapa mereka patuh? Kekuatan-kekuatan apa saja yang menyebabkan mereka akhirnya patuh terhadap otoritas itu?
James Waller, dalam buku fenomenalnya “Becoming Evil: How ordinary people commit genocide and mass killing” (2002, Oxford University Press, New York) menerangkan bahwa bagaimana orang-orang biasa bisa berubah menjadi pelaku kejahatan yang luar biasa, bisa diterangkan dalam 4 keping penjelasan, yang semuanya saling bertaut. Keping pertama adalah karena adanya kecenderungan alamiah manusia dalam hal etnosentrisme, xenofobia, dan hasrat untuk dominasi sosial. Ketiganya merupakan kecenderungan universal pada umat manusia (faktor biologis) dan menjadi dasar bagi keping-keping selanjutnya. Keping kedua adalah adanya hal-hal yang mempengaruhi identitas diri para pelaku yang memunculkan perilaku kekejaman, yang berasal dari sistem kepercayaan-budaya yang bisa mengarahkan kekejaman, lepasnya ikatan moral pelaku terhadap korban, dan adanya kepentingan pribadi (faktor individu). Keping ketiga adalah konteks sosial dari budaya kekejaman, yang mempengaruhi bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak (faktor situasi). Dan keping keempat adalah tentang siapa korban itu sendiri yang membuat para pelaku mau melakukan kekejaman terhadap mereka (faktor korban). Empat keping tersebut jika digambarkan ke dalam suatu bagan menjadi sebagai berikut:
Penjelasan 1.
Kecenderungan alamiah manusia (faktor biologis)
Adolf Hitler, dalam salah satu pernyataannya mengatakan: “Insting alami yang mengikat semua manusia hidup bukan hanya untuk menaklukkan musuh mereka tapi juga untuk menghancurkan mereka. Pada masa lalu adalah hak prerogatif pemenang untuk menghancurkan suku, seluruh orang-orangnya.” Dalam satu hal, Hitler benar, dalam diri manusia terdapat suatu kecenderungan alamiah yang memberikan potensi pada manusia untuk melakukan tindak kekejaman pada orang lain. Kecenderungan pertama adalah etnosentrisme, yakni suatu kecenderungan untuk berfokus pada kelompok sendiri dan menganggapnya sebagai yang paling benar. Setiap manusia, di manapun dia berada, apapun zamannya cenderung untuk mementingkan kelompoknya sendiri yang memiliki kesamaan gen paling besar, baik keluarga atau suku, dan menyebutnya sebagai “kita” sedangkan yang lain sebagai “mereka.” Begitu mereka lahir dan tumbuh, tumbuh pula ikatan emosional dengan kelompoknya, sekaligus di saat yang sama menganggap “kita” lebih superior ketimbang “mereka”, setidaknya dalam hal-hal tertentu.
Salah satu bukti emosi “superiotas” adalah penamaan terhadap kelompok sendiri dan kelompok lain. Hampir setiap kelompok menamai kelompok kita sendiri sebagai yang paling “manusia” sementara yang lain “kurang manusia” atau berderajat lebih rendah. Sebagai contoh, suku !Kung San di gurun Kalahari Afrika menyebut diri mereka yang secara literer berarti “manusia yang sebenarnya”, dan menyebut orang asing dengan kata-kata yang sama dengan menyebut “kejelekan.” Suku Asmat di Papua memanggil dirinya sendiri “Asmat” yang artinya “manusia” dan menyebut yang lain sebagai “Manowe”, yang artinya “yang bisa dimakan.” Orang dari negeri barat menyebut diri mereka “civilized people” atau orang beradab dan menyebut yang lain sebagai tidak beradab atau barbar. Orang Jawa menamai diri mereka “wong jowo” atau orang jawa, yang dimaknai sebagai orang dengan budaya luhur, dan orang lain sebagai “dudu jowo” atau bukan jawa, yang dimaknai sebagai orang yang kurang berbudaya luhur. Mereka yang bisa berperilaku seperti orang jawa, tetap tidak akan dianggap sebagai orang jawa, dan paling hanya akan dianggap ‘njawani”, atau berperilaku seperti layaknya orang jawa. Banyak orang jawa yang menjadi warga pendatang di wilayah lain menyebut warga asli di wilayah itu sebagai “wong mbilung” yang artinya orang yang kurang punya sopan santun dan perilaku sehalus dan sebaik orang jawa.
Kecenderungan kedua adalah xenophobia yakni kecenderungan untuk takut pada yang tidak familiar atau orang asing. Insting ini muncul melengkapi etnosentrisme. Apabila etnosentrisme memunculkan kelompok “kita”, maka xenophobia memunculkan kelompok yang “bukan kita.” Keduanya saling memperkuat dalam memberikan identitas kelompok. Dalam bahasa Henri Tajfel dan J. P. Forgas, “Kita adalah seperti apa kita karena mereka bukan kita.” Dengan kata lain, “tidak ada ‘kita’ jika tak ada ‘mereka’.” Xenophobia membantu kita untuk lebih kuat bersatu sebagai kelompok ketika menghadapi sesuatu yang tidak familiar atau asing sehingga meningkatkan peluang hidup masing-masing anggota-anggotanya jika yang asing itu membahayakan.
Etnosentrisme dan xenophobia mendorong kesatuan dan perilaku altruisme dalam kelompok, sekaligus mendorong kekejaman terhadap non-kelompok sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dalam kekerasan domestik. Peneliti Martin Daly & Margo Wilson dari McMaster University, Kanada, menemukan bahwa tatkala seseorang berhasrat membunuh, faktor genetik memainkan peran dalam menentukan siapa yang menjadi korbannya. Dalam kasus pembunuhan domestik, anggota keluarga yang tidak memiliki hubungan darah, seperti misalnya pasangan, sebelas kali lebih mungkin dibunuh daripada anggota keluarga yang berhubungan darah. Ini juga menjelaskan mengapa kekerasan terhadap anak tiri lebih kerap dilakukan ketimbang terhadap anak kandung. Ahli antropologi Michael P. Ghiglieri, dalam bukunya “The Dark Side of Man: Tracing the origins of male violence” (2000, Perseus Books, Massachusetts) menyimpulkan hasil studinya terhadap kekejaman pria berdasarkan studi perilaku Simpanse dan eksperimen-eksperimen psikologi: “Xenophobia dan etnosentrisme bukan hanya ramuan dasar untuk perang. Keduanya adalah hal yang paling berbahaya untuk dimanipulasi dalam psikologi perang untuk menciptakan genosida karena keduanya secara instingtif mengatakan pada pria secara persis untuk menjalin ikatan dengan siapa versus melawan siapa.” Lebih lanjut dikatakannya, “Secara alamiah pria terlahir etnosentris dan xenophobic. Pria terikat menurut garis keluarga dan/atau melalui altruisme timbalbalik untuk melawan dan membunuh pria lain yang secara genetik lebih jauh dari kelompok mereka dalam perang genosida yang bertujuan mengurangi atau merebut kuasa kepemilikan pria lain, termasuk potensi reproduktif wanita yang mereka miliki.”
Kecenderungan ketiga adalah hasrat untuk dominasi sosial. Kecenderungan yang universal pada binatang mamalia, burung dan reptil ini melahirkan adanya hierarki dalam kehidupan sosial: ada yang dominan dan ada yang submisif. Hasrat tersebut bisa mendorong manusia untuk berteman, menjalin koalisi atau membantu orang lain, yang sekiranya berguna bagi usahanya dalam meraih dominasi. Pada saat yang lain, hasrat itu akan mengarahkan manusia untuk bertindak secara agresif pada situasi tertentu jika ada oranglain yang menghalangi hasratnya itu.
Diketahui, hanya manusia dan simpanse yang bisa membunuh sesama spesiesnya sendiri dengan sengaja. Binatang tingkat tinggi lainnya memang banyak yang merupakan pembunuhan, akan tetapi mereka kebanyakan hanya membunuh mangsanya, dan bukan membunuh sesama spesiesnya sendiri, kecuali jika populasinya sudah terlampau padat (overcrowded). Seekor singa hanya mungkin membunuh singa lainnya jika wilayah hunian mereka sudah terlalu padat dihuni oleh banyak singa, tapi itu pun bukan atas dasar keinginan membunuh. Singa bertarung hanya sebagai upaya mengancam pihak lain agar menyerah kalah. Pertarungan antar mereka sebatas untuk menentukan siapa yang menang, yang biasanya tidak berakhir dengan kematian. Menurut Konrad Lorenz, seorang ahli ethologi, dalam evolusinya, para binatang telah membangun suatu “ritualisasi agresivitas”, yakni suatu perilaku agresivitas yang sekedar cukup untuk menentukan siapa yang menang dan mendominasi tanpa harus menyebabkan bahaya serius bagi tubuh, yang bisa berujung pada kematian. Mereka bisa dengan jelas saling membaca tanda-tanda tubuh yang menunjukkan bahwa lawannya telah menyerah kalah. Dengan melihat tanda-tanda itu, secara otomatis agresivitas dalam diri pemenang akan turun, dan maka serangan pun dihentikan. Mereka tidak akan melanjutkannya dengan melakukan pembunuhan. Dengan kata lain, kecenderungan agresif terhadap spesies sendiri dibatasi oleh mekanisme pencegahan otomatis sehingga tidak menyebabkan pembunuhan.
Manusia agak berbeda dengan binatang lainnya. Kecenderungan agresif terhadap spesies sendiri hanya memiliki pencegahan otomatis yang biasanya muncul dari pendidikan, hukum, agama dan etika pergaulan sehari-hari (misalnya, membunuh itu dosa dan melanggar hukum). Akan tetapi dari sisi biologis, pencegahan otomatis secara biologis itu sangat lemah: begitu melihat tanda-tanda lawannya menyerah, seorang manusia tidak lantas otomatis akan turun agresivitasnya. Menurut Konrad Lorenz, hal tersebut muncul karena tidak ada kebutuhan evolusioner pada manusia untuk memilikinya. Dibandingkan binatang lain, manusia secara fisik termasuk lemah dan sangat sulit untuk bisa membunuh manusia lain jika tanpa senjata.[55] Cakar dan gigi manusia tidak memadai untuk membunuh. Oleh karenanya, agresivitas antar manusia pun hanya moderat tanpa terlalu membahayakan nyawa, sebagaimana agresivitas singa atau serigala atau binatang lainnya. Akibatnya, pencegahan agresivitas otomatis itu kurang berkembang dalam diri manusia. Artinya, dalam diri manusia terdapat kapasitas menghancurkan tanpa alasan, sekaligus tanpa mekanisme pencegah yang kuat yang dimiliki oleh kebanyakan binatang lainnya.
Manusia memasuki era pertanian sekitar 10 ribu tahun lalu (tergantung wilayahnya). Itu artinya, hanya 0,1% masa hidup manusia berada dalam masa peradaban, dan 99,9% hidup pada era pra-peradaban yang mutlak hidup sebagai pemburu dan peramu. Pada masa yang singkat ini, manusia mulai mengembangkan berbagai macam peralatan membunuh manusia lain yang semakin lama semakin massal daya rusaknya. Pada masa lalu, panah, pedang, dan tombak yang menjadi andalan. Sekarang ini, senapan, bom, artileri, peluru kendali, hingga bom nuklir diproduksi untuk membunuh. Kombinasi antara peningkatan kapasitas manusia untuk melakukan penghancuran massal itu dan lemahnya pencegahan agresivitas otomatis, menjadikan manusia sebagai satu-satunya spesies binatang di bumi yang melakukan pembantaian massal terhadap spesiesnya sendiri.
Potensi alamiah manusia untuk melakukan kekejaman seharusnya tidak dilihat sebagai pembenaran kekejaman yang dilakukan kepada manusia lainnya. Potensi alamiah itu hanya menyatakan bahwa kita, sebagai manusia, secara alamiah “mampu” untuk melakukannya.
Penjelasan 2.
Identitas diri (faktor individu)
Keping penjelasan berikutnya tentang perilaku genosidal manusia melandaskan pada faktor yang mempengaruhi identitas manusia, yakni adanya sistem kepercayaan-budaya yang mengarahkan pada kekejaman, terlepasnya ikatan moral terhadap korban dan adanya kepentingan rasional tertentu. Ketiganya bisa mengubah individu-individu biasa menjadi pelaku genosida.
(a) Sistem kepercayaan-budaya. Setiap budaya, komunitas atau keluarga memiliki informasi-informasi stabil yang diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kepercayaan yang bisa faktual atau hanya opini itu akan membentuk cara berpikir, nilai-nilai dan prinsip-prinsip hidup seseorang. Sebagai contoh, ada kepercayaan bahwa nasib seseorang ditentukan oleh dirinya sendiri bukan oleh tangan nasib di luar sana; percaya bahwa mematuhi orang yang lebih dewasa sebagai kebajikan; yakin bahwa mengemukakan pendapat secara bebas merupakan bagian dari hak hidup seseorang, dan seterusnya. Sistem kepercayaan-budaya yang bisa mengarahkan perilaku genosidal setidaknya ada tiga, yakni kepercayaan bahwa hidup dikontrol oleh pihak eksternal, orientasi kepada pihak otoritas/berwenang, dan komitmen ideologis. Orang yang mempercayai bahwa hidupnya dikontrol oleh kekuatan di luar dirinya akan cenderung untuk bereaksi secara pasif terhadap perintah dari pihak yang berwenang. Mereka akan lebih mudah tunduk mengikuti perintah, ketimbang secara kreatif menafsirkan sendiri langkah-langkahnya. Alhasil mereka juga akan lebih mudah menjalankan perintah melakukan kekejaman.
Kepercayaan kedua adalah orientasi kepada otoritas. Orang yang memilikinya akan cenderung mengatur dunianya dan berhubungan dengan orang lain berdasarkan posisi dan kekuasaan mereka dalam hierarki-hierarki. Mereka lebih suka hubungan hierarkis yang dengan jelas menunjukkan siapa lebih berkuasa atas siapa. Mereka menikmati mematuhi pihak berwenang di atasnya dan mengatur pihak di bawahnya. Situasi yang tertib dan terprediksi paling disukai. Kemunculan orientasi terhadap otoritas itu dipengaruhi oleh budaya dalam arti luas, mulai dari pola pengasuhan anak, sistem pendidikan, dan kehidupan sosial lainnya. Dengan kata lain, ada budaya-budaya tertentu yang lebih menekankan orientasi pada otoritas. Sebagai contoh, masyarakat di Rwanda sangat menghargai kepatuhan terhadap orang dewasa, demikian juga dengan masyarakat Jerman. Dalam sistem keluarga di Jerman, kepatuhan kepada ayah merupakan nilai tertinggi mereka. Hal yang kurang lebih sama bisa ditemui dalam masyarakat Turki dan Kamboja. Pada negara-negara tersebut, kepatuhan terhadap pihak berwenang sudah menjadi bagian dari cara pandang mereka terhadap hidup. Budaya kepatuhan itu pada gilirannya akan lebih memudahkan terjadinya peristiwa genosida. Seorang jurnalis, Philip Gourevitch, suatu kali mewawancarai seorang pengacara Rwanda yang berkata: “Konformitas begitu dalam, sangat terbentuk di sini. Dalam sejarah Rwanda, setiap orang patuh pada pihak berwenang. Orang-orang memuja kekuasaan, dan tidak ada pendidikan yang memadai. Anda temui orang-orang miskin, bodoh, dan berikan mereka senjata, dan katakan, ‘Ini milikmu. Membunuhlah.’ Mereka akan patuh.”[56]
Orang yang memiliki kepribadian otoritarian, diketahui cenderung lebih mungkin menjadi pelaku genosida.[57]Mereka adalah orang-orang yang memiliki kekakuan dalam berpikir (rigid), berpikiran tertutup dan hitam-putih (dikotomis), serta intoleran. Tidak mengherankan jika mereka cenderung lebih gampang berprasangka dan memusuhi kelompok lain, yang bisa membawa pada tindakan membahayakan kelompok yang dianggap musuh. Selain itu, cara berpikir yang hitam putih cenderung membuat mereka menjadi idealis yang tidak mau menerima perbedaan. Mereka pun menjadi lebih mudah terserap dalam ideologi-ideologi yang destruktif, yang menawarkan berbagai hal ideal (misalnya konsep masyarakat ideal atau dunia yang ideal). Mereka pun tak segan untuk menganggap diri sebagai pelaksana perbuatan kotor yang kurang menyenangkan demi memberikan kontribusi terhadap tercapainya cita-cita ideal sesuai ideologinya.
Kepercayaan ketiga yang mengarahkan perilaku genosidal adalah komitmen ideologis atau pandangan hidup dan organisasi sosial ideal yang diyakini. Orang-orang yang secara sadar dan mendalam berkomitmen terhadap suatu ideologi tertentu, akan cenderung lebih patuh dalam mengikuti perintah yang dianggap sebagai upaya menegakkan ideologinya. Sebagai contoh, Nazi Jerman mengembangkan ideologi keunggulan bangsa Jerman dengan ras Arya-nya di atas bangsa-bangsa lain. Mereka yang terindoktrinasi kuat dengan ideologi partai, dengan sendirinya akan menjadi pendukung kuat bagi gerakan-gerakan partai Nazi dalam penegakan ideologi tersebut, termasuk jika caranya melalui genosida kelompok lain. Ideologi Nazi juga ditunjang oleh asas orientasi kepada otoritas. Asas pertama dalam 12 aturan partai yang diindoktrinasikan ke pemuda partai adalah “pemimpin selalu benar.” Ideologi-ideologi yang bisa mengarahkan terjadinya genosida adalah ideologi yang berprinsip bahwa dunia akan lebih baik tanpa yang lain. Dalam kasus Nazi Jerman, dunia akan lebih baik jika ras Arya semata-mata yang menguasai Jerman. Pada kasus Rwanda 1994, Rwanda kaum Hutu akan lebih baik jika tanpa suku Tutsi. Di kasus Bosnia-Herzegovina, Serbia Raya akan lebih baik jika Muslim-Bosnia tidak ada lagi.
(b). Lepasnya ikatan moral pelaku terhadap korban. Perilaku genosida merupakan pelanggaran moral di manapun tempat terjadinya. Moralitas agama yang dianut para pelakunya atau moralitas budaya setempat tidak mengizinkan tindakan kejam tersebut. Jadi, mengapa genosida dilakukan? Perilaku itu dijalankan karena para pelaku melepaskan ikatan moral terhadap korban. Secara bertahap, para pelaku memupuk kesadaran bahwa kekejaman terhadap kelompok korban bukan merupakan pelanggaran moral. Pada saat yang sama, jika kekejaman dilakukan terhadap kelompok lain maka akan tetap digolongkan sebagai tindakan amoral. Pelepasan ikatan moral terhadap korban muncul melalui pembenaran moral, pelabelan tindakan jahat yang eufemistik, dan perbandingan yang membawa pada penyalahan korban.
Pembenaran moral. Para pelaku tidak akan melakukan kekejaman jika hal tersebut secara langsung bertentangan dengan moral. Oleh karena itu, mereka harus memiliki legitimasi bahwa tindakan tersebut bisa dibenarkan secara moral, dengan membangun konsep bahwa membunuh atau niat membunuh orang dari kelompok lain diperlukan untuk keamanan kelompok sendiri. Jurnalis Philip Gourevitch mencatat laporannya tentang genosida di Rwanda: “Pelaku pembantaian, seperti orang yang ada di depan saya, tidak menikmati membunuh, dan mereka merasakannya sangat tidak menyenangkan. Terlepas dari semua itu, mereka sangat ingin korban mati. Mereka begitu menginginkannya karena mereka menganggap itu perlu.”
Para pelaku membuat perilakunya diterima secara personal maupun sosial, dengan menggambarkan tindakannya sebagai bagian dari melayani kepentingan kelompoknya sendiri dan untuk tujuan moral yang lebih tinggi. Para pelaku bisa juga membenarkan tindakannya dengan menganggap bahwa kejahatan yang dilakukan memang diperlukan bagi pertahanan diri: untuk melindungi nilai-nilai yang dijunjung tinggi di komunitasnya, melawan para penindas, menjaga perdamaian dan stabilitas, menyelamatkan kemanusiaan dari kehancuran, atau komitmen terhadap kehormatan nasional. Dengan berbagai macam alasan pembenaran, para pelaku pun merasakan bahwa kekejaman apapun yang dilakukan bukan sebagai hal buruk.
Pelabelan eufemistik tindakan jahat. Setelah mendapatkan pembenaran moral, para pelaku masih memerlukan adanya suatu pengistilahan eufemis terhadap tindakan jahat yang dilakukannya. Kata-kata yang biasanya digunakan untuk tindakan jahat itu tidak diberikan, tapi menggantinya dengan istilah lain yang lebih halus, misalnya “pembersihan etnis” di Bosnia-Herzegovina, “pembersihan semak” di Rwanda, dan “solusi final” di Jerman. Penggunaan-penggunaan istilah itu untuk menjadikan tindak kejahatan mereka terasa lebih terhormat sekaligus mengurangi tanggungjawab individu. Pada saat yang sama, kamuflase istilah itu membuat semakin jauh jarak emosional pelaku terhadap korban, sehingga semakin memudahkan mereka melakukan tindakan genosidal.
Perbandingan yang membawa pada penyalahan korban. Tindakan jahat bisa ditafsirkan sebagai tindakan yang bisa diterima atau bahkan sebagai kebajikan, tatkala dibandingkan dengan ancaman yang akan diterima dari musuh, baik ancaman itu nyata maupun hanya persepsi belaka. Sebagai contoh, Suku Hutu di Rwanda menganggap pembunuhan Suku Tutsi sebagai sesuatu yang bisa dibenarkan jika dibandingkan dengan kemungkinan ancaman yang diberikan Suku Tutsi terhadap Suku Hutu. Sekitar 24 tahun sebelumnya, Suku Tutsi melakukan genosida terhadap suku Hutu di Burundi. Hal yang sama ditakutkan berulang lagi di Rwanda. Oleh karena itu banyak suku Hutu yang menganggap bahwa membunuhi suku Tutsi sebagai kebajikan. Biasanya, pilihan pertama untuk melenyapkan ancaman itu adalah pilihan non-jahat. Akan tetapi ketika pilihan non-jahat tidak bisa dilakukan untuk melenyapkan ancaman itu, maka pilihan itu dibuang. Sebagai gantinya, pilihan tindakan jahat diambil untuk mencegah derita lebih lanjut yang disebabkan oleh korban. Secara sederhana perbandingan itu menghasilkan kesimpulan: “daripada kelak kita menderita karena mereka, maka lebih baik mereka dilenyapkan.”
(c). Kepentingan pribadi. Sebagian para pelaku genosida melakukan tindakannya berlandaskan pada kepentingan rasional tertentu. Mereka mau berbuat dan bertindak jahat karena berharap hasil tertentu dari perbuatannya, mulai dari kekayaan (harta, tanah), kehormatan, kekuasaan, dan lainnya. Tindakan genosidal yang dilakukan oleh anggota paramilisi atau militer didorong salah satunya oleh kepentingan karir. Mereka tidak ingin mandeg karirnya gara-gara tidak melaksanakan perintah pembunuhan yang diperintahkan. Kepentingan pribadi lainnya, seperti untuk meningkatkan atau menjaga harga diri dengan melakukan tugas-tugas demi kelompok yang dibanggakan juga menjadi salah satu faktornya.
Penjelasan 3.
Budaya kekejaman (faktor situasi)
Penjelasan ketiga mengapa orang-orang biasa bisa berubah menjadi pelaku genosida yang kejam datang dari budaya kekejaman yang terbentuk di sekitar mereka, sehingga mereka sendiri larut di dalamnya. Budaya yang dimaksud di sini bukan budaya masyarakat dalam arti luas, akan tetapi budaya dalam komunitas kelompok yang lebih kecil di dalam masyarakat, misalnya dalam kelompok paramiliter, anggota kemiliteran, gang, mafia, partai, atau komunitas-komunitas lainnya. Secara sistematis dan terorganisir, kelompok memberikan penghargaan atas tindak kekejaman yang dilakukan anggota-anggotanya. Sebagai misal, seseorang yang menemukan cara baru melakukan kekejaman dianggap kreatif dan diakui, sehingga reputasi penemunya naik di dalam kelompok. Contoh sederhana adalah perilaku gang motor dalam melakukan perusakan. Mereka yang mampu merusak lebih banyak dan lebih berani akan menjadi orang yang dihormati di dalam gang. Pada beberapa kelompok, tingkat kekejaman sejalan dengan raihan ekonomi, semakin kejam maka semakin banyak yang diperolehnya. Ahli psikologi Steven K. Baum menyebut budaya sebagai budaya kebencian. Menurutnya, kelompok-kelompok lebih permisif terhadap kekerasan karena adanya budaya kebencian terhadap kelompok lainnya.[58] Ada tiga hal yang membuat budaya kekejaman dalam suatu kelompok menjadi norma para anggotanya, yakni berkat sosialisasi profesional dalam komunitas itu, adanya pengikat yang menyatukan anggota-anggota kelompok, dan peleburan peran dalam diri seseorang.
(a) Sosialisasi profesional. Setiap anggota baru yang masuk kelompok (dalam hal ini kelompok paramiliter dan militer) akan mendapatkan sosialisasi secara profesional tentang bagaimana seharusnya menjadi anggota kelompok. Pada awalnya, orang mungkin sukarela memasuki kelompok, namun begitu memulai langkah kecil, mereka akan lebih sulit untuk keluar dari sana. Secara bertahap, komitmen terhadap kelompok dibangun, mulai dari hal-hal kecil, misalnya meneriakkan yel-yel kelompok. Sebuah tahap biasanya dibangun sebagai landasan bagi pencapaian tahap berikutnya. Biasanya sosialisasi dimulai dengan menanamkan kesadaran betapa beruntungnya mereka masuk sebagai anggota kelompok elit. Mereka lantas dilibatkan secara bertahap dalam tindakan yang makin lama makin mengarah ke kekejaman, yang berujung pada kekejaman genosida. Untuk memperkuat komitmen diperlukan adanya suatu ritual-ritual khas kelompok itu sendiri baik formal atau atas inisiatif sendiri, misalnya parade atau konvoi, yang bagi orang lain seolah tanpa makna, tapi bagi mereka sangat berarti karena memperkuat komitmen terhadap kelompok.
Setelah terbangun komitmen dan terbentuknya ritual bersama, represi kesadaran dilakukan. Pada awal kekejaman genosida, biasanya terjadi keterkejutan dan penolakan, tapi setelah itu kekejaman menjadi sesuatu yang rutin dan lebih mudah dilakukan. “Sekali pembunuhan dimulai, para pria itu mulai menjadi brutal. Sebagaimana dalam pertempuran, horor serangan pertama perlahan menjadi rutin, dan membunuh menjadi jauh lebih mudah. Ini berarti, kebrutalan bukanlah penyebab, melainkan efek dari perilaku sebelumnya” catat Christopher Browning tentang para pria di Batalion 101 di kepolisian Jerman. Para pelakunya bukan lagi berpikir akan melakukannya atau tidak, tapi telah berpikir bagaimana melakukannya dengan cara yang lebih baik. Terkadang, pembunuhan kesadaran tidak berjalan baik, sehingga sebagian orang memerlukan alkohol untuk bisa melakukan kekejaman. Sebagian yang lain malah sampai bunuh diri karena tidak tahan dengan apa yang dilakukannya.
(b) Pengikat kelompok. Apa yang menyebabkan seseorang tetap setia pada kelompoknya yang melakukan kekejaman? Jawabnya adalah dinamika kelompok. Individu-individu terikat pada kelompoknya sehingga mereka sulit mengelak untuk patuh melakukan kejahatan luar biasa. Ada tiga hal yang membentuk keterikatan itu, yakni penyebaran tanggungjawab, deindividuasi, dan konformitas pada tekanan rekan sekelompok.
Penyebaran tanggungjawab. Para pelaku genosida memandang bahwa secara individu mereka tidak memikul tanggungjawab atas perilaku jahatnya. Mereka menganggap bahwa perilakunya dijalankan karena perintah dari atasan atau karena rekan-rekannya yang lain juga melakukannya. Setiap orang merasa hanya melakukan bagian kecil dari suatu tindakan genosida. Sebagai contoh, seorang supir truk yang membawa korban untuk dibunuh, hanya merasa bahwa: “saya hanya menyupir truk, saya tak membunuh seorang pun.” Hal yang kurang lebih sama terjadi pada setiap orang lainnya yang terlibat: “Hanya menembak atas perintah”, “Hanya bertugas menekan tombol kamar gas”, “hanya mengumpulkan para korban dari rumahnya,” dan semacamnya. Pendek kata, mereka tidak merasa bertanggungjawab karena tanggungjawab atas tindakan itu tersebar ke seluruh kelompok.
Deindividuasi. Situasi deindividuasi, yakni situasi ketika identitas personal tertutupi oleh identitas kelompok sehingga diri pribadi seolah melebur ke dalam kelompok juga memegang peranan memperbesar peluang melakukan tindak kejahatan.[59] Dalam situasi deindividuasi (atau anonim atau tidak dikenal sebagai individu), orang cenderung lebih mungkin melakukan tindakan kejahatan dan lebih kejam. Diketahui, tentara yang berseragam menghasilkan tingkat korban dan melakukan kebrutalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak berseragam.
Konformitas. Merupakan kecenderungan orang untuk menyesuaikan perilakunya dengan perilaku rekan-rekannya. Hal tersebut umum terjadi pada para pelaku genosida. Mereka melakukannya karena tidak ingin dinilai “terlalu lemah untuk membunuh.” Konformitas tersebut semakin kuat dalam situasi ketika atasan/senior mempertunjukkan hal serupa: “Jika senior saya melakukannya, maka saya juga mesti harus melakukannya. Jika tidak, saya akan dituduh pengecut.” Konfomitas menjadi lebih kuat lagi pada kelompok-kelompok yang telah terbangun lama dan saling bergantung satu sama lain sehingga membentuk ikatan afeksi yang kuat di antara mereka. Hal tersebut umum ditemui pada kelompok paramiliter dan militer yang telah bersama-sama dalam menghadapi berbagai peristiwa bersama, sehingga terbangun ikatan emosional kuat di antara mereka.
(c) Berpadunya peran dalam diri individu. Apakah jika seorang individu dikeluarkan dari situasi sosialisasi profesional dan dari faktor-faktor pengikat dengan kelompok, maka dia bisa berhenti menjadi jahat? Pengaruh situasi tersebut pada sebagian orang bersifat sementara. Ketika keluar dari situasi-situasi itu, mereka pun berhenti menjadi orang jahat dan kembali menjadi orang-orang normal. Akan tetapi sebagian yang lain tidak demikian karena peran mereka kemudian melebur menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Budaya kekejaman itu bisa merasuk dalam diri seseorang dan bisa mengubah seseorang secara total dan permanen. Dengan kata lain, organisasi yang jahat bisa mengubah total orang-orang biasa menjadi benar-benar jahat. Dalam keseharian kadang kita menemui pernyataan: “dia berubah menjadi lain/jahat setelah ikut organisasi X.” Term itu dengan tepat menggambarkan bagaimana organisasi bisa mengubah orang-orang di dalamnya.
Pada saat seseorang berperan dalam tindakan brutal, seringkali terjadi penyesuaian sikap, kepercayaan, nilai-nilai, dan moral yang pas dengan kebrutalan itu. Semakin sering kebrutalan dilakukan, maka hal-hal tersebut semakin terbentuk. Setelah beberapa waktu, diri yang baru –yang brutal- terbentuk dalam diri seseorang. Artinya, kebrutalan bukan penyebab, tapi konsekuensi dari peran brutal yang diberikan padanya dalam suatu hierarki sosial yang melakukan kejahatan. Hal ini menjelaskan mengapa para sipir penjara bisa bertindak sangat brutal dan kejam pada para narapidana, meskipun awalnya mereka orang-orang normal tanpa kebrutalan.[60] Penelitian Christopher Browning terhadap Batalion 101 Kepolisian Jerman menunjukkan bahwa terjadi peningkatan antusiasme membunuh di antara para anggotanya ketika telah mulai berperan dalam tindak pembunuhan. Ada sebagian orang yang kemudian secara aktif sukarela menjadi tim menembak Yahudi dan menjadi pemburu Yahudi. Mereka berubah menjadi pribadi-pribadi yang sadis, yang sangat menikmati perannya sebagai pembinasa.
Para pribadi sadis/brutal, biasanya mengawali tindak kejahatan karena alasan selain alasan kesenangan. Secara bertahap mereka belajar untuk menikmati aktivitas tersebut, yang akhirnya membuat mereka seperti ketagihan mencari kesenangan dalam membunuh. Diperkirakan jumlah pribadi-pribadi sadis antara 5-6% dari seluruh jumlah pelaku genosida.[61] Jadi, jumlahnya cukup kecil. Namun demikian, jika mereka berposisi pemimpin, maka dampaknya bisa sangat besar karena bisa memerintahkan bawahannya untuk melakukan banyak tindak pembunuhan.
Penjelasan 4.
Kematian sosial pada korban (faktor korban)
Pembunuhan jauh lebih mudah dilakukan jika terdapat jarak yang jauh antara pelaku dengan korban. Semakin dekat jarak dengan korban, maka pembunuhan semakin sulit dilakukan dan semakin menimbulkan trauma. Jarak yang dimaksud di sini bukan jarak fisik semata, tapi juga jarak moral dan psikologis. Para pelaku yang mendefinisikan jarak itu: seberapa dekat atau jauh mereka merasakan jarak terhadap korban. Semakin jauh jaraknya, maka semakin mungkin tindak pembunuhan dilakukan. Pembunuhan jarak dekat secara fisik, misalnya berhadapan, tidak akan menjadi masalah jika secara moral dan psikologis korban telah “dimatikan” atau korban telah mengalami “kematian sosial.”
Kematian sosial berarti bahwa korban telah dianggap layak mati. Pada kasus genosida Yahudi di Eropa, kaum Yahudi telah diposisikan sebagai orang-orang yang memang layak untuk dibunuh sebelum mereka benar-benar dibunuh secara fisik. Sebelum genosida terjadi, jarak terhadap orang-orang Yahudi dilebarkan melalui berbagai propaganda bahwa mereka bukan termasuk kelompok Jerman. Kaum Yahudi lantas dianggap bukan manusia seperti yang lainnya, dengan penggunaan istilah-istilah kebinatangan untuk mereka, seperti menyebut mereka lintah penghisap, setan, parasit, dan sebagainya. Pada saat yang sama, kaum Yahudi dianggap sebagai biang masalah dan bertanggungjawab atas segala kesusahan yang dialami Jerman. Hal-hal tersebut membuat kaum Yahudi Jerman secara sosial telah mati.
Faktor pertama yang menimbulkan kematian sosial korban adalah pemikiran “kami versus mereka.” Pihak pelaku (kami) menganggap sebagai lawan dari pihak korban (mereka). Jarak antara kelompok itu terus menerus diperlebar sehingga kelompok korban menjadi benar-benar kelompok yang terpisah dengan kelompok pelaku, baik berdasar ras, etnis, agama, atau kategori politik, misalnya etnis Turki vs etnis Armenia dalam genosida Armenia, Arab vs Kurdi dalam genosida di Irak, Hutu vs Tutsi dalam kasus Rwanda, dan Jerman vs Yahudi. Kelompok “mereka” dianggap kelompok inferior atau kelompok yang memberikan potensi ancaman.
Setelah kontras antar kelompok menguat, muncul dehumanisasi korban. Di sini, korban dikategorikan bukan manusia sepenuhnya yang layak dihormati seperti manusia lainnya. Ikatan moral pelaku terhadap korban terlepas. Kelompok korban mulai disebut dengan berbagai sebutan binatang (kecoak, ulat, lintah dan lainnya) atau makhluk rendah lain selain manusia (setan, iblis), yang semakin memperkuat proses dehumanisasi. Di kamp-kamp konsentrasi Yahudi di era Nazi Jerman, para tawanan pria tidak pernah disebut “pria”, tetapi hanya dipanggil “hatflinge” atau napi. Saat makan, tidak disebut makan tapi “fressen” yang artinya binatang yang sedang makan. Mayat tidak disebut mayat, tapi “figuren” yang artinya potongan atau bahkan di sebut barang bekas. Korban yang dimasukkan ke kamar gas di sebut muatan atau merchandise. Sebelum terjadinya pembantaian, seorang petinggi Nazi di depan Dewan Yahudi di Warsawa, Polandia, mengatakan: “Anda bukan manusia, anda bukan anjing, Anda Yahudi.”
Dehumanisasi korban diperkuat dengan propaganda bahwa kelompok korban adalah biang segala masalah. Berbagai legitimasi bahwa korban memang layak menjadi korban dimunculkan. Mereka menjadi kambing hitam segala permasalahan. Alhasil para pelaku memandang bahwa pembunuhan terhadap korban memang layak untuk dilakukan: karena mereka berbeda, bukan manusia sepenuhnya, dan sumber masalah. Dengan kata lain, korban pun telah mengalami kematian sosial sehingga para pelaku lebih mudah melakukan pembunuhan fisik terhadap mereka.
Pembunuhan jauh lebih mudah dilakukan jika terdapat jarak yang jauh antara pelaku dengan korban. Semakin dekat jarak dengan korban, maka pembunuhan semakin sulit dilakukan dan semakin menimbulkan trauma. Jarak yang dimaksud di sini bukan jarak fisik semata, tapi juga jarak moral dan psikologis. Para pelaku yang mendefinisikan jarak itu: seberapa dekat atau jauh mereka merasakan jarak terhadap korban. Semakin jauh jaraknya, maka semakin mungkin tindak pembunuhan dilakukan. Pembunuhan jarak dekat secara fisik, misalnya berhadapan, tidak akan menjadi masalah jika secara moral dan psikologis korban telah “dimatikan” atau korban telah mengalami “kematian sosial.”
Kematian sosial berarti bahwa korban telah dianggap layak mati. Pada kasus genosida Yahudi di Eropa, kaum Yahudi telah diposisikan sebagai orang-orang yang memang layak untuk dibunuh sebelum mereka benar-benar dibunuh secara fisik. Sebelum genosida terjadi, jarak terhadap orang-orang Yahudi dilebarkan melalui berbagai propaganda bahwa mereka bukan termasuk kelompok Jerman. Kaum Yahudi lantas dianggap bukan manusia seperti yang lainnya, dengan penggunaan istilah-istilah kebinatangan untuk mereka, seperti menyebut mereka lintah penghisap, setan, parasit, dan sebagainya. Pada saat yang sama, kaum Yahudi dianggap sebagai biang masalah dan bertanggungjawab atas segala kesusahan yang dialami Jerman. Hal-hal tersebut membuat kaum Yahudi Jerman secara sosial telah mati.
Faktor pertama yang menimbulkan kematian sosial korban adalah pemikiran “kami versus mereka.” Pihak pelaku (kami) menganggap sebagai lawan dari pihak korban (mereka). Jarak antara kelompok itu terus menerus diperlebar sehingga kelompok korban menjadi benar-benar kelompok yang terpisah dengan kelompok pelaku, baik berdasar ras, etnis, agama, atau kategori politik, misalnya etnis Turki vs etnis Armenia dalam genosida Armenia, Arab vs Kurdi dalam genosida di Irak, Hutu vs Tutsi dalam kasus Rwanda, dan Jerman vs Yahudi. Kelompok “mereka” dianggap kelompok inferior atau kelompok yang memberikan potensi ancaman.
Setelah kontras antar kelompok menguat, muncul dehumanisasi korban. Di sini, korban dikategorikan bukan manusia sepenuhnya yang layak dihormati seperti manusia lainnya. Ikatan moral pelaku terhadap korban terlepas. Kelompok korban mulai disebut dengan berbagai sebutan binatang (kecoak, ulat, lintah dan lainnya) atau makhluk rendah lain selain manusia (setan, iblis), yang semakin memperkuat proses dehumanisasi. Di kamp-kamp konsentrasi Yahudi di era Nazi Jerman, para tawanan pria tidak pernah disebut “pria”, tetapi hanya dipanggil “hatflinge” atau napi. Saat makan, tidak disebut makan tapi “fressen” yang artinya binatang yang sedang makan. Mayat tidak disebut mayat, tapi “figuren” yang artinya potongan atau bahkan di sebut barang bekas. Korban yang dimasukkan ke kamar gas di sebut muatan atau merchandise. Sebelum terjadinya pembantaian, seorang petinggi Nazi di depan Dewan Yahudi di Warsawa, Polandia, mengatakan: “Anda bukan manusia, anda bukan anjing, Anda Yahudi.”
Dehumanisasi korban diperkuat dengan propaganda bahwa kelompok korban adalah biang segala masalah. Berbagai legitimasi bahwa korban memang layak menjadi korban dimunculkan. Mereka menjadi kambing hitam segala permasalahan. Alhasil para pelaku memandang bahwa pembunuhan terhadap korban memang layak untuk dilakukan: karena mereka berbeda, bukan manusia sepenuhnya, dan sumber masalah. Dengan kata lain, korban pun telah mengalami kematian sosial sehingga para pelaku lebih mudah melakukan pembunuhan fisik terhadap mereka.
[1] Solzhenitsyn (2002). Buku tersebut menuturkan tentang pengalaman dan analisa penulisnya tentang kamp-kamp kerja paksa Uni Soviet yang disebut Gulag, yang tersebar di berbagai tempat di era Uni Soviet.
[2] Sale (2008).
[3] Palermo (2008).
[4] Levin & Fox (2008).
[5] Rummel (1994).
[6] Lihat perhitungannya di alamat http://freedomspeace.blogspot.com/2005/12/new-estimate-of-20th-century-democide.html atau http://www.hawaii.edu/powerkills/20TH.HTM. Web tersebut merupakan web resmi yang dimiliki oleh R.J Rummel.
[7] Jarak tersebut merupakan jarak rerata antara pusat bumi dan pusat bulan. Jarak terjauh mencapai 406,497 km dan jarak terdekat mencapai 356,410 km. Lihat Moore (2005).
[8] Lihat 6. Mortakrasi adalah sistem politik yang secara sistematis dan terbiasa melakukan pembunuhan terhadap warga negaranya sendiri.
[9] Rummel (1994).
[10] ibid.
[11] Lihat http://www.hawaii.edu/powerkills untuk alasan perubahan status bencana kelaparan di China tersebut, dari bukan demosida menjadi demosida.
[12] Kombatan adalah pihak-pihak yang secara resmi bertempur dalam suatu perang, termasuk gerilyawan pemberontak. Nonkombatan berarti pihak yang tidak terlibat dalam pertempuran secara resmi.
[13] Lihat Schabas (2009).
[14] Untuk lebih jauh mengenai kajian-kajian terhadap aspek-aspek hukum dari genosida, lihat Bloxham (2001), Hirsh (2004), Quigley (2006), Cooper (2008), dan Schabas (2009). Khusus tentang tanggungjawab hukum antara negara dan individu pelaku genosida, lihat Bonafe (2009).
[15] Sebagai akibatnya, dalam pengadilan-pengadilan internasional setelah itu, pembunuhan terhadap kelompok politik tidak pernah dianggap sebagai genosida. Apalagi Konvensi Genosida secara kaku hanya membatasi empat kelompok korban saja, yakni bangsa, ras, etnis, dan agama. Lihat Schabas (2009) & Cooper (2008).
[16] lihat Chirot & McCauley (2006).
[17] Untuk biografi singkat Leo Kuper, lihat Hamilton (2005).
[18] Leo Kuper, dalam Jones (2006).
[19] Definisi tersebut digunakan Rummel untuk kajiannya terhadap pembunuhan oleh pemerintah di seluruh dunia yang terjadi selama abad 20, yang studi terbarunya mneyimpulkan angka 262 juta korban. Lihat Rummel (1994) dan situsnya di www.hawaii.edu/powerkills/
[20] Lihat Tokudome (2009)
[22] Midlarsky (2005).
[23] Harf (2003).
[24] Ibid, hal. 60.
[25] Lihat Kiernan (2004)
[26] dalam Schabas (2009).
[27] dalam Jonassohn & Björnson (1998).
[28] dalam Jones (2006).
[29] Ibid
[30] Ibid
[31] lihat Dunn (2005).
[32] lihat Harf (2003).
[33] lihat McCormack (2003).
[34] lihat Rummel (1994).
[35] Tentang perdebatan tentang niat, lihat Gellately & Kiernan (2003), Weitz (2003), Quigley (2006), Midlarsky (2005), Schabas (2009).
[36] Mann (2005)
[37] Lihat Bosworth (2005)
[39] Lemkin (1944)
[40] Lihat Cooper (2008) untuk riwayat lengkap mengenai Raphael Lemkin dengan segala sepak terjangnya, dan tentang Konvensi Genosida dari waktu ke waktu.
[41] Dikutip dari Rudolp J. Rummel dalam situsnya.
[42] Dalam Harf (2003).
[43] lihat bab tentang genosida terhadap kaum indigenous people
[44] ibid.
[45] dalam Jonassohn & Björnson (1998)
[46] Harf (2003)
[47] Untuk lebih jauh tentang fenomena kegagalan negara, lihat Howard (2010).
[48] Rangkuman dari hasil penelitian Barbara Harf, lihat Harf (2003).
[49] Kajian-kajian tentang bagaimana orang-orang biasa berubah menjadi pelaku kekejaman genosida, politisida dan pembunuhan massal telah banyak dilakukan, terutama oleh para ahli psikologi. Lihat Baum (2008), Waller (2002, 2008), Staub (2002, 2003), Baumeister (1999, 2002), Miller (2004), Zimbardo (2004, 2007), Suedfeld & Schaller (2002), Welzer (2008). Bagian ini merupakan rangkuman dari penjelasan-penjelasan dari para ahli tersebut, dengan mengambil kerangka penjelasan dari Waller (2002).
[50] Waller (2008)
[51] Browning (1992)
[55] Nenek moyang manusia dipercaya merupakan mangsa bagi binatang buas lainnya, lihat Hart & Sussman(2009).
[58] Baum (2008)
Daftar Pustaka
Baum, Steven K. (2008). The Psychology of Genocide: Perpetrators, bystanders, and rescuers. Cambridge: Cambridge University Press.
Baumeister, Roy F. (1999). Evil: inside human cruelty and violence. New York: W.H. Freeman and Company.
Baumeister, Roy F. (2002). The Holocaust and the Four Roots of Evil. Dalam Leonard S. Newman & Ralph Erber (Eds.), Understanding genocide: the social psychology of the holocaust, hal. 241-258. New York: Oxford University Press.
Blass, Thomas. (2002). Perpetrator Behavior as Destructive Obedience: An evaluation of Stanley Milgram’s perspective, the most influential social-psychological approach to the holocaust. Dalam Leonard S. Newman & Ralph Erber (Eds.), Understanding genocide: the social psychology of the holocaust, hal. 91-109. New York: Oxford University Press.
Bloxham, Donald. (2001). Genocide on Trial: War crimes trials and the formation of holocaust history and memory. New York: Oxford University Press.
Bosworth, A. B. (2005). Athens and Melos. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 94-95. Farmington Hills: Thomson Gale.
Browning, Christopher. (1992). Ordinary Men: Reserve Police Battalion 101 and the Final Solution in Poland.New York : Harper Collin.
Chirot, Daniel. & McCauley, Clark. (2006). Why Not Kill Them All? The logic and prevention of mass political murder. New Jersey: Princeton University Press.
Cooper, John. (2008). Raphael Lemkin and the Struggle for the Genocide Convention. New York: Palgrave Macmillan.
Dutton, Donald G. (2007). The Psychology of Genocide, Massacres, and Extreme Violence: Why ‘‘normal’’ people come to commit atrocities. Westport: Praeger International.
Frey, Rebecca Joyce. (2009). Genocide and International Justice. New York: Infobase Publishing.
Gellately, Robert., & Kiernan, Ben. (2003). The Study of Mass Murder and Genocide. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 3-26. Cambridge: Cambridge University Press.
Hamilton, Bernard F. (2005). Leo Kuper. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 630-632. Farmington Hills: Thomson Gale.
Harff, Barbara. (2003). No Lessons Learned from the Holocaust? Assessing risks of genocide and political mass murder since 1955. American Political Science Review, 97 (1), 57-73.
Hart, Donna & Sussman, Robert W. (2009). Man the Hunted: Primates, predators, and human evolution.Philadelphia: Westview Press.
Hayner, Priscilla B. (2001). Unspeakable Truths: confronting state terror and atrocity. New York: Routledge.
Hirsh, David. (2004). Law Against Genocide: Cosmopolitan trials. Portland: GlassHouse Press.
Howard, Tiffiany O. (2010). The Tragedy of Failure: Evaluating state failure and its impact on the spread of refugees, terrorism, and war. Santa Barbara: ABC-CLIO.
James Dunn. (2004). Genocide in East Timor. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 263-293. New York: Routledge.
Jonassohn, Kurt. & Björnson, Karin Solveig. (1998). Genocide and Gross Human Rights Violations in Comparative Perspective. New Brunswick: Transaction Publishing.
Jones, Adam. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Kiernan, Ben. (2004). The Cambodian Genocide 1975–1979. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 339-373. New York: Routledge.
Kinloch, Graham C. (2005). The Possible Causes and Reduction of Genocide: An exploration. Dalam Graham C. Kinloch & Raj P. Mohan (Eds.), Genocide: approaches, case studies, and responses, hal. 15-35. New York: Algora Publishing.
Kuper, Leo (1981). Genocide: Its political uses in the twentieth century. New Haven: Yale University Press.
Lemkin, Raphael. (1944). Axis Rule in Occupied Europe: Laws of occupation, analysis of government, proposals for redress. Washington: Carnegie Endowment for World Peace.
Levin, Jack. & Fox, James Alan. (2008). Normalcy in Behavioral Characteristics of the Sadistic Serial Killer. Dalam Richard N. Kocsis (ed.), Serial murder and the psychology of violent crimes, hal. 3-14. New Jersey: Humana.
Mann, Michael (2005). The Dark Side of Democracy: Explaining ethnic cleansing. New York: Cambridge University Press.
McCormack, Gavan. (2003). Reflections on Modern Japanese History in the Context of the Concept of Genocide. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 265-286. Cambridge: Cambridge University Press.
Mennecke, Martin. (2004). Genocide in Kosovo?. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 449-454. New York: Routledge.
Midlarsky, Manus I. (2005). The Killing Trap: Genocide in the twentieth century. Cambridge: Cambridge University Press.
Miller, Arthur G. (2004). What Can the Milgram Obedience Experiments Tell Us About the Holocaust? Generalizing from the social psychology laboratory. Dalam Arthur G. Miller (Ed.), The social psychology of good and evil, hal. 193-239. New York: The Guilford Press.
Moore, Sir Patrick. (2005). Atlas of the Universe. London: Phillips.
Palermo, George B. (2008). Narcissism, Sadism, and Loneliness: The case of serial killer Jeffrey Dahmer. Dalam Richard N. Kocsis (ed.), Serial murder and the psychology of violent crimes, hal. 85-100. New Jersey: Humana.
Quigley, John. (2006). The Genocide Convention: An international law analysis. Hampshire: Ashgate Publishing.
Rummel, Rudolph J. (1994). Death by Government: Genocide and mass murder in the twentieth century. New Brunswick: Transaction.
Sale, Ian. (2008). Anatomy of a Mass Murder: Psychological profile of Martin Bryant and the Port Arthur Massacre. Dalam Richard N. Kocsis (ed.), Serial murder and the psychology of violent crimes, hal. 197-204. New Jersey: Humana.
Schabas, William A. (2009). Genocide in International Law: The crime of crimes, 2nd ed. New York: Cambridge University Press.
Semelin, Jacques. (2003). Analysis of a Mass Crime: Ethnic cleansing in the former Yugoslavia, 1991–1999. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 353-370. Cambridge: Cambridge University Press.
Solzhenitsyn, Alexander. (2002). The Gulag Archipelago, 1918-1956. New York: HarperPerennial.
Staub, Ervin (2002). The Psychology of Bystanders, Perpetrators, and Heroic Helpers. Dalam Leonard S. Newman & Ralph Erber (Eds.), Understanding genocide: the social psychology of the holocaust, hal. 11-42. New York: Oxford University Press.
Staub, Ervin (2003). The Psychology of Good and Evil: Why children, adults, and groups help and harm others.New York: Cambridge University Press.
Suedfeld, Peter., & Schaller, Mark. (2002). Authoritarianism and the Holocaust: Some cognitive and affective implications. Dalam Leonard S. Newman & Ralph Erber (Eds.), Understanding genocide: the social psychology of the holocaust, hal. 68-90. New York: Oxford University Press.
Tokudome, Kinue. (2009). The Holocaust and the Japanese Atrocities. Dalam Alan S. Rosenbaum (Ed.), Is the holocaust unique? perspectives on comparative genocide, hal. 201-213. Philadelphia: Westview Press.
Waller, James E. (2002). Becoming Evil: How ordinary people commit genocide and mass killing. New York: Oxford University Press.
Waller, James E. (2008). The Ordinariness of Extraordinary Evil: The making of perpetrators of genocide and mass killing. Dalam Olaf Jensen, Claus-Christian W. Szejnmann (Eds.), Ordinary people as mass murderers: perpetrators in comparative perspectives, hal. 145-164. New York: Palgrave Macmillan.
Weitz, Eric D. (2003). A Century of Genocide: Utopias of race and nation. New Jersey: Princeton University Press.
Welzer, Harald . (2008). On Killing and Morality: how normal people become mass murderers. Dalam Olaf Jensen, Claus-Christian W. Szejnmann (Eds.), Ordinary people as mass murderers: perpetrators in comparative perspectives, hal. 166-181. New York: Palgrave Macmillan.
Zimbardo, Philip G. (2004). A Situationist Perspective on the Psychology of Evil: Understanding how good people are transformed into perpetrators. Dalam Arthur G. Miller (Ed.), The social psychology of good and evil, hal. 21-50. New York: The Guilford Press.
Zimbardo, Philip G. (2007). The Lucifer Effect: Understanding how good people turn evil. New York: Random House.
[1] SM artinya sebelum era masehi dan M artinya masehi. Apabila tidak ada keterangan tambahan setelah angka tahun, maka artinya merupakan tahun masehi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
1.
GENOSIDA HERERO
Waktu kejadian: 1904-1907
Korban: Orang Herero, Namibia
Pelaku: Kolonial Jerman
Orang Herero merupakan bagian dari suku Bantu yang menghuni dataran tinggi di wilayah tengah Namibia, Afrika. Mereka datang dari wilayah Angola sekitar tahun 1750-an dan kemudian menyebar sejauh ribuan km di sepanjang dataran tinggi Namibia. Sistem pemerintahan yang dianut adalah pemerintahan suku yang berdasar ikatan kekeluargaan. Mereka terbagi ke dalam hampir 20 keluarga besar atau oruzo yang merupakan kelompok berdasarkan ikatan paternal, yang masing-masing relatif independen dan memiliki ketua sendiri. Setiap oruzo menempati sekelompok wilayah desa atau werft. Apabila populasi sebuah werft dirasa telah terlalu banyak, ketua akan mengijinkan pendirian desa baru yang terpisah, tetapi tetap berada di bawah kekuasaan ketua. Di dalam komunitas orang Herero terdapat kelompok-kelompok berdasarkan ikatan maternal yang disebut eanda. Anggota-anggotanya diharapkan untuk tidak berada dalam oruzo yang sama, sehingga mereka menyebar ke seluruh komunitas orang Herero dan menjadi pengikat komunitas secara keseluruhan. Total populasi mereka di awal abad 20 berkisar pada angka 80,000 jiwa. Semua tanah dianggap sebagai milik bersama suku dan tidak dapat dimiliki sendiri meskipun hanya untuk penggunaan sementara.
Aktivitas ekonomi utama orang Herero adalah beternak. Bagi mereka, ternak bukan hanya sumber makanan, tapi juga pusat kehidupan. Kosakata yang dimiliki di berbagai area sangat terbatas, tapi kosakata tentang warna dan tanda-tanda pada ternak berjumlah ribuan. Hal tersebut dengan jelas menunjukkan pentingnya ternak dalam kehidupan. Mereka percaya bahwa Pencipta telah memberikan hadiah paling berharga berupa sapi dan kerbau pada orang Herero, dan memberikan hadiah yang kurang berharga pada umat manusia yang lain. Sedemikian besarnya kecintaan terhadap ternak sehingga ternak jarang disembelih. Makanan sehari-harinya adalah perpaduan antara susu dengan darah ternak dan buah-buahan. Apabila ternaknya aman dan makan dengan cukup, orang Herero akan hidup dengan penuh damai, namun jika ternaknya terancam, mereka berubah menjadi tanpa ampun.
Pada tahun 1882 mulai berdatangan orang-orang Jerman yang tertarik pada tanah-tanah luas di Nambia. Dengan segera, pada tahun 1884, mereka mendirikan koloni Jerman di sana yang disebut sebagai Jerman-Afrika Barat Daya (Deutsch-Südwestafrika). Mereka mendirikan peternakan-peternakan di dataran Namibia yang luas. Sampai tahun 1900-an, hanya sebagian kecil tanah orang Herero yang berpindah dimiliki orang asing. Akan tetapi, seiring dengan penyelesaian jalur kereta api dari pantai ke ibu kota koloni, Windhoek, kepemilikan tanah orang Jerman bertambah pesat. Pada tahun 1903, dari total 13 juta hektar tanah orang Herero, sejumlah 3,5 juta hektar sudah dikuasai Jerman, dan hari ketika orang Herero tidak lagi memiliki cukup tanah untuk meneruskan cara hidup tradisionalnya semakin mendekat. Banyak orang Herero cemas dengan ancaman tersebut, meskipun pada tahun itu belum ada pengaruh apapun terhadap gaya hidup orang Herero.
Pelan-pelan, organisasi tradisional orang Herero mengalami ancaman karena desakan dan pengaruh keberadaan orang Jerman dan orang Eropa lainnya yang mulai terus membanjiri Namibia. Oleh karena adanya peluang menjual ternak dan mendapatkan uang tunai melalui perdagangan dengan orang Eropa, banyak Orang Herero ikut membuka peternakan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara Herero miskin yang hanya memiliki atau tidak memiliki ternak dengan Herero kaya yang memiliki banyak ternak. Di sisi lain, kebiasaan orang Herero meminjam uang pada orang Eropa menimbulkan persoalan. Mereka menjadi memiliki kebiasaan meminjam uang selama bertahun-tahun dengan bunga tinggi. Untuk mengatasinya, Gubernur Koloni, Theodor Leutwein, membuat peraturan bahwa semua hutang yang tidak dikembalikan setelah satu tahun akan dianggap lunas. Peraturan tersebut mulai efektif sejak 1 November 1903. Tujuannya agar menghapuskan hutang orang Herero dan pada akhirnya menghilangkan sistem hutang menghutang. Akan tetapi, dalam jangka pendek efeknya berkebalikan. Para pedagang Jerman yang kuatir uangnya akan lenyap setelah satu tahun mulai menagih hutang pada orang Herero dengan jalan cepat dan kekerasan. Mereka meminta bantuan tentara kolonial untuk menagih. Pada sebagian kasus, para pedagang menyerahkan daftar penghutang pada polisi lokal; pada kasus lain para pedagang itu secara langsung mengambil ternak sebanyak yang mereka pikir bisa menutupi hutang.
Peraturan hutang itu menyebabkan ketidakpuasan langsung pada orang-orang Herero. Kemarahan merebak. Pengambilan ternak melukai orang-orang Herero. Ditambah dengan persoalan rasial, yakni mengalirnya orang-orang Jerman ke tanah mereka, bibit pemberontakan pun mulai tumbuh. Para pendatang lama, seperti gubernur Leuwin mendapatkan hormat sebagai pria dari orang Afrika karena mereka tentara dan pernah bertempur melawan mereka. Mereka pun memberikan hormat pada orang Afrika. Namun berbeda dengan para pendatang baru yang hanya memandang orang Afrika sebagai sumber buruh murah, dan sebagian malah menghendaki lenyapnya kaum berkulit hitam di wilayah koloni. Mereka sangat merendahkan orang-orang Afrika, dan bahkan menyebut mereka dengan istilah ‘baboon’ (sejenis primata besar), dan memperlakukannya tidak lebih seperti binatang. Orang-orang Afrika dipandang berhak hidup hanya apabila berguna bagi kaum kulit putih. Mereka lebih menghargai kuda mereka ketimbang penduduk asli. Di saat yang sama, dari sejumlah 4000 pria Jerman di sana, hanya terdapat 700 wanita Jerman. Alhasil terjadi pengambilan wanita dari orang Herero, baik secara damai maupun secara paksa. Kombinasi situasi tersebut pada akhirnya memicu pemberontakan.
Samuel Maherero, sebagai kepala suku orang Herero memimpin pemberontakan terhadap kolonial Jerman pada tanggal 12 Januari 1904. Mereka merusak jaringan kereta api, memutus jaringan telegraf, menghancurkan pertanian dan peternakan orang Jerman, serta membunuh lelaki dewasa yang ditemui di sana. Selama sepuluh hari berikutnya, semua lahan peternakan di tanah Herero telah diserbu. Diperkirakan 123 orang Jerman terbunuh dalam peristiwa itu, tidak ada satu pun wanita dan anak-anak yang menjadi korban. Gubernur Koloni, Theodor Leutwein, lantas menawarkan perdamaian. Sang gubernur sendiri sejak lama merupakan orang yang dipercayai oleh orang Herero, dan mendapatkan panggilan hangat ‘Majora,’ di sisi lain oleh orang Jerman dianggap sebagai pengkhianat rasnya sendiri. Tentu saja upaya negosiasi tidak berjalan baik karena ditentang para pemukim Jerman yang menghendaki dilenyapkannya orang-orang Herero. Sang gubernur pun lantas menyerahkan kekuasaannya pada Staf Jenderal di Berlin, Jerman. Pihak Pusat kemudian menyerahkan komando kepada Letnan Jenderal Lothar von Trotha dalam upaya menghadapi peristiwa tersebut.
Sejak awal, penanganan masalah Herero sudah merupakan isu rasial. Bagi Von Trotha, pertempuran di Jerman-Afrika Barat Daya merupakan bagian dari perang ras, yang hanya bisa diselesaikan dengan “banjir darah dan banjir emas.” Tujuannya adalah menghancurkan orang Herero dalam satu pertempuran menentukan. Setelah beberapa pertempuran kecil, akhirnya sekitar 17,000 balatentara kolonial Jerman berhadapan dengan sekitar 80,000 orang Herero, baik wanita maupun anak-anak di Waterberg pada tanggal 11 Agustus 1904. Bagi orang Herero, tidak ada bedanya antara anak-anak, wanita maupun lelaki dewasa. Semuanya dianggap bagian dari Herero dan bertempur bersama.
Pertempuran terjadi antara tentara kolonial melawan pria-pria Herero. Jauh tertinggal dalam peralatan perang, dengan segera orang Herero dikalahkan. Korban langsung dalam pertempuran Waterberg diperkirakan sekitar 5000-6000 jiwa. Jumlah total tewas, sejak awal pemberontakan hingga pertempuran Waterberg sekitar 20,000 sampai 30,000 jiwa, yang sebagian besar akibat dari kebijakan tidak menerima tawanan (yang artinya dibunuh). Di dalamnya termasuk wanita dan anak-anak karena hampir semua orang Herero berkumpul di tempat yang sama saat itu. Sekitar 50,000 sampai 60,000 orang yang selamat dari pertempuran Waterberg menuju Omaheke, yang kemudian terdesak menuju gurun.
Tentara Jerman membatasi akses terhadap air dan bahkan kemudian sumber air diracuni, sehingga pilihan mereka cuma mati keracunan atau mati kehausan. Patroli Jerman menemukan lubang galian dengan tangan sedalam 12 meter di gurun, yang merupakan upaya putus asa orang Herero mendapatkan air. Untuk mencegah mereka kembali ke tanahnya, pihak tentara mendirikan pos-pos pertahanan terentang beberapa ratus km di tepi gurun. Orang Herero yang mendekatinya ditembak atau dipaksa kembali ke gurun. Hanya sekitar 3000 orang yang berhasil menyeberang gurun. Sekitar 1000 orang dari mereka menuju Bostwana, suatu koloni Inggris, yang di dalamnya termasuk Samuel Maherero, yang kemudian menetap di sana hingga meninggalnya pada tahun 1923, dan sisanya menuju ke wilayah lainnya.
Pada tanggal 2 Oktober 1904, von Trotha mengeluarkan ultimatum untuk orang-orang Herero.
Aktivitas ekonomi utama orang Herero adalah beternak. Bagi mereka, ternak bukan hanya sumber makanan, tapi juga pusat kehidupan. Kosakata yang dimiliki di berbagai area sangat terbatas, tapi kosakata tentang warna dan tanda-tanda pada ternak berjumlah ribuan. Hal tersebut dengan jelas menunjukkan pentingnya ternak dalam kehidupan. Mereka percaya bahwa Pencipta telah memberikan hadiah paling berharga berupa sapi dan kerbau pada orang Herero, dan memberikan hadiah yang kurang berharga pada umat manusia yang lain. Sedemikian besarnya kecintaan terhadap ternak sehingga ternak jarang disembelih. Makanan sehari-harinya adalah perpaduan antara susu dengan darah ternak dan buah-buahan. Apabila ternaknya aman dan makan dengan cukup, orang Herero akan hidup dengan penuh damai, namun jika ternaknya terancam, mereka berubah menjadi tanpa ampun.
Pada tahun 1882 mulai berdatangan orang-orang Jerman yang tertarik pada tanah-tanah luas di Nambia. Dengan segera, pada tahun 1884, mereka mendirikan koloni Jerman di sana yang disebut sebagai Jerman-Afrika Barat Daya (Deutsch-Südwestafrika). Mereka mendirikan peternakan-peternakan di dataran Namibia yang luas. Sampai tahun 1900-an, hanya sebagian kecil tanah orang Herero yang berpindah dimiliki orang asing. Akan tetapi, seiring dengan penyelesaian jalur kereta api dari pantai ke ibu kota koloni, Windhoek, kepemilikan tanah orang Jerman bertambah pesat. Pada tahun 1903, dari total 13 juta hektar tanah orang Herero, sejumlah 3,5 juta hektar sudah dikuasai Jerman, dan hari ketika orang Herero tidak lagi memiliki cukup tanah untuk meneruskan cara hidup tradisionalnya semakin mendekat. Banyak orang Herero cemas dengan ancaman tersebut, meskipun pada tahun itu belum ada pengaruh apapun terhadap gaya hidup orang Herero.
Pelan-pelan, organisasi tradisional orang Herero mengalami ancaman karena desakan dan pengaruh keberadaan orang Jerman dan orang Eropa lainnya yang mulai terus membanjiri Namibia. Oleh karena adanya peluang menjual ternak dan mendapatkan uang tunai melalui perdagangan dengan orang Eropa, banyak Orang Herero ikut membuka peternakan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara Herero miskin yang hanya memiliki atau tidak memiliki ternak dengan Herero kaya yang memiliki banyak ternak. Di sisi lain, kebiasaan orang Herero meminjam uang pada orang Eropa menimbulkan persoalan. Mereka menjadi memiliki kebiasaan meminjam uang selama bertahun-tahun dengan bunga tinggi. Untuk mengatasinya, Gubernur Koloni, Theodor Leutwein, membuat peraturan bahwa semua hutang yang tidak dikembalikan setelah satu tahun akan dianggap lunas. Peraturan tersebut mulai efektif sejak 1 November 1903. Tujuannya agar menghapuskan hutang orang Herero dan pada akhirnya menghilangkan sistem hutang menghutang. Akan tetapi, dalam jangka pendek efeknya berkebalikan. Para pedagang Jerman yang kuatir uangnya akan lenyap setelah satu tahun mulai menagih hutang pada orang Herero dengan jalan cepat dan kekerasan. Mereka meminta bantuan tentara kolonial untuk menagih. Pada sebagian kasus, para pedagang menyerahkan daftar penghutang pada polisi lokal; pada kasus lain para pedagang itu secara langsung mengambil ternak sebanyak yang mereka pikir bisa menutupi hutang.
Peraturan hutang itu menyebabkan ketidakpuasan langsung pada orang-orang Herero. Kemarahan merebak. Pengambilan ternak melukai orang-orang Herero. Ditambah dengan persoalan rasial, yakni mengalirnya orang-orang Jerman ke tanah mereka, bibit pemberontakan pun mulai tumbuh. Para pendatang lama, seperti gubernur Leuwin mendapatkan hormat sebagai pria dari orang Afrika karena mereka tentara dan pernah bertempur melawan mereka. Mereka pun memberikan hormat pada orang Afrika. Namun berbeda dengan para pendatang baru yang hanya memandang orang Afrika sebagai sumber buruh murah, dan sebagian malah menghendaki lenyapnya kaum berkulit hitam di wilayah koloni. Mereka sangat merendahkan orang-orang Afrika, dan bahkan menyebut mereka dengan istilah ‘baboon’ (sejenis primata besar), dan memperlakukannya tidak lebih seperti binatang. Orang-orang Afrika dipandang berhak hidup hanya apabila berguna bagi kaum kulit putih. Mereka lebih menghargai kuda mereka ketimbang penduduk asli. Di saat yang sama, dari sejumlah 4000 pria Jerman di sana, hanya terdapat 700 wanita Jerman. Alhasil terjadi pengambilan wanita dari orang Herero, baik secara damai maupun secara paksa. Kombinasi situasi tersebut pada akhirnya memicu pemberontakan.
Samuel Maherero, sebagai kepala suku orang Herero memimpin pemberontakan terhadap kolonial Jerman pada tanggal 12 Januari 1904. Mereka merusak jaringan kereta api, memutus jaringan telegraf, menghancurkan pertanian dan peternakan orang Jerman, serta membunuh lelaki dewasa yang ditemui di sana. Selama sepuluh hari berikutnya, semua lahan peternakan di tanah Herero telah diserbu. Diperkirakan 123 orang Jerman terbunuh dalam peristiwa itu, tidak ada satu pun wanita dan anak-anak yang menjadi korban. Gubernur Koloni, Theodor Leutwein, lantas menawarkan perdamaian. Sang gubernur sendiri sejak lama merupakan orang yang dipercayai oleh orang Herero, dan mendapatkan panggilan hangat ‘Majora,’ di sisi lain oleh orang Jerman dianggap sebagai pengkhianat rasnya sendiri. Tentu saja upaya negosiasi tidak berjalan baik karena ditentang para pemukim Jerman yang menghendaki dilenyapkannya orang-orang Herero. Sang gubernur pun lantas menyerahkan kekuasaannya pada Staf Jenderal di Berlin, Jerman. Pihak Pusat kemudian menyerahkan komando kepada Letnan Jenderal Lothar von Trotha dalam upaya menghadapi peristiwa tersebut.
Sejak awal, penanganan masalah Herero sudah merupakan isu rasial. Bagi Von Trotha, pertempuran di Jerman-Afrika Barat Daya merupakan bagian dari perang ras, yang hanya bisa diselesaikan dengan “banjir darah dan banjir emas.” Tujuannya adalah menghancurkan orang Herero dalam satu pertempuran menentukan. Setelah beberapa pertempuran kecil, akhirnya sekitar 17,000 balatentara kolonial Jerman berhadapan dengan sekitar 80,000 orang Herero, baik wanita maupun anak-anak di Waterberg pada tanggal 11 Agustus 1904. Bagi orang Herero, tidak ada bedanya antara anak-anak, wanita maupun lelaki dewasa. Semuanya dianggap bagian dari Herero dan bertempur bersama.
Pertempuran terjadi antara tentara kolonial melawan pria-pria Herero. Jauh tertinggal dalam peralatan perang, dengan segera orang Herero dikalahkan. Korban langsung dalam pertempuran Waterberg diperkirakan sekitar 5000-6000 jiwa. Jumlah total tewas, sejak awal pemberontakan hingga pertempuran Waterberg sekitar 20,000 sampai 30,000 jiwa, yang sebagian besar akibat dari kebijakan tidak menerima tawanan (yang artinya dibunuh). Di dalamnya termasuk wanita dan anak-anak karena hampir semua orang Herero berkumpul di tempat yang sama saat itu. Sekitar 50,000 sampai 60,000 orang yang selamat dari pertempuran Waterberg menuju Omaheke, yang kemudian terdesak menuju gurun.
Tentara Jerman membatasi akses terhadap air dan bahkan kemudian sumber air diracuni, sehingga pilihan mereka cuma mati keracunan atau mati kehausan. Patroli Jerman menemukan lubang galian dengan tangan sedalam 12 meter di gurun, yang merupakan upaya putus asa orang Herero mendapatkan air. Untuk mencegah mereka kembali ke tanahnya, pihak tentara mendirikan pos-pos pertahanan terentang beberapa ratus km di tepi gurun. Orang Herero yang mendekatinya ditembak atau dipaksa kembali ke gurun. Hanya sekitar 3000 orang yang berhasil menyeberang gurun. Sekitar 1000 orang dari mereka menuju Bostwana, suatu koloni Inggris, yang di dalamnya termasuk Samuel Maherero, yang kemudian menetap di sana hingga meninggalnya pada tahun 1923, dan sisanya menuju ke wilayah lainnya.
Pada tanggal 2 Oktober 1904, von Trotha mengeluarkan ultimatum untuk orang-orang Herero.
Osombo-Windimbe, 2 Oktober 1904.
Saya, Jenderal balatentara Jerman, mengirim surat ini pada orang-orang Herero. Orang Herero bukan lagi ancaman bagi Jerman. Mereka telah dibunuh, dan pasukan yang terluka dipotong hidungnya, telinganya dan bagian tubuhnya yang lain, dan sekarang karena itu tidak bisa bertempur lagi. Saya katakan pada semua orang: siapa pun yang menyerahkan satu orang kapten Herero ke markas saya sebagai tahanan akan menerima 1000 mark. Siapa yang menyerahkan Samuel Mahehero akan menerima 5000 mark. Semua orang Herero harus meninggalkan tanahnya. Jika tidak melakukannya, maka saya akan memaksa mereka dengan senjata. Setiap orang Herero yang ditemukan di perbatasan Jerman dengan atau tanpa senjata, dengan atau tanpa ternak, akan ditembak. Saya tidak lagi menerima wanita dan anak-anak. Saya akan mengembalikan mereka atau akan menembak mereka. Ini keputusan saya untuk orang Herero.
Tertanda: The Great General of the Mighty Kaiser,
von Trotha
Pada saat yang sama, Letnan Jenderal von Trotha juga mengeluarkan perintah terhadap pasukannya.
Perintah ini agar dibaca oleh seluruh tentara di markas. Bahwa jika seorang tentara menangkap seorang kapten Herero, dia akan mendapatkan penghargaan, dan menembak wanita serta anak-anak bisa dipahami, yang artinya bahwa seseorang bisa ditembak untuk memaksa mereka lari lebih cepat. Saya benar-benar mengharapkan perintah ini dijalankan dan tidak ada tawanan pria yang diambil, tapi ini tidak berarti untuk melakukan pembunuhan terhadap wanita dan anak-anak. Ini akan dicapai dengan menembak kepala seseorang beberapa kali. Para tentara akan tetap menjaga reputasi baik tentara Jerman.
Jenderal Komando
Tertanda: Letnan-Jenderal von Trotha
Dua hari kemudian, von Trotha menjelaskan apa yang dilakukannya kepada Jenderal von Schlieffen sebagai Panglima balatentara Jerman:
Hanya ada satu pertanyaan saya: bagaimana mengakhiri perang? Pendapat gubernur dan pendapat para penghuni Afrika lama berseberangan dengan pendapat saya. Mereka menginginkan negosiasi dan memaksa bahwa orang Herero diperlukan bagi masa depan. Saya percaya bahwa bangsa seperti itu harus dilenyapkan atau jika itu tidak mungkin, dari sudut pandang militer maka mereka harus dipaksa meninggalkan tanahnya. Hal tersebut dimungkinkan dengan menduduki sumber air dari Grootfontein hingga Gobabis, dan dengan aktivitas patroli yang intensif untuk menghentikan mereka kembali dan secara bertahap melenyapkan mereka….. Pengetahuan saya tentang orang Afrika tengah, Bantu dan lainnya, meyakinkan saya bahwa Negro tidak akan pernah mau mengadakan perjanjian kecuali dipaksa oleh kekuatan yang tampak nyata. Kemarin, sebelum keberangkatan saya, saya memerintahkan eksekusi tawanan yang tertangkap dalam beberapa hari, dan saya juga memerintahkan mengusir kembali wanita dan anak-anak ke gurun untuk membawa pengumuman dari saya. Menerima wanita dan anak-anak berbahaya untuk tentara kita, untuk merawat mereka tidak mungkin. Kondisi ini dan seterusnya adalah permulaan sebuah perang rasial.
Kaisar Jerman memerintahkan penghentian tembak menembak pada bulan Desember 1904. Akan tetapi pembunuhan terus berlangsung, terutama karena Letnan-Jenderal Von Trotha terus memegang kekuasaan hingga Desember 1905. Sebagai upaya protes atas kejadian itu, Gubernur mengundurkan diri. Banyak orang Jerman di koloni juga mengkritik upaya von Trotha menyelesaikan masalah Herero, yang dinilai sebagai biadab. Sekitar 14,000 orang Herero dimasukkan ke dalam kamp kerja paksa. Separuh di antaranya meninggal tidak sampai setahun di sana, akibat dibunuh atau akibat perlakukan yang buruk. Saat kamp itu dibubarkan pada tahun 1906, mereka yang masih hidup dipekerjakan dalam kelompok-kelompok kecil di tanah-tanah pertanian/peternakan milik orang Jerman.
Jumlah korban dalam peristiwa genosida Herero diperkirakan sekitar 60,000 orang dari populasi semula sekitar 80,000 jiwa. Pada tahun 1911, terhitung hanya terdapat 15,130 orang Herero yang tersisa. Dengan kata lain, 81% orang Herero lenyap. Sejak saat itu, tidak ada lagi suku Herero karena fungsi sosial, politik dan budayanya telah hilang sama sekali. Apalagi sejak 18 Agustus 1907 diberlakukan aturan tidak ada penduduk asli yang diperbolehkan memiliki lahan dan ternak; semua pria penduduk asli yang berumur di atas 17 tahun harus membawa surat izin; dan setiap penduduk asli yang tidak bisa membuktikan sumber kehidupannya bisa dieksekusi. Meskipun kemudian Jerman kehilangan kekuasaannya di Namibia pada tahun 1915 karena dicaplok Inggris, nasib orang Herero tidak berubah: sebagian berada di pengungsian dan sebagian dipekerjakan pada keluarga-keluarga Eropa. Saat Afrika Selatan menggantikan posisi Inggris, kaum Herero menjadi kelas terbawah dalam sistem Apartheid.
Pada tahun 1989, Namibia memperoleh kemerdekaannya dari tangan Afrika Selatan. Para keturunan orang Herero yang selamat dari genosida menuntut permintaan maaf dari Jerman dan meminta ganti rugi. Menurut pemimpin Herero, tidak adil jika pihak Jerman membayar ganti rugi 10 miliar US dollar kepada orang Yahudi yang selamat dalam genosida Nazi Perang Dunia II, tapi tidak memberikan apapun pada mereka, bahkan sama sekali tidak mengakui genosida terhadap orang-orang Herero. Mengikuti prosedur hukum yang ditempuh pengacara Yahudi, orang-orang Herero mengajukan gugatan kepada Pengadilan di Amerika Serikat dan meminta kompensasi 4 miliar US dollar; separuh dari pemerintah Jerman dan separohnya dari perusahaan Jerman yang mengambil keuntungan dari pendudukan tanah Namibia. Akhirnya pada tahun 2004, pihak Jerman mengakui kejadian tersebut sebagai genosida dan memberikan bantuan pembangunan bagi Namibia sebagai kompensasinya. Permintaan maaf resmi pun disampaikan kepada orang-orang Herero.
.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Jon Bridgman & Leslie J. Worley. (2004). Genocide of the Hereros. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 15-51. New York: Routledge.
Medardus Brehl. (2005). Strategies of Exclusion: The genocide of the herero in german colonial discourse. Dalam Graham C. Kinloch & Raj P. Mohan (Eds.), Genocide: approaches, case studies, and responses. New York: Algora Publishing.
Sidney L. Harring. (2005). Herero. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 436-438. Farmington Hills: Thomson Gale.
Isabel V. Hull. (2003). Military Culture and the Production of “Final Solutions” in the Colonies: The example of wilhelminian germany. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 141-162. Cambridge: Cambridge University Press.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
2.
GENOSIDA ARMENIA
Waktu kejadian: 1915-1923.
Korban: Orang Armenia di Turki
Jumlah korban: 1,500,000 (500,000 menjadi diaspora)
Pelaku: Pemerintah Turki
Orang-orang Armenia merupakan masyarakat kuno yang bermukim di plateu pegunungan Asia Minor, selatan Kaukasus (sekarang Anatolia Selatan), sekurang-kurangnya selama 3000 tahun, sejak milenium pertama sebelum masehi. Mereka mengembangkan budaya mereka sendiri: bicara dalam bahasa sendiri yang unik, memiliki alfabet tulisan sendiri, syair-syair asli, musik etnik, gaya arsitektur dan berbagai tradisi yang berusia ribuan tahun, yang menjadikan mereka benar-benar sebagai sebuah entitas budaya yang berbeda dengan komunitas masyarakat lainnya di wilayah Asia Minor. Di wilayah tersebut, mereka mendirikan kerajaan yang bertahan hampir 2000 tahun sampai mereka ditaklukkan oleh dinasti Seljuk Turki pada tahun 1071, dan baru benar-benar kehilangan kerajaan merdekanya setelah ditaklukkan dinasti Mameluk, dari Turki juga, pada tahun 1375. Sejak saat itu, orang-orang Armenia terus menerus berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, dari dinasti ke dinasti, dan paling lama berada di bawah Kesultanan Ottoman Turki.
Selama ribuan tahun, wilayah Timur Tengah dan Eropa Selatan menjadi pertarungan kekuatan-kekuatan besar kerajaan-kerajaan dunia kuno yang silih berganti berkuasa. Namun Armenia selalu bisa selamat. Keterpencilan wilayah Armenia dari pusat kehidupan urban di dunia kuno, membuat mereka kurang diperhatikan oleh kerajaan-kerajaan besar. Wilayah mereka yang berada di pegunungan dan sering mengalami musim dingin yang keras dan panjang menjadikan para pendatang baru cenderung tidak bertahan lama. Akan tetapi, pada akhirnya seringkali mereka tidak mampu bertahan menghadapi kekuatan kerajaan-kerajaan besar yang jauh lebih dominan sehingga terpaksa menyerah. Sebelum dikuasai Turki, berturut-turut, Persia, Yunani, Romawi, Arab, Bizantium, dan Mongol pernah menguasai Armenia. Akan tetapi, hanya orang-orang Turki yang bisa membuat pemukiman permanen di Armenia. Pelan-pelan jumlah mereka membesar dan mulai mengalahkan jumlah orang-orang Armenia. Tidak seperti penakluk sebelumnya, Turki tidak pernah meninggalkan Armenia, sehingga Armenia pun kemudian menjadi Turki. Sampai awal abad 20, hanya sedikit wilayah di mana orang Armenia mayoritas. Mereka tersebar di berbagai wilayah sebagai kaum minoritas.
Orang Armenia merupakan pemeluk Kristiani sejak tahun 280. Tatkala Raja Armenia mulai menjadi pemeluknya pada awal abad ke 4, mereka menjadi kerajaan pertama yang mengakui secara formal ajaran agama baru tersebut. Sejak saat itu, secara turun temurun mereka menjadi pengikut Kristiani hingga saat ini. Dengan demikian, posisi mereka di dalam Kesultanan Ottoman Turki adalah minoritas dari sisi etnik/budaya maupun dari sisi agama, karena orang Turki merupakan penganut Islam. Mereka diposisikan sebagai ‘dhimmi millet’ atau kaum minoritas dalam struktur sosial Kesultanan Ottoman, dan diposisikan di bawah kaum muslim. Hak-hak mereka dibatasi dalam dunia politis namun memiliki kebebasan dalam menjalankan ajaran agamanya.
Kesultanan Ottoman dibangun atas prinsip dualisme ‘penguasa-dikuasai.’ Pihak penguasa adalah etnik Turki dan kaum muslim, yang dengan demikian memperoleh keistimewaan di bidang politis dan ekonomi. Di sisi lain, pihak yang dikuasai, yakni kelompok minoritas, seperti Armenia, Yahudi, atau kelompok orang Kristen lainnya, dibatasi hak-hak politis dan ekonominya. Secara formal mereka tidak bisa menduduki jabatan-jabatan di dalam struktur kekuasaan Kesultanan. Oleh karena itu, orang Armenia dan kelompok mayoritas lain, terutama Yahudi, berfokus kepada masalah pendidikan. Hasilnya, mereka menjadi kelompok masyarakat yang lebih terdidik, lebih kaya, serta lebih urban ketimbang orang Turki. Tidak heran jika kemudian terjadi peningkatan pengaruh politis dan ekonomi orang-orang Armenia dan orang-orang Yahudi. Berbagai jabatan politis pun mulai dipegang meskipun secara formal hal tersebut dilarang. Pada abad ke 19, kekuatan orang-orang Armenia mulai tampak nyata. Oleh karena kedekatan agama dan wilayah dengan masyarakat Eropa yang Kristen, ribuan pemuda Armenia dikirim untuk belajar di Perguruan-Perguruan Tinggi di Eropa yang sedang berada dalam masa aufklaurung (masa pencerahan). Saat kembali, mereka membawa ideologi kesetaraan dan keadilan. Akibatnya kemudian, banyak orang Armenia yang memandang bahwa kebebasan beragama yang mereka miliki selama berabad-abad tidak memadai karena pada dasarnya mereka tidak diperlakukan setara. Mereka hanya memiliki hak politis yang sangat terbatas serta tidak bebas dalam menjalankan usaha ekonomi. Sebagai respons peningkatan kekuatan itu, Kesultanan Ottoman mulai bertindak keras terhadap orang-orang Armenia.
Peningkatan kekuatan orang Armenia di dalam negeri diiringi dengan semakin melemahnya Kesultanan Ottoman menghadapi kekuatan Eropa. Pada saat berada di puncak kejayaan di abad ke 16, wilayah Kesultanan Ottoman mencakup Afrika Utara, Timur Tengah, serta Eropa Selatan, terentang sejauh Algeria, Libya, Mesir, Irak, Hungaria hingga Yunani. Mereka menaklukkan pusat dunia Kristen, Konstantinopel pada tahun 1453. Saat itu, mereka adalah yang terkuat di dunia. Tidak ada Negara di Eropa yang bisa mengimbangi kekuatan mereka. Namun pelan-pelan secara bertahap kekuatan Kesultanan merosot seiring dengan peningkatan kekuataan Negara-negara Eropa sebagai hasil dari masa pencerahan dan revolusi Industri yang terjadi di benua itu. Pada tahun 1683, Kesultanan gagal menaklukkan Vienna dari tangan Kekaisaran Habsburg, Austria. Sebagai dampaknya, Kesultanan kehilangan wilayah Hungaria dan pesisir Aegea. Setelah itu Kesultanan Ottoman Turki terus menerus mengalami kemerosotan.
Pada awal abad ke 19, kekuatan kekaisaran Rusia menguat dan menjadi pusat kekuatan Kristen Ortodoks baru. Kekuatan besar itu membuat mereka bisa ikut mengintervensi orang-orang Kristen Ortodoks yang banyak tinggal di wilayah Kesultanan, termasuk orang Armenia. Mereka bercita-cita mendirikan Pan-Slavisme yang terdiri dari Negara-negara etnis Slav yang berbahasa Slav, seperti Ukraina, Kroasia, Bulgaria, Albania dan Rumania, yang sebagian berada di kekuasaan kesultanan. Mereka membantu perjuangan kemerdekaan Yunani, sehingga bisa menjadi Negara merdeka pada tahun 1829. Campur tangan mereka juga memicu pemberontakan Negara-negara Balkan. Dalam perang Crimea 1853-1856, pihak Ottoman dibantu Inggris dan Prancis berperang melawan Rusia. Sebagai bayarannya, Sultan Abdulmajid memberlakukan hukum baru yang menganggap semua warga Negara sama di depan hukum pada tahun 1856. Hal tersebut banyak menimbulkan pertentangan di dalam negeri, karena banyak kaum muslim yang menganggap bahwa secara syariat (hukum Islam), nonmuslim merupakan warga negara kelas dua sehingga tidak berjalan baik dalam praktek.
Pada tahun 1875-17876, terjadi pemberontakan di Bulgaria. Untuk memadamkannya, Kesultanan melakukan pembantaian besar-besaran, sehingga dengan segera menimbulkan protes internasional. Perang dengan Rusia terjadi lagi pada tahun 1877-1878. Kali ini tentara Rusia bisa sampai berada 15 km dari ibukota Kesultanan, Istanbul, dan berhasil memaksa Kesultanan menandatangani perjanjian damai. Salah satu isi perjanjian damai itu adalah perbaikan nasib dan jaminan keamanan orang-orang Kristen Armenia karena kekuatiran mereka bakal mengalami pembantaian seperti yang dialami kaum Kristen di Bulgaria. Alhasil, orang Armenia yang merupakan etnik minoritas diakui (millet) dalam kesultanan berubah dianggap sebagai pelaku tindakan subversif yang beraliansi dengan Rusia, yang merupakan musuh utama Kesultanan.
Pada tahun 1984, aktivitas politik orang Armenia menguat. Mereka menuntut pemenuhan janji Sultan akan perbaikan nasib mereka sebagaimana yang disepakati dalam perjanjian damai dengan Rusia. Mereka berharap adanya kesetaraan dengan orang Turki dan penghapusan diskriminasi. Alih-alih mengabulkan, antara tahun 1894-1896, Sultan Hamid II mengirimkan pasukan yang disebut gendarmerie, untuk mengatasinya. Hasilnya, antara 100,000 sampai 300,000 orang terbunuh, dan banyak yang terluka serta diusir dari rumah. Banyak juga yang kemudian melarikan diri ke luar negeri. Pada sisi yang lain, pembunuhan massal tersebut menumbuhkan kesadaran kebangsaan orang Armenia.
Kekalahan demi kekalahan dan penciutan wilayah, serta kondisi inferior dibandingkan negara-negara Eropa memicu ketidakpuasan di kalangan orang Turki terhadap Kesultanan Ottoman. Antara tahun 1750 sampai 1914, wilayah kesultanan menyusut hampir separuh. Semua wilayah Balkan (Eropa Selatan) dan Afrika Utara berpindah kekuasaan. Sebagai reaksi, muncul gerakan-gerakan politik untuk memodernkan Turki. Pada tahun 1908, gerakan Turki Muda dengan organisasi politiknya yang bernama Committee of Union and Progress (CUP), berhasil melakukan kudeta terhadap Kesultanan Ottoman. Hasilnya, pada tahun 1909, Sultan Abdul Hamid II turun tahta. Beliau menjadi Sultan Ottoman terakhir dalam sejarah kesultanan Ottoman selama hampir 700 tahun.
Pada awalnya, CUP berplatform konstitusional, egalitarian dan liberalisme. Semua kaum minoritas etnik dan agama memiliki hak konstitusional yang sama. Oleh karena itu, perubahan itu disambut segar oleh kalangan minoritas, termasuk oleh orang Armenia. Dengan paham itu, diharapkan akan tercipta kekuatan yang bisa mengimbangi kekuatan Eropa sekaligus menekan determinasi kaum minoritas di dalam negeri. Akan tetapi karena adanya revolusi dan masa transisi, tekanan dari dalam dan luar negeri menguat. Pada tahun 1908, Bulgaria mendeklarasikan kemerdekaannya dan Kreta terlepas dari genggaman. Pada tahun 1912, Libya dikuasai Italia. Tahun berikutnya, Albania dan Macedonia melepaskan diri. Pada tahun 1913, hanya satu wilayah kecil di Eropa yang masih dalam genggaman (yang sampai kini masih bertahan dan menjadikan Turki juga dianggap sebagai bagian dari Eropa meskipun hanya 5% wilayahnya ada di benua itu). Degradasi terus menerus membuat terjadinya kudeta dalam tubuh CUP. Pada Januari 1913, faksi ekstremis dalam CUP mengambil alih kepemimpinan dari golongan moderat dan memulai era diktator triumvirat, yakni Enver Pasha sebagai Menteri Perang, Talat Pasha sebagai Menteri Dalam Negeri, dan Jemal Pasha, sebagai Menteri Angkatan Laut, sekaligus Gubernur Militer Siria. CUP pun meninggalkan prinsip liberalisme. Mereka beralih ke platform Turkisme dan Pan-Turkisme.
Turkisme merupakan sebuah nasionalisme ketat/sempit yang menjadikan etnik dan agama sebagai identitas nasional, dengan menekankan bahwa etnik Turki di Anatolia sebagai satu-satunya bangsa Turki dan wilayah itu harus semata-mata dihuni oleh bangsa Turki. Populasi lain dianggap asing dan harus dikeluarkan dari sana. Sedangkan konsep Pan-Turkisme bertujuan menyatukan semua orang Turki ke dalam satu kekuasaan yang dipimpin oleh Turki Ottoman. Mereka berencana menaklukkan wilayah orang-orang yang berbahasa Turki yang terentang dari Konstantinopel hingga Asia tengah.
Konsep Turkisme dan Pan-Turkisme menjadikan posisi orang Armenia sebagai orang asing dan menjadi anomali dalam konsep tersebut. Orang Armenia jelas bukan orang Turki, tidak beragama Islam dan memiliki bahasa sendiri. Akan tetapi, mereka adalah penduduk asli Anatolia, yang di Anatolia Selatan bahkan ribuan tahun lebih dahulu bermukim di sana ketimbang orang Turki. Di kawasan Timur Tengah, mereka juga anomali. Meskipun selama 14 abad di bawah pengaruh kekuasaan penguasa Islam yang dominan, mereka tetap mempertahankan budaya dan agamanya sendiri. Ketika CUP menawarkan pengintegrasian orang Armenia ke dalam Turkisme, orang Armenia menolak karena mereka memang memiliki sistem kulturnya sendiri. Dalam upaya mempertahankan komunitasnya, mereka menyelenggarakan sekolah-sekolah sendiri, dan berharap memiliki pejabat pemerintahan orang Armenia sendiri di wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas orang Armenia. Situasi tersebut menimbulkan kecurigaan kalau orang-orang Armenia berniat memerdekakan diri di Anatolia dengan bantuan Rusia yang sebelumnya pernah memberikan perlindungan pada mereka. Apalagi mayoritas tempat tinggal Armenia lebih dekat ke perbatasan dengan wilayah Rusia. Sebagian orang Armenia juga tinggal di wilayah Rusia akibat pencaplokan wilayah saat Turki kalah perang dengan Rusia. Situasi tersebut menimbulkan permasalahan bagi upaya mewujudkan Pan-Turkisme, sehingga muncul term “Pertanyaan tentang Orang Armenia” atau ‘Armenian Question’. Di saat yang sama, Perang Dunia I mulai merebak. Turki yang beraliansi dengan Jerman menghadapi ancaman dari negara-negara Allies (Inggris, Prancis) di barat laut dan Rusia di timur laut. Kecurigaan terhadap orang-orang Armenia pun menguat. Solusi yang diambil para petinggi CUP sangat jelas: pembersihan.
Seluruh elemen CUP mengemban tugas pembersihan orang Armenia. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perang mendapat tugas mengeluarkan orang-orang Armenia dari rumah mereka dan mengantarkan ke gurun di Siria. Pihak tentara dan polisi menjadi pengawas pendeportasian. Organisasi pembunuh paramiliter yang disebut ‘chétés’ dibentuk. Behaeddin Shakir, seorang petinggi CUP menulis kepada sebuah delegasi partai di awal April 1915: “Adalah kewajiban kita semua untuk memberikan efek terbaik upaya mewujudkan proyek mulia melenyapkan eksistensi orang Armenia yang selama berabad-abad menjadi bagian dari hambatan perkembangan peradaban Negara.”
Pada tanggal 15 April 1915, tentara Turki mulai memasuki kota Van untuk melakukan operasi pembersihan terhadap orang-orang Armenia karena dianggap bersimpati atau berkhianat dengan menjalin afiliasi dengan Rusia. Selama seminggu, orang-orang Armenia berusaha mempertahankan diri dari serangan militer Turki, yang lantas memunculkan tumbuh suburnya kesadaran nasional Armenia. Namun mereka kalah segalanya. Segera setelah kekalahan itu terjadi pembantaian terhadap orang-orang Armenia di seluruh Turki, disertai kebrutalan dalam skala yang lebih kecil terhadap kaum Kristen Yunani dan Asiria. Kemudian pada tanggal 24 April 1915, orang-orang Armenia paling terkemuka di Konstantinopel dan kota-kota besar lainnya mulai ditangkapi dan dipenjarakan. Ribuan dari mereka dibunuh dan dilukai sampai mati di tempat terpencil (kini tanggal 24 April diperingati oleh orang Armenia sedunia sebagai Hari Peringatan Genosida). Proses itu mengawali upaya pembersihan orang Armenia selama 8 tahun berikutnya hingga tahun 1923.
Proses genosida orang Armenia bisa dibedakan ke dalam tiga tahap: pendeportasian, eksekusi, dan pelaparan.
(1). Pendeportasian. Di mulai bulan April 1915, orang-orang Armenia mulai dideportasi keluar dari rumah mereka. Sebelum pelaksanaan eksekusi pendeportasian, tiga hari sebelumnya mereka diperingatkan untuk pergi. Lalu desa demi desa dan kota demi kota dikosongkan dari penghuni Armenia. Banyak dari mereka yang pergi dengan naik kereta, sebagian menggunakan kereta kuda. Sebagian kecil petani menggunakan keledai untuk membawa barang-barang. Namun kebanyakan hanya berjalan kaki. Konvoi panjang pun terjadi, dengan satu tujuan, yakni ke selatan menuju gurun Siria. Hanya seperempat saja yang sanggup bertahan berjalan ratusan km dan berminggu-minggu melakukan perjalanan. Mayoritas mati di jalan karena kehausan, kelelahan dan kelaparan. Pemerintah Turki tidak memberi makan maupun perlindungan rumah bagi para deportan. Mereka dibiarkan melakukan semuanya sendiri. Di wilayah gurun Siria juga tidak disediakan perumahan memadai karena pendeportasian memang tidak dimaksudkan untuk relokasi. Sebelumnya, untuk mempermudah proses pendeportasian, pria-pria Armenia yang masih muda dan kuat dipaksa untuk ikut tentara tetapi tidak dipersenjatai. Mereka lantas dimasukkan ke dalam batalion pekerja dan dipekerjakan sampai mati atau dibunuh.
(2) Eksekusi. Pada awalnya, proses eksekusi terjadi dengan mengambil para pria Armenia, membawanya ke tempat terpencil untuk dibunuh atau dilukai untuk dibunuh. Sebagian dipekerjakan melakukan pekerjaan berat sampai mati. Tahap berikutnya, eksekusi di lakukan pada iring-iringan deportan. Mereka dibawa ke tempat terpisah dari rombongan dan lalu dieksekusi, baik ditembak atau ditusuk bayonet. Dalam sebuah memoir yang ditulis oleh Henry Morgenthau, duta besar Amerika Serikat di Turki, disebutkan adanya konvoi yang dimulai dengan 18,000 orang tapi hanya tersisa 150 orang yang tiba sampai di tujuan yang semuanya wanita serta anak-anak. Banyak wanita Armenia yang diperkosa dan dijual.
(3) Pelaparan. Di gurun Siria, puluhan ribu orang mati akibat cuaca ekstrem yang sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Mereka juga kekurangan makanan dan air, sehingga banyak yang mati kelaparan atau kehausan. Berbagai tindak kekejaman mereka alami. Mereka yang kehausan dan berhasil mendekati sungai Euphrat ditembak mati. Para wanita disuruh bertelanjang, diperkosa dan dibunuh. Mereka yang putus asa menerjunkan diri ke sungai untuk bunuh diri. Anak-anak dihantam batu, dan ada yang dimasukkan dalam api menyala. Pendek kata mereka mengalami segala kekejian.
Kekalahan Turki pada Perang Dunia I membuka lebar kesempatan kemerdekaan bagi orang Armenia. Pada tahun 1919, Republik Armenia merdeka dideklarasikan di wilayah barat daya Transkaukasia, yang sejak awal abad ke 19 berada di dalam wilayah Rusia. Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, berusaha membantu dengan mengupayakan memasukkan wilayah asli Armenia di selatan Anatolia, Turki, ke dalam republik yang baru itu. Akan tetapi, ketika Mustafa Kemal Pasha berkuasa dan kekuatan Turki mulai kembali, serangan dilakukan terhadap Republik Armenia sehingga dicaplok kembali ke wilayah Turki. Wilayah yang tersisa dari Republik itu kemudian diambil alih oleh Uni Soviet pada tahun 1921. Dengan demikian, nasib republik kecil itu berakhir. Secara keseluruhan genosida baru berakhir pada tahun 1923. Keberadaan orang Armenia di Turki hampir lenyap sama sekali. Mereka tercerabut dari tanah leluhurnya. Sekitar 500 ribu jiwa yang tersisa menjadi pengungsi dan tersebar menjadi kaum diaspora di seluruh penjuru dunia.Pada akhir tahun 1917, genosida terhadap orang Armenia menghasilkan kematian antara 1 juta sampai 1,5 juta orang Armenia, atau setara dengan setengah hingga dua pertiga populasi orang Armenia di Turki. Tapi itu belum berhenti, menjelang akhir Perang Dunia I, tentara Turki menyeberang ke perbatasan Rusia di mana terdapat komunitas Armenia di sana. Selama lima bulan menduduki wilayah itu, diperkirakan sekitar separuh orang Armenia (200,000) hilang. Sebagai balas dendam, kelompok-kelompok orang Armenia banyak yang menyerang wilayah-wilayah Turki.
Pemerintah Turki secara resmi masih menyangkal kejadian genosida tersebut. Mereka menghancurkan artifak-artifak dan peninggalan orang Armenia untuk menghapus jejak keberadaan orang Armenia di Turki. Alasan bahwa orang Armenia berkhianat dengan membela Rusia juga menjadi salah satu poin sangkalan mereka. Akan tetapi, pengadilan-pengadilan internasional telah memutuskan peristiwa itu sebagai genosida. PBB dan Parlemen Eropa juga telah mengklaim peristiwa itu sebagai genosida.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Donald Bloxham. (2005). The Great Game of Genocide: Imperialism, nationalism, and the destruction of the ottoman armenians. New York: Oxford University Press.
Jay Winter. (2003). Under Cover of War: The Armenian Genocide in the Context of Total War. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 189-213. Cambridge: Cambridge University Press.
Manus I. Midlarsky. (2005). The Killing Trap: Genocide in the twentieth century. Cambridge: Cambridge University Press.
Rebecca Joyce Frey. (2009). Genocide and International Justice. New York: Infobase Publishing.
Robert F. Melson. (2009). The Armenian Genocide as Precursor and Prototype of Twentieth-Century Genocide. Dalam Alan S. Rosenbaum (Ed.), Is the holocaust unique? perspectives on comparative genocide, hal. 125-137. Philadelphia: Westview Press.
Rouben Paul Adalian. (2004). The Armenian Genocide. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 53-90. New York: Routledge.
Vahakh N. Dadrian. (2003). The Armenian Genocide: An interpretation. Dalam Jay Winter (Ed.), America and the armenian genocide of 1915, hal. 52-100. Cambridge: Cambridge University Press.
Vahakn N. Dadrian. (2005). Armenians in Ottoman Turkey and the Armenian Genocide. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 67-76. Farmington Hills: Thomson Gale.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
3.
GENOSIDA YAHUDI
Waktu kejadian: 1939-1945.
Korban: Orang Yahudi di Eropa
Jumlah korban: ± 6,000,000
Pelaku: Pemerintah Nazi Jerman
Sejarah kaum Yahudi bisa dilacak sekurang-kurangnya sejak sekitar 4000 tahun yang lalu. Cikal bakal agama kaum Yahudi sendiri sudah muncul sejak sekitar tahun 2000 sampai 1500 SM, dan menjadi salah satu tradisi keagamaan yang paling lama bertahan. Agama Yahudi melahirkan agama monoteis lainnya yang berkembang di kawasan Timur tengah, yakni Kristiani dan Islam (ketiganya sering disebut kelompok agama abrahamik atau agama semitik). Mereka, kaum Yahudi, terus mempertahankan kepercayaan agamanya tanpa berusaha menyiarkan atau mengajak orang yang bukan terlahir dalam keluarga etnik Yahudi untuk ikut dan bergabung dalam agama Yahudi. Alhasil, meskipun agama Yahudi terbuka untuk semua orang, pemeluk agama Yahudi mayoritas hanya kaum Yahudi. Kondisi tersebut membuat term Yahudi dikenal luas sebagai identitas etnik sekaligus agama: orang Yahudi berarti beragama Yahudi, dan yang beragama Yahudi berarti orang Yahudi. Menurut hukum tradisional Yahudi, kata Yahudi merujuk pada seseorang yang ibunya Yahudi atau orang yang memeluk agama Yahudi di bawah bimbingan seorang rabbi. Pada kenyataannya, banyak orang Yahudi yang sudah sama sekali tidak mempraktekkan ajaran Yahudi dan bahkan memeluk agama lain.
Wilayah awal kaum Yahudi adalah wilayah Israel sekarang. Asal-usul mereka tidak diketahui. Kota Hebron merupakan salah satu kota kuno Yahudi yang telah dihuni kaum Yahudi sejak 4000 tahun lalu hingga saat ini hampir tanpa terputus. Sepanjang sejarahnya, mereka berkali-kali mengalami kekalahan menghadapi kekuatan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya dan dikuasai penguasa asing. Mereka pernah dikuasai Mesir, Asiria, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, hingga Arab dan Turki. Pada kekalahan tahun 70 Masehi melawan Romawi, kaum Yahudi mulai menyebar ke Eropa, terutama ke Eropa Selatan. Penyebaran semakin meluas pada abad pertengahan.
Kaum Yahudi tidak diterima dengan lapang di Eropa yang telah menjadi Kristiani. Mereka menjadi sumber kebencian karena dituduh sebagai penyebab pembunuhan Yesus (ironisnya, Yesus adalah orang Yahudi dan begitu pula seluruh penyebar Kristen awal. Selama berabad-abad, Kristiani dipandang sebagai bagian dari sekte Yahudi). Kebencian itu terus menerus menguat sampai terjadinya invasi Kristen Eropa ke Jerusalem pada tahun 1096, yang dikenal sebagai Perang Salib, di mana Kaum Yahudi di Jerusalem dibantai karena dianggap sebagai ‘Pembunuh Yesus.’
Keberadaan kaum Yahudi di Eropa didiskriminasi dan terus menjadi sumber kebencian selama berabad-abad. Di beberapa wilayah Eropa, mereka diwajibkan mengenakan pakaian tersendiri sebagai penanda identitas. Pekerjaan mereka dibatasi sehingga hanya bisa bekerja di satu bidang saja yang memang dihindari kaum Kristiani karena dianggap tidak bermoral, yakni dalam proses peminjaman uang (yang menjadikan kaum Yahudi identik dengan uang). Mereka sering dijadikan kambing hitam. Pada saat terjadi wabah penyakit mematikan (black plague) di pertengahan abad ke 14, kaum Yahudi dianggap sebagai biangnya. Mereka pernah diusir dari Inggris pada tahun 1290, dari Prancis pada tahun 1306, dari Jerman pada tahun 1350, dari Spanyol pada tahun 1492, dan dari Portugal pada tahun 1497. Alhasil pada akhir tahun 1500-an, mereka semua lenyap dari Eropa Barat. Kekaisaran Rusia yang Kristen Ortodoks selalu membanggakan diri sebagai negara yang terbebas dari orang Yahudi, sebelum mereka melakukan ekspansi wilayah pada abad ke 18. Meskipun demikian, dengan daya adaptasi kaum Yahudi yang tinggi, mereka bisa kembali ke negara-negara tersebut pada abad-abad kemudian. Hal tersebut dikarenakan pihak gereja membatasi eksekusi terhadap kaum Yahudi, meskipun mereka juga yang memeloporinya. Biasanya, setelah serangan, yang tersisa diminta pindah ke lokasi lain. Kabar baiknya, kondisi saat itu memungkinkan perpindahan dengan mudah dari satu negara ke negara lainnya.
Masa pencerahan Eropa tidak membawa perubahan signifikan terhadap semangat anti-Semitisme di kalangan Kristiani Eropa. Keyakinan atas kesamaan hak dan kebebasan beragama seolah-olah tidak berlaku bagi kaum Yahudi. Era Revolusi Industri di Eropa yang sangat menekankan kehidupan ekonomi justru semakin memperkuat kebencian itu. Kaum Yahudi sebagai pemegang uang menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat Eropa. Di sisi lain, elite birokrasi pemerintah semakin tersisih. Pada abad ke 19 dan awal abad 20, kebencian terhadap kaum Yahudi terus muncul dalam gerakan-gerakan politis anti-Semitisme. Diskriminasi terus berjalan dan berbagai serangan terhadap kaum Yahudi terus terjadi. Di berbagai negara terjadi gerakan-gerakan untuk melenyapkan kaum Yahudi. Kondisi tersebut membuat munculnya organisasi Yahudi Internasional Zionis pada tahun 1897 yang bertujuan mendirikan suatu negara Yahudi sendiri (yang berhasil dengan pendirian Israel pada tahun 1948). Menjelang akhir 1930-an, Pemerintah Polandia telah berencana untuk mendepak Yahudi dari seluruh Polandia. Pemerintahan anti-Yahudi juga terbentuk di Rumania. Seiring dengan tumbuhnya komunis di Rusia melalui revolusi Bolshevik pada tahun 1918, banyak kalangan gereja menganggap bahwa ancaman terhadap peradaban Kristen Eropa datang dari mereka dan dari kaum Yahudi. Kedua entitas itu diposisikan sebagai musuh peradaban Eropa. Boleh dibilang hanya di Jerman dan Austria di mana kehidupan kaum Yahudi terintegrasi dengan baik. Mereka bisa terlibat dalam dunia politik dan menganggap diri sebagai orang Jerman. Sekitar 100,000 orang dari sekitar 500,0000 orang Yahudi yang hidup di Jerman atau sekitar 20%, bergabung dalam militer Jerman saat Perang Dunia I (1915-1918). Bahkan bahasa pengantar dalam kongres Zionis adalah bahasa Jerman.
Kekalahan Jerman melawan negara-negara Allies (Inggris, Prancis, AS) pada Perang Dunia I (1915-1917) membuat ambruknya ekonomi Jerman. Setelah pulih, Jerman kembali menghadapi resesi ekonomi pada tahun 1929-1932 yang menyebabkan terjadinya pengangguran di mana-mana. Dalam situasi demikian, sekelompok anak muda radikal yang bergabung dengan NSDAP (National Sozialistische Deutsche Arbeiter Partei) atau lazim dikenal sebagai partai Nazi, mulai mendapatkan pengaruh. Mereka menganggap bahwa kaum Yahudi sudah mengungguli orang Jerman. Pada tahun 1925, populasi Yahudi di Jerman tumbuh menjadi 565,000, tapi tetap tidak lebih dari 1% total populasi penduduk Jerman. Meskipun jumlahnya kecil, orang Yahudi memiliki sekitar 2/3 toko dan jaringan pemasaran besar, serta memiliki hampir setengah kepemilikan pabrik tekstil yang ada di Jerman pada tahun 1930. Sekurang-kurangnya separuh industri Jerman di, termasuk pabrik baja dimiliki dan dikelola Yahudi. Dua penerbitan terbesar (Ullstein dan Mosse) dimiliki Yahudi. Banyak ilmuwan, filsuf dan seniman besar Jerman juga merupakan orang Yahudi (sedikit contoh di antaranya adalah Albert Einstein, Sigmund Freud, Karl Marx, Noam Chomsky, Martin Buber dan Ludwig Wittgenstein). Lebih dari setengah pengacara di Berlin, ibukota Jerman, adalah Yahudi.
Partai Nazi berhasil mendudukkan wakilnya, Adolf Hitler, sebagai kanselir Jerman pada 30 Januari 1933. Pada bulan Maret 1933, mereka berhasil memenangkan pemilu sehingga menguasai parlemen. Popularitas partai Nazi menanjak sangat cepat sesudahnya. Mereka berhasil memulihkan ekonomi Jerman, unggul dalam diplomasi luar negeri, serta berhasil menekan kekerasan di dalam negeri. Hal tersebut membuat Nazi sangat populer dan memungkinkan Nazi menciptakan pemerintahan diktator. Pada tanggal 14 Juli 1933, mereka mendeklarasikan bahwa hanya partai Nazi sebagai satu-satunya organisasi politik di Jerman. Mereka membangun kekuatan militer yang sangat kuat, meskipun sebenarnya dilarang sebagai konsekuensi kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I. Tujuan mereka adalah menjadikan Jerman sebagai pemimpin dunia yang unggul di atas bangsa-bangsa lain di segala bidang.
Partai Nazi dihela oleh ideologi rasial, bahwa ras Arya sebagai ras paling unggul di atas ras-ras lainnya. Yang dimaksud ras Arya adalah kelompok yang berasal dari padang stepa kaukasia (Rusia Selatan atau Asia Tengah saat ini) sejak sekitar tahun 4500 SM. Mereka terdiri dari jaringan beragam kelompok yang memiliki budaya dan bahasa yang sama. Lalu sejak pertengahan milenium ketiga, sebagian kelompok bergerak menjauh ke barat, yang kemudian menempati wilayah-wilayah yang kini dikenal sebagai Italia, Yunani, Skandinavia dan Jerman. Kelompok-kelompok itu lantas disebut sebagai Indo-Eropa. Pada saat yang sama, kelompok yang tetap berada di Rusia Selatan/Asia Tengah, semakin saling menjauh satu sama lain sehingga berkembang dua dialek, yakni dialek Avesta dan dialek Sanskrit. Mereka yang berdialek Sanskrit memasuki India dan mendirikan agama besar di sana, yakni Hindu dan Buddha. Sedangkan mereka yang berdialek Avestan menuju selatan ke wilayah Persia (Iran dan Irak saat ini), dan mendirikan agama Zoroaster yang menjadi cikal bakal agama-agama monoteis di Timur Tengah, seperti Yahudi, yang lalu menurunkan Kristen dan Islam (lihat Karen Armstrong, dalam bukunya ‘Great Transformation: The beginning of our religious tradition”, 2006). Mereka itulah yang dimaksudkan oleh Nazi sebagai ras paling unggul.
Ideologi rasial partai Nazi dengan sendirinya membawa angin buruk bagi kaum Yahudi. Kini, mereka dianggap sebagai ancaman bagi ras Arya. Selain mereka bukan ras Arya dan adanya sentimen anti-Yahudi, mereka juga dominan dalam bidang ekonomi. Akan tetapi pada awal berkuasanya Nazi tahun 1933, belum ada tanda-tanda nyata akan adanya suatu genosida terhadap orang Yahudi. Sejak tahun 1871 ketika Jerman memberlakukan kesetaraan bagi semua warga negara, kaum Yahudi terintegrasi ke dalam masyarakat Jerman, meskipun mereka yang tinggal di pedesaan masih hidup terpisah dari tetangganya yang Jerman. Mereka nasionalis. Sebagian malah merasa telah menemukan rumah sejati di Jerman. Meskipun sangat jelas partai Nazi anti-Semitisme, tapi kebijakan terhadap orang Yahudi masih tarik ulur. Ketika Nazi menyerukan boikot terhadap produk-produk Yahudi pada bulan April 1933, mereka segera membatalkannya lantaran reaksi negatif masyarakat Jerman terhadap gerakan anti-Semitisme. Demikian juga ketika pada bulan sebelumnya terjadi serangan terhadap para pemilik toko swalayan Yahudi oleh pasukan milisi Nazi, Storm troopers (Sturmabteilung, atau SA), yang kemudian memicu kekerasan terhadap seluruh orang Yahudi di seluruh Jerman. Nazi dengan cepat mengeluarkan larangan penyerangan terhadap kaum Yahudi. Mereka hanya didorong untuk melakukan emigrasi ke luar negeri, terutama Palestina.
Kebijakan-kebijakan Nazi selanjutnya merupakan kebijakan yang penuh dengan diskriminasi rasial. Pada tanggal 7 April 1933 diberlakukan larangan bagi pengacara non-Arya untuk memasuki bar; 10 Mei 1933, terjadi pembakaran ribuan buku-buku yang mempertanyakan Nazisme; 7 Agustus 1933, tentara Jerman dilarang menikahi wanita non ras Arya; 5 Februari 1934, mahasiswa kedokteran non-Arya dilarang mengikuti ujian negara untuk mendapatkan lisensi sebagai dokter; 21 Mei 1935, Undang-undang Pertahanan melarang orang non-Arya masuk dinas militer Jerman; 18 Agustus 1935, pernikahan antara orang Arya dan non-Arya dilarang. Berturut-turut, berbagai kebijakan rasial lainnya susul menyusul.
Tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang mengancam bagi komunitas Yahudi-Jerman. Pada tanggal 28 Maret 1938, organisasi komunitas Yahudi dilarang; 16 Mei 1938, sekelompok orang Yahudi pertama mulai dipekerjakan paksa di kamp konsentrasi Mauthausen; 15 Juni 1938, 1500 orang Yahudi dipenjara di kamp konsentrasi; 25 Juni 1938, dokter Yahudi dilarang mengobati pasien ras Arya; 8 Juli 1938, Sinagoga Besar di Munich dihancurkan; 27 September 1938, ajaran Yahudi dilarang dipraktekkan; 5 Oktober 1938, paspor orang Yahudi diberi tanda ‘J’ (Jews); 28 Oktober 1938, 15,000 Yahudi kelahiran Polandia diusir ke Polandia; 7 November 1938, sebagai reaksi atas pengusiran Yahudi pada tanggal 28 Oktober, Herschel Grynszpan, seorang pelajar Yahudi-Polandia menembak Ernst vom Rath, sekretaris ketiga kedutaan besar Jerman di Paris; 9-10 November 1938, sebagai balasannya, Nazi memulai pembersihan orang Yahudi di Jerman dan Austria. Dalam satu malam, 267 sinagoga dan 7500 toko dihancurkan, serta 30,000 orang Yahudi dikirim ke kamp konsentrasi. Sejumlah 91 orang tewas dibunuh; 15 November 1938, anak-anak Yahudi dilarang bersekolah di sekolah Jerman; 3 Desember 1938, Nazi mengumumkan untuk membuang semua unsur Yahudi dari kehidupan ekonomi di Jerman.
Menjelang terjadinya perang dunia pada tahun 1939, serangan terhadap kaum Yahudi meningkat tajam bukan hanya di Jerman atau Austria tapi hampir di seluruh Eropa Tengah dan Selatan. Tahun sebelumnya Italia telah memberlakukan hukum anti-Yahudi. Pada tanggal 30 Januari 1939, Hitler mengeluarkan pernyataan akan mengeksekusi kaum Yahudi jika pecah perang. Oleh karena mulai ketakutan, banyak terjadi imigrasi ilegal kaum Yahudi ke Palestina; pada tanggal 3 Mei 1939, di bawah pengaruh Nazi, kaum Yahudi-Hungaria dilarang untuk menjadi hakim, pengacara, guru atau anggota parlemen di negeri itu. Lalu undang-undang anti-Semitisme yang membatasi aktivitas ekonomi Yahudi diberlakukan.
Perang akhirnya benar-benar pecah. Pada tanggal 1 September 1939 Jerman menginvasi Polandia. Satu bulan kemudian, seluruh Polandia berhasil dikuasai. Penaklukan Polandia menjadi episode penting dalam penanganan orang Yahudi. Di negeri itu terdapat lebih dari 2 juta orang Yahudi, yang kini tiba-tiba ada di tangan Jerman langsung. Mereka memang telah mencanangkan membebaskan Jerman dari Orang Yahudi, tapi kemudian penduduk Yahudi-nya bertambah sangat besar (4 kali lipat dari penduduk Yahudi-Jerman) saat Polandia jatuh ke tangan mereka. Kondisi tersebut menimbulkan persoalan besar. Mereka pun lantas menjadikan Polandia sebagai laboratorium penanganan kaum Yahudi. Kaum Yahudi diwajibkan mengenakan bintang kuning jika keluar rumah, demikian juga tempat usahanya harus diberi tanda serupa. Di banyak tempat, kepemilikan orang Yahudi diambil alih. Lebih dari 600 ribu orang dideportasi ke berbagai tempat untuk kerja paksa. Mereka yang menolak diancam dibunuh.
Penaklukan Polandia memicu Perang Dunia II karena Inggris dan Prancis mengumumkan perang terhadap Jerman. Oleh karena kekuatan militernya yang besar, dengan cepat Jerman berhasil menginvasi Denmark, Norwegia (9 April 1940), Belgia, Luksemburg, Belanda (10 Mei 1940), Prancis (17 Mei 1940), Yunani, Yugoslavia (6 April 1941), Kroasia (10 April1941), dan Uni Soviet (22 Juni 1941). Sebagian besar wilayah Eropa pun jatuh ke tangan Jerman. Kali ini Jerman mendapat tambahan banyak sekali orang Yahudi yang berada di wilayah taklukannya karena total sekitar 9 juta orang Yahudi ada di bawah wilayah Jerman.
Sesaat setelah memasuki Uni Soviet, skuad khusus bentukan Partai Nazi, Einsatzgruppen, ikut memasuki wilayah Uni Soviet dalam rangka misi pembersihan Yahudi di sana. Total antara satu sampai dua juta orang Yahudi di front selatan berhasil dibunuh dalam berbagai pembunuhan massal oleh skuad tersebut. Beberapa waktu kemudian, sekitar bulan Maret 1942, pembersihan kaum Yahudi di seantero Eropa mulai dijalankan secara penuh dengan dipimpin oleh divisi SS Jerman. Sebagian dibunuh langsung dan sebagian dibawa ke kamp-kamp kerja paksa atau kamp konsentrasi yang tersebar di banyak tempat. Oleh karena kurangnya makanan dan buruknya perawatan, serta kejamnya perlakuan, banyak yang meninggal di kamp-kamp seperti itu. Pada sebagian kamp konsentrasi, para tawanan yang merupakan kaum Yahudi dari seantero Eropa dibunuh dengan cara dimasukkan ke kamar gas. Dalam banyak kasus, mereka yang tiba di kamp konsentrasi langsung dimasukkan ke kamar-kamar gas. Sebagian di tembak secara massal. Korban di enam kamp konsentrasi utama adalah sekitar 2,000,000 di Auschwitz; 1,380,000 di Majdanek; 800,000 di Treblinka; 600,000 di Belzec; 340,000 di Chelmno; dan 250,000 di Sobibor. Memahami bahwa rakyat Jerman tidak akan bisa memahami tindakan kejam semacam itu, gerakan pembersihan kaum Yahudi dilakukan secara rahasia dan dilakukan dalam selubung perang.
Pada akhir perang di tahun 1945, diperkirakan 6 juta orang Yahudi di Eropa dilenyapkan, baik oleh rejim Nazi secara langsung maupun oleh aliansinya atau kolaboratornya di wilayah-wilayah pendudukan. Sentimen anti-Yahudi yang telah berlangsung selama berabad-abad di seantero Eropa mempermudah proses genosida tersebut. Pembunuhan kaum Yahudi paling brutal dilakukan di front selatan: Polandia, Balkan dan Uni Soviet. Sekitar 3/4 korban genosida merupakan kaum Yahudi dari wilayah tersebut. Tidak kurang dari 90% Yahudi di Polandia, Balkan, Jerman dan Austria lenyap; lebih dari 70% lenyap di Slovakia dan Yunani; dan lebih dari 50% lenyap di Rusia, Ukraina, Yugoslavia, serta Rumania. Satuan khusus SS yang memimpin pembersihan Yahudi memang memprioritaskan pembersihan di wilayah Eropa Selatan. Ketika mereka beralih ke wilayah Eropa Barat, perang keburu berakhir. Tapi meskipun demikian, tak kurang dari 40% kaum Yahudi di Eropa Barat telah berhasil dilenyapkan. Khusus di Belanda, sebanyak sekurang-kurangnya 70% kaum Yahudi-nya lenyap; lebih dari 50% juga lenyap dari Belgia dan Norwegia. Sedangkan di Prancis hanya 20%-nya yang terbunuh karena mereka tinggal di wilayah pedalaman dan mudah untuk melarikan diri ke Swiss atau Spanyol, yang merupakan negara netral. Kejadian di Denmark termasuk unik: komunitas Yahudi yang berjumlah kecil di sana dikapalkan ke Swedia yang saat itu tidak dikuasai Jerman karena orang-orang Denmark menentang anti-Semitisme Jerman. Kisah heroik juga banyak terjadi di Prancis dan Belanda, di mana banyak orang menanggung risiko dibunuh dengan menyembunyikan orang Yahudi. Dengan cara demikian, puluhan ribu orang Yahudi berhasil diselamatkan.
Peristiwa genosida kaum Yahudi di Eropa membawa dampak trauma yang panjang, pada kaum Yahudi, terutama di wilayah Eropa Selatan yang kuat anti-Semitisme-nya. Setelah perang usai, ratusan ribu pengungsi tidak bersedia kembali ke rumah mereka. Pada akhirnya mereka bermigrasi ke banyak negara. Sebagian besar menuju Palestina dan dalam jumlah yang cukup besar menuju Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada). Mereka yang menuju Palestina kemudian membantu terciptanya cita-cita kaum Zionis akan sebuah negara Yahudi sendiri, berupa pembentukan negara Israel pada tahun 1948. Kini, jumlah orang Yahudi terhitung cukup kecil di Eropa Selatan dan Timur. Sebagai contoh, sebelum genosida terdapat sekitar 3,300,000 orang Yahudi di Polandia. Tapi kini jumlahnya hanya sekitar 5000 orang. Mayoritas kaum Yahudi kini bermukim di Amerika Utara dan Israel. Dan tetap seperti era sebelumnya, sebagian besar dari kaum Yahudi merupakan kaum diaspora, yang menjadi minoritas di setiap negara yang ditempatinya. Hanya di Israel saja yang jumlah mereka mayoritas, mencakup 80% dari total populasi negara itu.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: a comprehensive introduction. New York: Routledge.
Christopher Browning. (2004). The Origins of the Final Solution: The evolution of Nazi Jewish policy, September 1939–March 1942. Lincoln: University of Nebraska Press
Dan Cohn-Sherbok. (2003). Judaism: History, belief and practice. London: Routledge.
Donald Bloxham. (2001). Genocide on Trial: War crimes trials and the formation of holocaust history and memory. New York: Oxford University Press.
Donald L. Niewyk. (2004). Holocaust: The Genocide of the Jews. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 127-159. New York: Routledge.
Karen Amstrong. (2006). Great Tansformation: The beginning of our religious tradition. New York: Alfred A. Knopf
Manus I. Midlarsky. (2005). The Killing Trap: Genocide in the twentieth century. Cambridge: Cambridge University Press.
Martha A. Morrison & Stephen F. Brown. (2009). Judaism, 4th ed. New York: Chelsea House.
Robert Gellately. (2003). The Third Reich, the Holocaust, and Visions of Serial Genocide. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 241-263. Cambridge: Cambridge University Press.
Steven Beller. (2007). Antisemitism: A very short introduction. New York: Oxford University Press.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
4.
GENOSIDA GIPSI
Waktu kejadian: 1942-1945.
Korban: Orang Gipsi di Eropa
Jumlah korban: 500,000
Pelaku: Pemerintah Nazi Jerman
Nazi merupakan pelaku genosida kaum Yahudi di Eropa, seperti yang telah dikupas di bab sebelumnya. Namun kaum Yahudi bukanlah satu-satunya korban Nazi. Kaum gipsi di Eropa juga turut menjadi korbannya. Ratusan ribu kaum gipsi dibunuh atau mati dalam kamp-kamp konsentrasi, sebagai konsekuensi dari ideologi rasial yang dianut kaum Nazi. Sebagaimana kaum Yahudi, mereka hendak dibersihkan dari Eropa. Siapakah gipsi?
Kaum Gipsi memiliki beragam sebutan, seperti Tsiganes, Zigeuner, Zingari, Gitanos, dan lainnya. Mereka sendiri menyebut kelompok mereka sebagai Romani, Romanis atau Roma. Mereka dikenal sebagai kaum nomadik yang berpindah-pindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lainnya, tanpa memiliki wilayah tempat tinggal menetap turun temurun. Dalam imajinasi banyak orang, mereka adalah para penari, pemain akrobat, dan pesulap yang memperagakan hiburan di sebuah tempat selama beberapa waktu, dan lantas pergi ke tempat lain untuk hal yang sama (seperti pasar malam yang selalu berpindah-pindah tempat). Salah satu imajinasi paling kuat tentang mereka adalah wanita peramal yang mengenakan anting besar, yang meramal menggunakan bola kristal. Dalam banyak buku-buku populer, gambaran tentang wanita peramal itu sering digunakan untuk menjelaskan kaum gipsi. Mereka dibayangkan sebagai orang yang bebas dari ikatan hukum dan bebas melakukan segala sesuatu seenaknya, sehingga ada ujar-ujar kalau ingin menjadi orang bebas sebebas-bebasnya, maka jadilah gipsi.
Sebelum abad ke 18, banyak imajinasi tentang asal-usul kaum Gipsi. Ada yang menganggap mereka berasal dari kerajaan kuno Nubia-Mesir, sebagian mengklaim mereka berasal dari negeri yang hilang Atlantis, bahkan ada yang beranggapan mereka berasal dari bulan. Padahal sedini tahun 950 M, sejarawan Hamza dari Esfahan telah menyebutkan bahwa kaum gipsi berasal dari India. Menurutnya, awal persebaran kaum Gipsi dimulai dengan masuknya mereka ke Persia (Iran sekarang) pada tahun 400 SM, ketika raja Persia, Bahram Gor, meminta dikirimkan 12,000 musisi pada raja India untuk menghibur tentaranya. Dengan demikian, maka artinya kaum Gipsi telah ada sekurang-kurangnya 2400 tahun yang lalu atau setidak-tidaknya telah ada pada tahun 950 M ketika Hamza menuliskan ceritanya tentang kelompok tersebut.
Setelah abad ke 18, diakui bahwa kaum Gipsi berasal dari India (tepatnya barat laut India). Awalnya mereka terdiri dari banyak kelompok etnik dengan beragam bahasa yang keluar dari India dalam beberapa gelombang setidaknya sejak abad ke 9 atau 10, menuju wilayah Persia, Armenia dan Turki. Apa yang membuat mereka menyebar ke berbagai penjuru wilayah di Asia Barat itu masih belum jelas. Sekitar abad ke 11, di wilayah Armenia (Anatolia Turki, saat ini) mereka melebur menjadi satu etnik dan membentuk satu bahasa, yang disebut bahasa romanis. Bahasa tersebut berlandaskan bahasa sanskrit (bahasa utama yang digunakan di India), yang bercampur dengan bahasa persia, kurdi, dan yunani. Mereka membentuk tradisi budaya sendiri yang unik, termasuk membuat tradisi hukum sendiri yang mengikat sesama orang gipsi. Komunitas mereka seperti sebuah negara di dalam negara. Setiap persoalan diselesaikan oleh hukum mereka sendiri, tanpa melibatkan negara tempat mereka sedang berada. Hanya jika ada kaitan dengan komunitas luar, barulah ada campur tangan negara.
Kaum gipsi piawai dalam membuat barang-barang kerajinan, barang-barang seni atau pecah belah. Mereka mencari nafkah dengan membuat barang-barang semacam itu dan menjualnya. Pada abad ke 14 seiring transisi dari ekonomi berbasis pertanian menuju ekonomi berbasis pasar di Eropa, mereka mulai bergerak ke wilayah itu. Awalnya, mereka menetap di wilayah Rumania saat ini guna memenuhi kebutuhan pasar di sana. Berbarengan dengan semakin kuatnya ekonomi pasar, maka peranan kaum Gipsi semakin tinggi dan sangat berharga. Dalam kondisi demikian, pihak penguasa di Eropa membuat peraturan yang mengizinkan memiliki orang gipsi sebagai harta sekaligus mencegahnya untuk pergi. Mereka menyebut kaum gipsi sebagai ‘sclavii’ atau budak, sehingga dimulailah perbudakan terhadap mereka di Eropa. Meskipun demikian, sebagian kaum gipsi bisa menghindari perbudakan dengan terus melakukan perjalanan ke berbagai wilayah sebagai kaum nomadik. Pada akhir abad ke 15, kaum gipsi telah menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Sekitar awal abad ke 16, mereka pun sudah masuk ke Kepulauan Britania, Inggris. Sejak era itu, mereka membentuk banyak komunitas yang tersebar di banyak wilayah, yang akhirnya membuat dialek romanis berlainan karena terpisah satu sama lain berabad-abad.
Dalam melakukan perjalanannya, kaum gipsi bergerak dalam keluarga besar yang terdiri dari beberapa puluh hingga beberapa ratus orang. Spesialisasi mata pencaharian mereka adalah membuat barang-barang kerajinan dan menyediakan jasa layanan. Mereka membuat aneka keranjang dan barang kerajinan sejenis, memperbaiki ketel/panci (tukang patri), menajamkan gunting/pisau, berdagang kuda, bermain musik, melatih binatang; wanitanya menari dan meramal nasib. Untuk menjual produk dan jasa-jasa, mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kaum Gipsi hidup secara eksklusif hanya bersama kelompok mereka saja, meskipun tidak menolak orang yang ingin bergabung bersama mereka. Oleh karena itu mereka selalu menjadi kelompok unik yang terpisah dari komunitas masyarakat lain di manapun mereka berada. Mereka sangat berdedikasi dalam menjalankan kehidupan spiritual sesuai dengan tradisinya, sehingga kerap dianggap sebagai para penyihir. Pengumuman terhadap publik bahwa mereka mampu melihat masa depan membuat mereka menjadi daya tarik sekaligus dicemaskan.
Meskipun berasal dari Asia, eksistensi mereka di abad pertengahan hanya eksklusif di negeri-negeri barat. Penampilan fisik mereka yang agak berbeda (berkulit agak gelap) karena keturunan Asia-nya dan bahasa mereka yang asing membuat mereka selalu dikategorikan sebagai kaum asing di manapun mereka tinggal. Kerajaan Ottoman Turki menganggap mereka sebagai kristiani karena kelahiran etnik tersebut di wilayah Kristen di Armenia, dan tersebar di wilayah-wilayah berbahasa Yunani yang Kristian. Sebaliknya, kaum Kristiani Eropa menganggap mereka muslim karena asal Asia-nya. Artinya, mereka tidak punya kawan di mana-mana. Hal tersebut membuat mereka selalu jadi sasaran kekerasan di berbagai tempat.
Selama berabad-abad di Eropa, kaum gipsi menjadi sasaran stereotip negatif, diskriminasi, pemaksaan asimilasi, penganiayaan dan kekerasan. Kehadiran mereka di sebuah wilayah kadang disambut hangat, tapi sering juga tidak diterima dengan baik. Berabad-abad mereka ditolak masuk toko, sekolah, dan gereja. Berabad-abad pula sebagian dari mereka berada di bawah perbudakan. Mereka dianggap pencuri, kriminal, penyebar wabah penyakit, dan penabur sial. Banyak catatan yang menuduh mereka sebagai para penyihir, pencuri anak-anak dan mata-mata. Mereka pun dikatakan sebagai orang yang kotor, tak bermoral, dan penipu. Tidak heran jika mereka sering ditolak untuk bermukim di sebuah tempat meskipun hanya sementara. Kondisi mereka yang tanpa negara juga semakin mengokohkan posisi mereka yang asing. Mereka sering ditasbihkan sebagai bukan manusia atau setengah manusia.
Sejarah kaum Gipsi adalah sejarah yang penuh kepiluan. Sedini tahun 1416, hukum anti-Gipsi telah dikeluarkan di Jerman, dan aturan peraturan terus dikeluarkan selama empat abad kemudian. Sekedar contoh, pada tahun 1498, mereka diusir dari semua wilayah yang berbahasa Jerman, oleh Kekaisaran Suci Roma. Setahun kemudian mereka dilenyapkan dari Spanyol atas perintah Gereja Katolik. Pada tahun 1504, mereka juga dikeluarkan dari Prancis. Hal tersebut lalu diikuti oleh banyak negara-negara lain di Eropa. Portugal mengapalkan mereka ke Angola, India dan Brasil; Spanyol, Inggris dan Skotlandia membawa mereka ke Amerika. Pada tahun 1568, Paus Pius V memerintahkan untuk mengusir semua orang gipsi dari wilayah yang di bawah pengaruh Gereja Suci Roma. Pada tahun 1721, Raja Charles VI memerintahkan pembunuhan terhadap semua Gipsi di Jerman. Setahun kemudian, Friedrich Wilhelm dari Prussia menghukum gantung semua orang yang terlahir sebagai gipsi di wilayahnya. Pada tahun 1776, Carl Theodor, penguasa Rhine, Jerman, memerintahkan penangkapan dan pengusiran semua gipsi di wilayahnya. Mereka yang kemudian berhasil ditemukan lagi langsung dibunuh di tempat. Di luar hal-hal di atas masih banyak lagi kasus-kasus kekejaman terhadap kaum Gipsi. Dicambuk, dipaksa kerja paksa, dibuang, diusir, dan digantung silih berganti menghampiri kaum Gipsi dari waktu ke waktu.
Guenter Lewy, dalam bukunya “The Nazi Persecutions of the Gypsies” menyebutkan kalau akar kebencian dan kemudian kekejaman terhadap kaum gipsi hanya didasarkan atas prasangka dan xenophobia (kebencian terhadap orang asing). Perbedaan kaum Gipsi sudah cukup membuat mereka mendapatkan masalah. Secara fisik, dan terutama gaya hidup, mereka memang berbeda dengan orang-orang Eropa. Kaum Gipsi adalah orang-orang nomadik yang berpindah-pindah dalam karavan, sehingga dikenal sebagai orang karavan. Mereka tidak pernah menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Beberapa peneliti mengonfirmasi beberapa perilaku negatif kaum Gipsi. Akan tetapi hal itu berakar dari diskriminasi dan kemiskinan. Salah satu diskriminasi yang cukup telak menghantam kaum gipsi adalah larangan atau sangat membatasi untuk ikut serta dalam bisnis barang kerajinan di sebuah wilayah, karena kecemburuan para pemilik rumah kerajinan lokal. Akibatnya, mereka kehilangan sumber utama penghasilan untuk hidup. Untuk bisa bertahan hidup, sebagian orang gipsi di wilayah-wilayah itu lantas melakukan pencurian, dan tergantung pada hal itu untuk memberi makan keluarganya. Perang juga semakin mempersulit posisi mereka. Tak bisa lain, beberapa gipsi membentuk kawanan perampok. Salah satu yang terkenal adalah yang dipimpin oleh Jakob Reinhardt, yang kemudian digantung tahun 1787 bersama tiga orang Gipsi lainnya.
Berabad-abad kekejaman pada kaum Gipsi membuat mereka mengembangkan strategi budaya yang khas. Mereka menyebut kaum non-Gipsi yang ada di wilayah sekitar karavan mereka sebagai Gadjo. Bagi mereka, berbohong pada gadjo merupakan sesuatu yang diterima sepenuhnya. Selama berabad-abad menghindari berbagai pertanyaan tentang mereka dari orang-orang yang curiga membuat mereka mengembangkan tradisi berbohong. Mereka mampu mengelakkan pertanyaan hampir otomatis begitu saja, sehingga Jan Yoors, seorang peneliti yang hidup bersama Gipsi bertahun-tahun lamanya, menyatakan kalau mereka mempraktekkan seni berkeliru nyaris tanpa kesadaran. Mereka menikmati membohongi gadjo, kebanyakan dengan alasan yang jelas, tapi terkadang hanya untuk bersenang-senang atau hanya untuk berlatih.”
Ada ujar-ujar dalam bahasa romanis, yakni ‘tshatshimo romani’ yang artinya kebenaran disampaikan dalam bahasa romanis. Hal itu menyiratkan maksud bahwa mereka hanya sepenuhnya menyampaikan kebenaran saat berbicara dengan bahasa romanis. Menurut Jan Yoors, kaum gadjo yang telah memaksa kaum Gipsi berbicara dalam bahasa romanis tersendiri, sebab mereka sering melakukan tindak kekerasan terhadap kaum Gipsi, dan akhirnya membuat kaum Gipsi berbohong. Bahasa romanis adalah pertahanan terakhir mereka dalam menghadapi gadjo, sesuai dengan ujar-ujar “Mashkar le gajende leski shib si le Romeski zor”, yang artinya “dikelilingi Gadjo, lidah romani adalah satu-satunya pertahanannya.” Kaum Gipsi merupakan ahlinya berbohong dan berpura-pura tak bersalah ketika ada pertanyaan dari para gadjo yang bisa menyebabkan kesan salah atau jelek pada kaum Gipsi. Tak mengherankan jika mereka memiliki beberapa nama yang digunakan secara berbeda-beda tergantung berhadapan dengan siapa. Banyaknya nama itu mencerminkan banyaknya masalah yang dihadapi kaum Gipsi dalam kehidupannya ketika berhubungan dengan para gadjo.
Keterampilan mencuri kaum Gipsi termasyur. Dalam budaya mereka, mencuri dari sesama Gipsi merupakan hal terlarang, tapi mencuri dari gadjo diperbolehkan, sebatas sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Masalahnya, kondisi hidup kaum Gipsi yang didiskriminasi oleh para gadjo seringkali tidak baik sehingga pencurian menjadi keahlian yang berkembang dalam komunitas Gipsi. Bagi kaum Gipsi, ketamakan dalam mencuri yang dinilai paling salah, bukan tindakan pencuriannya. Bagi mereka, alam raya adalah domain publik yang bisa dinikmati siapa saja. Mengambil kayu di hutan bukan persoalan sepanjang tidak mengambil akarnya. Menggembalakan kuda di malam hari di padang penggembalaan rumput milik orang juga bukan persoalan karena rumput akan kembali tumbuh. Manfri Wood, seorang gipsi Inggris mengungkapkan, “Ada tiga hal yang secara alamiah milik semua manusia, yang tak seorang pun bisa menyangkalnya jika seseorang mengambilnya: kayu yang rebah di tanah, burung dan binatang liar di hutan dan padang, serta ikan di air.” Manfri Wood memiliki anjing terlatih untuk berburu ayam. “Di manapun kami berada, dan apapun bagian dari negeri ini yang kami singgahi, kami selalu memiliki ayam untuk makan malam sepanjang anjing ini hidup.” Mengambil ayam dan angsa dari orang yang memiliki jauh lebih banyak dianggap bukan persoalan besar. Para wanita Gipsi dikenal kadang membawa tas khusus di balik roknya untuk menyembunyikan hasil curiannya. Berbagai tindakan kriminal yang kadang dilakukan oleh kaum Gipsi itu membuat mereka semakin dibebani prasangka dan menjadi sasaran kebencian, meskipun pelakunya hanya sedikit. Dengan sendirinya, hal itu meningkatkan diskriminasi dan kekejaman terhadap mereka.
Bagaimana dengan anggapan sebagai kaum yang kotor? Pada dasarnya mereka sangat ketat dengan aturan soal kebersihan. Meskipun di sekitar karavan mereka seringkali terlihat kotor di luar dan di kelilingi oleh berbagai rongsokan, tapi di dalam karavan sendiri sangat bersih. Mereka memiliki tempat cucian berbeda antara tempat untuk mencuci pakaian dan tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga. Bagi mereka, kekotoran boleh terlihat sepanjang cukup jauh dari yang bersih. Feses di sekeliling karavan juga bisa dimaklumi meskipun harus sejauh mungkin dari makanan. Justru kloset di dalam karavan yang jarang ada atau kalau ada cenderung tidak digunakan karena dianggap terlalu dekat dengan makanan. Pada intinya, mereka bukanlah kaum yang berkotor ria seperti yang banyak dituduhkan.
Apakah mereka pencuri anak-anak? Tidak ada bukti tentang hal tersebut. Mereka juga bukan penyihir. Tuduhan-tuduhan tentang itu semata-mata berdasarkan prasangka. Anggapan bahwa mereka pelaku seks bebas juga tidak benar, karena mereka cukup ketat dalam perilaku seksual. Mereka pun bukan orang yang kejam. Alih-alih brutal, mereka adalah pencinta keluarga, baik hati dan penuh persahabatan. Gambaran romantis banyak orang tentang keterbukaan dan kebaikan hati mereka terhadap orang asing cukup tepat.
Seiring dengan berkembangnya era industrialisasi di abad ke 19, kaum gipsi terpaksa mulai meninggalkan pola perdagangan lama mereka dan mulai lebih bergantung pada ekonomi lokal dan banyak mengalami pemiskinan. Mereka mulai berdagang lebih menetap dan mengurangi jumlah perjalanan. Akan tetapi sedapat mungkin mereka tetap menolak menjadi pekerja upahan. Pada saat yang sama, di Jerman muncul kaum Jenische, yang melakukan kehidupan nomadik seperti kaum Gipsi, tapi merupakan kulit putih. Asal-usul mereka tidak diketahui. Mereka kemudian dianggap seperti Gipsi. Sekitar waktu yang sama, kaum Gipsi yang ada di Rumania dan Hungaria mulai bergerak masuk ke Jerman karena tertarik dengan kemakmuran di wilayah Jerman. Mereka yang baru datang dari Balkan disebut sebagai Rom, sedangkan kaum Gipsi yang telah hidup di wilayah Jerman berabad-abad disebut sebagai Sinti. Bahasa romanis keduanya telah sedikit berbeda karena telah terpisah selama beberapa abad.
Menjelang abad 20 dan memasuki abad 20, kondisi kaum Gipsi menjadi sulit karena terbentuk sistem negara modern di Eropa. Mereka tidak lagi leluasa berpindah-pindah karena perbatasan mulai diperketat. Kaum Gipsi yang hidup di Jerman kemudian diakui sebagai warga negera Jerman. Akan tetapi mereka tetap menjadi sasaran diskriminasi. Pada tahun 1920-an, Republik Weimar Jerman (dibawahnya ada negara bagian Baden, Bavaria, Bremen, Hesse dan Prusia), mengeluarkan undang-undang yang memperkuat diskriminasi terhadap kaum Gipsi, dan membangun stereotip resmi yang mendefinisikan mereka sebagai asosial, gelandangan, kriminal, dan inferior secara ras. Kaum Gipsi mulai dipaksa untuk mengubah gaya hidup berpindah dalam karavan yang telah dilakukan kaum Gipsi selama lebih dari seribu tahun. Pada akhir era Republik Weimar, penangkapan dan pemenjaraan kaum Gipsi mulai rutin dilakukan, dengan asumsi untuk mencegah kriminalitas. Pada tahun 1929, kepolisian nasional Jerman mendirikan Pusat Perlawanan Menghadapi Gipsi di Jerman (Zentralstelle zur Bekämpfung des Zigeunerunwesens), yang berpusat di kota Munich.
Ketika Pemerintahan Partai Nazi di bawah Adolf Hitler mengambil alih kekuasaan di Jerman tahun 1933, tidak ada kebijakan khusus terhadap kaum Gipsi. Mereka hanya meneruskan kebijakan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jika ada penahanan atau eksekusi terhadap mereka, itu semata-mata didasarkan atas dasar pencegahan kriminalitas, bukan berdasarkan status mereka sebagai Gipsi. Mereka kurang menarik minat petinggi Nazi. Jumlah mereka di Jerman sangat marginal, hanya 0,05% dari total populasi Jerman pada tahun 1933, atau sekitar 26,000 orang. Mereka pun berada dalam posisi sosial ekonomi terendah dalam masyarakat Jerman.
Kewarganegaraan Jerman yang dinikmati kaum Gipsi tidak berlangsung lama. Pada pertengahan Juli 1933, mereka dianggap sebagai kaum asing dan harus dikeluarkan dari Jerman. Pada tahun 1935, muncul undang-undang rasial yang menggolongkan mereka sebagai darah asing, bersama orang kulit hitam dan orang Yahudi. Mereka digolongkan sama dengan para pelacur, pencuri, perampok, dan pelaku kriminalitas lainnya. Secara resmi, pernikahan dengan mereka di larang. Tahun berikutnya, muncul memorandum dari Sekretaris Negara untuk menyiapkan sebuah undang-undang khusus untuk Gipsi. Rekomendasi di dalamnya termasuk mengusir Gipsi asing dan yang tak berwarga negara, pembatasan kebebasan berpindah, keharusan adanya izin untuk perdagangan keliling, pendaftaran seluruh Gipsi di Jerman, pembersihan gipsi campuran dengan gipsi asli, peningkatan penjagaan polisi, hingga pembuatan tempat reservasi khusus untuk Gipsi.
Antara tahun 1933 hingga 1939 dibangun banyak kamp untuk kaum Gipsi, sebagai salah satu upaya menghapuskan gaya hidup karavan mereka sekaligus untuk menekan kriminalitas. Berbagai kamp di bangun di Cologne, Düsseldorf, Essen, Frankfurt, Hamburg dan di kota-kota Jerman lainnya. Banyak kaum Gipsi dimasukkan ke kamp-kamp itu. Di sana mereka menjalani kehidupan kamp yang keras. Izin berdagang mereka dicabut dan mereka dipaksa melakukan kerja paksa. Seiring dengan terjadinya Perang Dunia II, kebijakan terhadap kaum Gipsi semakin keras. Akan tetapi sampai tahun 1940, belum ada upaya besar-besaran untuk melenyapkan kaum Gipsi. Baru kemudian ketika Heinrich Himmler, orang kedua Nazi, memutuskan untuk menangkapi orang Gipsi karena keanggotaannya sebagai kaum Gipsi, eksekusi terhadap mereka mulai dilakukan. Mereka diputuskan dimasukkan ke kamp konsentrasi sebagai bagian dari ideologi keunggulan ras Arya karena Gipsi tergolong sebagai ras asing, meskipun 90% dari kaum Gipsi di Jerman sudah berdarah campuran.
Tahun 1940-an menjadi tahun bencana terbesar bagi kaum gipsi. Dimulai pada tahun 1941, penangkapan kaum Gipsi secara besar-besaran dilakukan di Jerman maupun di seantero Eropa yang diduduki Jerman (mulai dari Uni Soviet, Rumania, Hungaria, Prancis, hingga Belanda). Ribuan orang Gipsi di berbagai negara ditangkap dan di bawa ke berbagai kamp konsentrasi. Mereka yang sudah ada di kamp Gipsi dan selamat, juga dibawa ke kamp konsentrasi. Biasanya mereka dipersilakan untuk berkelompok bersama keluarga besarnya. Akan tetapi, karena kurangnya makanan dan kejamnya perlakuan, dan buruknya layanan kesehatan, banyak dari mereka yang tewas. Sebagian mengalami nasib dibunuh langsung.
Holocaust kaum Gipsi (disebut porajmos dalam bahasa romanis) selama Perang Dunia II melenyapkan komunitas kaum Gipsi di wilayah-wilayah Jerman dan pendudukannya. Sulit untuk memperkirakan jumlah kematian yang diderita. Sebuah perkiraan menyebut angka sekitar 500,000 sebagai jumlah total kaum Gipsi yang meninggal di seluruh Eropa selama Nazi Jerman berkuasa. Akan tetapi angka tersebut masih menjadi perdebatan. Sebagian kalangan menganggap angka itu terlalu kecil, dan menaksir hingga 750,000 hingga 1,5 juta korban. Tapi sebagian kalangan justru menilai hanya sekitar 219,000 korban karena diperkirakan jumlah kaum Gipsi tidak sampai 1 juta. Secara resmi, Pemerintah Federal Jerman mengakui angka 500,000. Diperkirakan antara 20-50% kaum Gipsi di wilayah pendudukan Jerman lenyap.
Tidak seperti kaum Yahudi yang memiliki banyak cendekiawan sehingga proses holocaust tercatat baik, dan banyak melakukan studi terhadap fenomena tersebut sesudah perang, nyaris tidak ada studi khusus tentang holocaust oleh kaum Gipsi. Langkanya cendekiawan kaum Gipsi mungkin salah satu penyebabnya. Baru 40 tahun sesudah kejadian itu, studi-studi tentang kejadian tersebut dilakukan. Hal ini menyebabkan berbagai data penting telah hilang. Pengadilan terhadap penjahat perang karena genosida terhadap kaum Gipsi pun tidak dilakukan.
Pada awal tahun 2000-an, jumlah kaum Gipsi di seluruh dunia diperkirakan antara 9-12 juta jiwa. Mayoritas dari mereka berada di wilayah Eropa Tengah dan Eropa Timur, serta sepertiganya tinggal di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Sebagian tetap mempertahankan kehidupan nomadik. Akan tetapi sebagian telah mulai menerapkan kehidupan menetap, atau setidak-tidaknya menetap cukup lama di sebuah wilayah. Apabila sebelumnya karavan mereka ditarik kuda, kini karavan mereka kebanyakan berupa rumah mobil, terutama di kawasan Amerika Utara. Pada beberapa dekade belakangan banyak orang yang mengikuti gaya hidup nomadik kaum Gipsi, terutama di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Apakah mereka kelak akan membentuk entitas baru seperti kaum Gipsi seribu tahun lalu? Yang jelas, pembatasan kunjungan serta pembatasan lama tinggal di sebuah negara yang saat ini terjadi di seluruh negara akan menyulitkan kaum nomadik modern ala Gipsi bergerak bebas seperti kaum Gipsi di masa lalu.
Kaum Gipsi memiliki beragam sebutan, seperti Tsiganes, Zigeuner, Zingari, Gitanos, dan lainnya. Mereka sendiri menyebut kelompok mereka sebagai Romani, Romanis atau Roma. Mereka dikenal sebagai kaum nomadik yang berpindah-pindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lainnya, tanpa memiliki wilayah tempat tinggal menetap turun temurun. Dalam imajinasi banyak orang, mereka adalah para penari, pemain akrobat, dan pesulap yang memperagakan hiburan di sebuah tempat selama beberapa waktu, dan lantas pergi ke tempat lain untuk hal yang sama (seperti pasar malam yang selalu berpindah-pindah tempat). Salah satu imajinasi paling kuat tentang mereka adalah wanita peramal yang mengenakan anting besar, yang meramal menggunakan bola kristal. Dalam banyak buku-buku populer, gambaran tentang wanita peramal itu sering digunakan untuk menjelaskan kaum gipsi. Mereka dibayangkan sebagai orang yang bebas dari ikatan hukum dan bebas melakukan segala sesuatu seenaknya, sehingga ada ujar-ujar kalau ingin menjadi orang bebas sebebas-bebasnya, maka jadilah gipsi.
Sebelum abad ke 18, banyak imajinasi tentang asal-usul kaum Gipsi. Ada yang menganggap mereka berasal dari kerajaan kuno Nubia-Mesir, sebagian mengklaim mereka berasal dari negeri yang hilang Atlantis, bahkan ada yang beranggapan mereka berasal dari bulan. Padahal sedini tahun 950 M, sejarawan Hamza dari Esfahan telah menyebutkan bahwa kaum gipsi berasal dari India. Menurutnya, awal persebaran kaum Gipsi dimulai dengan masuknya mereka ke Persia (Iran sekarang) pada tahun 400 SM, ketika raja Persia, Bahram Gor, meminta dikirimkan 12,000 musisi pada raja India untuk menghibur tentaranya. Dengan demikian, maka artinya kaum Gipsi telah ada sekurang-kurangnya 2400 tahun yang lalu atau setidak-tidaknya telah ada pada tahun 950 M ketika Hamza menuliskan ceritanya tentang kelompok tersebut.
Setelah abad ke 18, diakui bahwa kaum Gipsi berasal dari India (tepatnya barat laut India). Awalnya mereka terdiri dari banyak kelompok etnik dengan beragam bahasa yang keluar dari India dalam beberapa gelombang setidaknya sejak abad ke 9 atau 10, menuju wilayah Persia, Armenia dan Turki. Apa yang membuat mereka menyebar ke berbagai penjuru wilayah di Asia Barat itu masih belum jelas. Sekitar abad ke 11, di wilayah Armenia (Anatolia Turki, saat ini) mereka melebur menjadi satu etnik dan membentuk satu bahasa, yang disebut bahasa romanis. Bahasa tersebut berlandaskan bahasa sanskrit (bahasa utama yang digunakan di India), yang bercampur dengan bahasa persia, kurdi, dan yunani. Mereka membentuk tradisi budaya sendiri yang unik, termasuk membuat tradisi hukum sendiri yang mengikat sesama orang gipsi. Komunitas mereka seperti sebuah negara di dalam negara. Setiap persoalan diselesaikan oleh hukum mereka sendiri, tanpa melibatkan negara tempat mereka sedang berada. Hanya jika ada kaitan dengan komunitas luar, barulah ada campur tangan negara.
Kaum gipsi piawai dalam membuat barang-barang kerajinan, barang-barang seni atau pecah belah. Mereka mencari nafkah dengan membuat barang-barang semacam itu dan menjualnya. Pada abad ke 14 seiring transisi dari ekonomi berbasis pertanian menuju ekonomi berbasis pasar di Eropa, mereka mulai bergerak ke wilayah itu. Awalnya, mereka menetap di wilayah Rumania saat ini guna memenuhi kebutuhan pasar di sana. Berbarengan dengan semakin kuatnya ekonomi pasar, maka peranan kaum Gipsi semakin tinggi dan sangat berharga. Dalam kondisi demikian, pihak penguasa di Eropa membuat peraturan yang mengizinkan memiliki orang gipsi sebagai harta sekaligus mencegahnya untuk pergi. Mereka menyebut kaum gipsi sebagai ‘sclavii’ atau budak, sehingga dimulailah perbudakan terhadap mereka di Eropa. Meskipun demikian, sebagian kaum gipsi bisa menghindari perbudakan dengan terus melakukan perjalanan ke berbagai wilayah sebagai kaum nomadik. Pada akhir abad ke 15, kaum gipsi telah menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Sekitar awal abad ke 16, mereka pun sudah masuk ke Kepulauan Britania, Inggris. Sejak era itu, mereka membentuk banyak komunitas yang tersebar di banyak wilayah, yang akhirnya membuat dialek romanis berlainan karena terpisah satu sama lain berabad-abad.
Dalam melakukan perjalanannya, kaum gipsi bergerak dalam keluarga besar yang terdiri dari beberapa puluh hingga beberapa ratus orang. Spesialisasi mata pencaharian mereka adalah membuat barang-barang kerajinan dan menyediakan jasa layanan. Mereka membuat aneka keranjang dan barang kerajinan sejenis, memperbaiki ketel/panci (tukang patri), menajamkan gunting/pisau, berdagang kuda, bermain musik, melatih binatang; wanitanya menari dan meramal nasib. Untuk menjual produk dan jasa-jasa, mereka terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Kaum Gipsi hidup secara eksklusif hanya bersama kelompok mereka saja, meskipun tidak menolak orang yang ingin bergabung bersama mereka. Oleh karena itu mereka selalu menjadi kelompok unik yang terpisah dari komunitas masyarakat lain di manapun mereka berada. Mereka sangat berdedikasi dalam menjalankan kehidupan spiritual sesuai dengan tradisinya, sehingga kerap dianggap sebagai para penyihir. Pengumuman terhadap publik bahwa mereka mampu melihat masa depan membuat mereka menjadi daya tarik sekaligus dicemaskan.
Meskipun berasal dari Asia, eksistensi mereka di abad pertengahan hanya eksklusif di negeri-negeri barat. Penampilan fisik mereka yang agak berbeda (berkulit agak gelap) karena keturunan Asia-nya dan bahasa mereka yang asing membuat mereka selalu dikategorikan sebagai kaum asing di manapun mereka tinggal. Kerajaan Ottoman Turki menganggap mereka sebagai kristiani karena kelahiran etnik tersebut di wilayah Kristen di Armenia, dan tersebar di wilayah-wilayah berbahasa Yunani yang Kristian. Sebaliknya, kaum Kristiani Eropa menganggap mereka muslim karena asal Asia-nya. Artinya, mereka tidak punya kawan di mana-mana. Hal tersebut membuat mereka selalu jadi sasaran kekerasan di berbagai tempat.
Selama berabad-abad di Eropa, kaum gipsi menjadi sasaran stereotip negatif, diskriminasi, pemaksaan asimilasi, penganiayaan dan kekerasan. Kehadiran mereka di sebuah wilayah kadang disambut hangat, tapi sering juga tidak diterima dengan baik. Berabad-abad mereka ditolak masuk toko, sekolah, dan gereja. Berabad-abad pula sebagian dari mereka berada di bawah perbudakan. Mereka dianggap pencuri, kriminal, penyebar wabah penyakit, dan penabur sial. Banyak catatan yang menuduh mereka sebagai para penyihir, pencuri anak-anak dan mata-mata. Mereka pun dikatakan sebagai orang yang kotor, tak bermoral, dan penipu. Tidak heran jika mereka sering ditolak untuk bermukim di sebuah tempat meskipun hanya sementara. Kondisi mereka yang tanpa negara juga semakin mengokohkan posisi mereka yang asing. Mereka sering ditasbihkan sebagai bukan manusia atau setengah manusia.
Sejarah kaum Gipsi adalah sejarah yang penuh kepiluan. Sedini tahun 1416, hukum anti-Gipsi telah dikeluarkan di Jerman, dan aturan peraturan terus dikeluarkan selama empat abad kemudian. Sekedar contoh, pada tahun 1498, mereka diusir dari semua wilayah yang berbahasa Jerman, oleh Kekaisaran Suci Roma. Setahun kemudian mereka dilenyapkan dari Spanyol atas perintah Gereja Katolik. Pada tahun 1504, mereka juga dikeluarkan dari Prancis. Hal tersebut lalu diikuti oleh banyak negara-negara lain di Eropa. Portugal mengapalkan mereka ke Angola, India dan Brasil; Spanyol, Inggris dan Skotlandia membawa mereka ke Amerika. Pada tahun 1568, Paus Pius V memerintahkan untuk mengusir semua orang gipsi dari wilayah yang di bawah pengaruh Gereja Suci Roma. Pada tahun 1721, Raja Charles VI memerintahkan pembunuhan terhadap semua Gipsi di Jerman. Setahun kemudian, Friedrich Wilhelm dari Prussia menghukum gantung semua orang yang terlahir sebagai gipsi di wilayahnya. Pada tahun 1776, Carl Theodor, penguasa Rhine, Jerman, memerintahkan penangkapan dan pengusiran semua gipsi di wilayahnya. Mereka yang kemudian berhasil ditemukan lagi langsung dibunuh di tempat. Di luar hal-hal di atas masih banyak lagi kasus-kasus kekejaman terhadap kaum Gipsi. Dicambuk, dipaksa kerja paksa, dibuang, diusir, dan digantung silih berganti menghampiri kaum Gipsi dari waktu ke waktu.
Guenter Lewy, dalam bukunya “The Nazi Persecutions of the Gypsies” menyebutkan kalau akar kebencian dan kemudian kekejaman terhadap kaum gipsi hanya didasarkan atas prasangka dan xenophobia (kebencian terhadap orang asing). Perbedaan kaum Gipsi sudah cukup membuat mereka mendapatkan masalah. Secara fisik, dan terutama gaya hidup, mereka memang berbeda dengan orang-orang Eropa. Kaum Gipsi adalah orang-orang nomadik yang berpindah-pindah dalam karavan, sehingga dikenal sebagai orang karavan. Mereka tidak pernah menetap di suatu tempat dalam jangka waktu yang cukup lama.
Beberapa peneliti mengonfirmasi beberapa perilaku negatif kaum Gipsi. Akan tetapi hal itu berakar dari diskriminasi dan kemiskinan. Salah satu diskriminasi yang cukup telak menghantam kaum gipsi adalah larangan atau sangat membatasi untuk ikut serta dalam bisnis barang kerajinan di sebuah wilayah, karena kecemburuan para pemilik rumah kerajinan lokal. Akibatnya, mereka kehilangan sumber utama penghasilan untuk hidup. Untuk bisa bertahan hidup, sebagian orang gipsi di wilayah-wilayah itu lantas melakukan pencurian, dan tergantung pada hal itu untuk memberi makan keluarganya. Perang juga semakin mempersulit posisi mereka. Tak bisa lain, beberapa gipsi membentuk kawanan perampok. Salah satu yang terkenal adalah yang dipimpin oleh Jakob Reinhardt, yang kemudian digantung tahun 1787 bersama tiga orang Gipsi lainnya.
Berabad-abad kekejaman pada kaum Gipsi membuat mereka mengembangkan strategi budaya yang khas. Mereka menyebut kaum non-Gipsi yang ada di wilayah sekitar karavan mereka sebagai Gadjo. Bagi mereka, berbohong pada gadjo merupakan sesuatu yang diterima sepenuhnya. Selama berabad-abad menghindari berbagai pertanyaan tentang mereka dari orang-orang yang curiga membuat mereka mengembangkan tradisi berbohong. Mereka mampu mengelakkan pertanyaan hampir otomatis begitu saja, sehingga Jan Yoors, seorang peneliti yang hidup bersama Gipsi bertahun-tahun lamanya, menyatakan kalau mereka mempraktekkan seni berkeliru nyaris tanpa kesadaran. Mereka menikmati membohongi gadjo, kebanyakan dengan alasan yang jelas, tapi terkadang hanya untuk bersenang-senang atau hanya untuk berlatih.”
Ada ujar-ujar dalam bahasa romanis, yakni ‘tshatshimo romani’ yang artinya kebenaran disampaikan dalam bahasa romanis. Hal itu menyiratkan maksud bahwa mereka hanya sepenuhnya menyampaikan kebenaran saat berbicara dengan bahasa romanis. Menurut Jan Yoors, kaum gadjo yang telah memaksa kaum Gipsi berbicara dalam bahasa romanis tersendiri, sebab mereka sering melakukan tindak kekerasan terhadap kaum Gipsi, dan akhirnya membuat kaum Gipsi berbohong. Bahasa romanis adalah pertahanan terakhir mereka dalam menghadapi gadjo, sesuai dengan ujar-ujar “Mashkar le gajende leski shib si le Romeski zor”, yang artinya “dikelilingi Gadjo, lidah romani adalah satu-satunya pertahanannya.” Kaum Gipsi merupakan ahlinya berbohong dan berpura-pura tak bersalah ketika ada pertanyaan dari para gadjo yang bisa menyebabkan kesan salah atau jelek pada kaum Gipsi. Tak mengherankan jika mereka memiliki beberapa nama yang digunakan secara berbeda-beda tergantung berhadapan dengan siapa. Banyaknya nama itu mencerminkan banyaknya masalah yang dihadapi kaum Gipsi dalam kehidupannya ketika berhubungan dengan para gadjo.
Keterampilan mencuri kaum Gipsi termasyur. Dalam budaya mereka, mencuri dari sesama Gipsi merupakan hal terlarang, tapi mencuri dari gadjo diperbolehkan, sebatas sekedar untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Masalahnya, kondisi hidup kaum Gipsi yang didiskriminasi oleh para gadjo seringkali tidak baik sehingga pencurian menjadi keahlian yang berkembang dalam komunitas Gipsi. Bagi kaum Gipsi, ketamakan dalam mencuri yang dinilai paling salah, bukan tindakan pencuriannya. Bagi mereka, alam raya adalah domain publik yang bisa dinikmati siapa saja. Mengambil kayu di hutan bukan persoalan sepanjang tidak mengambil akarnya. Menggembalakan kuda di malam hari di padang penggembalaan rumput milik orang juga bukan persoalan karena rumput akan kembali tumbuh. Manfri Wood, seorang gipsi Inggris mengungkapkan, “Ada tiga hal yang secara alamiah milik semua manusia, yang tak seorang pun bisa menyangkalnya jika seseorang mengambilnya: kayu yang rebah di tanah, burung dan binatang liar di hutan dan padang, serta ikan di air.” Manfri Wood memiliki anjing terlatih untuk berburu ayam. “Di manapun kami berada, dan apapun bagian dari negeri ini yang kami singgahi, kami selalu memiliki ayam untuk makan malam sepanjang anjing ini hidup.” Mengambil ayam dan angsa dari orang yang memiliki jauh lebih banyak dianggap bukan persoalan besar. Para wanita Gipsi dikenal kadang membawa tas khusus di balik roknya untuk menyembunyikan hasil curiannya. Berbagai tindakan kriminal yang kadang dilakukan oleh kaum Gipsi itu membuat mereka semakin dibebani prasangka dan menjadi sasaran kebencian, meskipun pelakunya hanya sedikit. Dengan sendirinya, hal itu meningkatkan diskriminasi dan kekejaman terhadap mereka.
Bagaimana dengan anggapan sebagai kaum yang kotor? Pada dasarnya mereka sangat ketat dengan aturan soal kebersihan. Meskipun di sekitar karavan mereka seringkali terlihat kotor di luar dan di kelilingi oleh berbagai rongsokan, tapi di dalam karavan sendiri sangat bersih. Mereka memiliki tempat cucian berbeda antara tempat untuk mencuci pakaian dan tempat untuk mencuci peralatan rumah tangga. Bagi mereka, kekotoran boleh terlihat sepanjang cukup jauh dari yang bersih. Feses di sekeliling karavan juga bisa dimaklumi meskipun harus sejauh mungkin dari makanan. Justru kloset di dalam karavan yang jarang ada atau kalau ada cenderung tidak digunakan karena dianggap terlalu dekat dengan makanan. Pada intinya, mereka bukanlah kaum yang berkotor ria seperti yang banyak dituduhkan.
Apakah mereka pencuri anak-anak? Tidak ada bukti tentang hal tersebut. Mereka juga bukan penyihir. Tuduhan-tuduhan tentang itu semata-mata berdasarkan prasangka. Anggapan bahwa mereka pelaku seks bebas juga tidak benar, karena mereka cukup ketat dalam perilaku seksual. Mereka pun bukan orang yang kejam. Alih-alih brutal, mereka adalah pencinta keluarga, baik hati dan penuh persahabatan. Gambaran romantis banyak orang tentang keterbukaan dan kebaikan hati mereka terhadap orang asing cukup tepat.
Seiring dengan berkembangnya era industrialisasi di abad ke 19, kaum gipsi terpaksa mulai meninggalkan pola perdagangan lama mereka dan mulai lebih bergantung pada ekonomi lokal dan banyak mengalami pemiskinan. Mereka mulai berdagang lebih menetap dan mengurangi jumlah perjalanan. Akan tetapi sedapat mungkin mereka tetap menolak menjadi pekerja upahan. Pada saat yang sama, di Jerman muncul kaum Jenische, yang melakukan kehidupan nomadik seperti kaum Gipsi, tapi merupakan kulit putih. Asal-usul mereka tidak diketahui. Mereka kemudian dianggap seperti Gipsi. Sekitar waktu yang sama, kaum Gipsi yang ada di Rumania dan Hungaria mulai bergerak masuk ke Jerman karena tertarik dengan kemakmuran di wilayah Jerman. Mereka yang baru datang dari Balkan disebut sebagai Rom, sedangkan kaum Gipsi yang telah hidup di wilayah Jerman berabad-abad disebut sebagai Sinti. Bahasa romanis keduanya telah sedikit berbeda karena telah terpisah selama beberapa abad.
Menjelang abad 20 dan memasuki abad 20, kondisi kaum Gipsi menjadi sulit karena terbentuk sistem negara modern di Eropa. Mereka tidak lagi leluasa berpindah-pindah karena perbatasan mulai diperketat. Kaum Gipsi yang hidup di Jerman kemudian diakui sebagai warga negera Jerman. Akan tetapi mereka tetap menjadi sasaran diskriminasi. Pada tahun 1920-an, Republik Weimar Jerman (dibawahnya ada negara bagian Baden, Bavaria, Bremen, Hesse dan Prusia), mengeluarkan undang-undang yang memperkuat diskriminasi terhadap kaum Gipsi, dan membangun stereotip resmi yang mendefinisikan mereka sebagai asosial, gelandangan, kriminal, dan inferior secara ras. Kaum Gipsi mulai dipaksa untuk mengubah gaya hidup berpindah dalam karavan yang telah dilakukan kaum Gipsi selama lebih dari seribu tahun. Pada akhir era Republik Weimar, penangkapan dan pemenjaraan kaum Gipsi mulai rutin dilakukan, dengan asumsi untuk mencegah kriminalitas. Pada tahun 1929, kepolisian nasional Jerman mendirikan Pusat Perlawanan Menghadapi Gipsi di Jerman (Zentralstelle zur Bekämpfung des Zigeunerunwesens), yang berpusat di kota Munich.
Ketika Pemerintahan Partai Nazi di bawah Adolf Hitler mengambil alih kekuasaan di Jerman tahun 1933, tidak ada kebijakan khusus terhadap kaum Gipsi. Mereka hanya meneruskan kebijakan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Jika ada penahanan atau eksekusi terhadap mereka, itu semata-mata didasarkan atas dasar pencegahan kriminalitas, bukan berdasarkan status mereka sebagai Gipsi. Mereka kurang menarik minat petinggi Nazi. Jumlah mereka di Jerman sangat marginal, hanya 0,05% dari total populasi Jerman pada tahun 1933, atau sekitar 26,000 orang. Mereka pun berada dalam posisi sosial ekonomi terendah dalam masyarakat Jerman.
Kewarganegaraan Jerman yang dinikmati kaum Gipsi tidak berlangsung lama. Pada pertengahan Juli 1933, mereka dianggap sebagai kaum asing dan harus dikeluarkan dari Jerman. Pada tahun 1935, muncul undang-undang rasial yang menggolongkan mereka sebagai darah asing, bersama orang kulit hitam dan orang Yahudi. Mereka digolongkan sama dengan para pelacur, pencuri, perampok, dan pelaku kriminalitas lainnya. Secara resmi, pernikahan dengan mereka di larang. Tahun berikutnya, muncul memorandum dari Sekretaris Negara untuk menyiapkan sebuah undang-undang khusus untuk Gipsi. Rekomendasi di dalamnya termasuk mengusir Gipsi asing dan yang tak berwarga negara, pembatasan kebebasan berpindah, keharusan adanya izin untuk perdagangan keliling, pendaftaran seluruh Gipsi di Jerman, pembersihan gipsi campuran dengan gipsi asli, peningkatan penjagaan polisi, hingga pembuatan tempat reservasi khusus untuk Gipsi.
Antara tahun 1933 hingga 1939 dibangun banyak kamp untuk kaum Gipsi, sebagai salah satu upaya menghapuskan gaya hidup karavan mereka sekaligus untuk menekan kriminalitas. Berbagai kamp di bangun di Cologne, Düsseldorf, Essen, Frankfurt, Hamburg dan di kota-kota Jerman lainnya. Banyak kaum Gipsi dimasukkan ke kamp-kamp itu. Di sana mereka menjalani kehidupan kamp yang keras. Izin berdagang mereka dicabut dan mereka dipaksa melakukan kerja paksa. Seiring dengan terjadinya Perang Dunia II, kebijakan terhadap kaum Gipsi semakin keras. Akan tetapi sampai tahun 1940, belum ada upaya besar-besaran untuk melenyapkan kaum Gipsi. Baru kemudian ketika Heinrich Himmler, orang kedua Nazi, memutuskan untuk menangkapi orang Gipsi karena keanggotaannya sebagai kaum Gipsi, eksekusi terhadap mereka mulai dilakukan. Mereka diputuskan dimasukkan ke kamp konsentrasi sebagai bagian dari ideologi keunggulan ras Arya karena Gipsi tergolong sebagai ras asing, meskipun 90% dari kaum Gipsi di Jerman sudah berdarah campuran.
Tahun 1940-an menjadi tahun bencana terbesar bagi kaum gipsi. Dimulai pada tahun 1941, penangkapan kaum Gipsi secara besar-besaran dilakukan di Jerman maupun di seantero Eropa yang diduduki Jerman (mulai dari Uni Soviet, Rumania, Hungaria, Prancis, hingga Belanda). Ribuan orang Gipsi di berbagai negara ditangkap dan di bawa ke berbagai kamp konsentrasi. Mereka yang sudah ada di kamp Gipsi dan selamat, juga dibawa ke kamp konsentrasi. Biasanya mereka dipersilakan untuk berkelompok bersama keluarga besarnya. Akan tetapi, karena kurangnya makanan dan kejamnya perlakuan, dan buruknya layanan kesehatan, banyak dari mereka yang tewas. Sebagian mengalami nasib dibunuh langsung.
Holocaust kaum Gipsi (disebut porajmos dalam bahasa romanis) selama Perang Dunia II melenyapkan komunitas kaum Gipsi di wilayah-wilayah Jerman dan pendudukannya. Sulit untuk memperkirakan jumlah kematian yang diderita. Sebuah perkiraan menyebut angka sekitar 500,000 sebagai jumlah total kaum Gipsi yang meninggal di seluruh Eropa selama Nazi Jerman berkuasa. Akan tetapi angka tersebut masih menjadi perdebatan. Sebagian kalangan menganggap angka itu terlalu kecil, dan menaksir hingga 750,000 hingga 1,5 juta korban. Tapi sebagian kalangan justru menilai hanya sekitar 219,000 korban karena diperkirakan jumlah kaum Gipsi tidak sampai 1 juta. Secara resmi, Pemerintah Federal Jerman mengakui angka 500,000. Diperkirakan antara 20-50% kaum Gipsi di wilayah pendudukan Jerman lenyap.
Tidak seperti kaum Yahudi yang memiliki banyak cendekiawan sehingga proses holocaust tercatat baik, dan banyak melakukan studi terhadap fenomena tersebut sesudah perang, nyaris tidak ada studi khusus tentang holocaust oleh kaum Gipsi. Langkanya cendekiawan kaum Gipsi mungkin salah satu penyebabnya. Baru 40 tahun sesudah kejadian itu, studi-studi tentang kejadian tersebut dilakukan. Hal ini menyebabkan berbagai data penting telah hilang. Pengadilan terhadap penjahat perang karena genosida terhadap kaum Gipsi pun tidak dilakukan.
Pada awal tahun 2000-an, jumlah kaum Gipsi di seluruh dunia diperkirakan antara 9-12 juta jiwa. Mayoritas dari mereka berada di wilayah Eropa Tengah dan Eropa Timur, serta sepertiganya tinggal di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Sebagian tetap mempertahankan kehidupan nomadik. Akan tetapi sebagian telah mulai menerapkan kehidupan menetap, atau setidak-tidaknya menetap cukup lama di sebuah wilayah. Apabila sebelumnya karavan mereka ditarik kuda, kini karavan mereka kebanyakan berupa rumah mobil, terutama di kawasan Amerika Utara. Pada beberapa dekade belakangan banyak orang yang mengikuti gaya hidup nomadik kaum Gipsi, terutama di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Apakah mereka kelak akan membentuk entitas baru seperti kaum Gipsi seribu tahun lalu? Yang jelas, pembatasan kunjungan serta pembatasan lama tinggal di sebuah negara yang saat ini terjadi di seluruh negara akan menyulitkan kaum nomadik modern ala Gipsi bergerak bebas seperti kaum Gipsi di masa lalu.
Sumber Bacaan
Brian Belton. (2005). Gypsy and Traveller Ethnicity: The social generation of an ethnic phenomenon. New York: Routledge.
David Mayall. (2004). History of Gypsy Identities. New York: Routledge.
Guenter Lewy. (2000). The Nazi Persecution of the Gypsies. New York: Oxford University Press.
Ian Hancock. (2005). Romanis. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 919-922. Farmington Hills: Thomson Gale.
Ian Hancock. (2009). Responses to the Porrajmos: The Romani Holocaust. Dalam Alan S. Rosenbaum (Ed.), Is the holocaust unique? perspectives on comparative genocide, hal. 75-101. Philadelphia: Westview Press.
Lou Charnon-Deutsch. (2004). The Spanish Gypsy: The history of a European obsession. Pennsylvania: The Pennsylvania State University
Raul Hilberg (2001). Gypsies. Dalam Walter Laqueur (Ed.), The holocaust encyclopedia, hal. 271-277. New Haven: Yale University Press.
Robert Gellately. (2003). The Third Reich, the Holocaust, and Visions of Serial Genocide. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 241-263. Cambridge: Cambridge University Press.
Sybil Milton. (2004). Holocaust: The gypsies. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 161-202. New York: Routledge.
Walter O. Weyrauch & Maureen Anne Bell. (2001). Autonomous Lawmaking: The case of the “Gypsies”. Dalam Walter O. Weyrauch (Ed.), Gypsy law: romani legal traditions and culture, hal. 11-87. Berkeley: University of California Press.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
5.
GENOSIDA BANGLADESH
Waktu kejadian: 1971
Korban: Orang Bangladesh
Jumlah korban: 3,000,000
Pelaku: Pakistan
Sejarah Bangladesh mesti dilacak sejak kemerdekaan anak benua India dari Inggris pada tahun 1947. Pada awalnya, semua anak benua India yang sebelumnya dikuasai Inggris hendak dijadikan satu negara India. Akan tetapi, penekanan India sebagai negara Hindu memunculkan gerakan Liga Muslim India yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah, yang kemudian membentuk negara Pakistan, di wilayah barat India yang memiliki mayoritas muslim terbesar di anak benua itu. Di sisi timur India, di wilayah Provinsi Bengal saat era kolonial Inggris, juga terdapat wilayah yang memiliki populasinya mayoritas muslim. Mereka, kaum muslim Bengali memutuskan untuk masuk wilayah Pakistan. Sebagai hasilnya, Pakistan terdiri dari dua wilayah yang diapit oleh India (lihat peta).
Berbagai konflik muncul antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur akibat disparitas mencolok antara keduanya. Meskipun kaum Bengali menjadi mayoritas di Pakistan, dengan jumlah mencapai 54%, mereka inferior di dalam Pakistan. Jumlah anggota militer dan birokrat dari wilayah timur jauh lebih sedikit di banding wilayah barat. Penguasa Pakistan yang didominasi etnis Urdu (hanya 7% jumlahnya) dan dari Pakistan Barat, melihat tradisi budaya dan bahasa Bengali terlalu banyak bersandar pada budaya Hindu, sehingga muncul upaya terus menerus untuk “membersihkan” mereka dari pengaruh Hindu. Pada tahun 50-an, orang Bengali dipaksa mengganti kata-kata Bengali menjadi kata-kata Arab atau Urdu. Sebelumnya, pada tahun 1948, saat Ali Jinnah mengadakan satu-satunya kunjungan ke Pakistan Timur, orang Bengali menuntut agar bahasa Bengali juga dijadikan bahasa resmi selain bahasa Urdu. Pemerintah Pakistan menolaknya. Ali Jinnah menyatakan bahwa siapa pun yang mempertanyakan bahasa Urdu sebagai bahasa nasional dianggap sebagai pengkhianat negara. Pernyataan itu memicu kemarahan masyarakat Bengali dan memunculkan gerakan bahasa. Lalu, pada tahun 60-an, media yang dikontrol negara mencekal lagu-lagu yang ditulis oleh Rabindranath Tagore, seorang Bengali-Hindu, peraih hadiah nobel kesusasteraan tahun 1913, yang puisi dan syairnya dicintai kaum Bengali muslim maupun Hindu.
Pakistan menganut sistem parlemen. Jumlah wakil dari timur dan barat di samakan, meskipun bagian timur lebih banyak jumlah penduduknya. Pemilu pertama di Pakistan di adakan pada tahun 1951, tetapi pemilu di wilayah timur baru diselenggarakan pada tahun 1954. Partai penguasa, Liga Muslim, dikalahkan total dalam pemilu itu oleh koalisi partai lokal, yakni Krishak Sramik dan Liga Awami. Kemenangan itu membawa implikasi diakuinya bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa resmi di Pakistan pada tahun 1956. Tahun-tahun berikutnya, disparitas kondisi ekonomi antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur menajam sehingga memunculkan perasaan di kalangan orang Bengali bahwa mereka adalah koloni Pakistan. Hal itu menimbulkan gerakan untuk menjadikan Pakistan Timur lebih independen, dengan memiliki sistem ekonomi sendiri. Liga Awami menuntut bahwa Pemerintah Pusat hanya akan berurusan dengan masalah hubungan luar negeri dan pertahanan, sedangkan sisanya diserahkan sepenuhnya pada Pakistan Timur. Tentu saja tuntutan itu ditolak.
Pada tahun 1969, Agha Muhammad Yahya Khan naik tampuk kekuasaan di Pakistan, dan mengubah sistem pemilu dari sistem wilayah (barat dan timur) menjadi berdasarkan populasi. Alhasil, ada 162 kursi parlemen untuk wilayah timur dan hanya 138 kursi parlemen untuk wilayah barat, sesuai dengan jumlah populasi Pakistan yang mayoritas berada di timur. Hasil pemilu tahun 1971 mengejutkan semua pihak karena Partai Liga Awami memenangkan 160 kursi dari 162 kursi yang tersedia di Pakistan Timur. Bukan hanya total mengontrol seluruh Pakistan Timur, mereka juga mengontrol Parlemen. Mereka menjadi mayoritas di parlemen Pakistan dan cukup membawa mereka ke kekuasaan tanpa harus berkoalisi, meskipun tidak meraih satu kursi pun di wilayah barat. Kondisi tersebut menimbulkan keguncangan politik di Pakistan Barat.
Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin Zulfiqar Ali Bhutto, yang memiliki kursi kedua terbanyak dan Yahya Khan sebagai presiden yang mewakili militer bernegosiasi dengan Mujibur Rahman sebagai ketua Liga Awami. Mereka berusaha mencegah kaum Bengali memegang kekuasaan negara. Apalagi, Mujibur Rahman adalah orang yang memprakarsai tuntutan kemerdekaan Pakistan Timur secara de fakto, dengan meminta Pemerintah Pusat hanya mengurusi soal hubungan luar negeri dan pertahanan, sedangkan sistem ekonomi sepenuhnya dipegang sendiri, termasuk soal penarikan pajak. Tentu saja Mujibur Rahman menolak koalisi dan tetap berkeinginan menjalankan pemerintahan sendiri karena Liga Awami telah memenangkan pemilu dengan adil.
Pada 1 Maret 1971, Presiden Yahya Khan mencegah parlemen bersidang untuk sesi ketiga. Hal tersebut membawa krisis institusional. Liga Awami meresponsnya dengan menyerukan gerakan non-kooperasi tanpa kekerasan. Alhasil seluruh administrasi pemerintahan di Pakistan Timur lumpuh total. Demonstrasi memberikan dukungan bagi Liga Awami pun terjadi di seluruh Pakistan Timur. Dalam kondisi demikian, term Bangladeshi diperkenalkan untuk menggantikan istilah Pakistan Timur. Pada tanggal 25 Maret 1971, Presiden Yahya Khan memerintahkan militer menyerang kota Dhaka. Sasaran pertama adalah Universitas Dhaka, dengan menyerang staf universitas dan mahasiswa, dalam usaha untuk menahan Mujib. Sejumlah 17 profesor dan 200 mahasiswa dibunuh di sana. Berikutnya mereka menyerang seluruh kota. Diperkirakan 15,000 orang tewas dan ratusan rumah dihancurkan. Mujibur Rahman lantas dipenjarakan di Pakistan Barat. Rekan-rekan Mujib di Liga Awami melarikan diri, mula-mula ke pedesaan di perbatasan India, dan lalu ke Calcutta, India.
Berita pembantaian di Dakka menyebar ke seluruh Pakistan Timur. Gerakan-gerakan demonstrasi tak bersenjata untuk mengecam dilakukan di mana-mana. Akan tetapi hal itu semakin memicu kemarahan pihak militer. Serangan militer pun diberlakukan di berbagai wilayah untuk meredamnya. Situasi tersebut akhirnya membakar sentimen nasionalisme Bangladesh. Banyak orang Bangladesh menyadari kalau mereka harus melepaskan diri dari Pakistan dan membentuk negara sendiri. Segera, pada tanggal 25 Maret 1971, deklarasi kemerdekaan Bangladesh diumumkan di Chittagong oleh Ziaur Rahman. Lantas, selama 9 bulan berikutnya konflik menyala hebat. Bagi orang Bangladesh, perang yang terjadi merupakan bagian dari perang kemerdekaan, sedangkan bagi Pakistan sebagai perang sipil untuk memadamkan pemberontakan.
Sebelum 25 Maret 1971, tidak ada gerakan bersenjata apapun yang pernah terjadi di Bangladesh. Akan tetapi, setelah pembantaian Dakka, seluruh Bangladesh bangkit. Dengan atau tanpa senjata, mereka melawan tentara Pakistan, yang direspons dengan brutal. Pada awalnya, militer Pakistan hanya menyasar pendidik, mahasiswa/pelajar, politisi dan lainnya yang terkait dengan Liga Awami. Saat unit-unit militer Bangladesh terbentuk, unit-unit itu menjadi target. Unit-unit itu dibentuk oleh orang Bangladesh yang pernah bergabung dalam militer Pakistan, atau mantan polisi Pakistan Timur, atau penjaga perbatasan. Diperkirakan 100,000-an ribu anak muda tergabung dalam unit-unit itu, dan melakukan perang gerilya di wilayah pedesaan dan pedalaman.
Alasan menangani teror atau menebar ancaman agar pemberontakan berakhir, bukan satu-satunya alasan di balik genosida oleh Militer Pakistan. Faktor rasial dipercaya ikut menjadi penyebabnya. Militer Pakistan didominasi oleh etnik Punjabi dan Pathan yang melihat etnik Bengali lebih rendah ketimbang mereka dan sebagai ras yang tidak mampu berperang. Berbeda dengan etnik Punjabi dan Pathan yang lebih terang, etnik Bengali berkulit gelap. Perang itu dipandang dalam konteks keunggulan ras Pakistan dan upaya membersihkan muslim Bengali dari unsur-unsur Hindu. Salah satu target pembersihan utama mereka adalah komunitas Hindu.
Pembunuhan massal, penyiksaan dan pemerkosaan menjadi hal umum di Bangladesh. Setiap ada laporan adanya pasukan gerilya di suatu wilayah, militer Pakistan mendatangi dan membunuhi penduduk sipil di wilayah tersebut. Operasi militer mereka berprinsip”cari dan hancurkan.” Apabila pada fase pertama kaum lelaki yang mampu angkat senjata sebagai sasaran utama, pada paruh kedua antara pertengahan Mei sampai September, perkosaan menjadi tren. Menurut laporan International Planned Parenthood, diperkirakan antara 250,000-400,000 wanita Bangladesh diperkosa oleh militer Pakistan, yang menghasilkan 25,000 kehamilan. Ada banyak laporan saksi mata yang menyaksikan pemerkosaan massal yang diorganisir oleh Militer Pakistan. Jumlah orang Bangladesh yang terbunuh tidak sepenuhnya diketahui, tetapi sumber-sumber di Bangladesh menyebutkan angka sekitar 3 juta orang. Sebanyak 10 juta orang, baik Hindu maupun muslim menjadi pengungsi ke India. Sekitar 30 juta penghuni kota menjadi pengungsi di desa-desa.
India kemudian campur tangan dengan memasuki wilayah Bangladesh. Menurut India, tujuan tindakannya untuk melemahkan Pakistan sekaligus membantu orang Bengali yang menderita dalam teror militer Pakistan. Pada tanggal 16 Desember 1971, pimpinan militer Pakistan di Pakistan Timur menyerah pada India. Intervensi India itu dikecam oleh Pemerintah Pusat Pakistan sebagai pelanggaran hukum internasional. Dewan Keamanan PBB juga sepakat. Akan tetapi, masifnya temuan-temuan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Pakistan pada orang Bengali selama 9 bulan konflik, kemudian membenarkan tindakan India.
Pakistan mengakui kemerdekaan Bangladesh pada 22 Februari 1974, utamanya akibat tekanan dari Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang bersidang di Lahore, Pakistan, saat itu. Pengakuan itu belum memuaskan warga Bangladesh. Mereka menuntut permintaan maaf resmi atas tindakan brutal Pakistan di Bangladesh selama 9 bulan konflik. Akhirnya, permintaan maaf atas tindakan genosida di Bangladesh diberikan secara resmi pada bulan Juli 2002, ketika presiden Pervez Musharraf mengunjungi Bangladesh.
Berbagai konflik muncul antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur akibat disparitas mencolok antara keduanya. Meskipun kaum Bengali menjadi mayoritas di Pakistan, dengan jumlah mencapai 54%, mereka inferior di dalam Pakistan. Jumlah anggota militer dan birokrat dari wilayah timur jauh lebih sedikit di banding wilayah barat. Penguasa Pakistan yang didominasi etnis Urdu (hanya 7% jumlahnya) dan dari Pakistan Barat, melihat tradisi budaya dan bahasa Bengali terlalu banyak bersandar pada budaya Hindu, sehingga muncul upaya terus menerus untuk “membersihkan” mereka dari pengaruh Hindu. Pada tahun 50-an, orang Bengali dipaksa mengganti kata-kata Bengali menjadi kata-kata Arab atau Urdu. Sebelumnya, pada tahun 1948, saat Ali Jinnah mengadakan satu-satunya kunjungan ke Pakistan Timur, orang Bengali menuntut agar bahasa Bengali juga dijadikan bahasa resmi selain bahasa Urdu. Pemerintah Pakistan menolaknya. Ali Jinnah menyatakan bahwa siapa pun yang mempertanyakan bahasa Urdu sebagai bahasa nasional dianggap sebagai pengkhianat negara. Pernyataan itu memicu kemarahan masyarakat Bengali dan memunculkan gerakan bahasa. Lalu, pada tahun 60-an, media yang dikontrol negara mencekal lagu-lagu yang ditulis oleh Rabindranath Tagore, seorang Bengali-Hindu, peraih hadiah nobel kesusasteraan tahun 1913, yang puisi dan syairnya dicintai kaum Bengali muslim maupun Hindu.
Pakistan menganut sistem parlemen. Jumlah wakil dari timur dan barat di samakan, meskipun bagian timur lebih banyak jumlah penduduknya. Pemilu pertama di Pakistan di adakan pada tahun 1951, tetapi pemilu di wilayah timur baru diselenggarakan pada tahun 1954. Partai penguasa, Liga Muslim, dikalahkan total dalam pemilu itu oleh koalisi partai lokal, yakni Krishak Sramik dan Liga Awami. Kemenangan itu membawa implikasi diakuinya bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa resmi di Pakistan pada tahun 1956. Tahun-tahun berikutnya, disparitas kondisi ekonomi antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur menajam sehingga memunculkan perasaan di kalangan orang Bengali bahwa mereka adalah koloni Pakistan. Hal itu menimbulkan gerakan untuk menjadikan Pakistan Timur lebih independen, dengan memiliki sistem ekonomi sendiri. Liga Awami menuntut bahwa Pemerintah Pusat hanya akan berurusan dengan masalah hubungan luar negeri dan pertahanan, sedangkan sisanya diserahkan sepenuhnya pada Pakistan Timur. Tentu saja tuntutan itu ditolak.
Pada tahun 1969, Agha Muhammad Yahya Khan naik tampuk kekuasaan di Pakistan, dan mengubah sistem pemilu dari sistem wilayah (barat dan timur) menjadi berdasarkan populasi. Alhasil, ada 162 kursi parlemen untuk wilayah timur dan hanya 138 kursi parlemen untuk wilayah barat, sesuai dengan jumlah populasi Pakistan yang mayoritas berada di timur. Hasil pemilu tahun 1971 mengejutkan semua pihak karena Partai Liga Awami memenangkan 160 kursi dari 162 kursi yang tersedia di Pakistan Timur. Bukan hanya total mengontrol seluruh Pakistan Timur, mereka juga mengontrol Parlemen. Mereka menjadi mayoritas di parlemen Pakistan dan cukup membawa mereka ke kekuasaan tanpa harus berkoalisi, meskipun tidak meraih satu kursi pun di wilayah barat. Kondisi tersebut menimbulkan keguncangan politik di Pakistan Barat.
Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin Zulfiqar Ali Bhutto, yang memiliki kursi kedua terbanyak dan Yahya Khan sebagai presiden yang mewakili militer bernegosiasi dengan Mujibur Rahman sebagai ketua Liga Awami. Mereka berusaha mencegah kaum Bengali memegang kekuasaan negara. Apalagi, Mujibur Rahman adalah orang yang memprakarsai tuntutan kemerdekaan Pakistan Timur secara de fakto, dengan meminta Pemerintah Pusat hanya mengurusi soal hubungan luar negeri dan pertahanan, sedangkan sistem ekonomi sepenuhnya dipegang sendiri, termasuk soal penarikan pajak. Tentu saja Mujibur Rahman menolak koalisi dan tetap berkeinginan menjalankan pemerintahan sendiri karena Liga Awami telah memenangkan pemilu dengan adil.
Pada 1 Maret 1971, Presiden Yahya Khan mencegah parlemen bersidang untuk sesi ketiga. Hal tersebut membawa krisis institusional. Liga Awami meresponsnya dengan menyerukan gerakan non-kooperasi tanpa kekerasan. Alhasil seluruh administrasi pemerintahan di Pakistan Timur lumpuh total. Demonstrasi memberikan dukungan bagi Liga Awami pun terjadi di seluruh Pakistan Timur. Dalam kondisi demikian, term Bangladeshi diperkenalkan untuk menggantikan istilah Pakistan Timur. Pada tanggal 25 Maret 1971, Presiden Yahya Khan memerintahkan militer menyerang kota Dhaka. Sasaran pertama adalah Universitas Dhaka, dengan menyerang staf universitas dan mahasiswa, dalam usaha untuk menahan Mujib. Sejumlah 17 profesor dan 200 mahasiswa dibunuh di sana. Berikutnya mereka menyerang seluruh kota. Diperkirakan 15,000 orang tewas dan ratusan rumah dihancurkan. Mujibur Rahman lantas dipenjarakan di Pakistan Barat. Rekan-rekan Mujib di Liga Awami melarikan diri, mula-mula ke pedesaan di perbatasan India, dan lalu ke Calcutta, India.
Berita pembantaian di Dakka menyebar ke seluruh Pakistan Timur. Gerakan-gerakan demonstrasi tak bersenjata untuk mengecam dilakukan di mana-mana. Akan tetapi hal itu semakin memicu kemarahan pihak militer. Serangan militer pun diberlakukan di berbagai wilayah untuk meredamnya. Situasi tersebut akhirnya membakar sentimen nasionalisme Bangladesh. Banyak orang Bangladesh menyadari kalau mereka harus melepaskan diri dari Pakistan dan membentuk negara sendiri. Segera, pada tanggal 25 Maret 1971, deklarasi kemerdekaan Bangladesh diumumkan di Chittagong oleh Ziaur Rahman. Lantas, selama 9 bulan berikutnya konflik menyala hebat. Bagi orang Bangladesh, perang yang terjadi merupakan bagian dari perang kemerdekaan, sedangkan bagi Pakistan sebagai perang sipil untuk memadamkan pemberontakan.
Sebelum 25 Maret 1971, tidak ada gerakan bersenjata apapun yang pernah terjadi di Bangladesh. Akan tetapi, setelah pembantaian Dakka, seluruh Bangladesh bangkit. Dengan atau tanpa senjata, mereka melawan tentara Pakistan, yang direspons dengan brutal. Pada awalnya, militer Pakistan hanya menyasar pendidik, mahasiswa/pelajar, politisi dan lainnya yang terkait dengan Liga Awami. Saat unit-unit militer Bangladesh terbentuk, unit-unit itu menjadi target. Unit-unit itu dibentuk oleh orang Bangladesh yang pernah bergabung dalam militer Pakistan, atau mantan polisi Pakistan Timur, atau penjaga perbatasan. Diperkirakan 100,000-an ribu anak muda tergabung dalam unit-unit itu, dan melakukan perang gerilya di wilayah pedesaan dan pedalaman.
Alasan menangani teror atau menebar ancaman agar pemberontakan berakhir, bukan satu-satunya alasan di balik genosida oleh Militer Pakistan. Faktor rasial dipercaya ikut menjadi penyebabnya. Militer Pakistan didominasi oleh etnik Punjabi dan Pathan yang melihat etnik Bengali lebih rendah ketimbang mereka dan sebagai ras yang tidak mampu berperang. Berbeda dengan etnik Punjabi dan Pathan yang lebih terang, etnik Bengali berkulit gelap. Perang itu dipandang dalam konteks keunggulan ras Pakistan dan upaya membersihkan muslim Bengali dari unsur-unsur Hindu. Salah satu target pembersihan utama mereka adalah komunitas Hindu.
Pembunuhan massal, penyiksaan dan pemerkosaan menjadi hal umum di Bangladesh. Setiap ada laporan adanya pasukan gerilya di suatu wilayah, militer Pakistan mendatangi dan membunuhi penduduk sipil di wilayah tersebut. Operasi militer mereka berprinsip”cari dan hancurkan.” Apabila pada fase pertama kaum lelaki yang mampu angkat senjata sebagai sasaran utama, pada paruh kedua antara pertengahan Mei sampai September, perkosaan menjadi tren. Menurut laporan International Planned Parenthood, diperkirakan antara 250,000-400,000 wanita Bangladesh diperkosa oleh militer Pakistan, yang menghasilkan 25,000 kehamilan. Ada banyak laporan saksi mata yang menyaksikan pemerkosaan massal yang diorganisir oleh Militer Pakistan. Jumlah orang Bangladesh yang terbunuh tidak sepenuhnya diketahui, tetapi sumber-sumber di Bangladesh menyebutkan angka sekitar 3 juta orang. Sebanyak 10 juta orang, baik Hindu maupun muslim menjadi pengungsi ke India. Sekitar 30 juta penghuni kota menjadi pengungsi di desa-desa.
India kemudian campur tangan dengan memasuki wilayah Bangladesh. Menurut India, tujuan tindakannya untuk melemahkan Pakistan sekaligus membantu orang Bengali yang menderita dalam teror militer Pakistan. Pada tanggal 16 Desember 1971, pimpinan militer Pakistan di Pakistan Timur menyerah pada India. Intervensi India itu dikecam oleh Pemerintah Pusat Pakistan sebagai pelanggaran hukum internasional. Dewan Keamanan PBB juga sepakat. Akan tetapi, masifnya temuan-temuan kekerasan yang dilakukan oleh tentara Pakistan pada orang Bengali selama 9 bulan konflik, kemudian membenarkan tindakan India.
Pakistan mengakui kemerdekaan Bangladesh pada 22 Februari 1974, utamanya akibat tekanan dari Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang bersidang di Lahore, Pakistan, saat itu. Pengakuan itu belum memuaskan warga Bangladesh. Mereka menuntut permintaan maaf resmi atas tindakan brutal Pakistan di Bangladesh selama 9 bulan konflik. Akhirnya, permintaan maaf atas tindakan genosida di Bangladesh diberikan secara resmi pada bulan Juli 2002, ketika presiden Pervez Musharraf mengunjungi Bangladesh.
Sumber Bacaan
Craig Baxter (2005). Bangladesh/East Pakistan. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 115-119. Farmington Hills: Thomson Gale.
Rounaq Jahan. (2004). Genocide in Bangladesh. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 295-319. New York: Routledge.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
6.
GENOSIDA BURUNDI & RWANDA
Waktu kejadian: 1972 (Burundi) & 1994 (Rwanda)
Korban: Suku Hutu (1972) Suku Tutsi (1994)
Jumlah korban: 300,000 (1972) 800,000 (1994)
Pelaku: Suku Tutsi (1972) Suku Hutu (1994)
Genosida Burundi tahun 1972 maupun genosida Rwanda tahun 1994, merupakan pertentangan antara Hutu dan Tutsi. Apabila pada tahun 1972 orang Hutu yang menjadi korban, sebaliknya, pada tahun 1994 giliran orang Tutsi yang menjadi korbannya. Atas alasan itu, kedua genosida tersebut disatukan dalam satu bab.
Membicarakan kedua genosida di atas tak akan lengkap jika tidak membicarakan sejarah Hutu dan Tutsi sejak sebelum era kolonialisme Eropa untuk mengetahui mengapa mereka bermusuhan. Sebelum kedatangan kolonial Jerman dan Belgia ke wilayah Afrika Tengah, orang Hutu maupun Tutsi di wilayah kerajaan Burundi dan kerajaan Rwanda tidak dianggap bangsa yang terpisah: keduanya berbicara dalam bahasa yang sama, menempati wilayah yang sama, dan memiliki kepercayaan yang sama. Sebutan itu hanya untuk membedakan kasta sosial, berdasarkan kepemilikan materi. Tutsi adalah para pemilik ternak, dan Hutu adalah pengolah lahan, serta penyuplai tenaga kerja bagi Tutsi. Mereka hanya seperti kelas atas dan kelas bawah dalam masyarakat Inggris. Meskipun memang ada sedikit perbedaan fisik yang membedakan etnik (fisiognomi), di mana suku Tutsi sedikit lebih terang dan lebih tinggi, kategori istilah itu bersifat terbuka dan lentur. Orang Hutu yang bisa mengumpulkan banyak ternak dan naik hierarki sosial ekonominya, akan memperoleh derajat status politis sebagai seorang Tutsi. Sebaliknya, yang kehilangan kepemilikan juga akan kehilangan statusnya. Hanya ada sedikit orang yang mengalami kenaikan derajat itu, namun demikian, kelenturan status Tutsi sangat penting dalam dinamika kehidupan sosial di wilayah itu. Sama sekali tidak ada jejak kekerasan antara dua kelompok itu sebelum era kolonialisme. Baik di wilayah Rwanda maupun Burundi, kaum Hutu mencakup 85% populasi, sisanya kaum Tutsi (12%) dan sedikit etnis Twa yang merupakan suku primitif pemburu dan peramu (2%).
Sistem pemerintahan di wilayah Rwanda merupakan monarki terpusat dan terkontrol dengan ketat, dengan sistem tripartit (Hutu, Tutsi dan Raja/Mwami). Kelas penguasa adalah kaum Tutsi. Pada pertengahan tahun 1800-an, Jerman masuk ke wilayah tersebut. Sebagaimana strategi negara kolonial lain, mereka menjalin kerjasama dengan penguasa lokal untuk mendapatkan pengaruh di seluruh negeri. Saat itu, Rwanda dipimpin oleh raja Kigeri Rwabugiri (1860-1895), yang merupakan orang Tutsi. Setelah kematian sang raja, Kolonial Jerman menghapuskan sistem tripartit, di mana orang Tutsi, Hutu dan Raja sama-sama menjalankan pemerintahan. Pemerintahan diubah menjadi berstruktur piramida. Semua kekuasaan dialihkan hanya ke satu pihak yang disebut ketua. Biasanya, ketua selalu dipilih dari kalangan orang Tutsi. Setelah Perang Dunia I, akibat kalah perang, wilayah itu diserahkan kepada Belgia, yang tetap menjalankan kebijakan Jerman. Sampai dengan tahun 1959, dari 45 ketua, sebanyak 43 orang berasal dari kalangan Tutsi, dan hanya 2 orang Hutu.
Oleh pihak kolonial, kaum Hutu-Tutsi di Burundi, dan terutama di Rwanda dianggap dan diperlakukan sebagai dua ras berbeda. Kelompok aristokrat di wilayah itu yang lebih tinggi dan lebih terang kulitnya, serta lebih mendekati gambaran Eropa tentang kecantikan ideal, yang ternyata lebih banyak dimiliki orang Tutsi, dijadikan alasan pembenaran kolonial untuk menilai orang Tutsi sebagai ras lebih superior ketimbang orang Hutu. Apalagi, secara sosial ekonomi, orang Tutsi lebih tinggi ketimbang orang Hutu, yang semakin mengukuhkan klaim mereka. Padahal, istilah Tutsi-Hutu memang untuk membedakan kasta sosial. Pembedaan ras itu semakin diperkuat dengan klaim kolonial bahwa orang Tutsi merupakan keturunan dari peradaban kuno mesir, yang lebih dekat ke Eropa, sedangkan orang Hutu sebagai keturunan suku lokal. Diketahui, perbedaan fisik itu sendiri lebih karena selective-breeding (perkawinan dalam kelompok) di mana orang cenderung untuk menikah dengan orang di lingkungan terdekat mereka. Setelah berabad-abad, proses tersebut menghasilkan kelompok yang agak berbeda dengan kelompok lainnya secara fisik. Hal yang sama terjadi dalam kasta di India, di mana pernikahan hanya terjadi di kasta yang sama, sehingga cenderung terjadi perbedaan fisik antar kasta. Soal strata sosial orang Tutsi yang selalu merupakan hal lazim sebagaimana di banyak masyarakat lain, di mana kelas atas selama berabad-abad mendominasi kekuasaan.
Kolonial Belgia menganakemaskan orang Tutsi, sekaligus mendiskreditkan orang Hutu hampir dalam semua aspek. Mereka menjadikan kaum Tutsi sebagai elit di dalam masyarakatnya. Dalam pendidikan misalnya, Kolonial Belgia memfavoritkan orang Tutsi. Pada tahun 1933, di sebuah sekolah elit Astrida Rwanda, dari 54 siswanya, sejumlah 45 orang merupakan orang Tutsi. Persentasenya tetap tidak jauh berubah pada akhir tahun 50-an. Alhasil hampir seluruh pemegang kekuasaan dikuasai orang Tutsi yang lebih terdidik. Dari situ, bibit permusuhan pun muncul. Orang Hutu dan Tutsi pun mulai melihat diri mereka sendiri sebagai dua etnis berbeda. Kaum Hutu melihat orang Tutsi sebagai orang asing dan ras musuh, serta penakluk mereka. Bagi orang Hutu, sangat jelas kalau diri mereka adalah kelompok yang secara sosial ekonomi dan politik di kelas terbawah yang ditaklukkan dan dieksploitasi. Di sisi lain, orang Tutsi melihat orang Hutu lebih rendah dan inferior. Meskipun sebagian orang Tutsi secara sosial ekonomi di bawah orang Hutu, mereka tetap menilai diri mereka unggul dan lebih berhak atas berbagai keistimewaan ketimbang orang Hutu, karena mereka adalah Tutsi.
Menjelang tahun 1957, muncul tuntutan kaum Hutu untuk mengakhiri subordinasi mereka, dan mengambil alih kekuasaan dari tangan orang Tutsi. Kini, Kaum Hutu sudah melihat orang Tutsi sebagai ras asing, bukan lagi sebagai kelas atas di dalam masyarakat mereka. Dalam sebuah manifesto, yang dikenal sebagai Bahutu Manifesto, dikatakan “masalahnya mendasarnya adalah adanya monopoli politik oleh satu ras, Mututsi.” Akan tetapi manifesto itu bukannya mau menegakkan rejim baru berdasarkan keadilan untuk semua, melainkan untuk menggantikan dominasi Tutsi menjadi dominasi Hutu.
Pada bulan November 1959, kaum Hutu mulai melakukan kekerasan terhadap orang Tutsi di seluruh penjuru Rwanda dalam upaya mengambil alih kekuasaan dari tangan Tutsi. Ribuan orang terbunuh dari kedua sisi. Merasa terancam, banyak orang Tutsi menjadi pengungsi. Pada bulan Oktober 1960, Gregoire Kayibanda, salah satu penulis Bahutu Manifesto, menghadap kantor gubernur koloni dan mendeklarasikan, “demokrasi menaklukkan feodalisme.” Artinya, demokrasi Hutu menghapuskan feodalisme Tutsi. Akhirnya, pada Januari 1961 sistem monarki dihapuskan dan Rwanda memperoleh kemerdekaan penuhnya pada tahun 1962, dengan Gregoire Kayibanda sebagai presiden. Negara tersebut ditasbihkan sebagai negara kaum Hutu. Semua kekuasaan yang pernah dimiliki orang Tutsi diambil alih dan orang Tutsi didepak dari dunia politik. Kekerasan terhadap orang Tutsi tidak berhenti. Ratusan ribu orang Tutsi keluar menuju berbagai negara, terutama ke Burundi dan Uganda. Pada tahun 1962 sudah terdapat sekitar 120,000 pengungsi Tutsi, dan dua tahun kemudian sudah membengkak menjadi 336,000. Peristiwa revolusi Rwanda 1959-1962 ini yang kemudian memicu genosida terhadap kaum Hutu di Burundi pada tahun 1972.
Genosida Burundi (1972)
Apabila di Rwanda sebelum 1962 terjadi hubungan langsung antara Tutsi sebagai penguasa dan Hutu sebagai yang diperintah, sistem sosial-politik di wilayah Burundi lebih rumit. Baik kaum Tutsi maupun Hutu bukan sebagai penguasa. Kelompok penguasa dipegang oleh kelompok berdarah pangeran yang disebut ganwa. Raja (Mwami) hanya diposisikan sebagai simbol kelompok. Kaum Tutsi di sana dibedakan dalam dua kelompok, yakni Tutsi-Hima yang bermukim di wilayah selatan dan Tutsi-Banyaruguru yang lebih tinggi statusnya, yang bermukim di wilayah utara. Di Burundi, kaum Tutsi tidak diasosiasikan sebagai penguasa. Gerakan politis pra-kemerdekaan terjadi di antara kaum pangeran, dengan dukungan silang antara orang Tutsi dan Hutu. Mereka juga tidak ingin mencapai kemerdekaan hanya semata-mata sebagai Republik khusus Hutu, seperti di Rwanda. Mereka ingin membentuk negara merdeka yang mengakomodasi semuanya: Ganwa, Hutu, dan Tutsi.
Revolusi di Rwanda yang terjadi antara tahun 1959 sampai tahun 1962, sehingga menghasilkan negara Rwanda yang khusus bagi kaum Hutu, sangat mempengaruhi kehidupan sosial politik di Burundi. Banyak politisi Hutu terinspirasi hal tersebut dan mulai menginginkan Republik Hutu di Burundi, karena bagaimanapun mereka mayoritas di Burundi, sama seperti di Rwanda. Bagi kebanyakan orang Tutsi di Burundi, apa yang terjadi di Rwanda adalah mimpi buruk, dan mereka berusaha mencegah hal itu terjadi di Burundi dengan sekuat tenaga. Semakin mencekam karena ada puluhan ribu pengungsi Tutsi yang membanjiri Burundi dari Rwanda. Mereka tidak ingin mengalami nasib seperti para pengungsi Tutsi dari Rwanda itu. Di tengah situasi tersebut, Burundi memperoleh kemerdekaan pada tahun 1962 dari tangan Belgia.
Pada pemilu pertama setelah era kemerdekaan pada Mei 1965, politisi Hutu berhasil meraih 23 dari 33 kursi yang tersedia. Tapi alih-alih berhasil mendudukkan seorang Hutu sebagai perdana menteri, sang raja mengangkat perdana menteri dari kalangan pangeran, yakni Leopold Bihumugami. Kemarahan di kalangan elit Hutu pun merebak. Pada tanggal 18 Oktober 1965, sebuah upaya kudeta oleh orang Hutu langsung diarahkan ke istana raja, diikuti dengan serangan sporadis terhadap orang Tutsi di dalam istana. Oleh karena panik, raja melarikan diri keluar negeri dan tidak pernah kembali. Mengantisipasi kejadian seperti di Rwanda, tindakan keras diambil oleh militer Burundi yang didominasi oleh orang Tutsi. Unit militer Tutsi menangkap dan membunuh 86 orang politisi Hutu paling terkemuka dan para perwira militer Hutu. Pada tahun 1969, mereka menangkap lagi 70 orang Hutu terkemuka karena dituduh berkonspirasi melawan negara. Sejumlah 25 orang dihukum mati dan 19 orang dibunuh langsung. Alhasil, pada akhir 1960-an kaum Hutu lenyap dari dunia politik Burundi. Secara sistematis, kaum Hutu pun disingkirkan dari berbagai posisi penting di pemerintahan, dari kepegawaian sipil, dan dari jabatan perwira di militer. Bagi politisi Hutu yang tersisa, satu-satunya sumber kekuatan yang tampak adalah mengoordinir anak muda yang baru mulai mentas di universitas. Tiga orang anak muda dari Universitas Negeri Bujumbura yang berhasil dibina, lalu menjadi pencetus pemberontakan Hutu pada tahun 1972.
Pada bulan-bulan sebelum pemberontakan, antara kaum Tutsi sendiri terjadi perselisihan dan semakin anarkis. Antara Tutsi-Hima dan Tutsi-Banyaruguru bersaing meraih kekuasaan. Tuduh menuduh terjadi. Hasilnya terjadi beberapa kali penangkapan terhadap politisi Tutsi-Banyaruguru. Di seantero negeri beredar kabar tentang gejolak kekuasaan. Melihat adanya kesempatan, kaum Hutu pun bangkit. Berkekuatan 1000 orang, mereka mengadakan pemberontakan pada tanggal 29 April 1972. Dengan segera, kaum Tutsi yang tadinya berselisih menjadi bersatu untuk melawan tantangan kebangkitan kaum Hutu.
Pemberontakan yang dipimpin kaum Hutu dimulai di kota Rumonge dan Nyanza-Lac. Dalam hitungan jam, kekerasan terhadap kaum Tutsi terjadi di seluruh negeri. Berbagai tindak kekejaman terjadi. Dilaporkan ada kejadian wanita hamil yang diambil janin dan tulang rusuknya. Di Provinsi Bururi, semua pemegang wewenang militer dan sipil dibunuh. Sesudah mengontrol penuh kota Rumonge dan Nyanza-Lac, setiap orang Tutsi yang terlihat langsung dibunuh, begitu juga orang Hutu yang menolak bergabung dengan pemberontakan. Selama minggu pertama, diperkirakan antara 2000 hingga 3000 orang tewas, yang sebagian besar orang Tutsi. Para pemberontak lalu membangun markas utama di Vyanda.
Pada tanggal 30 Mei 1972, setelah mengumumkan pemberlakuan Hukum Darurat Perang, presiden Michel Micombero meminta bantuan militer dari Zaire untuk menjaga bandara. Dengan adanya pasukan terjun payung Zaire di bandara, militer Burundi bergerak ke seluruh negeri untuk memadamkan pemberontakan. Tapi bukan hanya pemberontakan yang dipadamkan, pembantaian terhadap penduduk sipil Hutu juga dilaksanakan. Pembunuhan massal terus terjadi hingga bulan Agustus 1975. Secara sistematis, militer menyasar semua orang Hutu yang berpendidikan, termasuk pegawai negeri sipil, mahasiswa, pelajar, pastur, pendeta dan semacamnya. Semua yang berpendidikan di atas sekolah dasar dijadikan sasaran. Bahkan sebagian siswa sekolah dasar pun menjadi korban. Para pelajar Tutsi diwajibkan mendaftar rekan-rekannya yang Hutu. Berdasarkan daftar itu, militer menangkapi mereka. Pada beberapa wilayah, semua yang memiliki keterampilan selain bertani juga ikut dibunuh. Sepertiga mahasiswa Hutu di Universitas lenyap melalui cara dipanggil dari kelas dan lantas dibawa militer tanpa pernah kembali. Tujuan mereka sangat jelas, yakni berusaha menghilangkan ancaman orang Hutu di masa depan.
Operasi pembersihan orang Hutu tidak hanya dilakukan oleh kesatuan militer. Organisasi Jeunesses Révolutionnaires Rwagasore (JRR), yang merupakan organisasi pemuda dalam partai penguasa Uprona, juga memegang peranan penting. Dalam berbagai kesempatan, gabungan antara orang Tutsi sipil, JRR dan militer melakukan operasi pembersihan bersama. Terkadang JRR melakukannya sendiri. Dari rumah-rumah orang Hutu kaya yang ditangkap dan kemudian dibunuh, barang-barang dirampas dan diambil. Senjata didistribusikan pada orang Tutsi sipil dan dianggap sebagai paramiliter. Para pengungsi Tutsi dari Rwanda juga turut dilibatkan. Seolah-olah pada waktu itu terdapat kewajiban bagi setiap orang Tutsi untuk menangkap dan membunuh orang Hutu yang berpendidikan.
Korban yang jatuh selama kampanye militer Tutsi antara Mei sampai Agustus diperkirakan antara 100,000-150,000 orang. Klaim dari pihak Hutu menyebutkan angka 300,000 orang. Agak sulit menemukan perkiraan angka yang tepat karena saat itu Burundi relatif masih agak tertutup dari media asing, dan tidak ada investigasi resmi soal pembunuhan yang terjadi sesudahnya.
Ketakutan akan balas dendam kaum Hutu yang telah mendorong terjadinya genosida. Mereka takut bahwa represi keras terhadap pemberontakan hanya akan memicu revolusi kaum Hutu sebagaimana di Rwanda pada tahun 1959-1962. Pada awalnya, genosida mungkin tidak direncanakan matang. Akan tetapi, seiring korban membesar, pilihan pelaksanaan genosida menjadi pilihan yang diambil karena dianggap paling aman, ketimbang membiarkan peluang terjadinya pembalasan dari kaum Hutu. Orang Tutsi kemudian secara selektif menyasar kaum Hutu berpendidikan karena mereka yang dianggap sanggup menjadi penggerak balas dendam. Untuk menyingkirkan semua kaum Hutu tidak mungkin karena mereka kelompok mayoritas di Burundi, yang mencapai total 85% dari seluruh penduduk.
Secara politis, tujuan kaum Tutsi tercapai. Setelah peristiwa itu, secara mutlak mereka memegang kendali Burundi. Semua struktur kekuasaan ada di tangan mereka, demikian juga angkatan bersenjata dan kepolisian. Semua bentuk protes lenyap. Peluang kembalinya sistem monarki juga menghilang dengan dibunuhnya raja muda Ntare. Selama 16 tahun ke depan, Burundi berada dalam situasi damai dan tenang, sampai terjadi pemberontakan di Ntega dan Marangara pada Agustus 1988. Pemberontakan dipicu oleh adanya rumor akan adanya pembunuhan terhadap para petani Hutu di wilayah tersebut. Ratusan orang Tutsi sipil menjadi korbannya. Untuk memadamkan sekaligus pembalasan, militer memasuki kedua wilayah itu dan membunuh antara 20,000-30,000 orang Hutu. Sekitar 40,000 orang Hutu yang panik melarikan diri ke Rwanda.
Tidak seperti peristiwa tahun 1972 di mana dunia membisu, kali ini dunia internasional bereaksi. Para pelaku kekejaman dalam peristiwa itu diminta untuk diadili. Semua pengungsi diperbolehkan pulang. Burundi ditekan untuk mereformasi sistem politiknya. Tak berdaya oleh tekanan internasional karena secara ekonomi banyak tergantung pada dunia internasional, Burundi mematuhinya. Sistem multipartai yang bebas dijalankan. Pada tahun 1993, pemilu diadakan untuk memilih wakil rakyat untuk parlemen dan presiden. Hasilnya, partai “Hutu Front des Démocrates du Burundi (Frodebu) memenangkan pemilu, dan kandidatnya, Ndadaye, menjadi presiden. Ini artinya, setelah 21 tahun genosida, kekuasaan beralih dari tangan Tutsi ke tangan orang Hutu.
Pada tanggal 21 Oktober 1993, Presiden Ndadaye, dibunuh oleh kelompok ekstremis Tutsi karena cemas dengan kebangkitan kaum Hutu yang bakal mengancam keistimewaan ekonomi dan politik yang mereka pegang. Pembunuhan itu tampaknya akan kembali mengembalikan kontrol kekuasaan ke tangan Tutsi karena militer sepenuhnya di isi oleh orang Tutsi. Akan tetapi, orang Hutu bangkit dan marah tak terkendali. Berita pembunuhan itu seperti membakar bensin yang dengan segera meletupkan kekerasan terhadap kaum Tutsi. Sekitar 25,000 orang Tutsi terbunuh. Sebagai balasannya, militer membunuh orang Hutu sekitar jumlah yang sama. Peristiwa pembunuhan presiden Ndadaye merupakan salah satu pemicu genosida terhadap kaum Tutsi di Rwanda pada tahun berikutnya.
Genosida Rwanda (1994)
Peristiwa genosida orang Hutu di Burundi 1972 berdampak luas di Rwanda. Presiden Kayibanda dan panglima militer Jouvenal Habyarimana, mengorganisir pembunuhan berencana terhadap kaum Tutsi sebagai balas dendam. Kerja sama itu tidak lama. Pada tahun 1973, kudeta dilakukan oleh Habyarimana untuk menggulingkan Kayibanda. Jika pada era Rwanda pertama (1962-1972) kekuasaan di tangan Hutu dari wilayah selatan, pada Rwanda kedua (1973-1989) kekuasaan di tangan Hutu dari wilayah utara.
Orang Tutsi yang tetap berada di Rwanda setelah tahun 1962 total dibekukan dari semua aktivitas politik. Peran mereka hanya terbatas di bidang pendidikan. Pada era Habyarimana, kondisi orang Tutsi meningkat untuk menimbulkan kesan baik pada negara-negara pemberi bantuan. Akan tetapi di saat yang sama diorganisirnya Akazu, sebuah organisasi yang dianggap banyak orang sebagai mafia. Akazu berperan sebagai pemerintah bayangan, yang terus menerus menebar kebencian terhadap Tutsi dan melakukan teror pada seluruh masyarakat Rwanda supaya tidak ada tuntutan demokrasi.
Orang Tutsi Rwanda yang menjadi pengungsi di negara lain tidak tinggal diam melihat kondisi Tutsi di dalam negeri. Lagi pula, setelah bertahun-tahun tanpa rumah di negeri orang, mereka ingin kembali pulang ke tanah leluhur. Para pengungsi Tutsi di Uganda berkoordinasi dan membentuk organisasi yang bernama Rwandan Patriotic Front (RPF) pada tahun 1987. Organisasi tersebut mampu menghimpun kekuatan besar. Pada tahun 1990, RPF melakukan serangan ke Rwanda dan berhasil menguasai wilayah utara Rwanda serta mengusir orang Hutu di wilayah yang didudukinya. Diperkirakan terdapat sekitar 1 juta pengungsi dalam negeri akibat pengusiran dari RPF. Pemerintah Rwanda menuduh semua orang Tutsi yang masih ada di Rwanda sebagai pengkhianat dan berkolaborator dengan RPF. Atas alasan itu, militer melakukan pembantaian terhadap ratusan orang Tutsi di Utara Rwanda yang masih dikuasainya di dekat dengan Uganda pada Januari 1991. Tahun berikutnya, pada bulan Maret 1992, ribuan orang Tutsi di wilayah Bugesera juga dibinasakan tanpa ampun. Antara tahun 1990-1993, diperkirakan terdapat sekitar 2000 orang Tutsi terbunuh dalam operasi pembunuhan berencana.
Propaganda anti-Tutsi menjadi hal umum di Rwanda. Pada awal Desember 1990, koran Kangura yang dikendalikan ekstremis menerbitkan “Hutu Ten Commandments” yang salah satu isinya berbunyi: “Hutu harus bersatu dan waspada menghadapi musuh bersama orang Tutsi.” Salah satu radio terbesar di Rwanda juga berulang-ulang menyerukan bahwa orang Tutsi adalah kecoak (inyenzi). Kekerasan mereka di masa lalu tak bisa disembuhkan dan satu-satunya cara penyembuhan adalah dengan pembinasaan total. Kekerasan anti-Tutsi yang meningkat diklaim merupakan upaya untuk menghadapi ancaman RPF. Pada saat yang sama, pemerintah Rwanda membentuk milisi-milisi di Kinyarwanda, dengan tujuan untuk melindungi kaum sipil dari RPF, meskipun tujuan sebenarnya sebagai kekuatan paramiliter untuk mendukung militer dan polisi dalam upaya pembantaian orang Tutsi. Kelompok milisi lain juga terbentuk, yakni Impunza Mugambi yang berada di bawah partai anti-Tutsi, Coalition pour la Defense de la Republique (CDR). Kebanyakan anggota milisi merupakan orang Hutu yang melarikan diri dari wilayah Utara Rwanda akibat diusir oleh RPF.
Pada tahun 1992, genosida mulai direncanakan dengan matang. Rencana aksi dengan para pelakunya disusun. Pada kelompok pertama terdapat Akazu, yang dikoordinir oleh istri presiden dan tiga saudara iparnya. Kelompok ini bertujuan merencanakan dan mengoordinasi genosida. Kelompok kedua adalah organisator wilayah pedesaan, yang di rekrut dari seluruh Rwanda. Jumlahnya antara 300-500 orang. Mereka bertugas menyediakan orang untuk kader menengah dan mengoordinasi pembersihan di wilayahnya. Kelompok ketiga terdiri dari para milisi, yang sering bertandem dengan polisi dan pasukan khusus. Tugasnya melakukan pembunuhan sebenarnya. Mereka juga sebagai pembujuk orang Hutu lainnya untuk melakukan pembunuhan terhadap orang Tutsi di wilayahnya. Keempat adalah pasukan pengawal presiden yang secara eksklusif direkrut dari wilayah utara, dari tempat asal presiden. Tugas utamanya adalah memandu kaum sipil dalam melakukan pembunuhan. Jumlahnya sekitar 6000 personel.
Puncak propaganda anti-Tutsi terjadi ketika presiden Habyarimana dipaksa oleh dunia internasional untuk menerapkan sistem demokrasi multipartai dan berdamai dengan RPF. Atas tekanan internasional, perundingan marathon terjadi di Tanzania antara Juni 1992 sampai Agustus 1993. Perjanjian damai Arusha akhirnya disepakati. Dalam kesepakatan itu, selambat-lambatnya 2 tahun akan diadakan pemilu yang bebas, di mana RPF bisa ikut di dalamnya. RPF juga diperbolehkan menempatkan ribuan tentara di ibukota Kigali dan 40% angkatan bersenjata Rwanda yang baru akan diisi oleh RPF dan dengan 50% perwira. Sekitar 2500 tentara PBB dalam misi untuk mengawasi genjatan senjata dan pemilu datang ke Rwanda di bawah bendera United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR). Tentu saja kaum ekstremis menolak perjanjian itu dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap orang Hutu. Dengan mensponsori berbagai pembunuhan terhadap orang Tutsi di berbagai wilayah, mereka berusaha mencegah terjadinya perdamaian.
Kematian Presiden Burundi, Ndadaye yang merupakan orang Hutu pada bulan Oktober 1993 oleh sayap militer ekstremis Tutsi, menimbulkan kegemparan di kalangan orang Hutu di Rwanda. Pesan yang ditangkap dan disebarkan dari peristiwa itu semakin membakar gerakan anti-Tutsi. Mereka mengklaim bahwa peristiwa itu membuktikan kalau orang Tutsi tak bisa dipercaya. Apalagi, pada tahun 1972, kaum Tutsi juga telah melakukan pembunuhan terhadap kaum Hutu di Burundi. Alhasil, peristiwa itu semakin menyulitkan proses perdamaian. Kematian tersebut menjadi salah satu pemantik diambilnya keputusan radikal genosida pada bulan-bulan berikutnya.
Pada tanggal 6 April 1994, pesawat yang membawa presiden dari suatu pertemuan regional tertembak jatuh, namun presiden selamat (banyak analis mengatakan itu rekayasa Akazu sebagai upaya mencari alasan genosida). Pemerintah menuduh RPF sebagai pelakunya. Perluasan kekuatan RPF dan adanya tanda dimulainya serangan RPF mencemaskan para ekstremis Hutu di pemerintahan maupun militer. Mereka beralasan bahwa pilihan yang ada menjadi hanya “dibunuh atau membunuh lebih dulu.” Mereka memilih untuk membunuh lebih dulu. Operasi genosida pun dilaksanakan seperti yang telah direncanakan.
Sehari setelah penembakan pesawat, pasukan pengawal presiden melakukan penangkapan dan pembunuhan sistematis terhadap ribuan tokoh oposisi Hutu yang moderat (kurang ekstrem) maupun oposisi Tutsi di seluruh Rwanda. Beberapa menteri dan pimpinan partai menjadi sasaran. Perdana Menteri Agathe Uwimiliyana juga turut menjadi korban. Pasukan pengawal perdana menteri dari UNAMIR-PBB ikut terbunuh. Bukannya berusaha mencegah peristiwa pembunuhan lebih lanjut, pasukan PBB hanya melakukan evakuasi terhadap orang asing, dan lantas meninggalkan Rwanda. Segera, pembantaian massal pun menyebar ke seluruh Rwanda. Pemegang otoritas lokal yang menolak terlibat ikut dibunuh.
Pembunuhan massal yang terjadi sangat mengerikan. Orang Tutsi yang ditemui dibunuh tanpa ampun. Metode untuk membunuh terentang dari pembacokan, penggantungan, pelemparan granat, dihajar hingga mati, ditusuk pisau, dipapas kampak kecil, pemotongan anggota tubuh, dikubur hidup-hidup, ditenggelamkan, ditembak, serta diperkosa lalu dibunuh. Di seluruh negeri, aksi-aksi pembunuhan yang dilakukan diupayakan tidak meninggalkan saksi mata. Artinya, seluruh komunitas Tutsi dibunuh tanpa terkecuali. Sebagai contoh, di wilayah Kibuye, sekitar 20,000 orang Tutsi mengungsi ke stadion Gatwaro. Belum lama di sana, tentara dan milisi datang mengepung, lalu menembaki mereka semua tanpa sisa. Pada saat yang sama, radio-radio terus menyulut api dengan mengeluarkan pengumuman seperti “musuh masih banyak di luar sana, cari mereka,” atau “makam masih terisi setengah.”
Para pelaku genosida bukan hanya militer atau milisia. Di bawah ancaman milisia, banyak orang Hutu diperintahkan untuk membunuh tetangganya. Yang menolak atau gagal melakukannya dibayar dengan nyawanya sendiri dan keluarganya. Sebagian orang Hutu sipil melakukannya dengan suka rela. Berbeda dengan genosida Yahudi oleh Nazi pada Perang Dunia II yang dilakukan oleh pasukan berseragam (tentara resmi) dan disembunyikan dari masyarakat sipil Jerman, di Rwanda masyarakat sipil ikut dilibatkan. Dengan peralatan seadanya yang mereka punya, mereka berburu orang Tutsi.
Perkiraan awal jumlah korban genosida Rwanda terentang antara 500,000 sampai 800,000, dalam kurun waktu hanya 3 bulan genosida. Sensus pada bulan Juli 2000 menemukan angka 951,018 korban, tapi total kematiannya diperkirakan menyentuh angka di atas 1 juta. Dari jumlah itu, 93,7% adalah orang Tutsi; 1% karena menikah atau berteman dengan orang Tutsi; 0,8% karena terlihat seperti Tutsi; dan 0,8% karena musuh rejim Hutu pada saat itu atau menyembunyikan orang yang hendak dibunuh. Setiap milisi diperkirakan rerata membunuh antara 200-300 orang.
Pada pertengahan Juni 1994, RPF berhasil membangun kekuatannya kembali. Mereka menyerang Rwanda dan memaksa kekuatan pemerintah mundur ke wilayah tenggara, yang mengakhiri kekuasaan Hutu. Sebagai balas dendam, RPF membunuh sekitar 50,000 pria Hutu di wilayah-wilayah yang dikuasainya karena semua pria Hutu dianggap sebagai pelaku genosida. Pada awal bulan Juli, pasukan PBB baru datang kembali dan kemudian secara perlahan mengambil alih kekuasaan untuk mengakhiri saling bantai.
Kini, kaum Tutsi memegang kendali kekuasaan di Rwanda. Mereka membangun kebijakan agar tidak akan pernah lagi kaum Hutu memegang kekuasaan, karena syarat bagi survival mereka hanyalah bila mereka sendiri yang memegang kekuasaan. Pemerintahan mereka cukup sukses. Jutaan pengungsi Hutu di Zaire/Kongo berhasil dipulangkan. Kondisi ekonomi juga membaik. Semua anak muda Rwanda dimasukkan dalam kamp-kamp pembelajaran yang mengajarkan cinta pada sesama. Sebagian orang Hutu diberi porsi kekuasaan, meski tidak besar. Harapannya, genosida antara Hutu-Tutsi tidak akan terjadi lagi. Akan tetapi banyak yang meragukannya, di wilayah pedesaan terus terdapat sentimen kuat di antara orang Hutu bahwa pemerintahan Tutsi adalah pemerintahan asing. Banyak yang percaya bahwa konflik antara kedua suku akan kembali terjadi di masa depan, karena telah sedemikian dalam permusuhan di antara mereka.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Andrew Wallis. (2006). Silent Accomplice: The Untold Story of France’s Role in the Rwandan Genocide. New York: I.B.Tauris & Co Ltd.
Christopher C. Taylor. (2002). The Cultural Face of Terror in the Rwandan Genocide of 1994. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 137-178. Berkeley: University of California Press.
Michelle S. Lyon & Mark A. Drumbl. (2005). International Criminal Tribunal for Rwanda. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 547-555. Farmington Hills: Thomson Gale.
Nigel Eltringham (2004). Accounting for Horror: Post-genocide debates in Rwanda. London: Pluto Press.
René Lemarchand. (2004). The Burundi Genocide. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 321-337. New York: Routledge.
René Lemarchand. (2004). The Rwanda Genocide. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 395-412. New York: Routledge.
René Lemarchand. (2005). Burundi. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 133-136. Farmington Hills: Thomson Gale.
Robert Melson. (2003). Modern Genocide in Rwanda: Ideology, revolution, war, and mass murder in an african state. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 325-338. Cambridge: Cambridge University Press.
Tarique Niazi. (2005). Global Inaction, Ethnic Animosity, or Resource Maldistribution? An ecological explanation of genocide in Rwanda. Dalam Graham C. Kinloch & Raj P. Mohan (Eds.), Genocide: approaches, case studies, and responses, hal. 163-193. New York: Algora Publishing.
Timothy Longman. (2005). Rwanda. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 925-933. Farmington Hills: Thomson Gale.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
7.
GENOSIDA KAMBOJA
Waktu kejadian: 1975-1979.
Korban: Orang Kamboja
Jumlah korban: 2,000,000
Pelaku: Khmer Merah
Antara abad ke 9 hingga 14, orang Khmer di Kamboja pernah memiliki Kerajaan besar Angkor yang wilayahnya mencakup Vietnam, Laos, Thailand hingga Myanmar sekarang ini. Ibukota kerajaan itu, Angkor, berpopulasi 1 juta jiwa (pada saat yang sama, Paris yang merupakan salah satu kota terbesar di Eropa hanya dihuni sekitar 30 ribu jiwa). Di dalam Angkor, kerajaan Hindu tersebut membangun kompleks peribadatan seluas 75 km2 (terbesar di dunia hingga saat ini). Lebih dari 1000 candi Hindu dibangun, yang satu sama lain terhubung dalam jaringan dam dan kanal yang airnya ditampung dari perbukitan sekitarnya. Abad-abad kemudian, pengaruh mereka menyusut dan perlahan mengadopsi Buddhisme. Mereka jatuh dalam pengaruh Buddhisme Siam (Thailand) dan kemudian di bawah Konfusionisme Dai Nam (Vietnam). Pada suatu masa, Kerajaan Khmer (pewaris kerajaan Angkor) pernah hampir dikuasi seluruhnya oleh Vietnam sehingga menimbulkan rivalitas mendalam antara Kamboja dan Vietnam hingga abad ke 21. Pada pertengahan abad ke 19, kerajaan Khmer menerima perlindungan dari Prancis untuk menghadapi Siam dan Dai Nam. Sejak saat itu (1863), Kamboja menjadi wilayah Protektorat atau negara bawahan Prancis. Kemudian, menyusul Laos dan Vietnam dikuasai Prancis dan dijadikan wilayah Indocina Prancis.
Pada perkembangannya, Prancis memodernkan Vietnam tapi meninggalkan Kamboja tanpa banyak perubahan. Prancis memajukan pertanian di Vietnam hingga menciptakan petani-petani kaya, mengenalkan industri, memajukan pendidikan serta menciptakan banyak kaum profesional dan intelektual. Hal yang sama tidak terjadi di Kamboja yang tetap tertinggal. Lantas pihak Prancis memasukkan banyak sekali orang Vietnam terdidik untuk membantu administrasi pemerintahan di Kamboja dan juga memasukkan pekerja Vietnam untuk menangani pertanian dan perkebunan. Prancis juga memasukkan Orang Cina ke Kamboja untuk mengurusi perdagangan, yang segera menjadi etnik minoritas terbesar di Kamboja.
Orang-orang Khmer (orang Kamboja asli) terbelah dalam dua pandangan berbeda. Sebagian kalangan melihat bahwa bantuan Prancis akan memulihkan lagi kejayaan mereka di masa lalu, sedangkan sebagian lagi beranggapan kalau mereka berada di era kepunahan di tangan orang-orang Vietnam, yang telah menjadi rival mereka sejak lama. Mereka cemas dengan keberadaan orang-orang Vietnam di Kamboja terus menerus membesar dan mengisi jabatan-jabatan penting dalam birokrasi di Kamboja. Dilihatnya Kamboja mulai dikuasai orang Vietnam. Pada saat yang sama, etnik Cina juga terus membesar dan menguasai perdagangan. Pada tahun 1940-an, ibukota Pnom Penh yang dihuni sekitar 100,000 orang didominasi orang Cina dan Vietnam. Dua pandangan ini yang kemudian melandasi terjadinya genosida di tahun 1970-an.
Pada Perang Dunia II, antara tahun 1941 sampai 1945, Kamboja dikuasai Jepang. Usai perang, wilayah itu dikembalikan kepada Prancis. Setelah Perang Dunia II terjadi kebangkitan nasionalisme di Negara-negara dunia ketiga, termasuk di Kamboja. Sebelumnya, pada tahun 30-an dan 40-an, kaum nasionalis di Vietnam telah berhasil memaksa Prancis keluar dari Vietnam, dan mengubah Vietnam menjadi Negara komunis. Di Kamboja, para birokrat dan pihak otokrat Kamboja meminta penyerahan kekuasaan damai dari Prancis ke tangan mereka. Di sisi lain, para pemuda yang berstatus lebih rendah menghendaki revolusi politik menyeluruh, kalau perlu revolusi bersenjata. Para pemuda tersebut digerakkan oleh mereka-mereka yang mendapat pendidikan Prancis, melalui beasiswa Pemerintah Prancis kepada banyak pemuda Kamboja pada awal tahun 1950-an. Diketahui sekitar seperempatnya bergabung ke dalam Partai Komunis Prancis selama mereka menempuh pendidikan di Prancis. Saat kembali ke tanah air, mereka mendirikan Partai Komunis Kamboja, dan berusaha mengusir Prancis sekaligus menurunkan tahta Raja Norodom Sihanouk.
Pada tahun 1953, Prancis keluar sepenuhnya dari Kamboja dengan menyerahkan kekuasaan pada Kerajaan Merdeka di bawah Pangeran Norodom Sihanouk. Sang Raja lantas menjadi penguasa Negara sepenuhnya. Akibat gerakan-gerakan revolusioner untuk mengganti bentuk kerajaan yang dilakukan oleh kaum komunis Kamboja, Pangeran Sihanouk menekan keras kaum komunis. Dibubarkannya parlemen hasil pemilu dan melarang aktivitas partai komunis. Sebagian pemuda dalam partai komunis itu pun lantas mundur ke hutan-hutan dan sebagian bergabung dengan Komunis Vietnam. Rejim Sihanouk bertahan sampai tahun 1970, ketika sebuah kudeta militer yang dipimpin oleh Lon Nol menggulingkannya, dan mendirikan Republik Khmer.
Perlahan namun pasti, Partai Komunis Kamboja yang dipimpin oleh Saloth Sar atau lebih dikenal sebagai Pol Pot (Saudara Nomor Satu) dan Nuon Chea mendapatkan pengikut dan mulai meluaskan kekuasaannya. Keadaan ekonomi yang memburuk dan politik yang dipenuhi korupsi mempercepat pertumbuhannya. Sebelumnya, sejak tahun 1965, pihak Amerika Serikat bertempur dengan Komunis Vietnam. Sebagai imbasnya, wilayah Kamboja yang berbatasan langsung dengan Vietnam ikut menjadi medan tempur karena banyak tentara Vietnam yang masuk ke wilayah Kamboja. Pengeboman besar-besaran terjadi di wilayah perbatasan. Kehancuran di mana-mana menyebabkan banyak orangtua menyerahkan anak-anak muda mereka ke kelompok komunis.
Republik Khmer berusaha menekan komunisme dengan brutal. Mereka melawan keras komunisme. Dengan bantuan pihak Amerika Serikat, mereka berhasil memaksa pihak komunis hanya mencapai perkembangan lambat. Akan tetapi pihak Kongres Amerika menemukan fakta adanya pengeboman di wilayah Kamboja sehingga membatalkan segala bentuk bantuan ke Kamboja. Alhasil, Republik Khmer menghadapi komunisme sendirian. Saat pihak komunis yang menyebut diri mereka Khmer Merah (Khmer Rogue) menyerang Pnom Penh, mereka tak berdaya. Akhirnya, pada tanggal 17 April 1975, Khmer Merah sepenuhnya menduduki ibu kota Pnom Penh dan menguasai Kamboja. Mereka memaklumkan Negara baru yang bernama Democratic Kampuchea.
Khmer Merah memiliki ambisi mengembalikan kejayaan kaum Khmer di masa lalu dengan membentuk sebuah model komunisme yang mengombinasikan aspek-aspek paling radikal dari revolusi Soviet, China dan Vietnam. Mereka membebaskan diri dari pengaruh asing manapun, khususnya pengaruh Barat dan Vietnam. Dalam pandangan mereka, Kamboja tidak perlu belajar atau mengimpor apapun dari tetangga. Mereka yakin bisa mengembalikan kejayaan Kamboja dengan membangun kekuatan ekonomi yang tangguh seperti era kerajaan Angkor, dan mendapatkan kembali wilayah yang hilang dari tangan Vietnam dan Thailand. Mereka ingin memurnikan Kamboja dari musuh keturunan (khususnya Vietnam), dan dari mereka yang berpendidikan asing (kecuali Pol Pot dan rekan-rekan dekatnya yang berpendidikan Prancis). Mereka juga percaya bahwa untuk mengatasi keterbelakangan Kamboja, maka harus diterapkan sistem komunisme sejati yang otonom, yang semakin cepat dilakukan maka akan semakin baik. Visi mereka tentang komunisme sejati adalah menjadikan seluruh populasi ke dalam pertanian kolektif: semuanya mendapatkan kehidupan ekonomi yang sama dan bertahap mendapatkan hak politis yang sama untuk menciptakan surplus pertanian. Mereka menghapuskan pasar dan uang. Semua bentuk masyarakat urban ditiadakan.
Hanya beberapa jam setelah menguasai Pnom Penh, Pol Pot memerintahkan evakuasi perkotaan di seluruh Kamboja. Hanya dalam waktu dua hari, sekurang-kurangnya 2 juta orang yang hidup di kota dipindahkan ke pedesaan. Kota-kota dikosongkan. Selama empat tahun berikutnya, kota-kota (yang sudah menjadi mantan kota) hanya dihuni oleh pemimpin politis, administrator pemerintahan, personil militer dan keluarganya saja, serta sedikit pekerja dengan total populasi di seluruh Kamboja di bawah 20,000 orang. Peristiwa de-urbanisasi atau pendesaan atau pengosongan kota itu merupakan yang terbesar dalam catatan sejarah.
Khmer Merah mengambil kebijakan untuk menihilkan semua bentuk ancaman terhadap pelaksanaan cita-citanya. Ideologi mereka adalah anti kota, anti asing, dan anti intelektualitas. Mereka menihilkan orang kaya/borjuis; para profesional (misalnya dokter, pengacara, guru dan ahli-ahli lainnya); “kakitangan imperialis” (mereka yang pernah bekerja sama dalam segala bentuk dengan Amerika Serikat dan rejim pemerintahan sebelumnya di Pnom Penh); etnik minoritas, serta mereka yang berpendidikan. Semua sekolah ditutup. Anak-anak dianggap tidak perlu diberi pendidikan tentang teknik atau keilmuan (sains). Semua yang berpendidikan lebih dari tingkat 7 (atau kira-kira lebih dari SD) dianggap sebagai musuh negara. Yang kedapatan bisa berbahasa asing diancam dibunuh. Bahkan berkacamata saja, yang dicap sebagai indikasi berpendidikan tinggi, sudah cukup menjadi alasan untuk dilenyapkan. Alhasil mereka menyapu bersih sebagian besar masyarakat perkotaan. Lahan Perpustakaan Nasional dijadikan kandang babi, bebek dan ayam. Buku-buku dibuang untuk memberi ruang bagi perkakas dapur umum.
Kamboja ditutup diri dari dunia luar maupun dari dalam. Perbatasan ditutup, semua militer negara tetangga diserang, penggunaan bahasa asing dilarang, kedutaan dan media luar negeri diusir, koran lokal dan televisi dimatikan, radio dan sepeda disita, surat dan telepon dicegah. Lebih buruk lagi, orang-orang Kamboja hanya sedikit berkomunikasi satu sama lain. Dengan cepat mereka belajar bahwa menunjukkan pengetahuan atau keterampilan yang dipengaruhi asing (yang normal dalam masyarakat modern), sebagai bodoh, karena bisa membuat diri terbunuh. Lebih lanjut, identitas etnik dan praktek keagamaan dilarang. Pada Januari 1979 ketika Khmer Merah digulingkan, Kamboja telah berubah menjadi negara primitif tanpa pasar, tanpa listrik, tanpa air minum yang aman, tanpa sanitasi dan tanpa uang.
Selama rejim Khmer Merah berkuasa antara tahun 1975-1979, sejumlah 740,000 sampai 3,314,000 orang tewas, dengan perkiraan terbaik di angka sekitar 2 juta. Artinya, sekitar 25% jumlah total populasi di negara itu binasa, atau 1:4. Mereka tewas akibat eksekusi langsung atau karena kelaparan dan wabah penyakit akibat kekurangan pangan. Diketahui, sekitar 15% masyarakat pedesaan dan 25% masyarakat perkotaan binasa. Dari sekitar 450 dokter berkualifikasi di Kamboja pada awal 70-an, hanya tersisa 43 orang setelah rejim berakhir. Dari sejumlah 50,000 biksu sebelum 1975, 4 tahun kemudian hanya tersisa sekitar 3000 biksu. Seluruh etnik Vietnam lenyap. Separuh orang China terbunuh (sekitar 200,000 korban). Sepertiga etnis Cham yang mayoritas Muslim dibinasakan (sedikitnya 100,000). Diperkirakan 90% bangunan sekolah dihancurkan dan 75% guru sekolah serta dosen dibunuh.
Keruntuhan Khmer Merah datang pada Januari 1979 ketika tentara Vietnam yang membantu pemberontak di Kamboja Selatan menyerang dengan kekuatan penuh. Sebulan sebelumnya, Pol Pot sendiri yang menginisiasi serangan terhadap Vietnam sebagai bagian dari perluasan wilayah. Pada tanggal 7 Januari 1979, Pnom Penh berhasil dikuasai. Khmer Merah melarikan diri ke wilayah utara dan terus aktif di sana sampai akhir tahun 1990-an. Kamboja kemudian dikendalikan oleh pemerintahan boneka Vietnam. Hun Sen, yang merupakan mantan pemimpin Khmer Merah yang memberontak, menjadi pemimpinnya. Kamboja baru benar-benar mendapatkan pemerintahan sendiri setelah Vietnam meninggalkan Kamboja tahun 1989.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Alexander Laban Hinton. (2005). Why Did They Kill: Cambodia in the shadow of genocide. Berkeley: University of California Press.
Ben Kiernan. (2004). The Cambodian Genocide 1975–1979. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 339-373. New York: Routledge.
May Ebihara & Judy Ledgerwood. (2002). Aftermaths of Genocide: Cambodian villagers. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 272-291. Berkeley: University of California Press.
Peter H. Maguire. (2005). Facing Death in Cambodia. New York: Columbia University Press.
Steve Heder (2005). Cambodia. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 141-146. Farmington Hills: Thomson Gale.
Tom Fawthrop & Helen Jarvis. (2004). Getting Away With Genocide? Elusive justice and the khmer rouge tribunal. London: Pluto Press.
Toni Shapiro-Phim. (2002). Dance, Music, and the Nature of Terror in Democratic Kampuchea. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 179-197. Berkeley: University of California Press.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
8.
GENOSIDA TIMOR TIMUR
Waktu kejadian: 1975-1980
Korban: Orang Timor Timur
Jumlah korban: 200,000
Pelaku: Indonesia
Pada saat militer Indonesia melakukan operasi militer ke Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975, ada suatu konsensus umum bahwa hal itu hanya akan menjadi persoalan singkat. Angkatan bersenjata gerakan kemerdekaan Timor Timur yang kecil dan kurang dipersenjatai sama sekali bukan tandingan militer Indonesia. Secara internasional, Indonesia dilihat sebagai sekutu sangat penting bagi negara-negara industri maju, sedangkan Timor Timur tidak memiliki dukungan internasional yang penting, dan akan sangat mudah diisolasi secara ekonomi, politik dan diplomasi oleh Indonesia. Pada tahun 1974, jumlah penduduk Timor Timur pun hanya 688,771 jiwa. Alhasil hampir tidak ada ribut-ribut dunia internasional tentang invasi tersebut. Apabila invasi berhasil mulus tanpa terlalu banyak korban, dunia internasional akan menganggapnya sebagai sekedar korban yang tak bisa dihindarkan dari sebuah operasi militer. Invasi itu pun akan diakui sepenuhnya. Akan tetapi Indonesia gagal menciptakan suatu “penaklukan singkat” tanpa skandal. Pembunuhan besar-besaran terjadi. Diperkirakan sepertiga penduduk Timor Timur binasa, sehingga kemudian digolongkan sebagai genosida.
Indonesia dan Timor Timur adalah negeri yang terbentuk akibat kolonialisme Eropa. Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, merupakan bekas wilayah Hindia Belanda. Sedangkan Timor Timur adalah bekas wilayah kolonial Portugis. Kuku Portugis ditancapkan di Timor Timur sedini tahun 1702, saat pertama kali mendirikan koloni di sana. Sejak saat itu, selama dua abad berikutnya mereka berkali-kali bertempur melawan Belanda dalam upaya saling rebut pulau Timor. Perjanjian damai akhirnya ditandatangani keduanya pada tahun 1913, yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian: Timor Timur menjadi wilayah Portugis, dan Timor Barat menjadi wilayah Belanda. Pada tahun 1949, Timor Barat menjadi wilayah Indonesia, sedangkan Timor Timur tetap dipertahankan Portugal. Meskipun bertetangga, hampir tidak ada perhatian Indonesia terhadap wilayah itu selama bertahun-tahun. Saat Presiden Soekarno mengumumkan gerakan melawan kolonialisme pada tahun 1960-an, yang dimaksudkannya adalah kolonialisme Inggris di Brunei dan Malaysia. Tidak ada perhatian diberikan pada Timor Timur. Mungkin hal itu karena wilayahnya yang kecil, terisolasi, dan miskin.
Pada tanggal 25 April 1974, seiring kejatuhan diktator Marcelo Caetano, rejim baru memutuskan untuk melepaskan negeri-negeri koloninya, yakni Angola, Mozambique, Guinea-Bissau, dan Timor Timur. Partai-partai gerakan kemerdekaan pun bermunculan di Timor Timur. Dua partai besar yang paling mendapat dukungan adalah Fretilin (Front for an Independent East Timor) dan UDT (Timorese Democratic Union). Keduanya menjadi pemain kunci dalam dinamika politik di Timor Timur. Pada bulan Januari 1975, UDT dan Fretilin bersatu membentuk koalisi untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh bagi Timor Timur yang akan dicapai dalam tiga tahun ke depan.
Kekuatiran bahwa kemerdekaan Timor Timur bisa memicu upaya pemerdekaan kelompok etnik lain di wilayah sekitarnya, seperti Ambon dan Timor Barat, mendorong pemerintah Indonesia untuk memikirkan skenario pengintegrasian Timor Timur ke dalam Indonesia. Obsesi akan gerakan komunisme ikut memperkuat keputusan untuk menginvasi Timor Timur. Mereka kuatir Timor Timur menjadi basis komunisme. Selain itu, diduga ketertarikan terhadap cadangan minyak di Celah Timor, yang pada tahun 1970-an ditemukan menjadi faktor lain yang menentukan. Pada saat itu dipercaya kalau Celah Timor menyimpan cadangan minyak terbesar di dunia, bahkan melebihi negara-negara teluk. Baru pada dekade belakangan diketahui kalau cadangan yang ada tidak sebesar yang diduga semula dan pengeborannya sangat sulit dilakukan.
Pada bulan-bulan awal tahun 1975, militer Indonesia membujuk UDT untuk mengadakan kudeta dengan alasan kaum muda radikal dalam tubuh Fretilin diduga akan mengadakan kudeta secepatnya. Kudeta pun dilancarkan UDT pada bulan Agustus 1975. Gubernur Koloni Portugis beserta para pegawai administrasinya melarikan diri ke kepulauan Atauro dan tidak pernah kembali. Akan tetapi Fretilin lebih siap menghadapinya. Banyak tentara kolonial desersi dari militer Portugal dan bergabung dalam Fretilin, lalu bersama-sama mematahkan kudeta UDT. Para pemimpin UDT lantas melarikan diri ke perbatasan Timor Barat dan memasuki wilayah Indonesia. Mereka menandatangani dokumen yang menyerukan pengintegrasian Timor Timur dengan Indonesia, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi invasi Indonesia.
Sampai dengan September 1975, Fretilin menguasai sebagian besar wilayah Timor Timur. Para pemimpinnya berulangkali meminta Portugal kembali untuk menyelesaikan sepenuhnya proses dekolonisasi. Akan tetapi Portugal menolak, sehingga Fretilin menjadi pemerintahan de fakto. Pada saat yang sama, sejumlah besar personel militer Indonesia mulai berdatangan ke perbatasan Timor Barat. Dengan harapan adanya sokongan dari PBB, pada tanggal 28 November 1975, di tengah adanya tekanan militer Indonesia di perbatasan, Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur. Seminggu kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan invasi penuh berkekuatan sekitar 30,000 tentara yang disebut sebagai “operasi komodo.” Operasi tersebut direncanakan oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo, Mayor Jenderal Benny Moerdani dan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Tujuannya mengambil alih Timor Timur apapun ongkosnya. Pada bulan Juli 1976, wilayah itu secara resmi dijadikan provinsi ke 27 Indonesia.
Invasi dilakukan melalui jalan udara dan laut, dengan tulang punggung pasukan terjun payung dan marinir. Hampir tanpa kesulitan berarti mereka berhasil menguasai kota Dili. Banyak yang menduga, bila militer masuk dengan cepat serta tidak menunjukkan tindakan brutal, invasi militer itu akan disambut di Timor Timur karena sebagian pihak memberikan dukungan pada pengintegrasian Timor Timur, yang wilayahnya menyempil kecil di sudut wilayah Indonesia yang besar. Sebelumnya, dunia internasional pun sepertinya memberikan lampu hijau bagi invasi. Amerika Serikat menyatakan kalau hendak melakukan invasi dipersilakan asal tidak menggunakan senjata dari Amerika Serikat. Australia juga menyiratkan bahwa pengintegrasian sesuatu yang bisa diterima. Sayangnya, resistensi di kalangan orang Timor terhadap invasi yang semestinya diimbangi dengan pengambilan simpati, direspons dengan pembersihan ala militer yang brutal. Mereka yang dianggap menjadi penghalang pengintegrasian dibunuh.
Minggu pertama invasi telah menelan ribuan korban. Berbagai tindak kekejaman dilakukan. Penangkapan dan penyiksaan terjadi. Laporan-laporan menunjukkan kalau pembunuhan banyak sekali terjadi di mana-mana. Pada beberapa desa, seluruh penduduk dewasanya di bunuh. Korban dalam jumlah besar pun berjatuhan. Gara-gara kekejaman itu sekelompok bersenjata di bawah Fretilin melakukan perang gerilya. Alhasil, sampai tiga bulan kemudian kekuasaan militer Indonesia terbatas di wilayah pantai dan perbatasan, serta sedikit wilayah yang bisa dicapai oleh jalan raya yang sangat sedikit kala itu. Ribuan Orang Timor yang merasa terancam mengungsi ke belakang garis Fretilin. Setelah dua tahun berlalu, Fretilin masih bisa mempertahankan diri berkat adanya dukungan penduduk. Didorong oleh lambatnya perkembangan, militer Indonesia mulai meneror penduduk di luar wilayah Fretilin. Desa-desa dihancurkan, panen dibakar dan penduduknya dibunuh. Tampaknya pembunuhan pada tahap ini terjadi secara spontan, tidak terorganisir dan reaktif.
Pada bulan September 1977 operasi militer besar-besaran dimulai. Wilayah-wilayah yang diduga menjadi basis Fretilin dibombardir. Semua yang dicurigai simpatisan Fretilin diburu, ditangkap, dan sebagian dibunuh. Sebagian dibawa ke kamp-kamp pengungsian namun suplai dari pihak militer sedikit sehingga memicu kelaparan. USAID memperkirakan pada tahun 1979 terdapat 300,000 orang berada dalam kamp-kamp semacam itu, atau hampir separuh dari total populasi Timor Timur. Sampai dengan akhir 70-an, Fretilin masih terus memberikan perlawanan. Sebagai respons, Operasi Keamanan dilaksanakan. Pria berusia 8 sampai 50 yang diambil dari kamp dan desa-desa dipaksa berjalan dalam formasi panah di depan unit militer yang mencari anggota Fretilin. Mereka lalu dipaksa menyerah atau jika bertempur terpaksa harus menembaki orang-orang Timor sendiri.
Berbagai tindak kekerasan dilakukan militer Indonesia selama pendudukan, mulai dari penyiksaan, pemenjaraan hingga pembunuhan langsung sebagai bagian dari upaya melenyapkan Fretilin. Teror dilakukan. Di mana-mana berdiri penjara. Setiap ada kepala polisi, di sana ada penjara; setiap ada kelompok marinir, di sana juga ada penjara. Asal dicurigai ada kaitan dengan Fretilin, seseorang akan dipenjara. Beragam metode penyiksaan dijalankan oleh militer Indonesia, dari cabut kuku sampai ditenggelamkan di laut. Pembunuhan menjadi hal lazim. Dalam pembersihan ke desa-desa, selain lelaki dewasa, tak jarang wanita dan anak-anak ikut dibunuh. Kekerasan demi kekerasan terus menerus berlanjut pada tahun-tahun kemudian.
Adam Malik, menteri luar negeri Indonesia menyatakan bahwa korban terbunuh sejak invasi hingga April 1977 diperkirakan antara 50,000 sampai 80,0000. Kelompok gereja mengklaim jumlah korban mencapai 100,000 orang pada saat yang sama. Setelah itu korban masih terus berjatuhan dalam berbagai operasi militer. Laporan Amnesti Internasional menunjukkan bahwa operasi militer Indonesia telah membawa korban hingga 200,000 orang. Itu artinya hampir sepertiga penduduk Timor Timur binasa. Pembunuhan dan kekejaman itu akhirnya membawa Indonesia ke dalam posisi ditekan oleh dunia internasional. Sebelum invasi, banyak dukungan internasional untuk mengintegrasikan Timor Timur. Setelah terungkapnya genosida tersebut dan kekerasan terus menerus yang dilakukan militer Indonesia, dukungan menjadi berkurang. Tekanan internasional menghampiri Indonesia. Uskup Bello dan Jose Ramos Horta yang terus menerus berusaha menyadarkan dunia internasional akan adanya kekerasan berkelanjutan di Timor Timur dianugerahi nobel perdamaian pada tahun 1996. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1999 ketika Presiden Indonesia, Habibie, menawarkan referendum bagi warga Timor Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih keluar dari Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak, lebih dari 76% suara menghendaki Timor Timur lepas dari Indonesia. Sulit dibantah bahwa kegagalan Indonesia gagal mengintegrasikan Timor Timur merupakan akibat tindakan kejam militernya.
Indonesia dan Timor Timur adalah negeri yang terbentuk akibat kolonialisme Eropa. Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memperoleh kedaulatan penuh pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar di Den Haag, merupakan bekas wilayah Hindia Belanda. Sedangkan Timor Timur adalah bekas wilayah kolonial Portugis. Kuku Portugis ditancapkan di Timor Timur sedini tahun 1702, saat pertama kali mendirikan koloni di sana. Sejak saat itu, selama dua abad berikutnya mereka berkali-kali bertempur melawan Belanda dalam upaya saling rebut pulau Timor. Perjanjian damai akhirnya ditandatangani keduanya pada tahun 1913, yang membagi pulau Timor menjadi dua bagian: Timor Timur menjadi wilayah Portugis, dan Timor Barat menjadi wilayah Belanda. Pada tahun 1949, Timor Barat menjadi wilayah Indonesia, sedangkan Timor Timur tetap dipertahankan Portugal. Meskipun bertetangga, hampir tidak ada perhatian Indonesia terhadap wilayah itu selama bertahun-tahun. Saat Presiden Soekarno mengumumkan gerakan melawan kolonialisme pada tahun 1960-an, yang dimaksudkannya adalah kolonialisme Inggris di Brunei dan Malaysia. Tidak ada perhatian diberikan pada Timor Timur. Mungkin hal itu karena wilayahnya yang kecil, terisolasi, dan miskin.
Pada tanggal 25 April 1974, seiring kejatuhan diktator Marcelo Caetano, rejim baru memutuskan untuk melepaskan negeri-negeri koloninya, yakni Angola, Mozambique, Guinea-Bissau, dan Timor Timur. Partai-partai gerakan kemerdekaan pun bermunculan di Timor Timur. Dua partai besar yang paling mendapat dukungan adalah Fretilin (Front for an Independent East Timor) dan UDT (Timorese Democratic Union). Keduanya menjadi pemain kunci dalam dinamika politik di Timor Timur. Pada bulan Januari 1975, UDT dan Fretilin bersatu membentuk koalisi untuk mempersiapkan kemerdekaan penuh bagi Timor Timur yang akan dicapai dalam tiga tahun ke depan.
Kekuatiran bahwa kemerdekaan Timor Timur bisa memicu upaya pemerdekaan kelompok etnik lain di wilayah sekitarnya, seperti Ambon dan Timor Barat, mendorong pemerintah Indonesia untuk memikirkan skenario pengintegrasian Timor Timur ke dalam Indonesia. Obsesi akan gerakan komunisme ikut memperkuat keputusan untuk menginvasi Timor Timur. Mereka kuatir Timor Timur menjadi basis komunisme. Selain itu, diduga ketertarikan terhadap cadangan minyak di Celah Timor, yang pada tahun 1970-an ditemukan menjadi faktor lain yang menentukan. Pada saat itu dipercaya kalau Celah Timor menyimpan cadangan minyak terbesar di dunia, bahkan melebihi negara-negara teluk. Baru pada dekade belakangan diketahui kalau cadangan yang ada tidak sebesar yang diduga semula dan pengeborannya sangat sulit dilakukan.
Pada bulan-bulan awal tahun 1975, militer Indonesia membujuk UDT untuk mengadakan kudeta dengan alasan kaum muda radikal dalam tubuh Fretilin diduga akan mengadakan kudeta secepatnya. Kudeta pun dilancarkan UDT pada bulan Agustus 1975. Gubernur Koloni Portugis beserta para pegawai administrasinya melarikan diri ke kepulauan Atauro dan tidak pernah kembali. Akan tetapi Fretilin lebih siap menghadapinya. Banyak tentara kolonial desersi dari militer Portugal dan bergabung dalam Fretilin, lalu bersama-sama mematahkan kudeta UDT. Para pemimpin UDT lantas melarikan diri ke perbatasan Timor Barat dan memasuki wilayah Indonesia. Mereka menandatangani dokumen yang menyerukan pengintegrasian Timor Timur dengan Indonesia, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi invasi Indonesia.
Sampai dengan September 1975, Fretilin menguasai sebagian besar wilayah Timor Timur. Para pemimpinnya berulangkali meminta Portugal kembali untuk menyelesaikan sepenuhnya proses dekolonisasi. Akan tetapi Portugal menolak, sehingga Fretilin menjadi pemerintahan de fakto. Pada saat yang sama, sejumlah besar personel militer Indonesia mulai berdatangan ke perbatasan Timor Barat. Dengan harapan adanya sokongan dari PBB, pada tanggal 28 November 1975, di tengah adanya tekanan militer Indonesia di perbatasan, Fretilin mengumumkan kemerdekaan Timor Timur. Seminggu kemudian, pada tanggal 7 Desember 1975, Indonesia melancarkan invasi penuh berkekuatan sekitar 30,000 tentara yang disebut sebagai “operasi komodo.” Operasi tersebut direncanakan oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo, Mayor Jenderal Benny Moerdani dan Letnan Jenderal Yoga Sugama. Tujuannya mengambil alih Timor Timur apapun ongkosnya. Pada bulan Juli 1976, wilayah itu secara resmi dijadikan provinsi ke 27 Indonesia.
Invasi dilakukan melalui jalan udara dan laut, dengan tulang punggung pasukan terjun payung dan marinir. Hampir tanpa kesulitan berarti mereka berhasil menguasai kota Dili. Banyak yang menduga, bila militer masuk dengan cepat serta tidak menunjukkan tindakan brutal, invasi militer itu akan disambut di Timor Timur karena sebagian pihak memberikan dukungan pada pengintegrasian Timor Timur, yang wilayahnya menyempil kecil di sudut wilayah Indonesia yang besar. Sebelumnya, dunia internasional pun sepertinya memberikan lampu hijau bagi invasi. Amerika Serikat menyatakan kalau hendak melakukan invasi dipersilakan asal tidak menggunakan senjata dari Amerika Serikat. Australia juga menyiratkan bahwa pengintegrasian sesuatu yang bisa diterima. Sayangnya, resistensi di kalangan orang Timor terhadap invasi yang semestinya diimbangi dengan pengambilan simpati, direspons dengan pembersihan ala militer yang brutal. Mereka yang dianggap menjadi penghalang pengintegrasian dibunuh.
Minggu pertama invasi telah menelan ribuan korban. Berbagai tindak kekejaman dilakukan. Penangkapan dan penyiksaan terjadi. Laporan-laporan menunjukkan kalau pembunuhan banyak sekali terjadi di mana-mana. Pada beberapa desa, seluruh penduduk dewasanya di bunuh. Korban dalam jumlah besar pun berjatuhan. Gara-gara kekejaman itu sekelompok bersenjata di bawah Fretilin melakukan perang gerilya. Alhasil, sampai tiga bulan kemudian kekuasaan militer Indonesia terbatas di wilayah pantai dan perbatasan, serta sedikit wilayah yang bisa dicapai oleh jalan raya yang sangat sedikit kala itu. Ribuan Orang Timor yang merasa terancam mengungsi ke belakang garis Fretilin. Setelah dua tahun berlalu, Fretilin masih bisa mempertahankan diri berkat adanya dukungan penduduk. Didorong oleh lambatnya perkembangan, militer Indonesia mulai meneror penduduk di luar wilayah Fretilin. Desa-desa dihancurkan, panen dibakar dan penduduknya dibunuh. Tampaknya pembunuhan pada tahap ini terjadi secara spontan, tidak terorganisir dan reaktif.
Pada bulan September 1977 operasi militer besar-besaran dimulai. Wilayah-wilayah yang diduga menjadi basis Fretilin dibombardir. Semua yang dicurigai simpatisan Fretilin diburu, ditangkap, dan sebagian dibunuh. Sebagian dibawa ke kamp-kamp pengungsian namun suplai dari pihak militer sedikit sehingga memicu kelaparan. USAID memperkirakan pada tahun 1979 terdapat 300,000 orang berada dalam kamp-kamp semacam itu, atau hampir separuh dari total populasi Timor Timur. Sampai dengan akhir 70-an, Fretilin masih terus memberikan perlawanan. Sebagai respons, Operasi Keamanan dilaksanakan. Pria berusia 8 sampai 50 yang diambil dari kamp dan desa-desa dipaksa berjalan dalam formasi panah di depan unit militer yang mencari anggota Fretilin. Mereka lalu dipaksa menyerah atau jika bertempur terpaksa harus menembaki orang-orang Timor sendiri.
Berbagai tindak kekerasan dilakukan militer Indonesia selama pendudukan, mulai dari penyiksaan, pemenjaraan hingga pembunuhan langsung sebagai bagian dari upaya melenyapkan Fretilin. Teror dilakukan. Di mana-mana berdiri penjara. Setiap ada kepala polisi, di sana ada penjara; setiap ada kelompok marinir, di sana juga ada penjara. Asal dicurigai ada kaitan dengan Fretilin, seseorang akan dipenjara. Beragam metode penyiksaan dijalankan oleh militer Indonesia, dari cabut kuku sampai ditenggelamkan di laut. Pembunuhan menjadi hal lazim. Dalam pembersihan ke desa-desa, selain lelaki dewasa, tak jarang wanita dan anak-anak ikut dibunuh. Kekerasan demi kekerasan terus menerus berlanjut pada tahun-tahun kemudian.
Adam Malik, menteri luar negeri Indonesia menyatakan bahwa korban terbunuh sejak invasi hingga April 1977 diperkirakan antara 50,000 sampai 80,0000. Kelompok gereja mengklaim jumlah korban mencapai 100,000 orang pada saat yang sama. Setelah itu korban masih terus berjatuhan dalam berbagai operasi militer. Laporan Amnesti Internasional menunjukkan bahwa operasi militer Indonesia telah membawa korban hingga 200,000 orang. Itu artinya hampir sepertiga penduduk Timor Timur binasa. Pembunuhan dan kekejaman itu akhirnya membawa Indonesia ke dalam posisi ditekan oleh dunia internasional. Sebelum invasi, banyak dukungan internasional untuk mengintegrasikan Timor Timur. Setelah terungkapnya genosida tersebut dan kekerasan terus menerus yang dilakukan militer Indonesia, dukungan menjadi berkurang. Tekanan internasional menghampiri Indonesia. Uskup Bello dan Jose Ramos Horta yang terus menerus berusaha menyadarkan dunia internasional akan adanya kekerasan berkelanjutan di Timor Timur dianugerahi nobel perdamaian pada tahun 1996. Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1999 ketika Presiden Indonesia, Habibie, menawarkan referendum bagi warga Timor Timur untuk tetap bergabung dengan Indonesia atau memilih keluar dari Indonesia. Hasilnya sudah bisa ditebak, lebih dari 76% suara menghendaki Timor Timur lepas dari Indonesia. Sulit dibantah bahwa kegagalan Indonesia gagal mengintegrasikan Timor Timur merupakan akibat tindakan kejam militernya.
Sumber Bacaan
James Dunn. (2004). Genocide in East Timor. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 263-293. New York: Routledge.
James Dunn. (2005). East Timor. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 273-274. Farmington Hills: Thomson Gale.
James Waller. (2002). Becoming Evil: how ordinary people commit genocide and mass killing. New York: Oxford University Press.
John G. Taylor. (2003). “Encirclement and Annihilation”: The indonesian occupation of east timor. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 163-185. Cambridge: Cambridge University Press.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
9.
GENOSIDA GUATEMALA
Waktu kejadian: 1981-1983
Korban: orang Maya
Jumlah korban: 140,000
Pelaku: Pemerintah Guatemala
Guatemala adalah negeri kecil di benua Amerika. Populasi di dalamnya terdiri dari penduduk asli Maya (60%) dan Ladino, yaitu para keturunan Spanyol dan bangsa Indian lainnya. Orang Maya telah berdiam di wilayah tersebut setidak-tidaknya sejak sekitar 4000 tahun lalu sebagai bagian dari kelompok besar kaum Maya, yang telah membangun peradaban besar di semenanjung Yukatan, Amerika Tengah antara tahun 250-900 M. Pada abad ke 16, Spanyol menaklukkan mereka, dan sejak saat itu orang Maya terus menerus menjadi kelas terbawah dalam struktur sosial di Guatemala hingga sekarang.
Selama puluhan tahun Guatemala sarat konflik. Sejak awal 1950-an, pertentangan antara sayap kiri yang berorientasi komunis dan sayap kanan terus terjadi, yang kemudian menghasilkan perang sipil antara tahun 1961-1996. Pemerintah dan militer memihak kepentingan pengusaha besar dan para pemilik tanah. Mereka bertindak brutal dalam melindungi kepentingan-kepentingan pihak yang dilindunginya. Janji pemerintah untuk mereformasi kehidupan sosial, pertanian, dan ekonomi, agar terjadi perbaikan taraf hidup tidak dipenuhi. Pada akhirnya, sayap kiri dilarang berpartisipasi dalam pemilu. Sebagai respons, sekitar 120 anggota militer sayap kiri melakukan kudeta pada November 1960. Kudeta itu berhasil digagalkan, dan para pelakunya melarikan diri ke pegunungan untuk melakukan gerilya. Serangan-serangan gerilyawan mulai terjadi sejak tahun 1961 dan dimulailah perang sipil di Guatemala.
Pada tahun 1960-an, dunia sedang panas-panasnya dalam suasana perang dingin. Amerika Serikat memberikan dukungan penuh kepada militer Guatemala karena dianggap bisa menjadi sekutu dalam menghadapi komunisme. Mereka memberi bantuan jutaan dollar dan melatih kaum militer. Pihak militer sendiri telah menguasai pemerintahan sejak akhir tahun 50-an dan terus menerus memegang kendali hingga sekarang. Presiden Guatemala hampir selalu merupakan para Jenderal. Akan tetapi bantuan-bantuan Amerika Serikat justru memperkokoh militer untuk melakukan kebrutalan. Pada dekade akhir 60-an, dalam upaya melawan para gerilyawan, lebih dari 8000 orang terbunuh. Respons dari pihak gerilyawan adalah peningkatan aktivitas. Pada tahun 1968, gerilyawan membunuh dua atase militer Amerika Serikat di Guatemala dan lalu Duta besarnya. Dua tahun kemudian, mereka membunuh Duta Besar Jerman. Balasan pihak militer berupa peningkatan aktivitas pembersihan dan menjadi semakin brutal. Pada tahun 70-an terjadi penghilangan orang hingga lebih dari 40,000 orang. Mereka juga bertanggungjawab terhadap penghancuran lebih dari 440 desa. Sekitar 200,000 orang menjadi yatim dan 80,000 orang menjadi janda. Lebih dari 1 juta orang kehilangan rumah. Kaum oposisi, pegawai kehakiman, serikat dagang, akademisi, paramedis, pastur, suster, hingga pekerja kemanusiaan tak luput dari target. Ketika Romeo Lucas García menjadi presiden pada tahun 1978 (atas sokongan Amerika Serikat), lebih dari 5000 lawan politiknya dilenyapkan. (Pada tahun 1998, Presiden Bill Clinton meminta maaf kepada rakyat Guatemala atas bantuan-bantuan Amerika Serikat yang telah membantu menegakkan rejim yang melakukan kekejaman di Guatemala).
Selama puluhan tahun Guatemala sarat konflik. Sejak awal 1950-an, pertentangan antara sayap kiri yang berorientasi komunis dan sayap kanan terus terjadi, yang kemudian menghasilkan perang sipil antara tahun 1961-1996. Pemerintah dan militer memihak kepentingan pengusaha besar dan para pemilik tanah. Mereka bertindak brutal dalam melindungi kepentingan-kepentingan pihak yang dilindunginya. Janji pemerintah untuk mereformasi kehidupan sosial, pertanian, dan ekonomi, agar terjadi perbaikan taraf hidup tidak dipenuhi. Pada akhirnya, sayap kiri dilarang berpartisipasi dalam pemilu. Sebagai respons, sekitar 120 anggota militer sayap kiri melakukan kudeta pada November 1960. Kudeta itu berhasil digagalkan, dan para pelakunya melarikan diri ke pegunungan untuk melakukan gerilya. Serangan-serangan gerilyawan mulai terjadi sejak tahun 1961 dan dimulailah perang sipil di Guatemala.
Pada tahun 1960-an, dunia sedang panas-panasnya dalam suasana perang dingin. Amerika Serikat memberikan dukungan penuh kepada militer Guatemala karena dianggap bisa menjadi sekutu dalam menghadapi komunisme. Mereka memberi bantuan jutaan dollar dan melatih kaum militer. Pihak militer sendiri telah menguasai pemerintahan sejak akhir tahun 50-an dan terus menerus memegang kendali hingga sekarang. Presiden Guatemala hampir selalu merupakan para Jenderal. Akan tetapi bantuan-bantuan Amerika Serikat justru memperkokoh militer untuk melakukan kebrutalan. Pada dekade akhir 60-an, dalam upaya melawan para gerilyawan, lebih dari 8000 orang terbunuh. Respons dari pihak gerilyawan adalah peningkatan aktivitas. Pada tahun 1968, gerilyawan membunuh dua atase militer Amerika Serikat di Guatemala dan lalu Duta besarnya. Dua tahun kemudian, mereka membunuh Duta Besar Jerman. Balasan pihak militer berupa peningkatan aktivitas pembersihan dan menjadi semakin brutal. Pada tahun 70-an terjadi penghilangan orang hingga lebih dari 40,000 orang. Mereka juga bertanggungjawab terhadap penghancuran lebih dari 440 desa. Sekitar 200,000 orang menjadi yatim dan 80,000 orang menjadi janda. Lebih dari 1 juta orang kehilangan rumah. Kaum oposisi, pegawai kehakiman, serikat dagang, akademisi, paramedis, pastur, suster, hingga pekerja kemanusiaan tak luput dari target. Ketika Romeo Lucas García menjadi presiden pada tahun 1978 (atas sokongan Amerika Serikat), lebih dari 5000 lawan politiknya dilenyapkan. (Pada tahun 1998, Presiden Bill Clinton meminta maaf kepada rakyat Guatemala atas bantuan-bantuan Amerika Serikat yang telah membantu menegakkan rejim yang melakukan kekejaman di Guatemala).
Para gerilyawan yang selamat di tahun 70-an berhasil menarik hati para pendukung baru di kalangan petani Maya di dataran tinggi wilayah barat Guatemala, yang merupakan separuh populasi Guatemala. Selama dekade itu, dengan dukungan Gereja Katolik setempat dan para misionaris, kaum Maya mulai mengambil alih kontrol pemerintahan wilayah dari tangan Ladino. Mereka juga mulai menuntut agar bahasa dan budaya Maya diperlakukan dengan adil. Dijembatani oleh sayap kiri dalam Gereja Katolik, sebagian komunitas Maya bergabung ke dalam gerakan gerilya. Pada tahun 1981, kaum gerilyawan tampak telah mengontrol sebagian besar wilayah tersebut. Respons pemerintah sangat jelas: pembersihan total. Selama tiga rejim, yakni rejim Jenderal Romeo Lucas García (1978–1982), Jenderal Efraín Ríos Montt (1982–1983), dan Jenderal Oscar Mejía Victores (1983–1986), aktivitas pembersihan berada di puncak, terutama antara tahun 1981-1983. Semua yang dicurigai sebagai simpatisan atau sekedar berpotensi memberikan dukungan pada gerilyawan akan dilenyapkan. Dari pria, wanita, anak-anak hingga orangtua dibunuh meskipun tidak memberikan perlawanan.
Tentara memposisikan orang Maya di dataran tinggi wilayah barat sebagai musuh dari dalam. Semua orang Maya diposisikan sebagai musuh meskipun hanya sebagian komunitas Maya yang memberikan dukungan pada Gerilyawan. Mereka semua dianggap berpotensi menjadi markas, sumber makanan, sumber kader dan sekaligus tempat persembunyian. Saat itu, untuk mengatasi gerilyawan, pemerintah dan militer menerapkan strategi” quitarle el agua del pez” atau mengambil air dari para ikan. Sang air, yakni orang Maya yang menjadi tempat hidup para gerilyawan (tanpa orang Maya, gerilyawan dianggap tidak akan bisa hidup), pun dibantai. Secara sistematis, seluruh pedesaan dan komunitas Maya yang ada di wilayah gerilyawan atau berpotensi menjadi wilayah gerilyawan dihancurkan. Sasaran utama adalah komunitas Maya yang menggunakan 4 bahasa spesifik, yakni maya Ixil; Maya Q’anjob’al dan Chuj; Maya K’iche’; serta Maya Achi (suku maya dibedakan berdasarkan bahasa yang digunakan). Ratusan ribu orang dipaksa meninggalkan rumahnya. Banyak dari mereka yang kemudian melarikan diri ke pegunungan, dan sebagian kecil menjadi pengungsi di Meksiko, Amerika Serikat, dan Kanada.
Salah satu pembantaian paling dikenal adalah kasus di Las Dos Erres pada tahun 1982. Pada insiden itu, tentara membunuh lebih dari 162 orang di desa tersebut. Kekejaman dilakukan: sebagian dikubur hidup-hidup, bayi dibunuh dengan membenturkan kepalanya ke tembok, dan wanita muda diperkosa. Pola kekejaman itu terus berulang di banyak pembantaian lainnya. Tindak kekejaman lain, seperti mengamputasi organ tubuh, membakar hidup-hidup, hingga mengambil janin dari kandungan ibu, dilakukan di mana-mana. Tempat-tempat pemujaan, tempat suci, dan simbol-simbol budaya dilenyapkan. Setiap orang Maya dihancurkan karena dia seorang Maya. Tak ayal, banyak kaum muda Maya yang selamat kemudian memilih bergabung dengan gerilyawan. Mereka membenci militer. Diperkirakan antara 100,000-140,000 orang Maya tewas dalam operasi militer antara tahun 1981-1983. Salah satu kelompok orang Maya yang disebut Ixil, kehilangan 85,000 orang atau sepertiga dari populasinya.
Atas tekanan dari Eropa, Amerika Serikat, PBB dan Organisasi Negara-negara Amerika, pemerintah Guatemala dan militer bersedia melakukan perundingan dengan gerilyawan yang tergabung dalam Unidad Revolucionaria Nacional Guatemalteca (URNG). Hasilnya, pada tanggal 29 Desember 1996 ditandatangani perjanjian damai. Dalam perjanjian disepakati berbagai hal seperti soal pemukiman pengungsi, hak-hak penduduk asli (Maya), keadilan sosial-ekonomi dan pembentukan komisi kebenaran, yang pelaksanaannya dimonitor oleh United Nations Mission to Guatemala (MINUGUA). Untuk menginvestigasi kejahatan perang yang terjadi selama perang sipil, PBB membentuk CEH (Historical Clarification Commission), yang secara independen melakukan investigasi. Berdasarkan lebih dari 8000 testimoni dari korban dan keluarganya, CEH menyimpulkan bahwa negara bertanggungjawab terhadap 93% pelanggaran, dan bahwa militer telah melakukan 626 pembunuhan massal. Selama konflik, pihak militer dan sekutunya membunuh lebih dari 200,000 orang, yang 83%-nya adalah orang Maya, dan sisanya para Ladino. Di seluruh Guatemala terdapat ribuan pemakaman massal yang berhasil diketahui. Pihak gerilya sendiri dianggap bertanggungjawab terhadap 3% pelanggaran dan 32 pembunuhan kolektif. Tentu saja penemuan paling menyentak adalah genosida antara tahun 1981 sampai dengan 1983 terhadap orang Maya.
Sumber Bacaan
Beatriz Manz. (2002). Terror, Grief, and Recovery: Genocidal Trauma in a Mayan Village in Guatemala, 1992–1995. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 292-329. Berkeley: University of California Press.
David Stoll. (2005). Guatemala. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 419-422. Farmington Hills: Thomson Gale.
Greg Grandin. (2003). History, Motive, Law, Intent: Combining historical and legal methods in understanding guatemala’s 1981–1983 genocide. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 339-352. Cambridge: Cambridge University Press.
Samuel Totten. (1999). Genocide in Guatemala. Dalam Israel W. Charny (Ed.), Encyclopedia of genocide, hal. 281-283. Santa Barbara: ABC-Clio.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
10.
GENOSIDA KURDI
Waktu kejadian: 1988
Korban: Suku Kurdi
Jumlah korban: 200,000
Pelaku: Pemerintah Irak
Sejarah orang Kurdi bisa dilacak sedini era Sumeria Kuno hampir 4000 tahun lalu. Pada saat itu, wilayah Kurdistan disebut sebagai Karda dan kemudian pada era Babilonia disebut Qardu. Silih berganti mereka berada dalam kekuasaan asing, dari mulai Sumeria, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, Arab, Kekalifahan Baghdag, Kesultanan Seljuk Turki, Mongol, Kesultanan Favazid Turki, Kesultanan Ottoman Turki, hingga saat ini terbagi ke dalam 4 negara. Silih berganti pula mereka mengalami kekerasan dari penguasa asing mereka. Sebagai contoh, pada awal abad ke 17, sekitar 15,000 kaum Kurdi yang berada di wilayah Anatolia dipaksa pindah oleh penguasa Persia, Shah Abbas, menuju wilayah Persia (utara Iran saat ini), karena tidak ingin mereka dicaplok ke dalam Kesultanan Ottoman Turki yang sedang meluaskan wilayahnya. Pada beberapa kesempatan, kaum Kurdi bisa otonom dan memiliki pemerintahan sendiri. Ketika berada di bawah kekuasaan Romawi Bizantium dan Kekalifahan Baghdag, kaum Kurdi menikmati otonomi luas dan bisa mendirikan pemerintahan sendiri. Akan tetapi mereka lebih kerap berada di bawah pemerintahan langsung penguasa asing. Hal tersebut membuat munculnya pepatah terkenal di antara kaum Kurdi: “Orang Kurdi tidak memiliki teman, hanya mempunyai pegunungan.”
Mayoritas kaum Kurdi adalah pemeluk Islam seperti mayoritas komunitas di Timur Tengah. Akan tetapi dalam hal lainnya mereka unik dan berbeda. Mereka adalah etnik yang berbeda dengan etnik Arab, Turki, Persia atau etnik lainnya yang menghuni kawasan tersebut. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat, tradisi, hingga struktur etnik tersendiri yang berbeda dengan etnik lainnya. Secara turun temurun mereka pun menempati wilayah Kurdistan tanpa menyebar jauh ke luar wilayah tersebut, sehingga memperkuat pandangan bahwa wilayah Kurdistan merupakan wilayah kaum Kurdi.
Kekalahan Kesultanan Ottoman Turki pada Perang Dunia I (1915-1919) mulai membuat kaum Kurdi berkeinginan kembali memiliki pemerintahan sendiri. Dalam perjanjian Sevres tahun 1920 antara Turki yang kalah perang dengan negara-negara Allies yang menang perang (Inggris, Prancis, dan lainnya), janji pemberian kemerdekaan pada kaum Kurdi menjadi salah satu poinnya. Tak kurang dari Amerika Serikat memberikan dukungan langsung pada kemerdekaan Kurdi. Akan tetapi Turki mengabaikan perjanjian itu. Kaum nasionalis di bawah Mustafa Kemal Pasha melakukan serangan menduduki wilayah-wilayah yang dikendalikan negara-negara Allies. Berkat dukungan kuat Uni Soviet, Turki berhasil dengan cepat mengonsolidasi wilayah-wilayah yang didudukinya kembali. Ketika perjanjian baru ditandatangani tahun 1923, Kurdistan (termasuk Armenia yang sebelumnya juga dijanjikan kemerdekaan) tetap dimasukkan ke dalam wilayah Turki sebagai ganti wilayah Irak, Siria dan Siprus yang dilepaskan Turki. Kaum Kurdi pun gagal memperoleh kemerdekaannya. Wilayahnya kemudian dibagi-bagi ke dalam kekuasaan empat negara, yakni Turki, Iran, Irak, dan Siria (lihat peta). Dengan demikian seperti sebelum-sebelumnya, kaum Kurdi menjadi kaum minoritas di negeri kaum Turk (Turki), kaum Persia (Iran), dan kaum Arab (Siria, Irak).
Kaum minoritas Kurdi yang ada di wilayah Iran dan Turki mendapat tekanan yang kuat, baik secara militer maupun budaya. Mereka menjadi sasaran pengasimilasian paksa. Kaum Kurdi di Iran berusaha di-Persia-kan, dan kaum Kurdi di Turki berusaha di-Turki-kan. Berulang kali kaum Kurdi di negara itu mendapat serangan brutal dari militer sebagai upaya pemaksaan asimilasi (dalam upaya melenyapkan orang yang mengancam asimilasi dengan terus mempertahankan identitas Kurdi-nya sebagai pribadi maupun budaya), sehingga beberapa konflik bersenjata terjadi. Turki menerapkan kebijakan keras terhadap kaum Kurdi. Penggunaan bahasa Kurdi dan mempraktekkan budaya Kurdi dianggap sebagai tindakan kriminal. Memainkan musik dan tarian Kurdi; memakai pakaian tradisional Kurdi; memakai nama Kurdi; menyebut sebuah wilayah dengan istilah asli Kurdi; dan bahkan sekedar mendengarkan siaran musik atau rekaman musik kurdi sudah cukup membawa seseorang masuk penjara. Hanya karena adanya tekanan Uni Eropa yang memaksa dicabutnya larangan penggunaan bahasa Kurdi, maka Turki kemudian melegalkan penggunaan bahasa tersebut dalam percakapan sehari-hari pada tahun 1991. Hal yang kurang lebih sama terjadi di Iran. Sejak tahun 1920-an, di negeri Persia itu, bahasa dan budaya Kurdi dilarang dipraktekkan. Mereka yang masih melakukannya akan dikenai hukuman dan bisa mengalami penyiksaan.
Siria agak berbeda dengan Iran dan Turki. Tidak ada konflik bersenjata antara kaum Kurdi dan Pemerintah di negara tersebut. Namun demikian, asimilasi tetap dipaksakan dan pembersihan terhadap etnik Kurdi dilakukan. Pada awal 1960-an, sekitar 120,000 orang Kurdi di Kurdistan yang berada di wilayah Siria dicabut kewarganegaraan Siria-nya. Mereka mengusir penghuni 332 desa Kurdi dan menggantikannya dengan pemukim Arab. Kaum Kurdi yang tidak memiliki kewarganegaraan ini yang kemudian menyebar ke berbagai negara sebagai kaum diaspora.
Irak adalah satu-satunya negara selain Uni Soviet (sebagian komunitas Kurdi ada yang bermukim di wilayah Uni Soviet di Asia Tengah, yakni di wilayah Turkmenistan, Uzbekistan, Kazaktan dan Kirgistan saat ini) yang mengakui keberadaan kaum Kurdi, dan mengijinkan penggunaan bahasa Kurdi secara terbatas di sekolah dasar, administrasi pemerintahan lokal, dan media massa. Meskipun demikian, pemerintah Irak memiliki kebijakan untuk mengarabkan kaum Kurdi dengan memasukkan banyak pemukim arab ke wilayah Kurdi. Dengan proses tersebut, diharapkan secara pelan-pelan kaum Kurdi akan berasimilasi menjadi arab.
Pada tahun 1929, di bawah kepemimpinan keluarga berpengaruh Barzani, kaum Kurdi di wilayah Kurdistan-Irak mengajukan tuntutan pembentukan provinsi Kurdi sendiri pada pemerintah Irak. Tuntutan itu tak digubris, sehingga pada tahun 1931 mereka mengajukan petisi ke Liga Bangsa-Bangsa. Petisi itu tidak berhasil dan pemimpinnya, Mustafa Barzani, diasingkan. Setelah pergantian rejim kekuasaan di Irak tahun 1958 karena kudeta militer yang dipimpin oleh Abdul Karim Qasim, tuntutan otonomi kembali muncul. Sebuah partai untuk kaum Kurdi yang bernama Kurdistan Democratic Party (KDP) didirikan pada tahun 1960. Rejim Abdul Karim Qasim meresponsnya dengan serangan militer kepada kaum Kurdi pada tahun 1961, sehingga muncul revolusi bersenjata kaum Kurdi. Kelompok tradisional Kurdi yang sudah cukup puas dengan otonomi luas dari pemerintah Irak, menerima gencatan senjata yang ditawarkan pemerintah Irak pada tahun 1964. Di sisi lain, kaum nasionalis Kurdi yang menghendaki kemerdekaan penuh menjadi tidak puas. Pertentangan pun terjadi di kalangan kaum Kurdi. Barzani lantas mengeluarkan kaum radikal dari partai, yang kemudian mendirikan partai sendiri yakni Patriotic Union of Kurdistan (PUK). Melihat konflik tersebut, pemerintah Irak sekali lagi melakukan serangan ke wilayah Kurdi pada tahun 1966. Akan tetapi, serangan itu gagal setelah dikalahkan oleh angkatan perang Kurdi di bawah pimpinan Barzani. Perjanjian damai pun diadakan, yang salah satu poinnya berupa pemberian otonomi luas terhadap Kurdi, serta memberi kesempatan Kaum Kurdi terlibat dalam politik di pusat.
Butir-butir kesepakatan damai tidak pernah diimplementasikan karena di Irak terjadi penggantian rejim. Pada tahun 1968, partai Baath di bawah pimpinan Jenderal Ahmad Hassan al-Bakr, melakukan kudeta. Kebijakan mereka terhadap kaum Kurdi berbeda dengan rejim sebelumnya. Serangan kembali dilakukan terhadap kaum Kurdi. Belum sampai berhasil tuntas, serangan itu dihentikan tahun berikutnya karena adanya konflik internal di dalam pemerintahan dan naiknya ketegangan dengan Iran. Di sisi lain, pemerintahan Al-Bakr ditekan oleh Uni Soviet untuk berdamai dengan Kurdi.
Pada tahun 1974, serangan militer diadakan lagi terhadap kaum nasionalis Kurdi. Kali ini, kaum Kurdi yang disokong pemerintah Iran berhasil terdesak hingga perbatasan Iran. Pemerintah Irak lantas mengadakan negosiasi dengan Iran. Iran diminta untuk menghentikan segala bantuan ke Kurdi dan sebagai gantinya Iran bisa mendirikan pemukiman di wilayah perbatasan sejauh yang dimaui Iran. Tahun 1975, perjanjian itu ditandatangani di Algier. Iran pun mengklaim wilayah seluas 518 . Alhasil Kurdi kehilangan sumber dukungan, karena dukungan dari Amerika Serikat pun kemudian dicabut. Kekalahan angkatan perang kaum nasionalis Kurdi itu berakibat fatal bagi mereka. Pemerintah Irak meratakan sejumlah 600 desa Kurdi dan memaksa 200,000 orang Kurdi pindah ke wilayah lainnya di Irak, dalam kamp-kamp pengungsiam yang disebut “mujamma.” Wilayah tradisional mereka lantas dijadikan wilayah terlarang. Ribuan anggota klan Barzani dideportasi ke wilayah selatan. Adapun Barzani sendiri dengan sekelompok pasukan Kurdi yang tersisa mencari perlindungan di wilayah Iran.
Saddam Hussein meraih kekuasaan pada tahun 1979 setelah kematian Ahmad Hassan al-Bakr. Dia tidak pernah menyetujui perjanjian Algiers karena telah menyerahkan wilayah seluas 518 kepada Iran sebagai pertukaran penghentian dukungan Iran kepada Kurdi. Padahal, wilayah tersebut merupakan wilayah kaya minyak. Pada bulan September 1980, militer Irak memasuki wilayah Iran untuk mengklaim kembali tanah yang diambil Iran, sehingga pecahlah perang Iran-Irak selama 8 tahun lamanya. Setelah berbagai kekalahan, Iran mulai berhasil melakukan serang balik pada tahun 1982. Pada tahun 1983, Iran berhasil mendesak masuk ke Irak dan mengambil alih kota perbatasan Haj Omran, berkat bantuan gerilyawan Kurdi yang tergabung dalam KDP. Sebagai balasannya, sejumlah 8,000 pria dalam klan Barzani diambil dari kamp mereka dan tidak pernah ditemukan lagi. Sedangkan para perempuan yang tersisa dipotong drastis suplainya.
Iran berhasil terus menerus mendesak Irak. Oleh karena kewalahan, militer Irak menggunakan senjata kimia untuk melawan Iran. Meskipun korban dalam jumlah besar berjatuhan, militer Iran pelan-pelan berhasil bangkit. Pada bulan Maret 1987, Iran berhasil membuka front perang baru di utara Irak. Gerilyawan Kurdi yang bergabung dalam KDP dan PUK bersatu dan beraliansi dengan Iran. Berkat bantuan mereka, Iran berhasil meraih capaian gemilang di front utara tersebut. Secara de fakto, Irak pun kehilangan kontrol di wilayah pedesaan utara, yang beralih kontrolnya ke tangan kaum gerilyawan Kurdi. Pada saat yang sama, Iran terus menerus mencaplok banyak wilayah. Sabotase-sabotase banyak terjadi, termasuk di Kirkuk, sebuah wilayah penghasil minyak utama di Irak, yang hanya terletak sekitar 160 km dari kekuasaan Iran dan gerilyawan Kurdi.
Pemerintah Irak melihat masalah Kurdi sebagai sesuatu yang pelik. Untuk menanganinya, Saddam Hussein menugaskan sepupunya, Ali Hassan al-Majid, salah seorang pemimpin partai Baath di wilayah utara, untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan guna melenyapkan resistensi kaum Kurdi terhadap Irak. Al-Majid diperbolehkan menggunakan semua kekuatan militer yang diperlukan. Di bawah kendalinya, operasi Anfal dijalankan, berupa delapan kali operasi militer terhadap kaum Kurdi antara tahun 1987-1987. Operasi militer awal dilaksanakan pada bulan April 1987 ke wilayah pegunungan yang menjadi markas PUK. Militer Irak membordir kawasan tersebut. Bukan saja markasnya yang dihancurkan tetapi desa-desa Kurdi di sekitarnya yang dianggap bisa memberikan suplai pada gerilyawan ikut dihancurkan. Dalam operasi ini, 703 desa dihancurkan. Setelah itu operasi berhenti karena adanya serangan Iran yang menguat.
Pada tanggal 17 Oktober 1987, sebuah sensus nasional diadakan. Salah satu tujuannya (setidaknya di wilayah utara Irak) adalah mengidentifikasi kaum Kurdi yang akan menjadi target operasi. Semua lalu lintas dari dan ke wilayah yang dikuasai pemerintah dilarang. Keluarga yang memiliki saudara terlibat dalam sabotase diusir dari wilayah yang dikuasai pemerintah. Semua yang tidak bisa hadir dalam sensus dicabut kewarganegaraannya dan dipertimbangkan sebagai desertir atau penyabotase yang diancam hukuman mati.
Operasi Anfal yang sesungguhnya dilaksanakan pertama kali antara tanggal 23 februari sampai 19 Maret 1988. Sasarannya adalah markas PUK di dekat perbatasan Iran, dan desa-desa di sekelilingnya. Banyak penghuninya kemudian melarikan diri ke Iran atau ke kota yang lebih besar di Irak. Anggota PUK diperkirakan sekitar 3500 orang dan dipimpin oleh Jalal Talabani, yang menjadi sasaran utama pemerintah Irak. Dalam operasi tersebut, ratusan orang tewas, termasuk sekitar 250 penduduk sipil yang bersembunyi di gua. Pada operasi pertama ini, kaum sipil belum menjadi sasaran utama; yang akan segera berubah pada operasi-operasi selanjutnya. Apa yang berawal sebagai tindakan kontra-pemberontakan dalam sebuah perang, kemudian berakhir dalam sebuah peristiwa genosida.
Pada bulan-bulan berikutnya, sejumlah tujuh operasi militer diadakan. Kali ini kaum sipil ikut menjadi sasaran utama. Pemerintah dengan jelas memerintahkan pembunuhan massal terhadap kaum sipil Kurdi. Sebagai contoh, dalam dokumen perintahnya, Al-Majid menyatakan “Kekuatan militer harus membunuh setiap orang atau binatang yang ditemui di area tersebut,” dan “Mereka yang berusia antara 15-70 tahun akan dieksekusi sesudah informasi penting diperoleh dari mereka.” Berbagai metode serangan pun dilakukan, mulai dari tembakan mesin, pengeboman dari udara, hingga penggunaan senjata kimia. Desa-desa Kurdi dihancurkan. Pembunuhan massal terjadi di setiap wilayah yang diserang. Salah satu saksi menuturkan bahwa dirinya diminta ikut menguburkan korban, dan berhasil menguburkan sejumlah 67 mayat di sebuah desa. Kondisi korban akibat serangan gas sangat mengenaskan. Seorang wanita berusia 60-an bernama Yasin yang ikut menguburkan korban mengatakan: “Sebagian wajah mereka menghitam, tertutup asap. Yang lain biasa saja tapi kaku. Saya melihat seorang ibu tengah menyusui bayinya, yang kaku dalam posisi itu.”
Operasi militer paling terkenal dalam konteks operasi Anfal adalah yang terjadi di kota Halabja, tanggal 16 Maret 1988. Wilayah yang terletak sekitar 16 km dari perbatasan Iran itu memiliki populasi sekitar 40,000 plus sekitar 20,000 orang Kurdi yang mengungsi dari wilayah-wilayah sekitarnya. Awalnya, pada tanggal 13 Maret 1988, tentara Iran mulai menembaki posisi tentara Irak di sekitar Halabja, dan pada tanggal 15 Maret berhasil memasuki jalanan kota itu bersama dengan peshmerga (gerilyawan Kurdi) yang tergabung dalam PUK. Kaum Kurdi di kota tersebut tidak menolak kedatangan mereka, dan sebagian malah memberi suplai. Serangan balasan terjadi esok harinya. Mula-mula bom napalm (bom yang memecah menjadi bom-bom kecil yang menyebar ke berbagai penjuru) dijatuhkan. Lalu bom biasa dan artileri ditembakkan. Terakhir, gas di semburkan. Halabja pun dilingkupi asap. Hasilnya, sekitar 5000 orang tewas. Sekitar 7,000 orang terluka, baik berupa buta, terpotong anggota tubuhnya, dan lainnya. Peristiwa Halabja ini kemudian lebih membekas dalam ingatan kaum Kurdi karena kekejamannya, yang bahkan lebih dalam diingat ketimbang seluruh operasi Anfal. Di sisi lain, pihak otoritas Irak menganggap peristiwa Halabja bukan bagian dari operasi Anfal karena kejadiannya di kota (sasaran operasi Anfal adalah penduduk Kurdi pedesaan) dan sebagian dilakukan oleh tentara di luar bagian dari operasi Anfal.
Pada tanggal 17 Juli 1988, gencatan senjata antara Iran dan Irak berhasil dicapai. Padahal, dalam perjanjian kerja sama sebelumnya antara Iran dan PUK/KDP di tahun 1986, tidak ada satu pihak pun yang boleh mengadakan perdamaian dengan Irak secara sepihak. Alhasil Irak pun memiliki kekuatan penuh untuk menggempur kaum Kurdi. Oleh karena kehabisan dukungan, pemimpin Kurdi, Jalal Talabani meminta siapa pun yang sudah tidak mau bertempur untuk membawa keluarganya menuju wilayah Kurdi di Iran. Sedangkan yang tetap mau bertempur diminta terus bersamanya. Pihak Militer Irak berusaha memotong arus penyeberangan sehingga tidak ada yang bisa melintas batas. Namun usaha itu digagalkan PUK. Setelah berhasil menyeberangkan keluarga terakhir menuju Iran, PUK menghancurkan markasnya sendiri dan melarikan diri. Dengan demikian PUK tidak lagi menjadi ancaman.
Operasi Anfal terakhir diadakan pada tanggal 25 Agustus 1988. Kali ini sasarannya adalah kelompok KDP di bawah pimpinan Masoud Barzani. Tidak seperti PUK yang menyebar kekuatannya di seantero wilayah pegunungan Kurdistan yang berbatasan dengan Iran, kelompok KDP terkonsentrasi di wilayah Badina dekat perbatasan Turki. Dengan jumlah sekitar 5000 peshmerga (gerilyawan Kurdi) mereka harus menghadapi 200,000 tentara Irak. Dengan kekuatan penuh, kekuatan udara militer Irak membombardir kawasan tersebut. Pada awalnya bom-bom kimia yang berisi gas syaraf sarin dan gas mustard yang dijatuhkan. Kombinasi keduanya memiliki efek mematikan. Seorang penduduk desa yang selamat bernama Birjini melaporkan melihat tiga pesawat yang menjatuhkan masing-masing empat bom yang darinya muncul asap: “putih, hitam, dan lalu kuning, yang muncar sekitar 50 atau 60 yards seperti gelembung. Lalu memecah dan menyebar. Asap itu turun ke lembah dan memasuki desa. Lalu tercium bau gas. Baunya seperti apel dan sesuatu yang manis. Lalu segera menjadi pahit. Mata, mulut dan kulit terpengaruh. Tiba-tiba nafas begitu sulit.” Pengeboman begitu masif dilakukan. Seluruh desa yang terentang 40 km jauhnya menjadi sasaran bom gas sehingga wilayah itu diselimuti asap. Setelah itu serangan darat dilakukan
Para petinggi KDP menyadari bahwa peluang mereka untuk menang atau melarikan diri adalah 0 menghadapi kekuatan begitu besar sekaligus brutal. Oleh karena itu, sebagian peshmerga yang tersisa dipersilakan untuk menyerahkan diri jika mau. Akan tetapi sial bagi mereka karena militer Irak memberlakukan kebijakan membunuh semua peshmerga, meskipun sudah menyerahkan diri. Bahkan semua penduduk yang berusia di antara 15 sampai 60 tahun yang tertangkap juga ikut dibunuh.
Dalam konteks menghentikan pemberontakan, operasi Anfal memang sukses karena berhasil mematahkan kekuatan PUK dan KDP nyaris tanpa sisa. Akan tetapi korban sipil yang tewas, yang menjadi korban karena mereka Kurdi, jumlahnya sangat mencengangkan. Diperkirakan antara 50,000 sampai 200,000 orang tewas terbunuh. Jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Selama operasi Anfal, 4049 desa kaum Kurdi dihancurkan total, di mana sekitar 2000-nya tidak lagi bisa dihuni sama sekali. Hanya tersisa 673 desa yang tetap berdiri di seluruh wilayah Kurdistan-Irak. Pembunuhan kaum sipil tidak berakhir setelah selesainya operasi Anfal. Sampai sebelum 6 September 1988, ketika semua orang Kurdi diberi amnesti, penghilangan orang Kurdi sesuatu lazim. Sudah biasa terjadi ada pemanggilan sekelompok orang, dan lantas tidak pernah diketahui lagi keberadaannya. Kekerasan juga terus berlanjut sesudah itu. Pada bulan Juni 1989, kota Qala Diza yang berpopulasi sekitar 100,000 orang, yang tidak menjadi target dalam operasi Anfal dan menjadi lokasi kamp pengungsian, dihancurkan. Kekerasan hanya berhenti ketika terjadi Perang Teluk tahun 1991 antara Irak dan kekuatan internasional.
Kekalahan Irak dalam Perang Teluk tahun 1991 menjadi kabar baik bagi kaum Kurdi. Setelah kalah dalam perang tersebut, Irak dilarang untuk terbang di atas wilayah Kurdistan-Irak. Pada bulan Juli 1992, kaum Kurdi juga bisa membentuk pemerintahan sendiri di bawah perlindungan PBB. Upaya-upaya untuk kemerdekaan terus dilakukan. Sayangnya, perbedaan pandangan politis antara kaum Kurdi yang ada di Turki, Irak, Iran dan Siria terlalu besar. Hal itu menyulitkan mereka membangun kekuatan bersama untuk membentuk suatu negara Kurdi tersendiri. Di Irak sendiri pernah terjadi konflik bersenjata antara KDP dan PUK antara tahun 1994-1998, dalam persaingan memperebutkan pengaruh di Kurdistan-Irak.
Genosida Kurdi merupakan genosida yang paling lengkap didokumentasikan. Laporan dari saksi mata, korban, maupun pelaku berlimpah banyaknya. Secara rinci operasi Anfal dicatat oleh militer Irak. Laporan-laporan perkembangannya di lapangan dilaporkan ke pusat dan diarsipkan. Sebaliknya perintah-perintah dari atas ke bawah juga didokumentasikan dengan baik. Hal tersebut menjadikan genosida Kurdi menjadi genosida yang paling tidak menimbulkan perdebatan.
Sumber Bacaan
Amir Hassanpour. (2005). Kurds. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 632-637. Farmington Hills: Thomson Gale.
Martin van Bruinessen. (1999). Genocide of Kurds. Dalam Israel W. Charny (Ed.), Encyclopedia of genocide, hal. 383-385. Santa Barbara: ABC-Clio.
Michael J. Kelly. (2008). Ghosts of Halabja: Saddam hussein and the kurdish genocide. Connecticut: Praeger.
Michael R. Fischbach. (2005). Iraq. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 583-586. Farmington Hills: Thomson Gale.
Michiel Leezenberg. (2004). The Anfal Operations in Iraqi Kurdistan. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 375-393. New York: Routledge.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
11.
GENOSIDA BOSNIA-HERZEGOVINA
& KOSOVO
Waktu kejadian: 1992-1995 (Bosnia-Herzegovina), 1999 (Kosovo)
Korban: Bosnia-Muslim (1992-1995), etnis Albania (1999)
Jumlah korban: 200,000 (1992-1995), 30,000 (1999)
Pelaku: Serbia dan Serbia-Bosnia (1992-1995), Serbia-Kosovo (1999)
Negeri-negeri Balkan pernah berada dalam satu negara Federasi Yugoslavia yang terbentuk setelah Perang Dunia II dan berakhir tahun 1991. Di dalamnya tergabung enam republik berbasis etnik, yakni Serbia, Kroasia, Macedonia, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Slovenia dan dua wilayah otonom Kosovo (mayoritas dihuni etnis Albania) serta Vojvodina (mayoritas dihuni etnis Hungaria). Kedua wilayah otonom itu dimasukkan sebagai provinsi Serbia. Dengan demikian, Yugoslavia (yang artinya tanah bagi bangsa Slav selatan) adalah negara paling plural di Eropa. Wilayah tengah negara tersebut dihuni oleh tiga kelompok utama, yakni Serbia, Slav-Muslim dan Kroasia. Orang Serbia yang mayoritas beragama Kristen Ortodoks bertempat tinggal di wilayah Serbia, Montenegro, Macedonia dan di sebagian wilayah Kroasia dan Bosnia yang disebut Krajina. Orang Kroasia yang mayoritas beragama Katolik Roma menempati wilayah Kroasia dan Bosnia. Sedangkan orang Slav-Muslim mayoritas tinggal di Bosnia-Herzegovina, serta tersebar di perbatasan Serbia, Montenegro, dan di Macedonia. Semua orang di Federasi Yugoslavia berbicara dalam bahasa yang sama, yakni bahasa Slav Selatan yang kemudian disebut Serbo-Kroasia. Kesamaan bahasa itu tidak mengherankan karena sebenarnya etnis Kroasia, Serbia dan Bosnia-Muslim merupakan satu bangsa, yakni bangsa Slav selatan. Ketiganya baru benar-benar menjelma menjadi kategori etnis berbeda pada abad ke 19 berdasarkan kategori agama: Slav Kristen Ortodoks menjadi Serbia, Slav Katolik menjadi Kroasia dan Slav Muslim menjadi Muslim-Bosnia.
Pada era Perang Dunia II, -sebelum era Yugoslavia- wilayah Balkan tak luput dari hiruk pikuk perang. Slovenia secara langsung menjadi bagian dari Jerman. Kroasia dan Bosnia-Herzegovina dicengkeram dan dijadikan negara boneka oleh Nazi-Jerman. Serbia pun mengalami hal yang sama. Saat itu Kroasia dikendalikan oleh rejim fasis yang disebut Ustashe, yang bercita-cita mendirikan Kroasia Raya berbasis etnik Kroasia dan agama Katolik Roma. Mengikuti kebijakan Nazi, mulai tahun 1941 rejim Ustashe membersihkan etnik Serbia di Kroasia, baik dengan membunuh, memaksanya berpindah agama ke Katolik Roma atau dengan pengusiran. Diperkirakan sekitar 200,000 orang menjadi korbannya, termasuk orang Yahudi dan kaum Gipsi. Rejim pemerintahan Serbia di bawah kendali Nazi pun melakukan genosida terhadap kaum Yahudi. Pada tahun 1942, Serbia yang dipimpin Milan Nedic telah mengklaim terbebas dari Yahudi. Sebagian orang Serbia yang anti-Nazi membentuk kelompok gerilya yang disebut ‘Chetniks’. Mereka menyatakan setia pada kerajaan dinasti Serbia dan bercita-cita akan suatu Serbia Raya. Chetniks dikenal karena melakukan terhadap kelompok non-Serbia. Pada saat yang sama, kelompok bersenjata yang disebut Partisan di bawah pimpinan Joseph Bros Tito, menghimpun anggotanya dari semua latar belakang etnik dan agama. Mereka bertujuan menyatukan bangsa-bangsa Slav selatan dalam suatu negara Yugoslavia yang komunis. Ketika perang berakhir, kelompok Partisan memenangkan persaingan, dan melakukan eksekusi terhadap kelompok Ustashe maupun Chetniks. Lantas, sejarah Federal Yugoslavia pun dimulai.
Pada era Perang Dunia II, -sebelum era Yugoslavia- wilayah Balkan tak luput dari hiruk pikuk perang. Slovenia secara langsung menjadi bagian dari Jerman. Kroasia dan Bosnia-Herzegovina dicengkeram dan dijadikan negara boneka oleh Nazi-Jerman. Serbia pun mengalami hal yang sama. Saat itu Kroasia dikendalikan oleh rejim fasis yang disebut Ustashe, yang bercita-cita mendirikan Kroasia Raya berbasis etnik Kroasia dan agama Katolik Roma. Mengikuti kebijakan Nazi, mulai tahun 1941 rejim Ustashe membersihkan etnik Serbia di Kroasia, baik dengan membunuh, memaksanya berpindah agama ke Katolik Roma atau dengan pengusiran. Diperkirakan sekitar 200,000 orang menjadi korbannya, termasuk orang Yahudi dan kaum Gipsi. Rejim pemerintahan Serbia di bawah kendali Nazi pun melakukan genosida terhadap kaum Yahudi. Pada tahun 1942, Serbia yang dipimpin Milan Nedic telah mengklaim terbebas dari Yahudi. Sebagian orang Serbia yang anti-Nazi membentuk kelompok gerilya yang disebut ‘Chetniks’. Mereka menyatakan setia pada kerajaan dinasti Serbia dan bercita-cita akan suatu Serbia Raya. Chetniks dikenal karena melakukan terhadap kelompok non-Serbia. Pada saat yang sama, kelompok bersenjata yang disebut Partisan di bawah pimpinan Joseph Bros Tito, menghimpun anggotanya dari semua latar belakang etnik dan agama. Mereka bertujuan menyatukan bangsa-bangsa Slav selatan dalam suatu negara Yugoslavia yang komunis. Ketika perang berakhir, kelompok Partisan memenangkan persaingan, dan melakukan eksekusi terhadap kelompok Ustashe maupun Chetniks. Lantas, sejarah Federal Yugoslavia pun dimulai.
Joseph Bros Tito, pemimpin Yugoslavia yang memerintah sejak 1945 sampai kematiannya di tahun 1980, menerapkan kebijakan menihilkan semua bentuk penonjolan identitas etnik. Setiap gerakan-gerakan yang menonjolkan satu etnik di atas yang lainnya di larang. Sebagai contoh, Joseph Bros Tito yang seorang Kroasia, pada tahun 1974 pernah memenjarakan seorang tokoh etnik Kroasia karena menuntut otonomi lebih luas bagi Kroasia. Bagi Tito, persatuan adalah segalanya. Pernikahan antar etnik dianjurkan dan didorong. Di sisi lain, administrasi pemerintahan didasarkan pada pemerataan untuk semua etnik. Perwakilan Rakyat pun didasarkan atas perwakilan etnik sehingga etnik menjadi kategori penting dalam Federasi Yugoslavia.
Kematian Tito pada tahun 1980 membawa akibat buruk bagi Yugoslavia. Tidak ada lagi pemimpin kuat seperti dirinya yang bervisi menyatukan seluruh etnik dalam Federasi Yugoslavia. Tokoh-tokoh yang muncul justru dari kalangan nasionalis ekstrem berbasis etnik. Presiden Federasi Yugoslavia lantas dijabat bergiliran di antara 6 presiden republik-republik dalam Federasi Yugoslavia, yang masing-masing mengedepankan republiknya sendiri. Problem juga muncul dalam bidang ekonomi. Yugoslavia yang ditinggalkan Tito tengah berada dalam situasi terpuruk dengan hutang negara yang besar dan kesejahteraan hidup yang menurun. Padahal sebelumnya Yugoslavia merupakan negara termakmur di kawasan Eropa Selatan sekaligus paling terbuka dengan dunia luar meskipun berasaskan komunisme. Masalah lain juga muncul dalam bidang institusi politik dan keamanan.
Federasi Yugoslavia memiliki dua institusi utama, yakni Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) dan Partai Komunis Yugoslavia. Sejak tahun 1973 telah dicanangkan bahwa Partai Komunis Yugoslavia didesentralisasi setelah kematian Tito. Artinya, cabang-cabang di masing-masing negara akan lebih independen dan otonom dalam membuat keputusan-keputusan politis. Ketika keputusan tersebut dilaksanakan, dengan sendirinya partai di masing-masing republik lebih mementingkan republiknya sendiri ketimbang Yugoslavia. Hal itu memicu pergeseran orientasi dari komunisme ke nasionalisme di sebagian wilayah. Pergeseran itu mudah dilakukan karena komunisme dan nasionalisme memiliki banyak kesamaan. Keduanya sama-sama muncul di kalangan tradisional yang menghendaki suatu kehidupan sosial kolektif. Keduanya pun harus sama-sama memiliki musuh untuk bisa mengobarkannya. Jika komunisme memiliki musuh kapitalisme yang direpresentasikan negara-negara barat, maka musuh nasionalisme adalah bangsa lain. Akhirnya hanya Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) yang tersisa setelah kematian Tito. Tugasnya adalah mencegah disintegrasi.
Slobodan Milosevic menjadi tokoh kunci pada akhir era Yugoslavia. Pada tahun 1987, dirinya berhasil menjadi presiden Serbia dan kemudian membangkitkan nasionalisme-etnik Serbia. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, situasi politis yang tidak menentu, serta lemahnya pemerintahan, rakyat Serbia memang membutuhkan suatu pemersatu yang membuat mereka bisa bangkit atau sekurang-kurangnya sebagai pengalih derita. Slobodan Milosevic memilih nasionalisme ekstrem berbasis etnis sebagai alatnya. Dijalankannya propaganda masif membangkitkan kesadaran nasionalisme etnis Serbia, bukan hanya pada etnis Serbia yang bermukim di republik Serbia, tapi juga pada etnis Serbia di seluruh Yugoslavia.
Banyak kalangan menilai bahwa kemampuan Milosevic membangkitkan nasionalisme Serbia setara atau bahkan lebih baik dibandingkan kemampuan Hitler membangkitkan nasionalisme Jerman di tahun 1930-an. Apabila Hitler melandaskan ideologi nasionalisme-nya berdasarkan keunggulan ras Arya, Milosevic melandaskan ideologinya berdasarkan sesuatu yang lebih mendasar, yakni ancaman terhadap eksistensi orang Serbia. Faktanya, tidak ada bahan bakar yang lebih baik bagi agresivitas selain ancaman kematian. Dalam berbagai kesempatan, diungkapkannya tentang ancaman genosida terhadap etnik Serbia. Dinyatakannya bahwa genosida demografi terhadap etnis Serbia sedang terjadi di Kosovo (etnik Albania jauh lebih tinggi tingkat pertumbuhan penduduknya dibandingkan etnik Serbia). Berkali-kali publik diingatkan bahwa etnik Serbia pernah menjadi korban genosida oleh Kroasia pada Perang Dunia II. Republik Kroasia modern di bawah pimpinan Franjo Tudjman dan partainya yakni Partai Nasionalis HDZ dianggap sebagai anak keturunan langsung dari rejim Ustashe-Kroasia yang menjadi pelaku genosida di masa lalu. Sebelumnya, sejak sekitar pertengahan 1980-an ada rumor yang beredar bahwa etnik Albania yang berjumlah 90% di Kosovo akan melakukan pembersihan etnik Serbia di Kosovo (banyak yang menduga, rumor itu sengaja dihembuskan oleh kalangan nasionalis ekstrem Serbia). Akibatnya banyak orang Serbia di Kosovo tercekam ketakutan akan genosida. Pada saat yang sama, beredar propaganda yang menyatakan bahwa Etnik Slovenia dan Kroasia dianggap mendominasi politik di Yugoslavia dan membuat etnik Serbia terpinggirkan. Selain itu diungkapkan pula bahwa etnik Serbia sebagai etnik yang paling banyak menderita dalam federasi Yugoslavia karena sistem federasi Yugoslavia itu sendiri.
Penggunaan term genosida berulang-ulang membangkitkan ketakutan di kalangan orang Serbia akan ancaman dari tetangga mereka yang beretnis lain terhadap eksistensi diri mereka sebagai etnis Serbia. Slobodan Milosevic memanfaatkan ketakutan itu untuk memberi bahan bakar bagi nasionalisme-Serbia. Maka, muncullah semangat nasionalisme agresif di kalangan orang Serbia yang meluap-luap. Rejim Milosevic pun mengambil kebijakan pembentukan Serbia Raya yang mencakup seluruh orang Serbia di wilayah Yugoslavia, yang berjumlah sekitar 36% dari total populasi Yugoslavia. Menurut Milosevic, Serbia Raya merupakan jalan keluar untuk bisa mempertahankan eksistensi orang Serbia.
Tragedi Balkan dimulai pada tanggal 28 Juni 1989. Hari itu, lebih dari 1 juta orang Serbia berkumpul untuk mengenang “Hari Lazar” yakni peringatan ke 600 tahun terbunuhnya pangeran Serbia, Lazar, yang beragama Kristen, dalam pertempuran di Kosovo pada tahun 1389 melawan Kesultanan Ottoman Turki. Kalangan nasionalis religius yang menghendaki suatu Serbia Raya beragama Kristen Ortodoks memanipulasi kisah itu dan menjatuhkan tanggungjawab kepada seluruh kaum muslim di Yugoslavia, bukan hanya pada Kesultanan Ottoman Turki yang mengalahkan Lazar. Presiden Slobodan Milosevic berpidato di depan kerumunan massal itu dan menyatakan bahwa perang suci sebagaimana yang terjadi dalam pertempuran Kosovo melawan Islam dan musuh-musuh lainnya akan terus dilanjutkan.
Pada tahun yang sama, represi dilakukan terhadap wilayah otonomi Kosovo. Puluhan ribu etnis Albania di Kosovo (yang mayoritas beragama Islam) dihilangkan pekerjaannya. Agitasi terbuka terhadap kaum Albania di Kosovo yang dituduh berniat membersihkan etnik Serbia di Kosovo terus didengung-dengungkan. Pada akhirnya, Kosovo pun kehilangan otonominya. Kejatuhan Kosovo itu membuat tak ada lagi etnik di Yugoslavia yang merasa benar-benar aman di dalam suatu federasi yang didominasi oleh etnik Serbia. Apalagi kemudian dengan teknik yang sama, wilayah Vojvodina juga dihilangkan otonominya. Kemudian Montenegro pun berhasil dipengaruhinya. Alhasil, Slobodan Milosevic mengontrol separuh Federasi Yugoslavia. Komunitas etnis non-Serbia di Yugoslavia pun menyadari bahwa Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) telah didominasi oleh etnis Serbia yang terindoktrinasi nasionalisme-ekstrem-Serbia. Secara terang-terangan, JNA tidak lagi berorientasi pada Yugoslavia tetapi berpihak pada rejim Slobodan Milosevic yang ultra-nasionalis. Milosevic memiliki ambisi untuk memperkuat kembali Yugoslavia di bawah hegemoni Serbia dengan memanfaatkan 25% etnis Serbia yang berdiam di luar wilayah Serbia.
Gabungan situasi-situasi di atas membuat Yugoslavia terpecah. Pada tanggal 25 Juni 1991, republik Slovenia mendeklarasikan kemerdekaannya. Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) yang dipengaruhi Serbia segera masuk ke wilayah tersebut. Perang Balkan pertama pun terjadi. Perang hanya berlangsung selama 10 hari dan menelan korban sekitar 50 jiwa. JNA mundur dari wilayah itu karena hanya ada terlalu sedikit orang Serbia di sana dan Serbia tidak memiliki ambisi territorial di wilayah tersebut. Milosevic membiarkan Slovenia berdiri sendiri.
Kroasia segera menyusul Slovenia. Pada tahun yang sama, kemerdekaannya dideklarasikan. Kali ini Serbia tidak mau membiarkannya, salah satunya karena wilayah yang dideklarasikan Kroasia mencakup Krajina yang dihuni mayoritas oleh etnis Serbia. Sekitar 580 ribu orang Serbia di Kroasia (12% dari total populasi Kroasia) lantas termakan agitasi Milosevic bahwa rejim Kroasia yang baru di bawah Franjo Tudjman merupakan kebangkitan kembali rejim Ustashe-Kroasia di masa lalu yang pernah melakukan genosida terhadap orang Serbia. Apalagi Franjo Tudjman juga membangkitkan nasionalisme Kroasia yang bertujuan membentuk suatu Kroasia Raya, yang mencakup seluruh orang Kroasia di Yugoslavia. Alhasil, komunitas Serbia-Kroasia pun dilanda ketakutan dan bangkit melakukan pemberontakan dengan sokongan senjata dari Serbia. Perang Balkan kedua pun lahir.
Kroasia segera menyusul Slovenia. Pada tahun yang sama, kemerdekaannya dideklarasikan. Kali ini Serbia tidak mau membiarkannya, salah satunya karena wilayah yang dideklarasikan Kroasia mencakup Krajina yang dihuni mayoritas oleh etnis Serbia. Sekitar 580 ribu orang Serbia di Kroasia (12% dari total populasi Kroasia) lantas termakan agitasi Milosevic bahwa rejim Kroasia yang baru di bawah Franjo Tudjman merupakan kebangkitan kembali rejim Ustashe-Kroasia di masa lalu yang pernah melakukan genosida terhadap orang Serbia. Apalagi Franjo Tudjman juga membangkitkan nasionalisme Kroasia yang bertujuan membentuk suatu Kroasia Raya, yang mencakup seluruh orang Kroasia di Yugoslavia. Alhasil, komunitas Serbia-Kroasia pun dilanda ketakutan dan bangkit melakukan pemberontakan dengan sokongan senjata dari Serbia. Perang Balkan kedua pun lahir.
Perang Kroasia vs Serbia berlangsung selama 7 bulan. Pada awal-awal penyerbuan, paramiliter Serbia-Kroasia dan Tentara Nasional Yugoslavia JNA, berhasil menguasai sepertiga wilayah Kroasia, baik yang sebelumnya mayoritas dihuni etnis Serbia-Kroasia maupun yang dihuni mayoritas etnis Kroasia. Mereka melakukan pembersihan etnis Kroasia dari wilayah yang didudukinya. Penghancuran kota dan desa dilakukan, pembantaian massal terhadap kaum sipil dijalankan. Kampanye pembersihan etnis itu menghasilkan sekitar 15,000 orang terbunuh dan 250,000 orang terusir dari rumah. Republik Serbia-Krajina lantas diproklamirkan di wilayah tersebut oleh paramilisi Serbia-Kroasia. Serangan balik kemudian dilancarkan Kroasia dan berhasil mengambil alih wilayah-wilayah yang sebelumnya direbut JNA dan etnis Serbia-Kroasia, yang pada sebelum perang dihuni oleh mayoritas etnis Kroasia. Wilayah Krajina yang didominasi etnis Serbia belum berhasil direbut ketika ada campur tangan internasional pada Desember 1992, yang kemudian mengakhiri perang.
Perang antara Kroasia dan Serbia kembali berkobar pada tahun 1995 ketika militer Kroasia melakukan operasi besar-besaran yang disebut operasi badai. Tujuannya adalah mengambil kembali wilayah Krajina. Pembersihan etnis kembali terjadi. Kali ini pelakunya Kroasia dan korbannya Serbia-Kroasia. Puluhan ribu rumah dibakar dan perampasan terjadi di mana-mana. Pembunuhan terhadap kaum sipil Serbia-Kroasia menghasilkan korban puluhan ribu banyaknya. Lebih dari 200,000 orang Serbia-Kroasia diusir dari rumahnya, yang akhirnya menuju wilayah Serbia. Presiden Kroasia Franjo Tudjman kemudian mendeklarasikan bahwa wilayah Serbia di Kroasia telah tidak ada lagi seperti mereka tidak pernah tinggal di wilayah itu. Dengan demikian, operasi militer Serbia di Kroasia gagal memenuhi tujuannya karena mayoritas orang Serbia-Kroasia kemudian malah terusir dari Kroasia.
Atas tekanan internasional, pada bulan November 1995 perdamaian damai Kroasia dan Serbia diberlakukan. Sejumlah 60,000 tentara perdamaian NATO diterjunkan ke wilayah tersebut untuk mengawal perdamaian. Dengan demikian berakhirlah episode perang Balkan kedua.
Genosida Bosnia-Herzegovina
Bosnia-Herzegovina merupakan republik dalam Federasi Yugoslavia yang paling plural. Populasinya terdiri dari 17% etnis Kroasia-Bosnia, 31% etnis Serbia-Bosnia, dan 44% Bosnia-Muslim. Pada pemilu multipartai pertama tahun 1990, hasilnya merefleksikan perimbangan etnik di Bosnia. Partai Politik Muslim yang dipimpin oleh Alija Izetbegovic memenangkan pemilu dan mendudukkan Alija Izetbegovic sebagai presiden. Sebagai orang yang moderat dan cinta damai, dia mencoba membentuk pemerintahan koalisi dengan partai-partai utama etnik Kroasia dan Serbia. Partai utama pihak Kroasia menerima, tapi partai utama pihak Serbia, yakni Serb Nationalist Party (SDS) yang dipimpin oleh Radovan Karadzic menolak karena ada upaya untuk memperkuat posisi menuju kemerdekaan. Ideologi SDS sangat jelas, yakni tetap tergabung dalam Yugoslavia yang didominasi Serbia dan atau menjadi bagian dari suatu Serbia Raya, yang mencakup etnis Serbia-Bosnia.
Pada awal hingga pertengahan tahun 1991, wilayah-wilayah yang dihuni oleh mayoritas etnis Serbia-Bosnia di daerah utara dan selatan membentuk wilayah otonom, sebagai basis untuk memisahkan etnis Serbia dari seluruh komunitas Bosnia-Herzegovina. Gerakan yang dipimpin oleh Radovan Karadzic dengan partai SDS-nya itu, secara diam-diam mempersenjatai kaum Serbia-Bosnia dengan senjata yang berasal dari Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA), dan kemudian memasukkan senjata-senjata berat ke berbagai kota. JNA sendiri mulai menyebar ke perbatasan Bosnia.
Presiden Izetbegovic berhitung, apakah akan menyerah pada Serbia dan satelitnya, Montenegro; atau bisakah mengikuti langkah sukses kemerdekaan Slovenia dan Kroasia yang penuh darah. Pilihan pertama tidak bisa diterima oleh mayoritas Muslim dan etnis Kroasia-Bosnia. Mereka sudah tidak ingin lagi bergabung dalam Federasi Yugoslavia yang didominasi Serbia karena Yugoslavia tidak lebih sebagai Serbia yang lebih besar. Akan tetapi pilihan kedua tidak akan ditoleransi oleh etnis Serbia-Bosnia. Akhirnya, sidang parlemen untuk menentukan pilihan diadakan pada pertengahan Oktober 1991. Tujuannya adalah voting untuk menentukan apakah ingin merdeka atau tidak. Sidang parlemen itu diboikot oleh delegasi Serbia yang dipimpin Radovan Karadzic yang tidak menghendaki adanya opsi merdeka bagi Bosnia-Herzegovia. Sebelum keluar dari parlemen, Radovan Karadzic mengeluarkan ancaman di depan sidang: “Jangan berpikir Anda tidak akan membuat Bosnia menuju kehancuran, dan jangan mengira bahwa Anda mungkin tidak akan membawa kaum Muslim ke kebinasaan, karena kaum Muslim tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri jika ada perang.” Presiden Izetbegovic pun menjawab, “Kata-kata dan perilakunya menggambarkan mengapa yang lain menolak untuk tetap berada dalam Yugoslavia. Tak ada seorang pun menginginkan Yugoslavia seperti yang Mr. Karadzic inginkan. Tak ada seorang pun, kecuali barangkali Serbia.”
Pada tanggal 9 Januari 1992, SDS secara terbuka memproklamirkan berdirinya negara Serbian Republic of Bosnia and Herzegovina di wilayah yang dikuasainya, yang kemudian dinamai Republika Srpska. Radovan Karadzic menjadi presidennya yang pertama. Republik baru itu dengan jelas menyatakan sebagai negara bagi etnis Serbia yang ada di Bosnia-Herzegovina. Kampanye pembersihan etnik Kroasia dan Muslim di Bosnia-Herzegovina terus dikobarkan di antara kalangan Serbia-Bosnia. Tujuannya untuk menciptakan ketakutan dan kebencian di kalangan Serbia-Bosnia terhadap kedua tetangganya tersebut. Sebagai contoh, di Sarajevo pada tahun 1992, sesaat sebelum perang, Radovan Karadzic membuat pernyataan: “Kita tidak bisa hidup bersama dengan orang Muslim dan orang Kroasia, karena terlalu banyak kebencian, kebencian berabad-abad. Orang Serbia takut pada orang Muslim. Mereka tidak bisa hidup bersama. Karena genosida yang direncanakan pada orang Serbia, orang Serbia pun harus mempertahankan diri.”
Dilema terjadi di kalangan pemimpin Bosnia-Herzegovina, baik dari pihak muslim atau Kroasia. Mereka terperangkap dalam pilihan-pilihan sulit. Ketika pecah perang di Kroasia, pemerintah Bosnia dihadapkan pilihan memperkuat persenjataan, tapi akan ditafsirkan tentara Yugoslavia dan milisi Serbia sebagai tindakan agresi dan persiapan serangan. Jika tidak memperkuat diri, Kroasia akan membentuk milisi di kalangan Kroasia-Bosnia dan Bosnia pun lebih mudah diserang oleh Serbia karena tidak mempersiapkan diri. Pilihan lebih sulit lagi ketika terkait isu kemerdekaan. Jika Bosnia tetap berada dalam Yugoslavia, kaum nasionalis Serbia akan melenyapkan kaum non-Serbia di Bosnia dan mengatakan pada dunia bahwa pelenyapan itu adalah masalah dalam negeri. Jika Bosnia mendeklarasikan kemerdekaannya, mereka akan menghadapi serangan militer dengan senjata berat dari balatentara Yugoslavia JNA dan milisi Serbia-Bosnia.
Akhirnya para pemimpin Bosnia berspekulasi bahwa perang masih lebih baik ketimbang berada dalam wilayah vassal Serbia. Mereka memutuskan mengadakan referendum, apakah akan terus berada dalam Yugoslavia atau merdeka. Pada tanggal 29 Februari dan 1 Maret 1992 referendum itu dilaksanakan. Wilayah yang dikontrol oleh etnis Serbia tidak ikut serta. Hasilnya, 63% mendukung kemerdekaan. Mayoritas Muslim Bosnia dan Kroasia-Bosnia memilih terbentuknya negara merdeka sendiri. Demikian juga dengan sebagian etnis Serbia yang tinggal di luar wilayah kekuasaan SDS. Mereka tidak ingin menjadi bagian dari Serbia Raya (atau Kroasia Raya yang sedang dikampanyekan di Kroasia dan telah mendapatkan pengikut dari sebagian kalangan etnis Kroasia-Serbia). Mereka ingin terus hidup dalam Bosnia-Herzegovina yang plural, dan mereka bersedia bertempur untuk itu.
Pada tanggal 3 Maret 1992, kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dideklarasikan. Saat itu, mereka hanya memiliki sepasukan polisi pengamanan. Menyadari bahwa kekuatan militernya inferior, maka Bosnia-Herzegovina mencari dukungan dari dunia internasional. Pada awalnya, dunia internasional menolak mengakui karena adanya ancaman perang Balkan lagi jika Bosnia-Herzegovina diakui. Akan tetapi, pada akhir Maret terjadi pembunuhan massal terhadap muslim Bosnia di dekat perbatasan Serbia oleh paramilisi Bosnia-Serbia. Hal itu mengubah pendirian Uni Eropa, dan mengakui kemerdekaan Bosnia-Herzegovina pada tanggal 6 April 1992. Sayangnya, permintaan akan bantuan persenjataan atau pengadaan pasukan perdamaian PBB tidak dikabulkan sehingga negeri baru itu hanya memiliki kekuatan militer sangat kecil dibandingkan Serbia.
Perang Balkan ketiga pecah tidak berapa lama setelah pengakuan kemerdekaan Bosnia-Herzegovina dari Uni Eropa. Pada bulan April itu juga, kekuatan Serbia-Bosnia mulai melakukan pembersihan etnis terhadap kaum Muslim di wilayah selatan dan barat Bosnia. Unit-unit paramiliter Serbia-Bosnia (yang disebut Chetniks) menyerang kota-kota sepanjang perbatasan antara Serbia. Pada banyak kesempatan, Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA) menyerang langsung ke kota-kota yang menjadi target dengan hujan artileri sebelum paramiliter melakukan penyerbuan. Dari arah pegunungan, JNA terus menerus membombardir Kota Sarajevo yang ada di bawahnya. Rakyat sipil non-Serbia menjadi korban pembersihan, terutama yang diidentifikasi dari kalangan intelektual, profesional dan pemimpin politik. Sisanya diusir dari rumah mereka, yang isinya kemudian dirampas dan bangunannya diratakan.
Serbia dan paramiliter Serbia-Bosnia menjalankan kebijakan pembersihan etnik, khususnya Muslim Bosnia, tapi juga mencakup Kroasia-Bosnia dan etnis non-Serbia lainnya. Mereka ingin mengusir total etnik lain dari wilayah yang diklaim milik mereka. Caranya dengan membunuh, mengusir, dan menghancurkan seluruh jejak artefak budaya. Di kota Zvornik, sebuah kota di timur laut Bosnia yang merupakan kota budaya Muslim-Bosnia, seluruh penduduk muslimnya dibunuh atau diusir. Antara April hingga Juli 1992 tidak ada lagi Muslim yang tersisa di kota itu. Truk-truk membawa tumpukan mayat yang lantas dibuang begitu saja di tempat-tempat terpencil. Semua masjid dan artefak budaya Muslim diledakkan. Seluruh peninggalan bersama kaum Muslim dan Kristen dalam kehidupan bersama selama 5 abad juga dihancurkan. Serbia ingin mencatat ulang sejarah dengan menyatakan bahwa Muslim tidak pernah ada di kota tersebut, dan bahwa wilayah tersebut murni milik Serbia-Kristiani. Pada bulan Mei 1993, Zvornik dideklarasikan berstatus baru sebagai tanah “murni” tanpa jejak Muslim. Seorang komandan Serbia mendirikan gereja baru dan menamai desa yang sebelumnya desa Muslim menjadi “Saint Stephen.” Apa yang dilakukan Serbia di Zvornik kemudian dilakukan di semua wilayah yang dipercayai orang Serbia sebagai hak mereka namun dihuni oleh orang non-Serbia.
Salah satu strategi pengusiran yang hampir selalu digunakan adalah dengan menciptakan teror. Para penduduk sipil di sebuah wilayah dipaksa untuk menyaksikan kekejaman yang dilakukan militer Serbia pada tetangganya. Biasanya kaum pria yang menjadi sasaran penyiksaan. Berbagai kamp tawanan didirikan. Pada kamp-kamp tersebut, para tawanan diperlakukan sangat kejam. Selain sangat padat dan kurang makanan, seringkali terjadi pengambilan tawanan untuk disiksa dan lantas dibunuh. Perlakuan lebih kejam akan didapatkan oleh mereka yang dianggap menjadi pemimpin komunitas non-Serbia.
Kekejaman lain yang dipraktekkan secara massal dan terkoordinir adalah kekerasan seksual, yang dilakukan oleh militer Serbia, paramiliter Serbia-Bosnia dan kekuatan polisi. Para gadis dan wanita diperkosa, yang seringkali dilakukan di depan suami atau ayah atau keluarga lainnya, atau masyarakat umum yang dipaksa melihat. Perkosaan beramai-ramai kerap terjadi, termasuk pelecehan seksual di kamp-kamp tawanan. Pada beberapa kasus, banyak wanita yang ditangkap dan dijadikan budak seks selama beberapa minggu atau bulan. Pada sebagian kasus lainnya, perkosaan sengaja dimaksudkan untuk membuat yang diperkosa hamil. Puluhan ribu wanita Bosnia menjadi korban kekerasan seksual perkosaan selama perang. Seorang korban berusia 16 tahun dalam testimoninya di pengadilan kejahatan perang mengungkapkan:
“Beberapa Chetniks datang. Satu orang, sekitar 30 tahun, menyuruh saya mengikutinya ke dalam rumah. Saya terpaksa ikut. Dia mulai mencari uang, permata dan benda berharga lainnya. Dia ingin tahu di mana para pria berada. Saya tak menjawab. Lalu dia menyuruh saya membuka pakaian. Saya sangat ketakutan. Saya buka baju saya, merasa berkeping-keping. Di bawah kulit, saya telah mati, seluruh diri saya telah dibunuh.
Saya tutup mata saya, saya tak bisa melihatnya. Dia memukul. Saya jatuh. Lalu dia menindih saya. Dia lakukan hal itu pada saya. Saya menangis, terasa tubuh ini hancur, berdarah. Saya masih perawan. Dia keluar dan memanggil dua Chetniks untuk masuk. Saya menangis. Yang kedua mengulangi apa yang telah dilakukan orang pertama pada saya. Saya merasa tak tahu apa-apa lagi. Saya menangis. Saya bahkan tak tahu kapan mereka pergi. Saya tak tahu berapa lama saya berbaring di sana, di lantai sendirian, dalam genangan darah. Ibu menemukan saya. Tak bisa saya bayangkan yang lebih buruk. Tapi untuk ibu, ini penderitaan terbesarnya dalam hidup kami. Kami berdua menangis. Dia memakaikan saya pakaian.
Saya ingin jadi ibu suatu hari nanti. Tapi bagaimana? Dalam dunia saya, lelaki hanyalah tentang kekejaman dan penderitaan. Saya tak bisa mengontrol perasaan itu.”
Penghancuran budaya Bosnia secara sistematis dilakukan pada semua aspek; mulai dari penghancuran masjid, perpustakaan, museum, hingga sekedar monumen. Pada tanggal 25 Agustus 1992, tentara Serbia mulai membombardir Perpustakaan Nasional Bosnia-Herzegovina di kota Sarajevo. Dalam beberapa hari berikutnya, terjadi pembakaran buku terbesar dalam sejarah modern umat manusia. Jutaan buku dan ratusan ribu manuskrip dan naskah langka, serta catatan-catatan berabad-abad tentang Bosnia-Herzegovina lenyap dalam kobaran api. Para sukarelawan dari semua latar belakang: Kroasia, Serbia, Muslim dan Yahudi membentuk rantai manusia untuk mencoba menyelamatkan apa yang mereka bisa. Mereka mengambil risiko kehilangan nyawa untuk menyelamatkan sebanyak mungkin naskah-naskah yang berharga. Dan sebagian memang benar-benar kehilangan nyawanya dalam usaha heroik itu. Tiga bulan sebelumnya, pada tanggal 17 Mei 1992, militer Serbia telah menghancurkan Institut Oriental dan melenyapkan koleksi manuskrip-manuskrip terbesar kaum Muslim dan Yahudi di wilayah Balkan.
Museum Nasional dihancurleburkan. Salah satu benda istimewa yang berhasil di selamatkan adalah naskah kuno buku doa Yahudi untuk perayaan Seder, yang dikenal luas sebagai Sarajevo Haggadah. Naskah tersebut dibawa ke Bosnia oleh kaum Yahudi yang lari dari inkuisisi Spanyol di abad ke 14. Selama Perang Dunia II, naskah tersebut selamat dari tangan Nazi karena disembunyikan seorang kurator museum Muslim Bosnia. Pada tahun 1992, naskah itu hanya berhasil diselamatkan melalui usaha heroik tiga pekerja museum yang terdiri dari seorang Bosnia Muslim, seorang Serbia Kristen Orthodoks dan seorang Katolik. Mereka menembus museum untuk menyelamatkannya meskipun dengan risiko sangat tinggi untuk tewas terbunuh.
Pada saat Bosnia tengah menghadapi kekuatan Serbia dan paramilisi Serbia-Bosnia, pada Januari 1993 kelompok paramilisi Kroasia-Bosnia yang didukung Kroasia ikut melakukan serangan terhadap Bosnia. Tidak berbeda dengan Serbia, Kroasia ingin mengklaim wilayah Bosnia. Paramilisi Kroasia-Bosnia, yang dikenal sebagai “Croatian Defense Council” (HVO) merupakan pendukung Frandjo Tundjman dalam memperjuangkan suatu Kroasia Raya yang mencakup kelompok Kroasia-Bosnia. HVO memproklamirkan berdirinya “The Croat Republic of Herceg-Bosna” di wilayah Herzegovina. Maka, Bosnia pun di serang di dua front. HVO menyerang apa yang luput diserang oleh Serbia dan milisinya. HVO menghancurkan seluruh masjid dan gereja Kristen Orthodoks di seluruh wilayah yang di bawah kontrol militer Kroasia. Serbia pun menghancurkan seluruh masjid di wilayah yang dikuasainya. Termasuk yang dihancurkan adalah mahakarya arsitektur Eropa dari abad ke 16, yakni masjid Ferhadija di Banja Luka, dan masjid berwarna di Foca. Kaum nasionalis Serbia dan Kroasia, secara bersama-sama menghancurkan sekitar 14,000 masjid. Pada banyak kasus, masjid-masjid itu diratakan dengan tanah dan dijadikan tempat parkir atau taman. Jejak mereka mau dihilangkan sama sekali. Pemakaman, catatan kelahiran, catatan kerja, dan segala bentuk jejak Muslim Bosnia dihancurkan total.
HVO tidak sampai melakukan pembunuhan massal atau penghancuran seperti Serbia-Bosnia (dari seluruh pembunuhan dan penghancuran selama perang, 90% dilakukan oleh Serbia, dan sisanya oleh HVO dan Muslim Bosnia). Mereka kekurangan dukungan karena mayoritas etnis Kroasia-Bosnia merupakan pendukung Bosnia, yang telah merasa bahwa Bosnia adalah tanah air mereka. Kelompok oposisi di Kroasia juga banyak yang mengecam penyerangan tersebut. Pemerintah Kroasia sendiri kemudian mengkuatirkan tekanan internasional terhadap mereka. Lagipula, militer Bosnia telah dipersenjatai lebih baik sekaligus lebih siap ketimbang ketika Kroasia-Bosnia pertama kali menyerang Bosnia (sebenarnya saat itu Bosnia malah tanpa kekuatan militer sama sekali). Sebagai tambahan, keduanya sebenarnya juga korban dari agresi Serbia di awal perang. Dengan sendirinya, penyerangan HVO kemudian berakhir.
Salah satu metode pembersihan etnik Muslim Bosnia adalah pengepungan dan pemutusan suplai. Mereka melakukan blokade-blokade ketat sehingga komunitas Muslim Bosnia kekurangan pasokan suplai makanan yang memadai. Wilayah-wilayah yang dikuasai muslim Bosnia menjadi zona-zona terisolasi satu sama lain, dan dikepung oleh zona-zona yang dikuasai Serbia. Oleh karena itu banyak dari mereka kemudian hanya bisa bergantung pada bantuan internasional yang dijatuhkan melalui udara.
Peristiwa tunggal dalam genosida Bosnia-Herzegovina paling terkenal adalah pembantaian Srebrenica. Kota kecil di selatan Bosnia-Herzegovina itu dinyatakan sebagai zona aman pada bulan April 1995 oleh PBB. Sekitar 40,000 muslim Bosnia pun mencari perlindungan di sana di bawah perlindungan pasukan keamanan PBB. Akan tetapi pasukan keamanan PBB gagal mengamankan kota. Pada tanggal 6 Juli 1995, Serbia-Bosnia menyerang kota itu dan gagal dipertahankan sehingga Srebrenica pun jatuh tanggal 11 Juli 1995. Dua hari kemudian, pada tanggal 13 Juli, wanita, anak-anak dan orang tua dimasukkan ke bus dan dikirim ke wilayah yang masih dikuasai oleh Muslim. Dalam 30 jam, sejumlah 20,000 orang dari kamp pengungsian dideportasikan. Para pria yang tersisa, sekurang-kurangnya 7000 orang, secara sistematis dibunuh dalam operasi terencana antara tanggal 13 sampai 19 Juli. Ribuan orang diangkut naik bus ke tempat eksekusi. Di sana, mereka dibunuh dengan berondongan senapan mesin dan senjata otomatis. Setelah penembakan massal, para pembunuh berjalan melintasi mayat-mayat untuk mengecek kalau ada yang masih hidup. Jika ditemukan, mereka akan ditembak dengan pistol. Setelah beres, truk-truk berdatangan untuk mengangkut mayat-mayat dan membawa mereka ke pemakaman massal. Seorang yang selamat, Nezad Avdic, yang saat itu berusia 17 tahun menuturkan:
“Ketika truk berhenti, kami segera mendengar suara tembakan di luar…. Chetniks memerintahkan kami keluar, lima-lima. Saya ada di kelompok tengah, dan kelompok pria di depan kami tak mau keluar. Mereka ketakutan, dan berusaha kembali. Tapi kami tak punya pilihan, dan saat tiba giliran saya bersama lima yang lain, saya melihat mayat di mana-mana….. Kami berdiri di depan para Chetniks dengan membelakangi mereka. Mereka memerintahkan kami menjatuhkan diri, dan saat saya menjatuhkan diri ke tanah, saya mendengar tembakan. Saya tertembak di lengan kanan dan tiga peluru terus menembus tubuh bagian kanan. Saya tidak ingat apa saya jatuh masih sadar atau tidak. Tapi saya ingat saya sangat ketakutan, berpikir saya akan segera mati atau peluru lain akan menghantam saya. Saya pikir semuanya akan berakhir cepat… Saya mendengar orang lain berteriak dan merintih-rintih… Seorang Chetniks memerintahkan yang lain untuk mengecek dan melihat tubuh yang masih hangat, ‘tembak kepalanya meski dingin’. Tapi rekannya menjawab, ‘Persetan! Mereka semua sudah mati.’……. Saya mendengar truk pergi….. Saya tak tahu apa yang harus dilakukan…. Saya melihat seseorang bergerak sekitar sepuluh meter dari saya dan bertanya, ‘teman, kamu hidup?”
Pembantaian Srebrenica diakui sebagai kejadian tunggal kejahatan perang terburuk di Eropa sejak Perang Dunia II. Sebelum perang, populasi Srebrenica mayoritas adalah kaum muslim dengan jumlah 73% dari total populasi. Setelah perang usai, hanya sekitar 100 keluarga yang ada di sana. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) menyebut kejadian tunggal di Srebrenica sebagai genosida, belum ditambah dengan kejadian-kejadian lain yang serupa di wilayah lainnya dengan skala yang lebih kecil. Seorang saksi mata bernama Trnopolje, mengungkapkan: “Di desa saya, sekitar 180 pria dibunuh. Tentara membawa semua pria ke tengah desa. Sesudah pembunuhan, para wanita mengurus mayat-mayat itu untuk mengidentifikasi mereka. Pria-pria tua menguburkan mayat.”
Perang yang berlangsung tiga tahun di Bosnia menimbulkan korban sekitar 250,000 jiwa. Tidak kurang dari 30% bangunan tempat tinggal hancur, belum termasuk kehancuran institusi budaya seperti perpustakaan, rumah sakit, dan masjid. Sebelum perang terdapat 4 juta penduduk di Bosnia, tapi saat perang berakhir, 1,8 juta kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi. Sejumlah 1,259,000 orang di antaranya menjadi pengungsi di luar Bosnia-Herzegovina. Perang hanya berhenti ketika tekanan dunia internasional menguat. Pada tanggal 31 Agustus 1995, NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara, yang terdiri dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat), melakukan serangan udara ke kantong-kantong kekuatan Serbia-Bosnia. Operasi itu dilakukan selama seminggu dan berhasil membuat Muslim Bosnia kembali mengambil alih apa yang diambil Serbia-Bosnia selama perang. Kondisi itu memaksa Serbia-Bosnia untuk tunduk memulai perundingan damai. Akhirnya pada tanggal 20 Desember 1995, perjanjian damai Dayton disepakati dan mengakhiri perang.
Genosida Kosovo
Perang Balkan tidak berakhir tahun 1995. Antara tahun 1997-1999 kembali terjadi perang. Kali ini wilayahnya ada di Kosovo, dan korbannya adalah etnis Albania-Kosovo. Pelakunya masih sama seperti di Bosnia, yakni kaum nasionalis Serbia. Dalam sejarahnya, Kosovo memang memendam potensi konflik. Dalam ingatan historis orang Serbia, Kosovo adalah tempat kejatuhan Imperium Serbia, ketika mereka dikalahkan di tempat itu oleh Kesultanan Ottoman Turki tahun 1389. Etnis Albania yang muslim kemudian memasuki Kosovo setelahnya. Seiring dengan berakhirnya Kekuasaan Ottoman Turki, perang Balkan terjadi pada tahun 1912 sampai 1913. Akibat kekalahan Albania dalam perang itu, etnis Albania di Kosovo pun terpotong dari negara Albania, sehingga ikut masuk ke dalam wilayah Serbia. Oleh pihak Serbia, apa yang tersisa di pedesaan Albania dirampas dan dibakar. Diperkirakan 25,000 orang Albania dibunuh.
Antara Perang Balkan sampai Perang Dunia II, etnis Albania ada di bawah kekuasaan Serbia. Selama itu, bahasa mereka dilarang dipraktekkan secara terbuka, tanah dirampas, dan masjid-masjid dibakar. Kebijakan Serbia adalah memaksa etnis Albania meninggalkan Kosovo. Alhasil, kekerasan demi kekerasan terus terjadi karena tercipta lingkaran balas dendam. Pada Perang Dunia II, Albania dan Kosovo disatukan oleh Italia. Etnis Albania yang menjadi kolaborator Nazi-Jerman kemudian mengusir sekitar 40,000 orang Serbia dari Kosovo. Setelah terbentuknya Yugoslavia pada tahun 1945, Kosovo menjadi wilayah otonomi dalam Federasi Yugoslavia di bawah Serbia.
Etnis Albania di Kosovo merupakan komunitas yang mencatat tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi di Eropa. Pada tahun 1980-an, jumlahnya di Kosovo sudah mencapai 90% dari total populasi. Seiring dengan meningkatnya nasionalisme ekstrem pada etnis Serbia dan berakhirnya era Tito, kekerasan antara Serbia-Kosovo dan Albania-Kosovo pun meningkat. Pertengahan 80-an tercipta rumor besar bahwa etnis Albania berencana melenyapkan seluruh etnis Serbia dari Kosovo. Presiden Slobodan Milosevic pun kemudian mengampanyekan ancaman genosida demografis di Kosovo, yakni kepunahan etnis Serbia di Kosovo karena kalah banyak dari etnis Albania, yang terus menerus tingkat pertumbuhan tinggi. Para perempuan etnis Albania pun berhenti mendatangi rumah sakit yang dimiliki pemerintah, yang dokternya orang Serbia, karena takut para dokter itu akan membunuh bayi mereka.
Pada tahun 1989 terjadi represi oleh Serbia sehingga mengakhiri otonomi Kosovo, dan menjadikan Kosovo hanya sebagai bagian dari provinsi di Serbia. Ribuan orang Albania dihilangkan pekerjaannya. Pada tahun 1990, ribuan polisi etnis Albania diberhentikan dan digantikan oleh polisi Serbia yang didatangkan langsung dari Belgrade. Pada tahun itu juga, ribuan anak-anak sekolah Albania sakit massal dan harus masuk rumah sakit. Rumor yang berkembang, sakit tersebut akibat sengaja diracun oleh Serbia. Para orangtua Albania itu lantas mengamuk dan menyerang properti milik etnis Serbia. Presiden Slobodan Milosevic meresponsnya dengan mengirimkan 25,000 polisi ke wilayah itu. Mereka diizinkan menangkap setiap orang tanpa tuduhan selama 3 hari, dan memenjarakan siapa pun hingga dua bulan jika mereka dituduh melukai “perasaan patriotik” orang Serbia.
Tekanan demi tekanan yang dialami etnis Albania direspons dengan sikap anti yang pasif seperti gerakan anti kekerasan yang dilakukan Mahatma Gandhi di India. Ketika Perang antara Serbia dan Bosnia berkobar, gerakan itu masih terus berlangsung. Etnis Albania sendiri ikut menjadi korban karena mereka Muslim. Mereka menjadi sasaran gerakan anti Muslim yang digalang orang-orang Serbia. Saat perjanjian damai Dayton yang menghentikan perang di Bosnia ditandatangani, Kosovo tidak mendapat perhatian.
Tekanan demi tekanan yang dialami etnis Albania direspons dengan sikap anti yang pasif seperti gerakan anti kekerasan yang dilakukan Mahatma Gandhi di India. Ketika Perang antara Serbia dan Bosnia berkobar, gerakan itu masih terus berlangsung. Etnis Albania sendiri ikut menjadi korban karena mereka Muslim. Mereka menjadi sasaran gerakan anti Muslim yang digalang orang-orang Serbia. Saat perjanjian damai Dayton yang menghentikan perang di Bosnia ditandatangani, Kosovo tidak mendapat perhatian.
Gerakan pasif etnis Albania berlangsung hingga tahun 1997. Pada tahun tersebut negara Albania dilanda perang dan kolaps. Persenjataan pun mengalir ke perbatasan memasuki Kosovo sehingga etnis Albania mendapatkan akses ke senjata. Sebagian etnis Albania lantas membentuk pasukan gerilya yang disebut Kosovo Liberation Army (KLA). Mereka bertujuan membentuk negara bagi etnis Albania yang ada di sepanjang perbatasan Albania. Para anggotanya berkali-kali ditangkap dan dikenakan tuduhan melakukan kejahatan, suatu tuduhan yang tidak pernah dibantah. KLA menyasar para polisi dan kolaboratornya.
Pada tahun 1998, seorang polisi Serbia terbunuh oleh KLA, yang kemudian direspons oleh Serbia dengan membunuh 100 orang etnis Albania di sebuah desa. Setelah itu berbagai tindak pembunuhan massal dan kekerasan lainnya terjadi. Serbia menyerang desa-desa, membunuh dan menyiksa para penduduknya, serta membakar rumah-rumah dalam upaya memaksa etnis Albania pergi. Sekitar 3000 orang etnis Albania terbunuh dalam aksi-aksi tersebut. Pengungsi mengalir ke negara Albania. Akan tetapi, dengan kejamnya, Serbia memasang medan ranjau di perbatasan. Pilihan tempat mengungsi pun hanya tinggal pegunungan Kosovo. Diperkirakan 270,000 orang mengungsi ke sana dan menghabiskan musim dingin di perbukitan tanpa fasilitas yang memadai. Pada akhir tahun 1998, NATO melakukan serangan udara terhadap militer Serbia, sehingga Slobodan Milosevic setuju untuk menarik tentaranya.
Pada awal-awal tahun 1999, perjanjian damai antara Serbia dan etnis Albania diupayakan. NATO meminta agar KLA meletakkan senjata, dan sebagai gantinya, pasukan perdamaian NATO akan menjaga perdamaian di Kosovo agar tidak lagi terjadi saling serang. Serbia menolak kehadiran pasukan asing di tanahnya. KLA juga menolak karena pengalaman sebelumnya di Srebrenica Bosnia, yakni ketika muslim Bosnia melepaskan senjata untuk berlindung di bawah pasukan PBB, ternyata pasukan PBB gagal melindungi mereka. Saat perundingan sedang dalam masa rehat karena perbedaan pandangan, Serbia mengirimkan 40,000 tentaranya ke Kosovo. Melihat kekuatan militer Serbia yang jauh lebih superior dan kuatir dengan kekejaman Serbia seperti yang pernah ditunjukkan di Bosnia, etnis Albania setuju dengan syarat-syarat perdamaian yang diprakarsai NATO. KLA pun menandatangani perjanjian. Di sisi lain Serbia menolak meskipun diancam dengan pengeboman. Serbia mengira NATO tidak akan benar-benar melaksanakan ancamannya, seperti yang sebelumnya terjadi Bosnia. Pada tanggal 19 Mei 1999, Serbia melancarkan pembersihan etnik Albania di Kosovo. Mereka melakukan berbagai pembunuhan massal dan mengusir ratusan ribu orang ke perbatasan Albania dan Macedonia.
Kali ini ancaman NATO benar-benar dilaksanakan. Pada tanggal 24 Maret 1999, NATO mengebom posisi-posisi militer Serbia di Kosovo dan di seluruh Yugoslavia (yang hanya tinggal terdiri dari Serbia dan Montenegro). Hasilnya begitu telak mengurangi kekuatan Serbia. NATO pun berharap pengeboman itu akan menghentikan Milosevic. Akan tetapi alih-alih berhenti, pengeboman itu justru meningkatkan kekejaman terhadap etnis Albania. Strategi genosida Serbia berubah, tidak lagi membangun markas, tetapi bergerak dari satu desa ke desa lainnya. Mereka membunuh dan membakar di mana-mana. Foto-foto satelit berhasil menunjukkan sejumlah aktivitas pemakaman massal. Oleh karena itu, pihak Serbia lantas memindahkan sisanya dan membakar mayat-mayat korban pembunuhan massal untuk menghilangkan jejak. Abu pembakaran kemudian dibuang ke saluran air sehingga air tak bisa lagi dijadikan minuman. Dilaporkan sekitar 20,000 kekerasan seksual dan perkosaan terhadap perempuan Kosovo terjadi. Rumah-rumah dan masjid-masjid dibakar. Di cekam teror, dalam kurun waktu seminggu, 800,000 etnis Albania-Kosovo meninggalkan rumahnya menuju perbatasan Albania dan Macedonia. Sekitar 10,000 orang terbunuh.
NATO yang merasa gagal dalam serangan udara lalu mengancam serangan darat ke Serbia. Rusia juga menekan. Milosevic akhirnya setuju dengan gencatan senjata pada 27 Mei 1999. Militer Serbia ditarik dari Kosovo. Lalu sejumlah 18,000 tentara NATO bersama 3500 polisi PBB memasuki Kosovo. Mereka datang untuk mencegah saling serang lebih lanjut, terutama balas dendam etnis Albania terhadap etnis Serbia di utara Kosovo. Namun kedatangan mereka yang telat gagal menghentikan serangan balas dendam terhadap etnis Serbia. Sekitar 150,000 etnis Serbia kemudian mengungsi ke wilayah Serbia, bergabung bersama sekitar 200,000 etnis Serbia-Kroasia yang mengungsi masuk ke wilayah Serbia akibat operasi badai Kroasia tahun 1995. Dengan adanya pasukan internasional, Serbia tidak bisa melakukan pembalasan, dan dengan demikian Perang Balkan pun berakhir.
Selama perang, sekitar 800,000 dari 2 juta etnis Albania di Kosovo menjadi pengungsi ke negara-negara tetangga. Jumlah korban yang terbunuh diperkirakan sekitar 30,000 jiwa. Perhatian dunia internasional membuat konflik itu tidak terlalu berlarut-larut dan mematikan seperti di Bosnia. Akan tetapi genosida itu tetap disayangkan. Bagaimanapun seharusnya genosida tidak perlu terjadi. Kini, puluhan ribu tentara perdamaian PBB dan NATO masih berada di Balkan untuk menjaga perdamaian yang rapuh di antara bangsa-bangsa Slav selatan.
Sumber Bacaan
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
Beverly Allen. (1996). Rape Warfare: The hidden genocide in Bosnia-Herzegovina and Croatia. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Eric D. Weitz. (2003). A Century of Genocide: Utopias of race and nation. New Jersey: Princeton University Press.
Jacques Semelin. (2003). Analysis of a Mass Crime: Ethnic cleansing in the former yugoslavia, 1991–1999. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 353-370. Cambridge: Cambridge University Press.
Kathleen Z. Young. (2005). Kosovo. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 622-626. Farmington Hills: Thomson Gale.
Mark Thompson. (2005). Yugoslavia. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 1169-1177. Farmington Hills: Thomson Gale.
Martin Mennecke & Eric Markusen. (2004). Genocide in Bosnia and Herzegovina. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 415-447. New York: Routledge.
Martin Mennecke. (2004). Genocide in Kosovo?. Dalam Samuel Totten, William S. Parsons & Israel W. Charny (Eds.), A century of genocide: critical essays and eyewitness accounts, 2nd ed., hal. 449-454. New York: Routledge.
Michael Anthony Sells. (1998). The Bridge Betrayed: Religion and genocide in Bosnia. Berkeley: University of California Press.
Tone Bringa. (2002). Averted Gaze: Genocide in Bosnia-Herzegovina, 1992–1995. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 194-225. Berkeley: University of California Press.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
12.
GENOSIDA DARFUR
Waktu kejadian: 2003-2004
Korban: etnis Fur, Massalit dan Zaghawa
Jumlah korban: 400,000
Pelaku: Pemerintah Sudan
Darfur, yang artinya tanah orang Fur, merupakan kawasan di wilayah barat Republik Sudan, Afrika. Wilayah seluas 508,000 km2 tersebut merupakan wilayah yang keras. Pada bagian utara kebanyakan merupakan gurun pasir kering yang panas, lalu terdapat gurun yang gersang dan semakin ke selatan membentuk sabana dengan semak berduri. Di tengah-tengah sabana, terdapat wilayah basah dengan curah hujan cukup tinggi karena adanya gunung Jabal Marra setinggi 3088 m. Wilayah itu adalah tempat hidup lebih dari 80 kelompok etnik. Secara garis besar, dalam konteks wacana genosida, kita bisa membedakan mereka berdasarkan kelompok yang menganggap diri sebagai Arab dan kelompok yang menganggap diri sebagai kelompok indigenous atau Afrika. Kelompok ‘Arab’ secara kolektif memanggil kelompok Afrika sebagai ‘zurga’ yang artinya hitam karena mereka berkulit hitam. Etnis terbesar dalam kelompok Afrika adalah etnis Fur dengan jumlah sekitar 1 juta orang. Lalu etnis Zaghawa dan etnis Masalit, yang masing-masing terdiri dari sekitar 350 ribu orang.
Administrasi pemerintahan Darfur terbagi dalam tiga wilayah: Darfur Utara (Shamal Darfur), Darfur Barat (Gharb Darfur), dan Darfur Selatan (Janub Darfur), yang merepresentasikam tiga wilayah etnik utama di Darfur. Wilayah selatan dihuni oleh mayoritas suku nomadik penunggang unta dan peternak yang di sebut Baqqara, yang berbahasa arab dan mengklaim sebagai keturunan Arab. Wilayah utara merupakan rumah bagi para suku nomadik penunggang unta yang mayoritas etnis non-Arab Zaghawa, yang masih berkerabat dengan etnis Zaghawa yang ada di negara Chad. Wilayah barat, di sekeliling gunung Jabal Marra, tinggal para petani menetap dari etnis non-Arab, yang mayoritas dari etnis Fur, Massalit, Daju, dan Berti. Mayoritas penduduk Darfur merupakan Muslim. Hanya ada sekitar 5% Kristiani yang mayoritas bermukim di Darfur Selatan, dan sekitar 20% di antaranya masih mempraktekkan ajaran tradisional etnis mereka. Secara ekonomi mereka bergantung pada pertanian subsisten, yakni kehidupan pertanian yang hanya cukup untuk memenuhi konsumsi sendiri. Tidak ada satu pun kota besar di Darfur meskipun populasi total pada tahun 2008 diperkirakan antara 6,5-7,4 juta.
Darfur mulai membentuk entitas politik pada tahun 1650 dengan berdirinya Kesultanan Fur, yang diikuti dengan pengislaman seluruh Darfur. Dalam kesultanan tersebut, etnis Fur bertindak sebagai penguasa ditambah wakil-wakil dari masing-masing etnis di Darfur. Pada tahun 1874, al-Zubayr Rahma Mansur, seorang Arab pedagang budak di wilayah selatan Sudan berhasil menghancurkan kesultanan Fur, dan memulai membuka peternakan dan pertanian untuk etnik nomadik Arab yang disebut Baqqara. Kesultanan Fur dipulihkan lagi tahun 1890 oleh Ali Dinar. Akan tetapi pada tahun 1906, Inggris mencaplok wilayah Darfur dan menjadikannya koloni Inggris. Sudan, termasuk Darfur di dalamnya, memperoleh kemerdekaan pada tahun 1956.
Secara tradisional, kehidupan sosial di Sudan dibedakan dalam dua kelompok, yakni kelompok yang menghuni di sepanjang lembah sungai Nil (awlad al-bahar, orang-orang sungai) dan mereka yang di luarnya (awlad al-ghareb, orang-orang dari barat). Mayoritas kelompok orang sungai adalah keturunan Arab yang memasuki wilayah itu sekitar abad ke 16 dan 17. Sedangkan kelompok orang-orang barat mayoritas terdiri dari etnis asli Afrika. Pada saat kolonial Inggris masuk ke Sudan, mereka hanya memusatkan diri di sepanjang lembah sungai Nil dan mengabaikan sisanya, karena jauhnya wilayah dan secara ekonomi tidak prospektif. Alhasil, kelompok orang sungai yang kemudian ikut berkembang. Pada merekalah kolonial Inggris bergantung dan memberikan pengaruh. Orang-orang sungai menjadi komunitas yang lebih terdidik dan modern. Merekalah kelas penguasa di Sudan. Sedangkan kelompok di luar itu kurang terdidik sekaligus jauh dari derap kehidupan modern. Sampai abad ke 21, belum ada jalan transportasi yang bisa dilakukan segala cuaca dari ibukota Khartoum menuju ibukota Darfur, El Fasher.
Terpencilnya wilayah Darfur dan kerasnya kondisi di sana membuat para penguasa Sudan tidak pernah benar-benar secara nyata memiliki kekuasaan di Darfur. Sebagai ilustrasi, jarak kota kecil El Fasher, yang menjadi ibukota Darfur, menuju ke Khartoum lebih dari 1120 km. Di perbatasan Chad, terdapat gurun berpasir kering disebut goz, selebar 350 km dan terentang sepanjang ratusan km mengelilingi gunung Jabal Marra Alhasil selama 200 tahun terakhir, para penguasa Sudan, baik Kesultanan Ottoman Turki, Kolonial Inggris atau Republik Sudan, hanya sebatas memberikan simbol kalau wilayah itu adalah wilayah Sudan. Paling-paling mereka mendirikan pos militer kecil di ibukota. Selebihnya diurus sendiri oleh para ketua suku Afrika dan para sheikh Arab. Hal yang sama terjadi di Sudan Selatan.
Sejak awal kemerdekaan tahun 1956, wilayah Sudan Selatan yang terpencil dan jauh dari jangkauan kekuasaan efektif Pemerintah Sudan, telah melancarkan pemberontakan karena diperlakukan semena-mena, dan atas perilaku rasialis orang Arab-Sudan dari wilayah utara. Orang Sudan Selatan yang beretnis Afrika (di antaranya suku Nuba dan Dinka), yang mayoritas penganut kepercayaan etnis dan sebagian kecil penganut Kristen, diperlakukan sebagai budak (abid) dan harta milik (malkiyya) oleh orang Arab. Dalam sejarahnya, wilayah selatan memang menjadi sumber budak di Sudan. Selama ratusan tahun, orang Arab di wilayah utara berburu etnis Afrika di Sudan Selatan untuk dijadikan budak. Sampai awal abad ke 20, praktek pasar budak secara terbuka masih terlihat di Sudan. Kolonial Inggris baru menghapuskan praktek itu sepenuhnya pada tahun 1926, setelah sebelumnya hanya membatasinya.
Kelompok yang cukup terdidik di Sudan Selatan mengorganisir pasukan gerilya yang disebut Anya Nya (ular derik). Selama 18 tahun mereka melawan Pemerintah Sudan, sampai akhirnya ditandatangani perjanjian damai pada tahun 1972. Akan tetapi pada tahun 1983, Anya Nya dibangkitkan lagi oleh seorang suku Dinka, yakni kolonel John Garang, dan membentuk Sudan People’s Liberation Movement/Army (SPLM/SPLA). Kali ini kekuatan SPLA cukup untuk mengimbangi militer Sudan dan berhasil merebut beberapa wilayah di Sudan Selatan.
Kekalahan militer Sudan melawan pemberontakan SPLA membuat pemegang otoritas di Khartoum, melancarkan strategi lain. Pada tahun 1986, mereka mempersenjatai orang Arab Baqqara dari Kordofan dengan senjata otomatis dan mengirimkannya ke Sudan Selatan. Milisi yang disebut murahileen itu dibebaskan untuk melakukan penghancuran etnis Dinka, yang berpopulasiantara 3-4 juta, di Bahr El-Ghazal (Sudan Barat Daya), baik dengan merampas, memperbudak, hingga membunuh. Dengan adanya otoritas itu, murahileen pun melakukan berbagai operasi pembersihan, yang disebut razia. Desa Dinka dikepung sebelum subuh dan diserang saat cahaya muncul. Wanita, anak-anak dan remaja pria yang tidak melarikan diri akan ditangkap bersama dengan ternaknya. Semua pria dibunuh tanpa terkecuali. Desa-desa dihancurkan. Wanita dan anak-anak dibagikan pada orang Baqqara untuk dijadikan pelayan atau untuk dijual sebagai budak. Pada awal tahun 1987, SPLA berhasil mengalahkan milisi Baqqara dan militer Sudan (Sudan People’s Armed Forces, SPAF) dengan kerugian yang sangat besar. Sebagai balas dendam, pada tanggal 27 Maret 1987, milisi Baqqara membunuh ribuan orang Dinka di Ed Dien, di wilayah selatan Darfur. Peristiwa itu menjadi terkenal karena ribuan orang Dinka tewas dengan cara yang kejam. Mereka dikunci di dalam gerbong kereta api, dan lalu gerbongnya dibakar.
Pada November 1987, SPLA berhasil menguasai Kurmuk, sebuah kota yang lebih dekat ke Khartoum. Peristiwa itu menimbulkan kegemparan besar di Khartoum dan mendorong terjadinya kudeta oleh National Islamic Front (NIF) yang dipimpin oleh Umar Hasan Ahmad al-Bashir pada 30 Juni 1989. Rejim baru ini ingin membentuk Sudan yang baru berlandaskan Islam. Hukum yang diberlakukan adalah hukum dalam Al Quran (Shari’a), yang ditafsirkan dan diatur dalam doktrin-doktrin oleh National Islamic Front dan dijalankan oleh Pemerintah Revolusioner Keselamatan Nasional yang dipimpin Umar Al-Bashir. Mereka menerapkan kebijakan bahwa orang Sudan harus mengikuti ideologi Islam yang digariskan oleh NIF, siapa pun yang menolak akan dikeluarkan sebagai orang Sudan. Mereka berusaha menciptakan Islam yang homogen di seluruh Sudan. Pengindoktrinasian pun dijalankan secara masif di seluruh Sudan. Alhasil, rejim baru ini lebih terdorong mengatasi pemberontakan karena Sudan Selatan banyak dihuni etnis Afrika yang masih menjalankan kepercayaan tradisional dan sejumlah kecil orang Kristiani. Mereka ingin menjadikan Sudan Selatan lebih “Islami” sesuai versi mereka. Dalam upayanya, mereka menyerukan perang suci. Kebijakan baru rejim Al-Bashir dengan sendirinya semakin meningkatkan ketegangan di Sudan Selatan.
Menyadari bahwa militer Sudan, yakni Sudan People’s Armed Forces (SPAF) merupakan tentara profesional yang telah berada di jalur sekuler dan juga banyak diisi oleh orang-orang dari Sudan Selatan, dan dengan demikian tidak bisa mengikuti term religius NIF untuk berjihad secara agresif, pihak NIF lantas membentuk People’s Defense Forces (PDF). PDF terdiri dari rekrutan baru dan milisi-milisi pendukung pemerintah, termasuk di dalamnya adalah milisi Baqqara (di tahun 1996, jumlah PDF sudah melebihi jumlah anggota militer Sudan). Pada tahun 1990, Sudan Selatan mulai diserang besar-besaran. Salah satu sasaran utamanya adalah etnis Nuba di wilayah pegunungan Nuba. Etnis tersebut mengalami nasib seperti etnis Dinka: pembunuhan massal, pengeboman dan pembakaran desa-desa, penghancuran stok pangan, pengambilalihan lahan pertanian, perkosaan sistematis, hingga mencegah bantuan pangan pada mereka yang kelaparan. Dalam operasi militer antara tahun 1990-2000 di wilayah pegunungan Nuba, yang diserukan sebagai jihad oleh NIF, militer Sudan dan PDF menewaskan hingga 100 ribu jiwa. Sejumlah 170 ribu orang lainnya dibawa ke kota-kota di utara Sudan untuk dijadikan buruh oleh para pengusaha. Pada dekade yang sama, operasi militer di Bahr al-Ghazal, menghasilkan kematian sekitar 200 ribu orang suku Dinka dan Nuer. Pelakunya adalah militer Sudan SPAF, milisi Baqqara murahileen dan milisi Dinka Kerubino Kwanjin Bol yang bergabung dengan pemerintah.
Pada tahun 1991, para pimpinan SPLA, yakni Riak Machar, Lam Akol, dan Gordon Kong Cuol mendirikan organisasi saingan yang bernama South Sudan Independence Movement/Army (SSIM/A). Tujuannya adalah menggulingkan John Garang. SSIM/A didominasi oleh suku Nuer dan beraliansi secara formal dengan pemerintah Sudan. Mereka mendapatkan ribuan senjata otomatis dan digunakan untuk membunuhi etnis Dinka yang menjadi pendukung SPLA dan John Garang. Perang sipil tersebut menghasilkan korban lebih besar daripada yang dilakukan militer Sudan. Antara tahun 1991-2000, diperkirakan sekitar 250,000 orang tewas, dan sejumlah yang sama terusir dari rumahnya.
J. Millard Burr, dalam bukunya “Quantifying Genocide in Southern Sudan and the Nuba Mountains, 1983–1998”, memperkirakan bahwa perang antara tahun 1983 sampai 1998 telah membinasakan setidaknya 1,9 juta orang Sudan Selatan. Sejumlah 1,3 juta jiwa tewas antara tahun 1983-1993, dan 600 ribu selebihnya tewas antara tahun 1993-1998. Konfliknya sendiri terus berlanjut hingga tahun 2003 sehingga korban dipastikan korban lebih banyak dari itu. Sebuah perkiraan menyebutkan bahwa selama 20 tahun konflik di Sudan Selatan, antara 1983-2003, korban tewas mencapai angka total 2,5 juta jiwa. Tidak kurang dari 4,5 juta orang menjadi pengungsi, dan merupakan kelompok pengungsi terbesar di dunia saat itu.
Konflik di Sudan Selatan akhirnya merembet ke wilayah Darfur, yang kemudian berujung pada genosida di Darfur (2003-2004). Pada tahun 2001, perjanjian damai menyeluruh di Sudan Selatan mulai digagas dengan difasilitasi oleh dunia internasional. Uni Eropa menjanjikan bantuan senilai 4,5 Miliar US$ untuk membantu penderitaan korban perang dan kelaparan apabila perdamaian tercapai. Suatu perdamaian penuh direncanakan tercapai wujud pada Januari 2005. Oleh karena itu, Pemerintah Sudan memerintahkan milisi Arab berhenti melakukan operasi melawan orang-orang di Sudan Selatan. Kehilangan aktivitas di Sudan Selatan, milisi mengalihkan aktivitasnya ke utara, ke Darfur. Kali ini, etnis Massalit, Fur dan Zaghawa menjadi sasaran utama. Kaum milisi Baqqara memiliki agenda sendiri untuk memperoleh lebih banyak lahan dan kekuasaan di Darfur. Pemerintah mendukung tindakan milisi itu karena politik oposisi telah mulai mendapatkan tempat di antara etnis Afrika. Kaum milisi Baqqara yang beroperasi di Darfur disebut janjaweed atau dikenal sebagai peshmerga di Darfur Barat. Akan tetapi tidak seperti murahileen, yang berasal dari etnis Baqqara di Sudan Selatan, kali ini etnis Baqqara di Darfur selatan dan tengah turut terlibat. Di antara mereka juga terdapat orang asing, yang oleh orang lokal dicurigai sebagai ekstremis Arab, yang dimungkinkan Arab-Afghanistan atau Afrika Barat. Mereka dipersenjatai secara lengkap dan dilatih oleh militer Sudan.
Janjaweed memiliki kamp di Jabal Kargu, Boni, dan Idalghanam yang berada di wilayah Darfur selatan. Setiap kamp berkekuatan 5000 orang dengan senjata dan peralatan lengkap. Operasi pembersihan etnis di mulai pada awal Oktober 2002. Tujuannya adalah membersihkan lahan dari etnis Afrika agar bisa dikolonisasi etnis Arab. Strategi mereka sama seperti yang dilakukan oleh murahileen di Sudan Selatan. Desa-desa dikepung sebelum subuh oleh satu unit milisi, yang biasanya terdiri dari sekitar 100 orang. Pada saat cahaya muncul, desa pun di serang. Pada Januari 2003, ribuan orang Fur terbunuh, ratusan terluka, dan puluhan ribu mengungsi meninggalkan rumahnya.
Sebagai respon atas tindakan janjaweed, beberapa fraksi dalam etnis Fur dan Zaghawa melakukan pemberontakan melawan Pemerintah Pusat karena mereka tahu bahwa tindakan janjaweed didukung dan disponsori oleh Pemerintah. Pada awalnya gerakan itu kecil saja. Akan tetapi seiring dengan kekejaman janjaweed dan militer Sudan, gerakan itu mendapatkan pengikut luas. Pada tanggal 26 Februari 2003, sekitar 3000 orang yang menyebut dirinya Darfur Liberation Front (DLF), menginvasi kota Gulu, ibukota provinsi Jabal marra di Darfur barat. Mereka dipimpin oleh Abd al-Wahid Muhammad Ahmad Nur, yang merupakan anggota SPLM (Sudan People’s Liberation Movement) yang memberontak di wilayah Sudan Selatan. Mereka menyerang pos polisi dan tentara, lalu kemudian mundur untuk berlatih di kamp di Jabal Marra. Dua minggu kemudian, mereka mengubah diri menjadi Sudan Liberation Movement/Army (SLM/A), dan kembali menduduki kota Gulu. Mereka membunuh 95 tentara pemerintah dan memaksa garnisun tentara yang ada untuk pergi.
Pemerintah membuat negosiasi dengan SLM karena tidak siap untuk melawan pemberontakan di wilayah Darfur. Akan tetapi saat negosiasi tengah berlangsung, pada tanggal 18 Maret 2003, milisi Arab melakukan pembunuhan terhadap pemimpin suku Massalit terkemuka, Sheikh Saleh Dokoro, yang diikuti dengan penghancuran kota Karnoi oleh helikopter dua hari berikutnya. SLM/A pun melakukan balas dendam pada tanggal 25 Maret 2003 dengan menduduki kota Tine di perbatasan Chad, dan merampas senjata serta peralatan dari garnisun setempat. Perang pun merebak di seluruh Darfur Barat dengan kemenangan total ada pada SLA. Pada tanggal 25 April, SLA menyerang bandara di kota El Fasher. Mereka berhasil menghancurkan banyak helikopter dan pesawat pengebom Antonov, menduduki markas besar militer di Darfur, dan menahan komandan angkatan udara, Mayor Jenderal Ibrahim Bushra. Pada saat yang sama, unit SLA lainnya menahan 4 tank di kota Kutum. Sepuluh hari sesudah itu, mereka berhasil menangkap komandan intelijen, Kolonel Mubarak Muhammad al-Saraj di Aynshiro.
Kekalahan militer Sudan membuat pemerintah semakin kokoh memberikan dukungan pada janjaweed. Mereka tutupi kekalahan itu dan menjadikan janjaweed menjadi bidak mereka dalam melawan pemberontakan. Serangan helikopter, tembakan artileri, dan pesawat pengebom antonov ikut membantu serangan janjaweed terhadap etnis Afrika. Kaum janjaweed diperbolehkan melakukan apa saja pada etnis-etnis Afrika di Darfur, khususnya etnis Fur, Massalit dan Zaghawa. Pemerintah kuatir dengan potensi tiga kelompok etnis terbesar di Darfur itu untuk terus melakukan pemberontakan yang lebih besar.
Laporan para pengungsi menyebutkan bahwa yang menyerang desa-desa mereka adalah gabungan antara janjaweed dan militer Sudan (dalam 48% kasus), janjaweed sendiri (dalam 14% kasus), militer Sudan sendiri (dalam 26% kasus), dan tidak diketahui (dalam 12% kasus). Desa-desa yang dijadikan sasaran dihancurkan. Persediaan pangannya dirampas; dan berbagai fasilitas, seperti sekolah, klinik, sarana irigasi, serta infrastruktur lainnya dilenyapkan. Para penyerang ingin mengusir semua etnis Afrika dan menghilangkan jejak mereka dari wilayah leluhur mereka. Foto satelit NASA pada April 2004 menunjukkan bahwa penghancuran sistematis dilakukan terhadap desa-desa etnis Fur, Massalit, dan Zaghawa. Pada bulan itu berhasil terekam sejumlah 300 dari 576 desa dihancurkan sepenuhnya tanpa sisa, dan 76 lainnya dihancurkan sebagian. Laporan saksi mata menyebutkan bahwa dalam sehari, hanya di Sudan Barat, dihancurkan setidaknya 15 desa.
Laporan para pengungsi menyebutkan bahwa yang menyerang desa-desa mereka adalah gabungan antara janjaweed dan militer Sudan (dalam 48% kasus), janjaweed sendiri (dalam 14% kasus), militer Sudan sendiri (dalam 26% kasus), dan tidak diketahui (dalam 12% kasus). Desa-desa yang dijadikan sasaran dihancurkan. Persediaan pangannya dirampas; dan berbagai fasilitas, seperti sekolah, klinik, sarana irigasi, serta infrastruktur lainnya dilenyapkan. Para penyerang ingin mengusir semua etnis Afrika dan menghilangkan jejak mereka dari wilayah leluhur mereka. Foto satelit NASA pada April 2004 menunjukkan bahwa penghancuran sistematis dilakukan terhadap desa-desa etnis Fur, Massalit, dan Zaghawa. Pada bulan itu berhasil terekam sejumlah 300 dari 576 desa dihancurkan sepenuhnya tanpa sisa, dan 76 lainnya dihancurkan sebagian. Laporan saksi mata menyebutkan bahwa dalam sehari, hanya di Sudan Barat, dihancurkan setidaknya 15 desa.
Janjaweed dan militer Sudan melakukan kekejaman di mana-mana. Semua pria di desa yang diserang dibunuh tanpa terkecuali dan kadang dimutilasi. Seorang saksi mata bernama Mohamed dari etnis Zaghawa menuturkan: “Saya bersembunyi dan menyaksikan ini… Saya lihat mereka menangkap 52 pria dari desa saya, termasuk sepupu saya, dan membawa mereka ke tepi gunung, memaksa mereka berjalan dengan lutut, meletakkan senjata di mulut, dan menembak mereka satu persatu.” Mohamed mengaku mendengar mereka berkata, “kami datang ke sini karena kami ingin membunuh semua orang berkulit hitam.” Mohamed bersama orang desa lainnya mengubur mayat-mayat itu dan lalu mengungsi ke Chad bersama orang sedesanya yang tersisa.
Banyak sekali laporan saksi mata dari para pengungsi menyatakan bahwa janjaweed dan anggota militer Sudan melakukan kekejaman tak terperikan. Mereka memperkosa, baik sendirian atau beramai-ramai. Seorang saksi menuturkan bahwa pada bulan Desember 2003, 20 gadis ditangkap dan dijadikan budak seks selama 3 hari oleh militer Sudan. Tiga di antaranya vaginanya dimasuki paku, dan menyebabkan salah satunya meninggal, dua gadis yang lain vaginanya dijahit dan lima menjadi hamil. Penangkapan gadis-gadis dan pemerkosaan selama beberapa hari lalu dilepaskan merupakan kejadian yang cukup umum. Ada juga kasus di mana seorang ibu diikat ke pohon dan dipaksa menyaksikan anaknya diperkosa. Banyak anak-anak dibunuh, dari anak yang masih bayi hingga yang lebih besar. Ada saksi mata yang melihat perempuan hamil disayat perutnya dan janinnya dikeluarkan. Aisha, seorang perempuan muda menuturkan: “Seorang tentara mengambil bayi saya dan berkata, ‘akan kubunuh dia.’ Saya bilang ke tentara itu, ‘kamu telah membunuh suami saya; jangan bunuh anak saya.’ Yang lain berkata, ‘jangan bunuh anak itu.’… Saya dipukul hingga jatuh, dan tentara pertama memperkosa saya dari depan. Mereka bilang pemerintah mengirimkan mereka… Sepuluh tentara memperkosa saya dan pergi. Saya berdarah dan tak bisa berjalan. Mereka melakukannya hampir 3 jam.. Seorang pria yang kabur dari desa lain menemukan saya dan membawa saya dan anak saya ke Masteri (tempat pengungsian).”
Pada kalangan etnis Afrika di Darfur berkembang wacana bahwa tujuan kekejaman yang dilakukan janjaweed dan militer Sudan memang untuk melenyapkan mereka. Para saksi mata menuturkan kalau pihak penyerang seringkali mengeluarkan kata-kata yang intinya menyatakan bahwa etnis hitam Afrika harus pergi dari tanahnya dan akan digantikan oleh etnis Arab. Sekurang-kurangnya 46% wanita dan 55% pria melaporkan pernah mendengar kata-kata rasial selama penyerangan oleh janjaweed dan militer Sudan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta lainnya, bahwa tidak ada satu pun desa Arab yang diserang, meskipun itu bertetangga dengan desa-desa lain yang diluluhlantakkan. Seorang pengungsi mengatakan: “Pemerintah ingin mengubah Darfur menjadi Arab. Semua suku Afrika harus pergi ke negara Afrika lain karena orang Arab menginginkan lahannya. Rumor selama 20 tahun sekarang menjadi kenyataan.” Pengungsi lainnya menuturkan, “Tujuan mereka adalah mengusir orang berkulit hitam, dan saya dengan mereka (orang Arab) akan kembali untuk tinggal di desa kami… mereka ingin mengambil tanah dari orang kulit hitam untuk diberikan pada kaum nomaden yang tidak punya tanah.”
Selama lebih dari 30 bulan konflik, jumlah korban tewas secara langsung oleh janjaweed dan militer Sudan diperkirakan antara 300-400 ribu jiwa. Dimungkinkan angka itu lebih besar lagi karena banyak orang yang hilang tidak diketahui. Sekitar 1,5 juta orang kehilangan tempat tinggal. Pemerintah Sudan yang menghalangi pemberian bantuan membuat organisasi pengungsi UNHCR sulit masuk ke wilayah-wilayah pengungsian. Akibatnya, korban terus berjatuhan di kamp-kamp pengungsian karena kelaparan, kehausan, dan mewabahnya penyakit. Tekanan-tekanan internasional yang bertubi-tubi terhadap pemerintah Sudan tidak diindahkan, sehingga korban di antara pengungsi semakin besar. Ancaman sangsi dari PBB tidak dihiraukan. Baru pada tahun 2005 Pemerintah Sudan mau bekerja sama penuh dan setahun berikutnya benar-benar mengakhiri konflik di Darfur.
Usai konflik, pemerintah Sudan menolak mengakui telah mensponsori janjaweed. Akan tetapi bukti-bukti di lapangan menunjukkan sebaliknya. Serangan udara dan artileri, termasuk tank membuktikan secara nyata kalau pemerintah mensponsori tindakan mereka. Kaum janjaweed tidak memiliki peralatan tempur seperti itu. Mereka sendiri mengakui bahwa gerakan mereka memang didukung pemerintah. Persenjataan mereka seluruhnya diperoleh dari militer Sudan, dan sebelumnya mereka dilatih oleh pihak militer.
Sumber Bacaan
Agnes van Ardenne-van der Hoeven, Mohamed Salih, Nick Grono & Juan Méndez. (2006). Explaining Darfur: Four Lectures on the Ongoing Genocide. Amsterdam: Amsterdam University Press.
John Hagan & Wenona Rymond-Richmond. (2009). Darfur and the Crime of Genocide. Cambridge: Cambridge University Press.
Kelly Dawn Askin. (2006). Prosecuting Gender Crimes Committed in Darfur: Holding leaders accountable for sexual violence. Dalam Samuel Totten & Eric Markusen (Eds.), Genocide in darfur: investigating the atrocities in the sudan, hal. 141-160. New York: Routledge.
Rebecca Joyce Frey. (2009). Genocide and International Justice. New York: Infobase Publishing.
Robert O. Collins. (2005). Sudan. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 1002-1009. Farmington Hills: Thomson Gale.
Robert O. Collins. (2006). Disaster in Darfur: Historical overview. Dalam Samuel Totten & Eric Markusen (Eds.), Genocide in darfur: investigating the atrocities in the sudan, hal. 3-24. New York: Routledge
Samuel Totten. (2006). The U.S. Investigation into the Darfur Crisis and Its Determination of Genocide: A Critical Analysis. Dalam Samuel Totten & Eric Markusen (Eds.), Genocide in darfur: investigating the atrocities in the sudan, hal. 199-222. New York: Routledge.
.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
13.
GENOSIDA INDIGENOUS PEOPLE
Indigenous people atau penduduk asli atau orang aboriginal atau orang asli atau orang-orang suku atau orang dunia keempat atau apapun sebutan lainnya, adalah mereka-mereka yang ada di suatu wilayah pertama kali, “sebelum kedatangan kelompok yang lainnya.” Pada umumnya mereka memiliki karakteristik etnis, religius, atau linguistik yang berbeda dengan kelompok dominan dalam masyarakat lebih luas. Biasanya mereka minoritas dan tidak memegang kontrol negara di tempat mereka tinggal. Definisi persis apa itu indigenous people sulit dilakukan. Hingga kini tidak ada definisi tunggal yang disepakati bersama oleh semua kalangan. Commission on International Humanitarian Issues, dalam pernyataannya pada tahun 1987 hanya menyatakan bahwa definisi itu jika diajukan harus memasukkan empat elemen, yakni: (a) pra-eksistensi, (b) non-dominan, (c) perbedaan budaya, dan (d) identifikasi diri sebagai indigenous (asli). Berdasarkan ketentuan itu, José Martínez Cobo, dalam merumuskannya seperti berikut:
“Komunitas, orang dan bangsa indigenous adalah mereka yang memiliki sebuah sejarah berkesinambungan dengan masyarakat pra-invasi dan pra-kolonial yang dibangun di wilayah mereka, menganggap diri mereka berbeda dari masyarakat yang kini tersebar di wilayah mereka. Mereka membentuk masyarakat yang kini non-dominan dan berupaya untuk melestarikan, mengembangkan dan mewariskan ke generasi selanjutnya wilayah nenek moyang mereka serta identitas etnis mereka, sebagai dasar keberlangsungan eksistensi mereka sebagai anggota komunitas, sesuai dengan pola budaya, institusi sosial dan sistem hukum mereka sendiri.
Saat ini, diperkirakan terdapat antara 450-650 juta indigenous people di seluruh dunia, yang tersebar di 75 negara. Indonesia memiliki puluhan masyarakat yang ditasbihkan sebagai indigenous, di antaranya Suku Badui di Jawa Barat, suku Tengger di Jawa Timur, Suku Anak Dalam di Jambi, suku Mentawai di Sumatera Barat, Suku Laut Bajo di Sulawesi, dan sebagainya. Masing-masing suku itu minoritas, tidak dominan, dan terus berupaya mempertahankan budaya yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Suku-suku seperti Jawa, Madura, Batak, Minang, Bugis, tidak dianggap sebagai indigenous people karena di wilayahnya mereka dominan dan memegang kekuasaan negara serta tersebar luas dan cenderung terbuka dengan perubahan.
Sepanjang sejarahnya, indigenous people merupakan komunitas yang rentan terhadap kekerasan dari pihak lain. Mereka menjadi korban genosida dari masa ke masa. Merebaknya Kolonialisme Eropa ke seluruh penjuru dunia yang dimulai pada abad 15 merupakan bencana bagi kehidupan mereka. Di manapun orang Eropa datang dan mendarat, di sana indigenous people mengalami nasib mengenaskan, baik akibat dibunuh secara langsung atau tidak langsung, maupun tewas karena terjangkit penyakit yang dibawa orang Eropa. Indigenous people di Amerika Utara lenyap hingga 98% akibat kedatangan Eropa ke wilayah itu. Pada tahun 1500-an, populasi mereka sekitar 15 juta jiwa, tapi pada akhir abad ke 19, jumlahnya hanya tinggal sekitar 250 ribu jiwa. Pada saat Christopher Columbus datang ke Kepulauan Karibia pada tahun 1492, dia menemukan kepulauan yang padat penduduknya dengan populasi diperkirakan sekitar 8 juta jiwa, tapi sekitar setengah abad kemudian, jumlahnya hanya tersisa sekitar 20 ribu orang. Hal yang kurang lebih sama terjadi di wilayah tengah Meksiko. Sebelum Spanyol datang tahun 1519, terdapat sekitar 25 juta orang yang bermukim di wilayah tersebut. Pada tahun 1523, jumlahnya tinggal 17 juta; 1548 menjadi hanya 6 juta; 1568 terus berkurang menjadi 3 juta, dan pada awal abad 17 hanya tersisa sekitar 750 ribu orang, atau hanya tersisa 3% dalam kurun waktu hanya sekitar seabad. Di wilayah Peru, terdapat sekitar 9 juta penduduk sebelum kedatangan Columbus, tapi belum sampai seabad kemudian, jumlahnya hanya tinggal 1,3 juta jiwa. Secara total, dari jumlah sekitar 100 juta jiwa penduduk asli Amerika (Amerika Utara, Amerika Tengah dan Amerika Selatan) sebelum kedatangan Eropa, sebanyak 90%-nya lenyap.
Genosida penduduk asli bukan hanya terjadi di benua Amerika, tapi juga di seluruh benua lainnya: Australia, Asia, Afrika dan Eropa. Pada saat Inggris memasuki Australia tahun 1788, diperkirakan terdapat sekitar 750 ribu orang Aborigin, tapi hanya tersisa 31,000 pada tahun 1911. Di Tasmania, dari sekitar 5000 penduduk asli pada tahun 1642 saat orang Eropa pertama kali datang ke wilayah itu, jumlahnya menjadi hanya 300 pada tahun 1830. Sekitar empat puluh tahun kemudian, pada tahun 1876, Truganini, yang merupakan orang terakhir dari kelompok itu meninggal sehingga lenyap sudah keberadaan mereka. Antara tahun 1885-1908, Raja Leopold II dari Belgia yang menguasai Kongo, Afrika, bertanggungjawab terhadap kematian sekitar 10 juta jiwa penduduk asli Kongo, atau 50% dari populasi total. Suku Sami atau Lapps yang tinggal di wilayah kutub Norwegia, lenyap pada akhir abad ke 19 gara-gara pelarangan penggunaan bahasa asli Sami dan pengasimilasian paksa.
Bagaimana kebinasaan penduduk asli terjadi? Bartolomé de las Casas, seorang saksi mata penaklukan Spanyol di wilayah Karibia, yang menuangkan pengalamannya dalam buku “Brevísima Relación de la Destrucción de las Indias” pada tahun 1552, menyebutkan bahwa pembunuhan sistematis dilakukan oleh Kolonial Eropa (Spanyol dalam kasus Karibia) yang telah menyebabkan kebinasaan itu. Berbagai tindak kekejaman dilakukan orang Spanyol terhadap penduduk asli. Menurut Casas, orang Spanyol: “membantai setiap orang yang mereka temukan di sana, termasuk anak kecil, orangtua, (dan) wanita hamil.”
Pembunuhan massal bukanlah satu-satunya penyebab kematian penduduk asli. Sebagian yang lain tewas dalam kerja paksa. Sebagai contoh, antara 1 juta sampai 9 juta penduduk asli Indian tewas dalam kerja paksa di tambang perak milik Spanyol di gunung Cerro Rico, Bolivia, pada pertengahan abad ke 16. Saat itu, harapan hidup para pekerja tambang hanya 3 bulan. Akibatnya, 7 dari 10 pekerja tambang tewas. Lebih lanjut, pengambilalihan lahan dan hilangnya pekerja produktif karena dibunuh atau dimasukkan kerja paksa sering berujung bencana kelaparan pada komunitas penduduk asli. Penyebab lainnya yang memakan korban lebih banyak lagi adalah penyebaran wabah penyakit, seperti cacar, tipus, kolera dan lainnya. Penyakit-penyakit itu dibawa oleh orang Eropa dan budak-budaknya, yang kemudian menulari penduduk asli. Bagi orang Eropa penyakit-penyakit itu tidak begitu mematikan karena mereka sudah membangun kekebalan terhadapnya, akan tetapi bagi penduduk asli yang belum pernah bersentuhan dengan penyakit tersebut berakibat sangat fatal. Banyak penduduk asli yang tidak pernah melihat seorang pun orang Eropa tewas karena penyakitnya. Menurut sebuah perhitungan, jumlah seluruh penduduk asli di dunia berkurang seperlima dari sebelum kontak dengan Eropa. Masifnya dampak Kolonial Eropa memunculkan ujar-ujar terkenal yang dikutip oleh Charles Darwin dalam buku fenomenalnya ‘Origins of the Species’: “Di manapun orang Eropa mendarat, kematian menghampiri penduduk asli.”
Vahakn N. Dadrian, ahli genosida dari State University of New York, Amerika Serikat, mengategorikan lima tipe genosida yang diarahkan pada indigenous people, yakni: (a) genosida budaya (cultural genocide); pelaku bertujuan mengasimilasikan kelompok indigenous, (b) genosida laten (latent genocide); akibat dari konsekuensi yang tidak diniatkan, misalnya penyebaran penyakit selama invasi, (c) genosida penghukuman (retributive genocide), yang didesain untuk menghukum segmen tertentu dalam komunitas yang melawan kelompok dominan, (d) genosida kemanfaatan (utilitarian genocide), yakni penggunaan pembunuhan massal untuk memperoleh kontrol terhadap sumber ekonomi; dan (e) genosida optimal, yang dicirikan dengan pembantaian sebuah kelompok agar binasa. Lima tipe genosida itu terjadi di era kolonial dan terus terjadi setelah era berakhirnya kolonialisme Eropa di seluruh belahan dunia.
Abad 20 dan kemudian abad 21 terus menjadi saksi terjadinya genosida terhadap komunitas penduduk asli. Barangkali banyak orang mengernyitkan dahi sekaligus jijik mengetahuinya. Bagaimana mungkin komunitas yang begitu minoritas dan lemah, serta banyak yang masih hidup mengandalkan perburuan atau peramuan hasil hutan atau pertanian subsisten itu, menjadi korban kekejian seperti genosida? Akan tetapi, faktanya, di mana-mana di seluruh belahan bumi, indigenous people di banyak negara terus menjadi korban genosida. Berikut adalah tabel sebagian peristiwa genosida yang menimpa indigenous people di seluruh dunia di sepanjang abad ke 20.[1]
Nama kelompok
|
Negara
|
Tahun
|
Bubi
Dinka, Nuer
Herero
Hutu
Isaak
Karimojong
Nuba
San
Tuareg
Tutsi
Tyua
|
Afrika
Guinea Khatulistiwa
Sudan
Namibia
Burundi
Somalia
Uganda
Sudan
Angola, Namibia
Mali, Niger
Rwanda
Zimbabwe
|
1969-1979
1992-1993
1904-1907
1972, 1988
1988-1989
1979-1986
1991-1992
1988-1990
1988-1990
1994
1982-1983
|
Armenia
Atta
Auyu
Cham
Dani
H’mong
Kurdi
Nasioi
Tamil
Berbagai suku
|
Asia & Pasifik
Turki
Philiphina
Papua Barat, Indonesia
Kamboja
Papua Nugini
Laos
Irak
Papua Nugini
Sri Lanka
Chittagong Hills, Bangladesh
|
1915-1923
1987
1989
1975-1979
1988
1979-1986
1988, 1991
1990-1991
1983-1986
1979-sekarang
|
Ache
Arara
Cuiva
Mapuche
Indian Maya
Miskito
Nambiquara
Nunak
Paez
Pai Tavytere
Ticuna
Yanomami
|
Amerika & Karibia
Paraguay
Brasil
Kolombia
Chili
Guatemala
Nikaragua
Brasil
Kolombia
Kolombia
Paraguay
Brasil
Brasil
|
1966-1976
1992
1967-1971
1986
1964-1994
1981-1986
1986-1987
1991
1991
1990-1991
1988
1988-1989, 1993
|
Bisa Anda lihat, dalam tabel di atas terdapat 5 kasus genosida yang telah diuraikan dalam bab-bab buku ini, yakni genosida Herero di Namibia (1904-1907), genosida Armenia di Turki (1915-1923), genosida Hutu di Burundi (1972), genosida Tutsi di Rwanda (1994), dan genosida Kurdi di Irak (1988). Dalam definisi tertentu, lima kasus genosida itu memang sah dikatakan sebagai genosida terhadap indigenous people karena mereka semua memang merupakan penduduk asli di wilayahnya; minoritas dalam jumlah dan tidak memegang kekuasaan negara pada saat itu; memiliki budaya yang berbeda, mengidentifikasikan diri sebagai kelompok berbeda dengan kelompok masyarakat lain di negara tempat mereka tinggal. Tentu saja hal di atas bisa diperdebatkan, terutama karena etnis Hutu dan Tutsi yang bergantian menjadi korban dan pelaku dalam genosida di Burundi dan Rwanda, relatif memiliki budaya yang sama dan berbicara dalam bahasa yang sama serta ‘pernah’ ikut memegang kekuasaan negara, meskipun ketika genosida terjadi mereka bukan pemegang kekuasaan.
Daftar genosida indigenous people dalam tabel di atas bukanlah daftar yang lengkap. Masih jauh lebih banyak kasus genosida lain yang tidak tercatat atau kurang dikenal karena eksesnya yang kecil, atau jumlah anggota kelompok yang menjadi korban cukup kecil, atau ditutupi, atau memang terjadi di tempat yang sedemikian terpencilnya, misalnya di pedalaman hutan Amazon di Brasil. Hutan tropis terluas di dunia itu diketahui merupakan rumah ratusan kelompok etnis pemburu dan peramu hasil hutan atau pertanian ladang. Antara tahun 1900-1959, sedikitnya 80 kelompok etnis itu musnah atau setara dengan 80% dari populasi mereka, akibat pembunuhan dan pengambilalihan lahan serta perusakan lingkungan hidup tempat mereka tinggal. Dan ironisnya, kepunahan itu terus berlanjut hingga abad 21.
Mengapa terjadi genosida terhadap indigenous people? Alasan pertama adalah dalam konteks perjuangan antara kelompok indigenous atau kolaborasi kelompok indigenous melawan negara, karena menolak tindakan-tindakan negara pada mereka. Salah satu bentuk tindakan negara yang banyak menimbulkan perlawanan adalah pengasimilasian paksa dan diskriminasi. Ada banyak kasus di mana praktek budaya indigenous people dilarang dan penggunaan bahasanya dibatasi. Anak-anak mereka sering dipaksa memasuki sekolah-sekolah khusus untuk mengajari mereka budaya kelompok dominan dan menjauhkan dari praktek warisan budaya mereka sendiri. Ruang hidup mereka juga dibatasi. Kondisi tersebut sering menimbulkan ketidakpuasan dan menimbulkan tuntutan untuk otonomi politis. Sebagai respons, pihak negara melakukan perang terhadap warga negaranya sendirinya. Sebagai contoh, Pemerintah Sudan melakukan perang terhadap etnis Dinka, Nuer, dan Nuba. Lalu Pemerintah India berperang dengan etnis Nagas. Oleh karena kombatan tidak berimbang kekuatannya, perang itu pada akhirnya hanya menelurkan genosida.
Alasan kedua adalah alasan ekonomi. Negara sering berupaya menguasai lahan kaum indigenous untuk ditempati oleh kelompok dominan (misalnya transmigrasi) atau untuk kepentingan komersial, seperti dijadikan wilayah pertanian/perkebunan, pembalakan hutan dan eksploitasi pertambangan. Biasanya, oleh negara-negara modern, term yang digunakan adalah “pembangunan.” Mereka melihat kaum indigenous sebagai penghalang pembangunan karena menguasai tanah yang sebenarnya bisa menghasilkan keuntungan ekonomi melimpah. Oleh karena itu kaum indigenous itu lantas disingkirkan. Atas nama pembangunan, pemerintah biasanya mengizinkan pembukaan perkebunan, pertambangan, hingga pengambilan kayu-kayu di hutan di lahan tradisional milik kaum indigenous. Akibatnya, kehidupan tradisional mereka hancur. Biasanya, pertambangan atau perkebunan atau pendirian unit ekonomi lainnya atas nama pembangunan memiliki program untuk memakmurkan masyarakat indigenous. Akan tetapi program-program itu biasanya mahal dan tidak mendatangkan keuntungan sehingga diabaikan.
Salah satu contoh korban pembangunan adalah suku Ogoni di Nigeria. Pada tahun 1950-an, di wilayah mereka ditemukan cadangan minyak melimpah. Pemerintah Nigeria lantas menjalin kerjasama dengan perusahaan minyak internasional Shell Oil untuk pengeborannya. Alih-alih mendapatkan bagian kemakmuran, suku Ogoni tersingkir. Lingkungan mereka rusak parah. Penyakit mewabah. Akibatnya populasi mereka berkurang jauh. Saat mereka berusaha untuk meminta pertanggungjawaban, respon Pemerintah Nigeria adalah pengabaian dan kekerasan. Dari sisi ekonomi, Pemerintah Nigeria memang tidak mungkin memprioritaskan suku Ogoni dengan risiko kehilangan sumber pemasukan negara yang sangat besar.
Nasib suku Ogoni di alami oleh banyak kaum indigenous lain di seluruh dunia. Sekedar contoh, penghancuran suku Dinka, Nuer, dan Nuba di Sudan, juga didorong adanya temuan cadangan minyak melimpah di Sudan Selatan, yang menjadi wilayah tradisional suku-suku tersebut. Hal yang sama terjadi dengan suku Amungme dan lainnya di Papua, terkait dengan dibukanya eksplorasi tambang emas dan tembaga oleh Freeport. Di Ekuador, suku Waorani dan beberapa lainnya hancur karena kehadiran perusahaan tambang minyak seperti Texaco dan Conoco. Di Tanzania, suku Barabaig diusir dari tanah mereka karena digunakan untuk perkebunan gandum internasional. Di Austalia, suku Aborigin diusir dari tanah leluhurnya karena pertambangan uranium.
Peran perusahaan multinasional dalam genosida, baik secara langsung maupun melalui negara, membuat banyak ahli berpendapat bahwa mereka seharusnya diperlakukan seperti negara. Para CEO perusahaan-perusahaan itu harus bisa dituntut sebagai pelaku atau pemrakarsa genosida jika operasi perusahaan mereka menghasilkan genosida. Benar bahwa perusahaan seringkali tidak terkait langsung dengan genosida. Akan tetapi, negara melakukan genosida atas permintaan perusahaan, baik langsung atau tidak langsung, untuk membersihkan setiap hambatan bagi beroperasinya perusahaan, yang artinya pembersihan kaum indigenous. Langkah hukum telah mulai dilakukan ketika pada tahun 1993, sekelompok pengacara mengajukan tuntutan ke pengadilan melawan perusahaan minyak Texaco. Mereka mewakili klien suku Indian Huaorani di Ekuador yang terkena dampak pertambangan minyak perusahaan itu, dan meminta ganti rugi 1 Miliar US$. Pada tahun 1996, juga ada tuntutan terhadap perusahaan Unocal yang beroperasi di Burma/Myanmar dengan tuduhan kekerasan HAM terhadap suku-suku indigenous di sana, baik berupa pembunuhan, relokasi paksa, penyiksaan, kerja paksa hingga intimidasi.
Sumber Pustaka
Adam Jones. (2006). Genocide: A comprehensive introduction. New York: Routledge.
David Maybury-Lewis. (2002). Genocide Against Indigenous Peoples. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 43-53. Berkeley: University of California Press.
Elazar Barkan. (2003). Genocides of Indigenous Peoples: Rhetoric of human rights. Dalam Robert Gellately & Ben Kiernan (Eds.), The Specter of genocide: mass murder in historical perspective, hal. 117-139. Cambridge: Cambridge University Press.
Rebecca Joyce Frey. (2009). Genocide and International Justice. New York: Infobase Publishing.
Samuel Totten, William S. Parsons & Robert K. Hitchcock. (2002). Confronting Genocide and Ethnocide of Indigenous Peoples: An interdisciplinary approach to definition, intervention, prevention, and advocacy. Dalam Alexander Laban Hinton (Ed.), Annihilating difference: the anthropology of genocide, hal. 54-90. Berkeley: University of California Press.
Erica-Irene A. Daes. (2005). Indigeneous Peoples. Dalam Dinah L. Shelton (Ed.), Encyclopedia of genocide and crimes against humanity, hal. 508-516. Farmington Hills: Thomson Gale.
[1] Tabel di atas dikutip dari dalam artikel karya Samuel Totten, William S. Parsons & Robert K. Hitchcock, dalam buku yang berjudul “Annihilating Differences: The anthropology of genocide”, hal. 67 (2002, University of California Press, Berkeley., Alexander Laban Hinton, editor).