Kontrol Diri:
Ratunya Kekuatan Diri
Achmanto Mendatu
What trait is most important for helping people lead happy, successful and useful lives? Decade after decade, psychologists keep coming up with the same two answers. One is intelligence. The other is self-control. Nothing else comes close. -Roy F. Baumeister [1]
“Marshmallow Test”
Antara 1968 sampai 1974, serangkaian eskperimen psikologi diadakan di Bing Nursery School[2] di Universitas Stanford, Amerika Serikat, oleh tim yang dipimpin oleh ilmuwan psikologi Walter Mischel. Sejumlah 653 anak berusia 4 sampai 5 tahun ikut berpartisipasi. Setiap anak diminta memasuki sebuah ruangan kecil sederhana. Di dalam ruangan itu hanya ada sebuah meja dan sepasang kursi. Seorang peneliti yang duduk di salah satu kursi mempersilakan si anak untuk duduk di kursi lainnya dan menawarkan pada si anak untuk memilih salah satu makanan yang paling disukainya, seperti marshmallow, cookies, atau pretzel sticks. Setelah si anak memilih satu yang disukainya, peneliti meletakkannya di piring di atas meja. Lalu, si peneliti membuat penawaran: “Itu milikmu. Kamu boleh memakannya. Tetapi, jika kamu mau menunggu memakannya sampai saya kembali, maka kamu akan mendapatkan dua buah. Jika tidak mau menunggu, kamu tekan bel, dan saya akan segera kembali.” Si anak tahu persis jika dirinya menekan bel, maka yang didapatkan hanya satu buah saja tidak peduli sudah berapa lama menunggu. Lalu peneliti meninggalkan ruangan.
Apa yang terjadi? Sebagian anak memakan pilihannya bahkan sebelum peneliti keluar ruangan. Sebagian anak hanya bisa menunggu sebentar lalu segera menekan bel. Sebagian lagi mampu cukup lama menunggu tapi akhirnya menekan bel juga. Sebagian yang lain berhasil menunggu sampai peneliti kembali (antara 15-20 menit) sehingga mereka pun mendapatkan dua buah. Secara teknis, kemampuan anak untuk menunda memakan satu buah ‘marshmallow’ demi mendapatkan dua buah ‘marshmallow’ itu disebut sebagai kemampuan menunda-kesenangan (delay of gratification). Hasil eksperimen menunjukkan bahwa kemampuan menunda itu berbeda-beda pada masing-masing anak.
Para peneliti terus melacak anak-anak itu hingga 40 tahun kemudian. Diketahui bahwa anak yang mampu menunggu lebih lama pada usia 4-5 tahun tumbuh lebih baik dan memiliki kehidupan yang lebih berhasil. Mereka memiliki kompetensi akademik dan sosial yang lebih tinggi, kemampuan kognitif dan verbal lebih baik, lebih mampu memperhatikan dan berkonsentrasi, lebih rasional, lebih terencana serta lebih mampu menangani situasi frustrasi dan stres. Selain memiliki pencapaian akademik lebih tinggi, mereka juga berpeluang lebih kecil menjadi pencandu narkoba. Pun mereka memiliki berat tubuh lebih ideal.[3] Singkat kata, mereka memiliki hidup yang lebih baik di masa depan.
Apakah Kontrol Diri?
Konsep kontrol-diri disebut dengan istilah berbeda-beda. Sebagian menyebutnya regulasi-diri (self-regulation), disiplin-diri (self-discipline), tekad (willpower), usaha terkontrol (effortful control), kekuatan ego (ego strength), ketahanan akademik (academic tenacity) dan lainnya. Apapun sebutan dan definisinya, intinya sama, yakni pengontrolan diri yang disengaja untuk mengejar tujuan dan standar yang dimiliki seseorang.[5] Lawan kontrol-diri adalah impulsif, yakni kegagalan menyelaraskan diri dengan yang ideal agar bisa mencapai tujuan, dan dengan standar sosial. Orang impulsif cenderung memperturutkan kata hati dan tidak mau menunda pemenuhan hasrat, yang terentang dari hasrat kesenangan (leisure), kontak sosial, menonton/menggunakan media, belanja, makan, kerja, alkohol, narkoba, kopi, seks, ritual, dan lain sebagainya.[6] Apabila waktunya belajar, seorang mahasiswa dengan kontrol-diri tinggi tidak tergoda untuk memuaskan hasrat sesaat, seperti berselancar di internet, main game, atau menghabiskan waktu di social-media (facebook/twitter). Mereka pun lebih bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma perilaku yang diharapkan dari mahasiswa, seperti mengonsumsi narkoba, bermabuk-mabukan, dan melakukan tindak kriminalitas. Bukan saja karena hal-hal itu tidak sesuai standar, tetapi juga karena bisa merusak pencapaian tujuan. Sebaliknya, mahasiswa yang impulsif lebih mudah tergoda dengan kesenangan sesaat dan lebih mungkin melakukan sesuatu yang bisa merusak dirinya di masa depan.
Terkait sukses, setidaknya ada dua tipe kontrol-diri yang terpenting, yakni kemampuan menunda mendapatkan hasil segera yang kurang bernilai demi mendapatkan hasil yang lebih bernilai di masa mendatang (delay of gratification), dan kekukuhan menunaikan tugas-tugas untuk mengejar tujuan (task persistence). Orang dengan kontrol-diri tinggi bersedia mengorbankan hasil/kenikmatan jangka pendek yang sudah pasti, demi memperoleh hasil/kenikmatan lebih besar dalam jangka panjang meskipun belum pasti. Namun begitu, mereka rela melakukannya karena percaya bahwa ada buah manis yang bakal dipetik dengan pengorbanannya sekarang.[7] Mereka bisa menolak godaan karena bisa mengenali konflik kontrol-diri, yakni tahu bahwa pilihan perilaku yang ada melenceng dari tujuan pribadinya dan akan meminta harganya kelak. Pada saat yang sama mereka tahu bahwa dengan kukuh mengikuti sebuah aturan/prinsip yang selaras dengan tujuan, maka mereka akan memperoleh hasil yang manis di masa depan.
Kontrol-diri tidak lepas dari pengaruh orang lain, baik pengaruh yang bisa mendukung atau melemahkan.[8] Misalnya ada pasangan yang selalu mencela atau mengkritik upaya pasangannya sehingga melemahkan kontrol-dirinya. Lalu di asrama/kos mahasiswa, lazim ditemui ada teman-teman asrama/kos yang sering mengganggu belajar dengan mengajak bermain gim atau kegiatan bersenang-senang lainnya. Dan delay of gratification itu sendiri tidak terlepas dari kepercayaan terhadap orang lain. Apabila seseorang tidak percaya bahwa oranglain bisa memberikan sesuatu yang lebih bernilai di masa depan, maka seseorang akan lebih memilih mendapatkan sesuatu saat ini, meskipun kurang bernilai.[9]
Komponen kontrol-diri
Agar kontrol-diri efektif, diperlukan empat komponen. Pertama, dibutuhkan tujuan yang spesifik dan jelas; kedua, dibutuhkan emosi untuk memberi tenaga dan memotivasi kontrol-diri; ketiga, dibutuhkan sistem monitoring yang bisa tepat mengidentifikasi perbedaan antara tujuan yang diinginkan dengan kondisi saat ini; dan terakhir, dibutuhkan sistem pengoperasian kontrol-diri yang bisa memulai perubahan yang diperlukan.[10] Tujuan merupakan titik acuan dalam kontrol-diri, karena seseorang mengontrol-dirinya untuk mencapainya. Semakin jelas tujuannya, pengontrolan diri pun menjadi semakin mudah karena jelas apa yang harus dilakukan, apa yang mesti dihindari, dan apa yang boleh dijalani. Itu sebabnya, orang dengan kontrol-diri tinggi mengalami konflik kontrol-diri lebih sedikit (mereka selalu tahu apa yang harus dilakukan!). Sebagai hasilnya, orang-orang dengan kontrol-diri tinggi lebih berbahagia dalam hidupnya.[11]
Tujuan yang dimiliki seseorang bisa merupakan tujuan pribadi yang secara sadar dibuat untuk dirinya sendiri (misalnya, “saya akan menurunkan berat badan 20 kg”, “saya akan menjadi pengacara”, “saya akan lulus kuliah 4 tahun”) atau tujuan yang disosialisasikan padanya sebagai bagian dari anggota kelompok sosial tertentu (misalnya menjadi anggota masyarakat yang bermartabat, atau menjadi pemeluk agama yang taat, atau menjaga nama baik keluarga).[12] Namun demikian, kebanyakan tujuan pribadi juga merupakan hasil dari pengaruh kehadiran orang lain (atau berpikir tentang oranglain), misalnya orangtua, teman atau pasangan. Sebagai contoh, banyak anak yang membuat tujuan sesuai dengan aspirasi orangtuanya: anak polisi cenderung menjadi polisi, anak pengusaha cenderung menjadi pengusaha.
Pencapaian tujuan memiliki dua aspek penting, yakni pembuatan tujuan (goal-setting) dan pengejaran tujuan itu (goal-striving). Proses memilih tujuan disebut berhasil apabila muncul komitmen terhadap tujuan itu. Asumsinya, komitmen akan muncul apabila tujuan bersifat diinginkan (desirable), memungkinkan untuk dicapai (feasible), dan memunculkan harapan positif.
Tujuan masa depan memiliki dua bentuk, yakni harapan (expectation) dan fantasi (free-thoughts).[13] Harapan adalah memprediksi peluang sesuatu/peristiwa atau perilaku akan terjadi atau tidak terjadi di masa depan, berdasarkan pengalaman masa lalu dan sejarah performanya. Harapan bisa berujud harapan efikasi-diri (apakah mampu melakukan sesuatu), harapan hasil (apakah jika melakukan sesuatu akan menghasilkan hal yang diinginkan), dan harapan umum (apakah di masa depan akan memperoleh hasil positif atau negatif). Sebaliknya, fantasi merupakan kejadian atau perilaku masa depan yang muncul dalam pikiran, terlepas apakah hal itu mungkin atau tidak mungkin terjadi. Jadi, fantasi adalah pikiran bebas. Orang bisa berfantasi apa saja tentang masa depan. Sebagai misal, meskipun memiliki peluang rendah mendapatkan nilai A, seorang mahasiswa bisa tetap berfantasi positif akan menerima nilai A.
Perbedaan cara berpikir tentang masa depan menimbulkan perbedaan dalam usaha dan performa. Harapan positif mendorong peningkatan komitmen, dan dengan demikian meningkatkan usaha dan performa. Sebaliknya, fantasi positif justru menurunkan usaha dan performa. Diketahui bahwa fantasi positif berbanding terbalik dengan pencapaian: semakin positif fantasinya, semakin kurang usaha yang dilakukan untuk mencapainya dan semakin rendah sukses yang dicapai. Semakin positif fantasi juga cenderung menyebabkan depresi. Berfantasi telah mencapai sesuatu, menyebabkan seseorang cenderung gagal mengenali hambatan, tidak menerapkan strategi untuk menghindari godaan atau melawan distraksi, dan gagal mengambil tindakan yang diperlukan untuk meraihnya. Sebagai contoh, dalam sebuah studi eksperimen ditemukan bahwa mereka yang memiliki harapan positif (agaknya saya bisa menurunkan berat badan sesuai perkiraan) bisa menurunkan berat badan 13 kg lebih banyak dibandingkan yang memiliki harapan negatif (agaknya saya tidak bisa menurunkan berat badan sesuai perkiraan). Namun, mereka yang memiliki fantasi positif (mereka yang membayangkan ramping ketika jalan keluar bersama teman dan membayangkan mudahnya menolak godaan sekotak donat di meja makan), memiliki penurunan berat badan 12 kg lebih rendah dari mereka yang memiliki fantasi negatif (mereka yang membayangkan telah mengecewakan teman dan membayangkan sulitnya menolak godaan sekotak donat di meja makan). Itu artinya, fantasi positif tidak membantu. Dan efek negatif dari fantasi positif itu berlaku dalam berbagai hal, baik dalam pencapaian belajar, karir, kesehatan, hubungan interpersonal, dan lainnya. Jadi, panduan self-help populer dalam buku-buku atau pelatihan yang memiliki resep “Fantasikan Masa Depan!” tidak bermanfaat. Alih-alih berguna, menginduksikan fantasi positif justru merugikan dalam pencapaian tujuan dan bahkan menurunkan kesehatan mental.[14]
Pertanyaannya, bagaimana agar fantasi bisa berubah menjadi harapan positif, sehingga bisa membuat seseorang berkomitmen dan bersedia menyelaraskan pikiran, emosi dan perilaku untuk mencapainya? Ada empat strategi lain yang biasa dipakai orang dalam memecahkan persoalan fantasi masa depan, yakni indulging, dwelling, pengontrasan-terbalik (reverse-contrasting) dan pengontrasan-mental (mental-contrasting). Indulging adalah strategi dengan hanya membayangkan masa depan yang diinginkan tanpa mengelaborasi realitas yang ada. Dwelling adalah strategi hanya berfokus pada realitas yang ada yang bisa menghambat pencapaian keinginan (misalnya teman kelas yang mengganggu) tanpa mengaktifkan representasi mental apa yang diinginkan di masa depan. Pengontrasan-terbalik (reverse-contrasting) adalah strategi mengelaborasi realitas yang ada dan lalu membayangkan masa depan yang diinginkan. Diketahui, ketiga strategi itu tidak efektif, alias tidak membangkitkan harapan positif dan tidak memunculkan komitmen. Sebaliknya, pengontrasan-mental terbukti efektif dalam memunculkan harapan positif.
Pengontrasan-mental (mental-contrasting) adalah mengontraskan fantasi yang diinginkan di masa depan (misalnya memberikan presentasi yang bagus dalam sebuah seminar) dengan refleksi atas realitas yang ada yang menghalangi tercapainya keinginan itu (misalnya, kecemasan bicara di depan umum), serta mengasosiasikan antara realitas saat ini dengan keinginan masa depan (misalnya hanya bisa memberikan presentasi yang bagus dalam sebuah seminar jika bisa mengatasi kecemasan bicara di depan umum). Dengan pengontrasan-mental, akan muncul kesadaran bahwa seseorang belum mencapai apa yang diinginkan, dan harus melakukan aksi nyata mengatasi hambatan yang ada jika hendak mencapainya. Konsekuensinya, harapan mencapai masa depan yang diinginkan akan diaktifkan. Jika harapan sukses tinggi, seseorang akan lebih berkomitmen dan menyadari masa depan yang diinginkannya. Sebaliknya, jika harapan sukses rendah, orang akan cenderung menghindarinya, dan akan mencari alternatif tujuan lain untuk dicapai. Jadi, pengontrasan-mental membantu membedakan tujuan yang bisa dicapai dan yang tidak.[15]
Apabila telah memilih tujuan yang mengikat komitmen, maka selanjutnya adalah merencanakan bagaimana pengejaran tujuan (goal-striving) dilakukan. Setidaknya ada empat perencanaan yang harus dilakukan, yakni bagaimana memulai pengejaran tujuan (start); bagaimana agar tetap berada di jalur (on the track); bagaimana bila terjadi kemandekan; dan bagaimana agar tidak terlalu memaksa diri (overextending). Salah satu strategi perencanaan yang efektif adalah implementation-intentions yakni perencanaan detail kapan, dimana, dan bagaimana seseorang akan mengambil tindakan untuk membuat tujuannya lebih mungkin tercapai dengan prinsip jika-maka.[16] Prinsip tersebut secara sederhana berbunyi, “Jika situasi X terjadi, maka saya akan melakukan Y.” Jadi, sejak awal telah dipersiapkan langkah-langkah tertentu apabila terjadi situasi tertentu. Sebagai contoh, tujuan yang dipilih adalah mendapat nilai A dalam ujian, maka contoh perencanaannya adalah: “Jika ada yang mengajak saya jalan-jalan keluar saat belajar, maka saya akan berkata pada yang mengajak kalau saya tidak mau pergi”, “Jika ada yang tidak saya pahami dengan materi ini, saya akan kontak senior saya untuk membantu.”
Emosi merupakan komponen penting dalam kontrol-diri.[17] Kontrol-diri terjadi dan diperkuat ketika seseorang merasakan afek (emosi): peduli dengan performanya, galau jika melakukan sesuatu yang menjauhkan mereka dari tujuannya, risau jika tidak berhasil mengontrol dirinya dan senang ketika berhasil mengontrol dirinya. Sebaliknya, penurunan kontrol-diri juga merupakan hasil dari berkurangnya afek: berhenti peduli terhadap performanya yang memburuk, tidak lagi merasakan ‘sakit’ dari sebuah kegagalan mengontrol-diri dan berhenti gundah ketika tidak berhasil mengontrol dirinya. Jadi, meskipun seseorang memiliki tujuan yang spesifik dan jelas untuk diet, dan tahu bahwa pergi ke restoran fastfood setelah hari yang melelahkan tidak sesuai dengan tujuannya berdiet, namun apabila tidak merasakan emosi yang kuat terhadap tujuan itu dan tidak merasakan “risau/gundah/derita” jika tidak berhasil menghindarinya, maka tidak akan ada cukup energi untuk menekan hasrat memakan fastfood yang lezat. Hanya jika seseorang merasa menderita dan gundah gulana jika tidak berhasil menghindari fastfood yang nikmat, maka kontrol-diri bisa berhasil. Dengan kata lain, banyak kegagalan kontrol-diri, bukan disebabkan tidak berhasil menyusun tujuan yang spesifik dan jelas, tetapi karena gagal menumbuhkan emosi terhadap tujuan itu.
Salah satu sumber ‘emosi’ terpenting dalam kontrol-diri adalah nilai moral. Apabila seseorang berhasil menautkan tujuan yang dibuatnya dengan moralitas yang dimilikinya, maka emosi bisa ditumbuhkan kuat (misalnya: “Saya harus berhasil jadi mahasiswa karena bentuk bakti saya pada orangtua”, “Kalau saya tidak berhasil di sini, saya tidak akan bisa membantu keluarga saya”, “saya tidak mau narkoba sebab itu dosa”). Semakin relevan nilai moral itu dengan pribadi, maka emosi bisa ditumbuhkan semakin kuat (misalnya: “ditaruh ke mana muka saya jika melakukan itu”). Salah satu sebab moral bisa memberikan emosi kuat terhadap tujuan adalah kejijikan (disgust) jika melakukan sesuatu yang tidak sesuai nilai moralnya. Misalnya, seseorang yang meyakini bahwa bumi itu sakral dan suci, akan merasa jijik terhadap setiap perilaku yang merusak bumi. Secara otomatis, mereka akan mengontrol-dirinya untuk tidak melakukan hal-hal yang merusak dan bahkan mungkin akan berusaha mencegah orang lain melakukannya.
Apabila orang lebih sadar dengan emosi yang dialaminya (tahu apa yang sedang dirasakannya), maka kontrol-diri cenderung meningkat. Secara umum bisa dikatakan bahwa emosi negatif bisa merusak kontrol-diri dan emosi-positif bisa meningkatkan kontrol-diri.[18] Misalnya, ketika seseorang mengalami emosi negatif, mereka cenderung kehilangan kontrol diri dalam menjalani diet atau dalam mengerjakan tugas-tugas. Sebaliknya, ketika seseorang mengalami emosi positif, mereka cenderung memperkuat kontrol-dirinya: menjadi lebih kukuh dengan dietnya, mampu menunggu lebih lama, mampu mengerjakan tugas lebih panjang, dan lainnya. Namun demikian, dalam situasi tertentu, emosi positif bisa mengurangi kontrol-diri pada orang dewasa. Misalnya, hasrat seksual cenderung membuat orang dewasa berorientasi ‘saat ini’ dan ‘sekarang’. Lalu, rasa bangga (pride), juga bisa mengurangi kontrol-diri, karena orang cenderung menjadi tidak bisa menahan diri untuk pamer.[19]
Walter Mischel |
Komponen penting lain dalam kontrol-diri adalah monitoring, yakni pengidentifikasian perbedaan antara tujuan yang diinginkan dengan kondisi saat ini atau pengenalan adanya konflik kontrol-diri (situasi ketika seseorang harus memilih keputusan apakah sebuah perilaku akan merugikan atau menguntungkan bagi tujuannya).[21] Melalui pemonitoran, seseorang bisa tahu apakah pilihan perilaku yang ada akan merugikannya. Jika tidak bisa mengenali adanya konflik kontrol-diri, maka orang bisa terseret dalam godaan, tanpa sadar bahwa perilaku itu bisa merugikannya (misalnya pulang lebih dini saat kerja tidak disadari bisa membuatnya gagal dipromosikan). Apabila mengenali adanya konflik kontrol-diri, seseorang akan mengoperasikan strategi tertentu untuk mengatasinya, yang bisa gagal atau berhasil (misalnya setelah tahu bahwa pulang lebih dini membuatnya tidak bisa dipromosikan, maka berubah untuk menjadi pulang tepat waktu atau mengabaikan soal promosi, atau lainnya). Artinya, kegagalan kontrol-diri bisa disebabkan karena kegagalan mengenali konflik kontrol-diri (kegagalan monitoring) atau kegagalan strategi mengatasi konflik kontrol-diri (kegagalan operasional). Orang dengan kontrol-diri tinggi pada dasarnya adalah orang yang lebih sukses mengenali konflik kontrol-diri dan lebih berhasil mengatasinya.
Kekuatan kontrol-diri
Kontrol-diri bisa dipandang sebagai kekuatan atau energi. Kontrol-diri bisa dianalogikan seperti otot lengan: bisep dan trisep. Kekuatannya bervariasi pada setiap orang. Ada yang tinggi dan ada yang rendah. Seperti halnya otot lengan, kekuatan kontrol-diri juga terbatas. Apabila digunakan, kekuatannya akan menurun (yang diistilahkan sebagai ego-depletion). Oleh karena itu, jika sudah mengerahkan kontrol-diri pada tugas pertama, maka pada tugas kedua, kekuatan kontrol-dirinya akan melemah. Namun demikian, seperti juga otot, kekuatan kontrol-diri bisa dipulihkan. Dengan latihan intensif terus menerus dan berbagai strategi, kekuatan kontrol-diri bisa ditingkatkan.[22] Semakin percaya kontrol-diri bisa terus ditingkatkan maka kekuatannya juga bisa semakin membesar. Diketahui, orang yang lebih percaya bahwa kontrol-diri bisa terus ditingkatkan juga memiliki kontrol-diri yang lebih besar.[23] Dan tidak seperti yang banyak diyakini orang, tidak ada kontrol-diri yang terlalu kuat atau berlebihan. Semakin kuat justru semakin baik. Apalagi diketahui bahwa hubungan kontrol-diri dan IQ sangat kecil. Seseorang bisa saja memiliki IQ tinggi namun kontrol-dirinya rendah atau sebaliknya memiliki kontrol-diri tinggi tapi IQ-nya rendah. Artinya, kontrol-diri bisa terus dilatih tanpa perlu menghiraukan faktor IQ yang dimilikinya.[24]
Kekuatan kontrol-diri bisa berbeda-beda dari aspek ke aspek, dari yang terkait kesehatan, hubungan sosial, seks, narkoba dan alkohol, makan, latihan, pencapaian prestasi, hingga keuangan.[25] Memiliki kontrol-diri tinggi tidak mesti berarti memilikinya di semua aspek hidup. Ada yang memiliki kontrol-diri tinggi dalam pekerjaan, namun rendah dalam hubungan interpersonal. Sebut saja Tiger Woods, yang dikenal memiliki kontrol-diri tinggi, baik dalam golf maupun dalam penampilan di depan publik. Dia tidak minum alkohol berlebihan, tidak merokok, dan tidak mengonsumsi narkoba. Emosinya selalu terjaga apapun situasinya. Akan tetapi, dalam kehidupan seksual, Tiger Woods dikenal tidak terkontrol. Meskipun sudah memiliki istri, selingkuhannya puluhan orang.[26] Sangat jelas kalau Tiger Woods memiliki kontrol-diri rendah dalam hal tersebut.
Pengaruh kontrol-diri
Seperti sudah dibahas dalam bab satu, IQ memiliki prediksi kuat terhadap performa akademik. Akan tetapi, kontrol-diri ternyata mengalahkan IQ. Studi yang dilakukan Angela Lee Duckworth dan Martin Seligman dari Universitas Pennsylvania, AS, memperlihatkan bahwa korelasi kontrol-diri dengan nilai akademik akhir (Indeks Prestasi Kumulatif, IPK) lebih dari 2× lipat korelasi IQ dengan IPK (r = .67 dengan r = .32). Jadi, ketimbang IQ, peranan kontrol-diri lebih besar dalam pencapaian akademik. Pelajar dengan kontrol-diri tinggi memiliki tingkat ketidakhadiran yang lebih rendah, lebih sedikit menonton televisi, mengalokasikan lebih banyak waktu untuk mengerjakan tugas (homework) dan mengerjakannya lebih awal.[27] Mereka lebih mampu berkonsentrasi, lebih rasional, dan memiliki kemampuan kognitif dan verbal lebih tinggi.[28] Pendek kata, kontrol-diri membuat seorang pelajar menjadi pelajar yang lebih baik. Kegagalan seorang pelajar berprestasi sesuai potensinya adalah kegagalannya melatih kontrol-diri.
Sebuah studi longitudinal selama lebih dari 20 tahun memperlihatkan bahwa kontrol-diri —dalam bentuk memusatkan perhatian pada suatu subjek dalam jangka waktu tertentu sehingga bisa menyelesaikan sebuah tugas— pada usia 4 tahun, bisa memprediksi siapa yang akan menyelesaikan pendidikan level perguruan tinggi. Diketahui bahwa anak usia 4 tahun yang bisa lebih lama memusatkan perhatian dan lebih banyak menyelesaikan tugas —bermain dengan satu jenis mainan lebih lama ketimbang yang lain, dan tidak gampang menyerah saat menyelesaikan tugas— memiliki kemampuan matematika dan kemampuan baca yang lebih baik saat berusia 21 tahun dan lebih mungkin lulus dari Perguruan Tinggi pada usia 25 tahun.[29] Hasil yang sama diperoleh dalam studi menunda-kesenangan (delay of gratification, —lihat tentang tes marshmallow di atas). Anak yang pada usia 4 dan 5 tahun bisa lebih lama menunda-kesenangan-sesaat, memiliki pencapaian akademik lebih baik 25 tahun kemudian.[30] Itu artinya, melatih kontrol-diri pada usia dini sangat penting untuk dititikberatkan, baik dalam pengasuhan maupun pendidikan usia dini.
Dengan prestasi dan pencapaian pendidikan lebih tinggi, mereka yang memiliki kontrol-diri lebih tinggi juga cenderung memperoleh karir (dan berkarir) lebih baik, serta memiliki pendapatan yang lebih tinggi.[31] Sebaliknya, mereka yang kontrol-dirinya rendah cenderung mengalami masalah keuangan, lebih sedikit memiliki tabungan, lebih sedikit memiliki aset ekonomi (misalnya kepemilikan rumah, investasi, rencana pensiun), dan lebih sulit dalam meningkatkan penghasilan. Anak-anak yang memiliki kontrol-diri rendah akan tumbuh dewasa menjadi pengelola keuangan yang buruk.[32]
Sejak jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi, pelajar perempuan selalu memiliki pencapaian akademik yang lebih baik dibandingkan pelajar pria, bahkan ketika kelompok pelajar pria memiliki skor IQ lebih tinggi. Mengapa demikian? Sebab, pelajar perempuan memiliki kontrol-diri lebih baik dari pelajar pria.[33] Diduga, lebih tingginya kontrol-diri pada perempuan merupakan akibat langsung dari pola pengasuhan yang menekankan anak perempuan untuk lebih terkontrol dalam berperilaku. Anak-anak perempuan memiliki tabu-tabu berperilaku yang lebih banyak. Hampir di semua budaya, lepas kontrol dan mengejar kesenangan kurang dimaklumi untuk anak perempuan. Hanya sayangnya, kontrol-diri pada pelajar perempuan yang lebih baik itu tidak memprediksi pencapaian pelajar perempuan setelah lulus pendidikan. Hambatan budaya dan stereotip negatif terhadap perempuan, menyebabkan perempuan terhalang dalam mencapai potensi maksimalnya.[34]
Bukan hanya berpengaruh terhadap prestasi akademik dan karir, kontrol-diri juga mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan lainnya. Mereka yang memiliki kontrol-diri tinggi memiliki kemungkinan lebih besar untuk tidak mengalami kegemukan atau obesitas saat remaja dan dewasa serta memiliki kesehatan fisik yang lebih bagus.[35] Mereka juga lebih baik dalam menangani stres dan frustrasi serta memiliki penyesuaian diri lebih tinggi sehingga lebih sedikit terlibat dalam kenakalan dan perilaku berisiko, seperti menjadi perokok, menggunakan obat-obatan terlarang dan menjadi pencandu alkohol, melakukan perilaku seksual berisiko, serta terlibat dalam tindak kriminalitas.[36] Mereka pun memiliki hubungan sosial yang lebih bagus serta kehidupan asmaranya yang lebih berkualitas (lebih puas, lebih memaafkan, lebih mengakomodasi pasangan, lebih berkomitmen dalam cinta, lebih mulus dalam berinteraksi, absen dari konflik dan absen dari perasaan ditolak).[37] Secara umum mereka lebih bahagia dan lebih puas dengan hidupnya karena lebih sedikit mengalami konflik motivasional ketika harus membuat keputusan.[38] Singkat kata, kontrol-diri lebih tinggi menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Tidak heran jika Prof. Roy F. Baumeister, salah seorang peneliti utama kontrol-diri, menyebutnya sebagai ‘queen of virtue’ alias ratunya karakter positif.
[2] Semacam PAUD milik Universitas Stanford yang
diselenggarakan di lingkungan universitas. Tentang sekolah tersebut bisa
diakses di http://www.stanford.edu/dept/bingschool/
[3] Lihat Mischel, Shoda & Peake (1988), Shoda, Mischel &
Peake (1990), Ayduk, dkk. (2000) dan Schlam, dkk. (2012).
[4] Lihat Casey, dkk. (2011).
Tentang review mengenai eksperimen ‘marshmallow’ lihat Mischel, dkk. (2011).
[5] Lihat Duckworth & Kern (2011). Untuk kupasan
menyeluruh tentang kontrol-diri lihat Duckworth & Kern (2011), Bruya (ed.)
(2010), Hoyle (ed.) (2010), Vohs & Baumeister (eds.) (2011), Baumeister (2012), de Ridder, dkk. (2012), Hagger (2013), Schmeichel &
Inzlicht (2013). Sebuah buku tentang kontrol-diri untuk pembaca populer,
yang berjudul “Willpower” karya profesor psikologi, Roy F. Baumeister &
John Tierney, sangat direkomendasikan untuk dibaca. Lihat Baumeister & Tierney (2011).
[6] Untuk godaan/dorongan yang dikontrol, lihat Myrseth
& Fishbach (2009), Hofmann, Vohs
& Baumeister (2012), Hofmann, Baumeister, Förster & Vohs (2012)
[7] Proses kognitif yang mengurangi nilai dari godaan agar
mampu menunda, disebut delay-discounting. Lihat misalnya De Ridder,
dkk. (2012),
[10] Gutsell & Inzlicht (2014).
[11] Lihat Hofmann, Luhmann, Fisher, Vohs & Baumeister
(2013) tentang pengaruh konflik kontrol-diri terhadap kebahagiaan.
[12] Lihat Gutsell & Inzlicht (2014) tentang pengaruh
moralitas atau norma sosial terhadap kontrol-diri.
[14] Mengenai studi efek negatif dari fantasi positif, lihat
diantaranya Kappes & Oettingen (2011, 2012), Kappes, Oettingen & Mayer
(2012), Kappes Oettingen & Pak (2012), Kappes, Sharma & Oettingen (2013),
Kappes, Stephens & Oettingen (2011).
[15] Mengenai seluk beluk pengontrasan-mental dan
efektivitasnya, lihat reviewnya dalam Oettingen (2012). Lihat juga studi
originalnya dalam Houssais, Oettingen & Mayer (2013), Adriaanse, dkk. (2010), Oettingen, Marquardt
& Gollwitzer (2012), Sheeran, dkk. (2013), Sevincer & Oettingen (2013),
Oettingen, Mayer & Thorpe (2010), Duckworth, dkk. (2013). Parks-Stamm, Gollwitzer & Oettingen (2010) Gawrilow,
dkk. (2013), Gollwitzer, dkk. (2011), Kirk, Oettingen & Gollwitzer (2013), Sevincer, Busatta &
Oettingen (2014), Kappes, Wendt, Reinelt & Oettingen (2013), Sevincer,
Kluge & Oettingen (2014). Oettingen, Mayer & Brinkmann (2010), Gawrilow,
Gollwitzer & Oettingen (2011).
[16] Lihat reviewnya dalam Gollwitzer & Oettingen (2011),
Gollwitzer, Gawrilow & Oettingen (2010), Oettingen & Gollwitzer (2011).
[17] Lihat Schmeichel & Inzlicht (2013).
[20] Lebih jauh tentang sistem panas/dingin (“hot/cool system”) silakan lihat Mischel
& Ayduk (2004, 2011), Kross, Mischel & Shoda (2010), Mischel, dkk. (2011), Berman, dkk. (2013). Sistem-panas
merupakan sistem-kognitif yang pertama muncul seiring kelahiran seorang anak ke
dunia. Oleh karena itu, anak-anak pada usia dini biasanya belum memiliki
kontrol-diri. Sistem-dingin terbentuk seiring usia, yang dipengaruhi salah
satunya oleh faktor pengasuhan. Sistem-panas biasa diwakili dengan
ungkapan-ungkapan seperti, “Pokoknya aku mau itu”, “Sekarang ya sekarang! Besok
ya besok!” Lihat juga Legault & Inzlicht (2013) tentang perilaku otomatis dalam
kontrol-diri.
[21] Tentang aspek monitoring dalam kontrol-diri, lihat
diantaranya Quinn, dkk. (2010). Tentang konflik kontrol-diri, lihat Myrseth
& Fishbach (2009), Fishbach & Converse (2011)
[22] Tentang kekuatan kontrol-diri dan pelemahannya
(ego-depletion), lihat diantaranya Baumeister, Vohs & Tice (2007), Inzlicht
& Gutsell (2007), Schmeichel & Vohs (2009), Balliet & Joireman (2010), Hagger, Wood, Stiff & Chatzisarantis (2010),
Robinson, Schmeichel, & Inzlicht (2010), Vohs, Glass, Maddox & Markman
(2011), Inzlicht & Schmeichel (2012, 2013), Vohs (2013), Vohs, Baumeister & Schmeichel (2013), Inzlicht, Schmeichel & Macrae (2014).
[23] Tentang keyakinan kontrol-diri bisa ditingkatkan akan
mempengaruhi performa, lihat Job, Dweck & Walton (2010), Job, Walton, Bernecker & Dweck (2013), Miller, dkk.
(2013)
[24] Lihat Duckworth & Seligman (2005).
[25] Lihat Tsukayama, Duckworth & Kim (2012, 2013), Tsukayama
& Duckworth (2010), Hofmann, Vohs &
Baumeister (2012), Hofmann, Baumeister, Förster & Vohs (2012)
[26] Tentang Tiger Woods, lihat Londino (2010).
[28] Shoda, Mischel & Peake (1990), Mischel, Shoda & Peake (1988). Ada
cukup banyak studi pengaruh kontrol-diri kontrol-diri
terhadap prestasi akademik, lihat diantaranya Tangney, Baumeister & Boone (2004), Duckworth & Seligman (2006), Duckworth, Quinn &
Tsukayama (2012), Duckworth, Tsukayama
& May (2010), McClelland, dkk. (2013), Poropat (2009). Lihat juga reviewnya dalam Duckworth & Allred (2012) dan Duckworth
& Carlson (2013). Sebagai catatan, perfoma akademik ada 3 jenis, yakni
kesiapan akademik (seberapa siap seorang anak untuk mengikuti pembelajaran di
pendidikan formal), prestasi akademik (seberapa bagus penguasaan materi
akademik, yang biasa diukur dengan nilai akademik atau IPK atau hasil tes
prestasi) dan pencapaian akademik (seberapa tinggi level pendidikan yang
dicapai).
[29] Pada saat yang sama, kemampuan baca dan matematika pada
usia tersebut belum bisa memprediksi. Lihat McClelland, dkk. (2013). Lihat juga Bruya (2010) untuk review tentang kontrol terhadap fokus
atau perhatian. Lihat juga Peake,
Hebl & Mischel (2002), Eigsti, dkk. (2006).
[30] Ayduk, dkk. (2000)
[31] Hanushek & Woessmann (2008)
[33] Lihat Duckworth & Seligman (2006).
[34] Lihat bab tentang growth-mindset, mengenai
ancaman-stereotip (stereotype-threat). Lihat juga Ceci & Williams (2010),
Diekman, dkk.(2010).
[35] Lihat Tsukayama, Toomey, Faith, & Duckworth (2010),
Duckworth, Tsukayama & Geier (2010), Junger & van Kampen (2010),
Schlam, dkk. (2012), Hagger, dkk. (2013), Wills, dkk. (2007). Lihat juga Moffitt, dkk. (2011), Brook, dkk. (2012),
[36] Lihat Moffitt, dkk. (2011), Ayduk, dkk. (2000), Tangney, Baumeister & Boone (2004), Oaten & Cheng (2006).Wills
& Ainette (2008), de Kemp, dkk. (2009), Muraven (2010) Romer, dkk. (2010), Wills, dkk. (2010), Griffin, dkk. (2012),
Bogg, Finn & Monsey (2012), Wilson & MacLean
(2013), Mischel, Shoda & Peake (1988), Ayduk, dkk. (2000)
[37] Vohs, Finkenauer & Baumeister (2011), Luchies,
Finkel & Fitzsimons (2011), Tangney, Baumeister & Boone (2004),
[38] Hofmann, Luhmann, Fisher, Vohs & Baumeister (2013).
Referensi (disusulkan)