11.11.18

Keterampilan Baca Anak Indonesia

Keterampilan Baca Anak Indonesia


Achmanto Mendatu
--Tulisan 2013

Keterampilan baca adalah “the queen of skill”, alias ratunya keterampilan karena merupakan keterampilan kunci di abad 21, baik di dalam dunia pendidikan, karier-ekonomi, maupun sebagai warga masyarakat/negara. Bersama matematika dan sains, keterampilan baca disebut sebagai keterampilan-kognitif (atau keterampilan-dasar), yang dianggap sebagai cerminan sebenarnya kualitas pendidikan. Perannya bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial lebih penting daripada lama tahun bersekolah dan jenjang pendidikan yang berhasil ditamatkan warga negara [1]. Dengan kata lain, besarnya jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan menengah atas dan tinggi kurang berarti apabila memiliki keterampilan baca, matematika dan sains yang rendah. Sedemikian pentingnya keterampilan kognitif sehingga menjadi salah satu faktor yang diukur dalam menentukan nilai kompetitif sebuah negara dan menentukan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) [2]. Semakin tinggi kemelekan (literacy) baca, matematika dan sains warga negaranya, maka semakin berkualitas sumber daya manusia-nya dan maka semakin kompetitif negara tersebut. Negara-negara paling makmur dan paling sejahtera di dunia adalah negara-negara yang paling menguasai keterampilan baca, matematika dan sains [3].

Dari ketiga keterampilan kognitif, keterampilan baca adalah dasarnya. Tanpanya, keterampilan matematika dan sains muskil dipelajari. Meningkatkan kemampuan matematika dan sains pada anak yang tidak bisa membaca tidak akan efektif. Oleh karena itu, membuat anak lancar membaca harus menjadi prioritas pertama pendidikan. Siswa yang lancar membaca bisa belajar apa saja yang lainnya. Yang membatasi mereka hanya tinggal soal motivasi, harapan, instruksi dan hal lain yang tidak ada kaitannya dengan kemampuan dasar/bawaan si siswa [4]. Pengaruh keterampilan baca terhadap kehidupan seseorang juga paling vital. Berbagai studi dengan gamblang menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak terampil membaca mengalami kesulitan serius berpartisipasi secara efektif dan produktif dalam semua aspek kehidupan. Mereka memiliki prestasi akademik lebih rendah dan kesulitan mengakses pendidikan tinggi [5], memiliki tingkat penghasilan yang lebih rendah dan jejak karir yang lebih buruk [6], lebih berpeluang menjadi remaja bermasalah dan menjadi pelaku kriminalitas [7], dan lebih mungkin menjadi penganggur [8]. Bagi anak-anak dari keluarga miskin, memiliki keterampilan membaca yang baik adalah syarat pertama yang harus dipenuhi untuk bisa melepaskan diri dari kemiskinannya [9]. Tanpanya, seseorang akan terperangkap dalam lingkar kemiskinan dengan kesempatan yang terbatas untuk bekerja atau mendapatkan pemasukan lebih tinggi. Pendek kata, keterampilan baca secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup.


Potret Keterampilan Baca Anak Indonesia

Saat ini terdapat beberapa studi keterampilan baca internasional. Salah satu yang paling luas dan terkenal adalah studi PISA (Program for International Student Assesment) yang diluncurkan oleh OECD (Organisation for Economics Cooperation and Development). Studi PISA diluncurkan sejak tahun 2000, dan dilaksanakan 3 tahun sekali di negara anggotanya dan negara-negara mitra. Indonesia ikut terlibat di dalamnya dalam perannya sebagai negara mitra OECD. Setiap studi melibatkan lebih dari 650 ribu siswa berusia 15 tahun 3 bulan sampai 16 tahun 2 bulan yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah sekurang-kurangnya selama 6 tahun dan masih berstatus siswa di institusi pendidikan formal. Hasil studinya ditampilkan dalam tabel di bawah.


Negara
Skor 2009
Skor 2012
% siswa yang berada di dalam setiap level keterampilan baca
Di bawah 1b (<262)
1b
(262-335)
1a
(336-407)
2
(408-480)
3
(481-553)
4
(554-626)
5
(627-698)
6
(>698)
Rerata Internasional
494
496
0,3
4,4
12,3
23,4
29,1
21,1
7,3
1,1
Shanghai (China)
556
570
0,1
0,3
2,5
11,0
25,3
35,7
21,3
3,8
Hongkong (China)
533
545
0,2
1,3
5,3
14,3
29,2
32,9
14,9
1,9
Singapura
526
542
0,5
1,9
7,5
16,7
25,4
26,8
16,2
5,0
Jepang
520
538
0,6
2,4
6,7
16,6
26,7
28,4
14,6
3,9
Korea
539
536
0,4
1,7
5,5
16,4
30,8
31,0
12,6
1,6
Finlandia
536
524
0,7
2,4
8,2
19,1
29,3
26,8
11,3
2,2
Irlandia
496
523
0,3
1,9
7,5
19,6
33,4
26,0
10,1
1,3
Taiwan (China)
495
523
0,6
2,5
8,4
18,1
29,9
28,7
10,4
1,4
Kanada
524
523
0.5
2.4
8.0
19.4
31.0
25.8
10.8
2.1
Polandia
500
518
0,3
2,1
8,1
21,4
32,0
26,0
8,6
1,4
Estonia
501
516
0,2
1,3
7,7
22,7
35,0
24,9
7,5
0,9
Liechtenstein
499
516
0,0
1,9
10,5
22,4
28,6
25,7
10,4
0,6
Selandia Baru
521
512
1,3
4,0
11,0
20,8
26,3
22,7
10,9
3,0
Australia
515
512
0.9
3.1
10.2
21.6
29.1
23.3
9.8
1.9
Belanda
508
511
0,9
2,8
10,3
21,0
29,2
26,1
9,0
0,8
Belgia
506
509
1.6
4.1
10.5
20.2
27.3
24.0
10.7
1.6
Swiss
501
509
0,5
2,9
10,3
21,9
31,5
23,8
8,2
1,0
Makau (China)
487
509
0,3
2,1
9,0
23,3
34,3
24,0
6,4
0,6
Vietnam
-
508
0,1
1,5
7,8
23,7
39,0
23,4
4,2
0,4
Jerman
497
508
0,5
3,3
10,7
22,1
29,9
24,6
8,3
0,7
Prancis
496
505
2,1
4,9
11,9
18,9
26,3
23,0
10,6
2,3
Norwegia
503
504
1,7
3,7
10,8
21,9
29,4
22,3
8,5
1,7
Inggris
494
499
1,5
4,0
11,2
23,5
29,9
21,3
7,5
1,3
Amerika Serikat
500
498
0,8
3,6
12,3
24,9
30,5
20,1
6,9
1,0
Denmark
495
496
0,8
3,1
10,7
25,8
33,6
20,5
5,1
0,4
Ceko
478
493
0,6
3,5
12,7
26,4
31,3
19,4
5,3
0,8
Italia
486
490
1,6
5,2
12,7
23,7
29,7
20,5
6,1
0,6
Austria
470
490
0,8
4,8
13,8
24,2
29,6
21,2
5,2
0,3
Latvia
484
489
0,7
3,7
12,6
26,7
33,1
19,1
3,9
0,3
Hungaria
494
488
0,7
5,2
13,8
24,3
29,9
20,4
5,3
0,4
Spanyol
481
488
1,2
4,1
12,6
25,8
31,2
19,2
5,0
0,5
Luxemburg
472
488
2,0
6,3
13,8
23,4
25,8
19,7
7,5
1,4
Portugal
489
488
1,3
5,1
12,3
25,5
30,2
19,7
5,3
0,5
Israel
474
486
3,8
6,9
12,9
20,8
25,3
20,6
8,1
1,5
Kroasia
476
485
0,7
4,0
13,9
27,8
31,2
17,8
4,2
0,2
Swedia
497
483
2,9
6,0
13,9
23,5
27,3
18,6
6,7
1,2
Islandia
500
483
2,3
5,4
13,3
24,7
29,9
18,6
5,2
0,6
Slovenia
483
481
1,2
4,9
15,0
27,2
28,4
18,2
4,7
0,3
Lithuania
468
477
1,0
4,6
15,6
28,1
31,1
16,3
3,1
0,2
Yunani
483
477
2,6
5,9
14,2
25,1
30,0
17,2
4,6
0,5
Turki
464
475
0,6
4,5
16,6
30,8
28,7
14,5
4,1
0,3
Rusia
459
475
1,1
5,2
16,0
29,5
28,3
15,3
4,2
0,5
Slovakia
477
463
4,1
7,9
16,2
25,0
26,8
15,7
4,1
0,3
Siprus
-
449
6,1
9,7
17,0
25,1
24,9
13,2
3,5
0,5
Serbia
449
446
2,6
9,3
21,3
30,8
23,3
10,5
2,0
0,2
Uni Emirat Arab*
459*
442
3,3
10,4
21,8
28,6
24,0
9,7
2,1
0,2
Chile
449
441
1,0
8,1
23,9
35,1
24,3
6,9
0,6
0,0
Thailand
421
441
1,2
7,7
24,1
36,0
23,5
6,7
0,8
0,1
Kosta Rika
-
441
0,8
7,3
24,3
38,1
22,9
6,0
0,6
0,0
Rumania
424
438
2,5
10,3
24,4
30,6
21,8
8,7
1,5
0,1
Bulgaria
429
436
8,0
12,8
18,6
22,2
21,4
12,7
3,8
0,5
Meksiko
425
424
2,6
11,0
27,5
34,5
19,6
4,5
0,4
0,0
Montenegro
408
422
4,4
13,2
25,7
29,2
19,9
6,6
0,9
0,0
Uruguay
426
411
6,4
14,7
25,9
28,9
17,4
5,7
0,9
0,0
Brasil
412
410
4,0
14,8
30,4
30,1
15,8
4,4
0,5
0,0
Tunisa
404
404
6,2
15,5
27,6
31,4
15,6
3,5
0,2
0,0
Kolombia
413
403
5,0
15,4
31,0
30,5
14,5
3,2
0,3
0,0
Yordania
405
399
7,5
14,9
28,3
30,8
15,5
2,9
0,1
0,0
Malaysia
-
398
5,8
16,4
30,5
31,0
13,6
2,5
0,1
0,0
Indonesia
402
396
4,1
16,3
34,8
31,6
11,5
1,5
0,1
0,0
Argentina
398
396
8,1
17,7
27,7
27,3
14,6
4,0
0,5
0,1
Albania
385
394
12,0
15,9
24,4
24,7
15,9
5,9
1,1
0,1
Kazakhtan
390
393
4,2
17,3
35,6
31,3
10,4
1,2
0,0
0,0
Qatar
372
388
13,6
18,9
24,6
21,9
13,5
5,8
1,4
0,2
Peru
370
384
9,8
20,6
29,5
24,9
11,4
3,3
0,5
0,0
Catatan:
1.    Vietnam, Siprus, Kosta Rika dan Malaysia baru ikut berpatisipasi dalam studi pada tahun 2012.
2.    Pada tahun 2009, studi di Uni Emirat Arab hanya dilakukan di kota Dubai.

Hasil studi PISA dalam tabel menunjukkan bahwa keterampilan baca anak Indonesia tertinggal jauh dari anak-anak negara lain. Skor reratanya hanya 396. Bandingkan dengan skor rerata internasional yang mencapai 496 dengan standar deviasi 94. Dengan skor tersebut, anak Indonesia tertinggal 100 poin atau lebih dari 1 standar deviasi dibandingkan skor rerata semua anak yang diteliti di seluruh negara. Itu artinya, anak Indonesia tertinggal 2 tahun kelas dibandingkan siswa internasional [11]. Selisih dengan Singapura yang memiliki skor 542, adalah 146 poin (3 tahun 1 bulan); dengan Vietnam yang memiliki skor 508, selisihnya 112 poin (2 tahun 4 bulan); dan dengan Thailand yang memiliki skor 441, selisihnya 45 poin (11,4 bulan). Semua negara tetangga tersebut memiliki keterampilan baca yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Hanya Malaysia, dengan skor rerata 398, yang memiliki keterampilan baca setara Indonesia.

Membandingkan keterampilan baca antar negara tidak bisa dilakukan hanya dengan menggunakan skor rerata tetapi harus dilihat apakah perbedaan skor tersebut signifikan atau tidak [12]. Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa skor rerata Hongkong-China (545) lebih tinggi daripada Singapura (542), Jepang (538) dan Korea (536). Akan tetapi perbedaannya tidak signifikan sehingga 4 kelompok negara atau ekonomi tersebut dianggap memiliki keterampilan baca yang relatif setara. Indonesia dengan skor rerata 396 dianggap setara atau tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan Tunisia (404), Kolombia (403), Yordania (399), Malaysia (398), Argentina (396), Albania (394) dan Kazakhstan (393). Hanya ada satu kelompok negara yang keterampilan bacanya lebih rendah, yakni Peru dan Qatar. Negara-negara lainnya memiliki keterampilan baca lebih baik. Dengan kata lain, Indonesia termasuk kelompok kedua terbawah di dunia.

Level 2 adalah level minimal yang harus dicapai seorang anak agar bisa sekedar berpartisipasi efektif dan produktif dalam kehidupan modern. Sayangnya, sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas, sejumlah 55,2% atau lebih dari separuh anak Indonesia tidak berhasil mencapai level minimal tersebut. Level 4 merupakan level yang harus dicapai untuk bisa dikatakan sebagai pembaca terampil atau proficient reader [13]. Mereka yang masih berada di bawah level 4 belum bisa digolongkan sebagai terampil membaca. Artinya, 98,4% siswa Indonesia tidak terampil membaca [14]. Level 5 dan 6 merupakan prasyarat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat lanjut dan menciptakan kepeloporan di areanya. Kelompok talenta ini merupakan modal bagi sebuah negara apabila ingin menciptakan kelompok pekerja yang mampu memajukan pengetahuan, sains dan teknologi di masa depan dan berkompetisi dalam ekonomi global [15]. Sayangnya, dalam 2 kategori puncak itu, sangat sedikit siswa Indonesia di sana (0,1% di level 5 dan 0% di level 6).

Level 4 diindikasikan sebagai level minimal untuk bisa belajar pengetahuan tingkat Perguruan Tinggi. Penelitian longitudinal di Kanada menemukan bahwa mereka yang bisa menjadi mahasiswa memiliki keterampilan baca di atas rerata internasional, atau minimal berada di level 4 dalam studi PISA [16]. Dengan demikian, mengacu pada hal tersebut, maka hanya ada 1,6% siswa Indonesia yang layak untuk belajar di Perguruan Tinggi. Sejumlah 98,4% sisanya tidak memiliki bekal cukup untuk belajar level Perguruan Tinggi. Secara kasar bisa dikatakan bahwa dari 100 anak di Indonesia, hanya ada 2 anak yang layak belajar level Perguruan Tinggi. Dan kondisi tersebut belum memperhitungkan dua faktor keterampilan-kognitif lainnya, yakni matematika dan sains. Studi PISA menunjukkan hanya ada 1,7% siswa Indonesia yang memiliki keterampilan matematika minimal di level 4, dan hanya 0,6% untuk sains [17]. Artinya, maksimum hanya ada 0,6% siswa di Indonesia yang memiliki keterampilan dasar lengkap (membaca, matematika dan sains) minimum berada di level 4 dan memenuhi syarat sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi.

Untuk memperjelas kondisi di atas, kita ambil data lulusan SMA/SMK dan jumlah mahasiswa masuk Perguruan Tinggi pada satu tahun pendidikan dari Rangkuman Statistik Persekolahan 2009/2010 yang dikeluarkan oleh Pusat Statistik Pendidikan [18]. Pada tahun angkatan 2008/2009 jumlah lulusan SMA dan SMK di Indonesia secara total mencapai 1.988.429 orang. Dengan demikian bisa diketahui bahwa terdapat 31.815 orang lulusan (1,6%×1.988.429) yang memiliki keterampilan baca memadai untuk belajar di Perguruan Tinggi. Pada saat yang sama, terdapat 960.652 mahasiswa baru, baik di jenjang diploma maupun sarjana (48,2% lulusan SMA/SMK melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi). Dengan asumsi bahwa semua lulusan yang terampil membaca masuk menjadi mahasiswa baru, maka terdapat 928.837 mahasiswa (960.652—31.815) yang tidak memiliki keterampilan baca layak untuk bisa belajar di Perguruan Tinggi atau 96,6% dari total mahasiswa. Jadi, dari 100 mahasiswa baru di Indonesia, hanya 3 mahasiswa saja yang memiliki keterampilan baca layak untuk menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi.

Apabila pendidikan adalah sebuah rumah, maka keterampilan baca adalah kunci rumahnya. Tanpa kunci tersebut mustahil bagi seseorang untuk bisa memasukinya. Semua bidang pengetahuan menuntut level kemahiran membaca tertentu yang jika seseorang tidak memilikinya maka tidak akan mungkin bisa menguasai bidang pengetahuan tersebut. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, yang berarti semakin kompleks pengetahuan yang dipelajari, maka diperlukan keterampilan baca yang lebih tinggi untuk menguasainya. Dan, keterampilan baca minimal yang diperlukan agar bisa mempelajari pengetahuan di level Perguruan Tinggi adalah level 4 dalam term studi PISA. Apabila keterampilan baca berada di bawah level 4, maka mahasiswa akan sulit mencapai level kompetensi yang diharapkan dari alumni Perguruan Tinggi. Masalahnya, seperti yang telah ditunjukkan di atas, hanya 1,6% anak Indonesia dan 3 dari 100 mahasiswa Indonesia yang memiliki keterampilan baca minimal di level 4.

Sudah bukan rahasia bahwa kualitas output pendidikan menengah atas dan tinggi di Indonesia sangat rendah. Terdapat ketidaksuaian (mismatch) yang lebar antara kualitas lulusan dunia pendidikan dengan tuntutan dari dunia kerja. Dari sudut pandang pengguna lulusan atau dunia kerja di Indonesia, hanya 3,4% lulusan SMA, 11,1% lulusan SMK, 9,9% lulusan Kursus Keterampilan dan Pelatihan (Lembaga Keterampilan dan Pelatihan, Balai Latihan Kerja), serta 10% lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia yang memiliki kualitas baik [19]. Mengapa bisa demikian? Patut diduga bahwa salah satu permasalahan utamanya adalah input siswa/mahasiswa yang memiliki kemampuan membaca (juga matematika dan sains) yang rendah sehingga tidak mampu mengikuti pembelajaran secara efektif, yang berujung pada kegagalan membangun kompetensi yang diperlukan.


Perkembangan Keterampilan Baca

Keterampilan baca dibangun sejak usia dini dan berkembang pesat sampai usia sekitar 8-9 tahun atau kelas 3 SD, sehingga disebut sebagai usia emas membaca. Setelah usia/tingkat itu, peningkatan pemerolehannya cenderung menurun. Hasil studi memperlihatkan bahwa 74% lebih anak yang rendah keterampilan bacanya pada akhir kelas 3 SD cenderung tetap rendah keterampilan bacanya saat SMA, sehingga bisa dikatakan mereka akan tetap rendah keterampilan bacanya (poor reader) untuk seumur hidupnya. Mereka sulit bisa mengejar kemampuan rekan-rekannya yang telah terampil membaca pada kelas 3 SD. Dengan kata lain, kegagalan membentuk anak terampil membaca pada usia emasnya adalah kerugian bagi anak seumur hidupnya [20].

Seperti terlihat dalam bagan di bawah, keterampilan baca secara langsung dipengaruhi oleh kualitas guru dan jumlah waktu membaca. Semakin tinggi kualitas guru membaca dan semakin banyak jumlah waktu membaca maka semakin tinggi juga keterampilan bacanya. Diketahui, siswa yang memiliki guru kualitas buruk (persentil 25) dibandingkan yang memiliki guru kualitas baik (persentil 75) adalah perbedaan 0,7-1 standar deviasi pada siswa dari keluarga menengah ke bawah. Siswa yang diajar oleh guru berkualitas tinggi dibandingkan oleh guru berkualitas rendah selama 3 tahun berturut-turut adalah perbedaan persentil 93 dengan persentil 37 atau 2 standar deviasi, yang dalam term studi PISA ekuivalen dengan 4 tahun perbedaan [21]. Oleh karena itu tidak keliru jika ada ujar-ujar ‘murid hanya sebaik gurunya: baik gurunya baik muridnya, buruk gurunya buruk juga muridnya.’ Kualitas guru itu sendiri dipengaruhi oleh tata kelola pendidikan, di antaranya bagaimana manajemen sekolah diselenggarakan, sistem pendidikan dikelola, perekrutan dan pengembangan guru dilaksanakan, dan lainnya.

Saat ini kualitas guru di Indonesia masih rendah. Sebuah studi memperlihatkan bahwa guru SD hanya bisa menjawab 38% soal dalam tes kemampuan dan guru TK hanya bisa menjawab 52% [22]. Pemerintah telah membuat langkah besar mengatasinya dengan program sertifikasi guru, yang merupakan salah satu program peningkatan kualitas guru paling ambisius di dunia [23]. Namun diketahui hanya 51% guru yang layak disertifikasi. Sertifikasi guru diketahui masih hanya meningkatkan pendapatan tapi belum meningkatkan kualitas guru: diketahui tidak ada peningkatan pengetahuan, perbaikan cara pembelajaran dan tidak ada peningkatan prestasi siswa. Tingkat absen pun masih tinggi, mencapai 14,1% [24]. Masih ditunggu apakah program tersebut akan bisa berhasil mencapai tujuan besarnya.

Waktu membaca merupakan determinan terpenting lainnya bagi pengembangan kemampuan membaca. Diketahui, selisih kemampuan baca antara siswa yang tidak memiliki waktu khusus belajar membaca dengan yang memilikinya 2 jam seminggu adalah 44,6 poin, yang 2-4 jam adalah 74,7 poin, yang 4-6 jam adalah 85 poin, dan yang lebih dari 6 jam adalah 90,6 poin [25]. Itu artinya, terdapat perbedaan hampir 2 tahun kelas antara yang tidak membaca dengan yang membaca lebih dari 6 jam seminggu.

Sebagaimana terlihat dalam bagan, jumlah waktu membaca dipengaruhi langsung oleh: (1) tata kelola pendidikan, (2) akses terhadap bahan bacaan, (3) partisipasi orangtua, dan (4) kesenangan membaca. Tata kelola pendidikan memberikan pengaruh langsung terhadap waktu membaca melalui alokasi jam belajar membaca di sekolah, dan menjelaskan 25% perbedaan skor membaca antar sekolah antar negara [26]. Dalam studi PIRLS diketahui bahwa siswa di Indonesia hanya memiliki 15% waktu belajar dalam kurikulum yang dialokasikan untuk belajar membaca (melalui pelajaran bahasa), dan yang paling rendah di antara 45 negara yang di survei dalam studi PIRLS. Bandingkan dengan Singapura yang mengalokasikan 33% waktu belajar di sekolah untuk pelajaran membaca [27]. Selain itu, di Indonesia banyak terjadi waktu instruksi pembelajaran di kelas yang hilang, akibat ketidakhadiran guru atau kehadiran guru namun tidak melakukan pengajaran [28]. Tata kelola pendidikan juga memberikan pengaruh tidak langsung melalui penyediaan akses terhadap bahan bacaan. Semakin besar akses bahan bacaan disediakan untuk siswa, maka semakin besar juga jumlah waktu membaca anak. Diketahui, hanya 58% siswa Indonesia yang memiliki perpustakaan di kelas/sekolah, sedangkan sejumlah 92% siswa Singapura memilikinya [29]. Perbedaan itu bisa menjelaskan sebagian mengapa kemampuan baca siswa Singapura jauh di atas siswa Indonesia, yakni berselisih 146 poin atau sekitar 3 tahun kelas dengan siswa Indonesia [30].

Orangtua/keluarga memainkan peranan penting terhadap kemampuan baca anak. Diketahui ada 2 bentuk aktivitas orangtua/keluarga yang berpengaruh besar, yakni aktivitas membaca untuk anak dan menyediakan bacaan untuk anak. Aktivitas membaca untuk anak yang dilakukan sejak usia sangat dini merupakan aktivitas tunggal yang bisa signifikan mempengaruhi kemampuan baca anak dan bisa memprediksi keterampilan baca anak di masa depan. Membaca untuk anak menjadikan anak lebih siap untuk belajar membaca di sekolah dan bisa menambah skor rerata kemampuan membaca hingga 25 poin pada anak dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama. [31] Ketersediaan bahan bacaan memungkinkan aktivitas membaca untuk anak bisa dilakukan dan memungkinkan anak untuk membaca mandiri.

Salah satu fungsi penting membaca bacaan untuk anak sejak usia dini adalah membantu anak memusatkan perhatian dan melatih untuk selalu menyelesaikan tugas (dengan selalu menyelesaikan bacaan). Keduanya diketahui memiliki peranan besar terhadap kesuksesan anak di masa depan. Sebuah studi menunjukkan bahwa mereka yang pada usia 4 tahun mampu memusatkan perhatian dan menyelesaikan tugas yang diberikan, memiliki peluang 50% lebih besar untuk menamatkan pendidikan tinggi, yang artinya memiliki karir dan penghasilan lebih baik. Keterampilan membaca dan matematika pada usia tersebut justru belum bisa memprediksi [32]. Kemampuan memusatkan perhatian merupakan salah satu bentuk kontrol-diri, yang merupakan keterampilan kunci terpenting untuk sukses di semua domain kehidupan [33]. Selain itu yang juga tak kalah penting, membaca untuk anak secara interaktif diketahui merupakan satu-satunya aktivitas tunggal yang bisa meningkatkan skor IQ hingga 6 poin, khususnya bila dilakukan sebelum anak melewati usia 4 tahun. Tidak diketahui ada aktivitas tunggal lain yang bisa meningkatkan skor IQ setinggi itu. Sebagai misal, meskipun selalu didengung-dengungkan di media massa, memberikan ASI atau susu formula yang mengandung LC-PUFA (omega 3 fatty-acid atau DHA) pada ibu hamil dan anak ternyata hanya meningkatkan 3,5 poin [34]. Jadi, rutin membaca untuk anak secara interaktif sejak usia dini justru lebih efektif dalam meningkatkan IQ anak ketimbang pemberian susu dengan omega 3 fatty-acid atau DHA.

Secara umum, partisipasi orangtua/keluarga Indonesia terhadap pengembangan kemampuan baca anak masih memprihatinkan. Hanya 21% orangtua yang membacakan bacaan pada anak antara 1-2 kali seminggu dan juga hanya 21% yang melakukannya 3x atau lebih seminggu. Mayoritas sisanya, sekitar 59%, tidak pernah melakukannya. Juga diketahui bahwa tidak ada siswa Indonesia yang memiliki bacaan lebih dari 25 di rumahnya. Pada kelompok sosial ekonomi terbawah, 68% keluarga bahkan tidak memiliki bacaan apapun. Ironisnya, pun pada kelompok sosial-ekonomi 20% teratas yang pasti mampu membeli bacaan anak, sejumlah 32% keluarga tidak memilikinya sama sekali [35]. Dengan mayoritas anak tumbuh tanpa bacaan dan tanpa dibacakan bacaan, maka tidak heran jika anak-anak di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan anak-anak di negara-negara lain.

Bentuk partisipasi orangtua/keluarga yang lain adalah memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan pra-sekolah atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dalam studi PISA diketahui bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan pra-sekolah lebih dari setahun (berjumlah 24,1% dari total siswa) memperoleh skor rerata 422 untuk kemampuan membaca pada usia 15 tahun, yang mengikuti kurang dari setahun (berjumlah 29,9% dari total siswa) memperoleh skor rerata 416, dan mereka yang tidak mengikuti sama sekali (berjumlah 46% dari total siswa) memperoleh skor rerata 382. Selisih poin antara yang mengikuti pendidikan pra sekolah selama setahun dengan yang tidak mengikuti pendidikan pra-sekolah, setelah memperhitungkan latar belakang sosial ekonomi adalah 27 poin [36]. Jadi, selisihnya besar. Sayangnya, meskipun pendidikan pra-sekolah telah menjadi salah satu prioritas pendidikan utama pemerintah sejak awal tahun 2000-an, belum semua anak terlibat di dalamnya [37].

Hasil studi PISA menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga sosial ekonomi atas memiliki kemampuan membaca lebih baik dibandingkan anak-anak dari kelompok sosial-ekonomi bawah. Selisih skornya mencapai 57 poin atau perbedaan lebih dari 1 tahun kelas. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan dari perbedaan partisipasi orangtua. Diketahui, orangtua dari keluarga sosial-ekonomi atas rerata melakukan aktivitas membaca untuk anak hingga 3× dalam seminggu, namun tidak ada aktivitas tersebut pada kelompok sosial-ekonomi bawah. Seperti telah disebutkan di atas, 2/3 anak dari keluarga ekonomi 20% terbawah tumbuh dalam dalam keluarga tanpa bacaan sama sekali, dibandingkan dengan ‘hanya’ 1/3 anak dari keluarga ekonomi 20% teratas yang tidak memilikinya [38]. Jadi, perbedaan partisipasinya memang sangat besar. Alhasil, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi menengah ke atas telah unggul bahkan sebelum sekolah di mulai [39].

Faktor lain yang menyebabkan anak keluarga sosial-ekonomi atas memiliki keunggulan adalah pemanfaatan waktu libur [40]. Berkat dukungan lebih besar dari orangtuanya, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-atas memanfaatkan liburannya untuk terus membaca di rumah. Sebaliknya, anak-anak dari sosial-ekonomi-bawah berhenti total dari kegiatan membaca karena tidak ada aktivitas membaca di rumah. Hasilnya, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-atas semakin naik kemampuan bacanya, sedangkan anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-bawah justru mundur. Alhasil, meskipun kondisi sekolah dan lainnya sama, anak-anak dari keluarga kurang mampu semakin jauh tertinggal.

Tentu saja, ada anak-anak tertentu dari keluarga sosial-ekonomi bawah yang bisa mengatasi faktor latar belakangnya yang tidak menguntungkan. Mereka berhasil meraih skor rerata keterampilan baca yang lebih tinggi dibandingkan skor yang diprediksi sesuai latar belakang sosial ekonominya dan bahkan melampaui skor rerata keseluruhan siswa. Sekitar 7,9% siswa Indonesia merupakan siswa yang melebihi prediksi itu [41]. Mereka adalah anak-anak ‘super’ yang lahir dari keluarga kurang beruntung. Namun bagi 92,1% yang lain, tanpa mendapatkan program khusus untuk meningkatkan kemampuan bacanya, mereka tidak akan bisa bersaing dengan anak-anak dari keluarga mampu. 

Sebagaimana diterangkan di atas, ada banyak faktor yang mempengaruhi keterampilan baca. Sebagian besar disebabkan oleh faktor ekologis, baik faktor keluarga maupun faktor sekolah. Sebuah studi memperlihatkan bahwa kedua faktor tersebut bertanggungjawab hingga 91%, dan sisanya adalah faktor kognitif dan psikologis individu, seperti misalnya kesenangan membaca.[1] Oleh sebab itu, program-program peningkatan keterampilan baca harus berorientasi pada keluarga (agar keluarga menciptakan situasi yang pro-baca) dan sekolah (agar sekolah memiliki iklim sekolah yang pro-baca).


Menghitung Kebutuhan Bacaan Anak

Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat usia emas membaca yang hanya berlangsung sekitar 8-9 tahun sejak usia 0 tahun, yang dalam term pendidikan berarti sampai kelas 3 Sekolah Dasar. Usia emas itu setidaknya bisa dibedakan dalam 2 fase, yakni usia 0-5 tahun (usia dini, PAUD) dan 6-9 tahun (usia prasekolah dan awal sekolah: TK dan SD kelas 1, 2 dan 3). Pada fase pertama, anak belajar menumbuhkan kesadaran akan bacaan (print awareness), belajar bahasa ucapan (phonological awareness), mengetahui nama dan bentuk huruf (alphabet knowledge), dan mengapresiasi bacaan melalui aktivitas membaca nyaring pada anak (reading aloud). Seorang anak mulai tertarik dengan bacaan dan aktivitas membaca. Pada fase ini, membaca nyaring pada anak secara teratur bisa meningkatkan IQ hingga 6 poin, bahkan bisa lebih [42]. Pada fase kedua di TK, seorang anak bisa memusatkan perhatian ketika dibacakan bacaan, bertanya dan menjawab tentang isi cerita, dan bahkan menceritakan ulang ceritanya. Pada akhir fase ini, seorang anak bisa mengenali dan menyebutkan seluruh huruf alfabet. Inilah fase persiapan untuk belajar membaca di sekolah. Semakin siap maka semakin baik. Pada fase kedua di sekolah, seorang anak mulai belajar membaca: di kelas 1 SD seorang anak seharusnya sudah bisa membaca nyaring bacaan untuk levelnya, dan di kelas 3 SD seharusnya sudah lancar membaca. Patut diingat bahwa ada anak yang lebih cepat belajar dari yang lainnya dan ada yang lebih lambat [43]. Yang terpenting, selepas kelas 3 SD, seorang anak sudah harus lancar membaca bacaan untuk seusianya. Apabila selepas usia itu seorang anak tidak terampil membaca, maka berpeluang besar tidak akan terampil seumur hidupnya.

Agar seorang anak mencapai target terampil membaca sekurang-kurangnya di level minimal/moderat saat melewati usia emas membaca, seorang anak minimal harus menghabiskan waktu 2 jam setiap minggu [44], khusus untuk aktivitas membaca, baik dalam bentuk orangtua membaca untuk anak (dan membimbing membaca) maupun anak membaca mandiri. Untuk mencapainya, setelah memperhitungkan kecenderungan anak untuk mengulang-ulang membaca bacaan yang disenanginya [45], maka setiap anak memerlukan minimal 1 buah bacaan per minggu atau sekitar 50 bacaan per tahun. Namun, kebutuhan 50 bacaan per tahun tidak dimulai sejak usia 0 tahun. Pada fase pertama (usia 0-5 tahun), 50 bacaan sudah memadai. Baru kemudian pada fase kedua (6-9 tahun) kebutuhan per tahun itu harus dipenuhi. Dengan demikian, sepanjang usia emasnya, seorang anak membutuhkan akses terhadap 250 bacaan agar mencapai keterampilan baca minimal yang dibutuhkannya untuk dapat bersaing di dunia modern [46].


Tantangan Untuk Masa Depan

Menilik temuan yang ada, tantangan utama meningkatkan keterampilan baca anak Indonesia ada 3, yakni bagaimana: (1) menjadikan aktivitas membaca untuk anak sebagai kebiasaan/budaya di masyarakat, (2) bagaimana bacaan anak bisa diakses dan atau dimiliki setiap anak, dan (3) bagaimana menyediakan PAUD/TK dan SD yang berkualitas dalam pembelajaran membaca. Apabila ketiga tantangan itu berhasil ditangani, maka anak Indonesia yang terampil membaca, yang dengan demikian kelak bisa bersaing dengan sumber daya manusia dari negara-negara lain bukanlah omong kosong.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah menjadikan program PAUD/TK sebagai salah satu prioritas utama pendidikan [47]. Hal tersebut merupakan kabar gembira bagi semua. Pemerintah juga telah meluncurkan program sertifikasi guru dengan harapan akan meningkatkan kualitas guru di sekolah-sekolah [48]. Patut ditunggu dalam beberapa tahun mendatang, apakah keduanya akan mencapai tujuannya. Bagaimana dengan ‘membudayakan membaca untuk anak dan menyediakan akses bacaan?’ Untuk keduanya, belum terlihat ada upaya serius pemerintah. Tidak diketahui ada kampanye membaca untuk anak maupun program khusus pengembangan kemampuan baca anak yang diluncurkan pemerintah yang nyata (dan dengan pendanaan) yang serius pula [49]. Berkat internet, siapapun dengan mudah bisa mendapatkan info tentang berbagai program pengembangan kemampuan baca di berbagai negara di dunia, dan mendapatkan berita, foto atau video para pemimpin dunia (terutama dari negara-negara maju) sedang membacakan bacaan untuk anak sebagai bagian dari kampanye membaca untuk anak. Akan tetapi tidak ada pemimpin di Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang diketahui melakukannya, meskipun Indonesia sangat membutuhkannya.

Untuk akses terhadap bacaan, telah terlihat adanya upaya pemerintah melalui pembagian buku-buku ke sekolah-sekolah. Namun demikian, sampai saat ini, bacaan untuk anak di Indonesia tetap sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun keterjangkauan. Studi oleh OECD dan World Bank memperlihatkan bahwa mayoritas anak di Indonesia tidak memiliki akses memadai terhadap bahan bacaan [50]. Kelangkaan bacaan anak juga mudah dilihat di setiap perpustakaan, PAUD/TK dan SD. Bahkan, bacaan anak yang tersedia di toko buku pun berjumlah minim. Toko buku yang mengedarkannya juga terbatas. Hal tersebut mengindikasikan belum adanya perhatian serius terhadap penyediaan bacaan anak.

Rendahnya keterampilan baca anak Indonesia harus dijawab. Meningkatkannya bukanlah pilihan, melainkan kewajiban Indonesia. Nasib kehidupan bangsa ini di masa depan tergantung padanya. Tantangan-tantangan utamanya, yang terentang dari rendahnya partisipasi orangtua dalam mengembangkan keterampilan baca anak, kelangkaan bacaan anak dan rendahnya akses terhadapnya, serta kualitas pembelajaran di PAUD/TK dan SD yang belum baik, harus diselesaikan. Jika tidak, sulit melihat Indonesia masa depan yang kompetitif dan sejahtera. Pun kehidupan berdemokrasi serta penjunjungtinggian keberagaman dan hak asasi manusia akan terus terancam. 


[1] Chiu, McBride-Chang & Lin (2011).

Endnotes
[1] Lihat Hanushek (2013), Hanushek & Woessmann (2007a, 2007b, 2008, 2012). Studi yang dilakukan oleh Hanushek dan Woessmann (2012) memperlihatkan bahwa apabila keterampilan kognitif yang dimiliki angkatan kerja di sebuah negara lebih tinggi satu standar deviasi maka akan menambah 2% pertumbuhan ekonomi per kapita GDP tahunan di negara tersebut. Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4%, maka jika keterampilan kognitif warga indonesia lebih tinggi satu standar deviasi, pertumbuhan ekonominya akan menjadi 6%. Jadi, dampaknya sangat besar. GDP (Gross Domestic Product) merupakan total nilai produksi barang dan jasa yang bergerak di sebuah negara.
[2] Peringkat kompetitif Indonesia adalah 50 di antara negara-negara di dunia. Lihat World Economic Forum (2013) untuk informasi lengkap mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kompetitif sebuah negara dan posisi Indonesia di setiap faktor. Indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia berada di peringkat 121 dari 186 negara-negara di dunia, yang mengindikasikan masih sulitnya kondisi sosial-ekonomi warga negaranya. Lihat UNDP (2013) untuk informasi lebih lengkap.
[3] Lihat OECD (2013) untuk melihat perbandingan keterampilan kognitif antar negara di dunia.
[4] Fite (2002), Bohlmann & Pretorius (2008), Larwin (2010), Vilenius-Tuohimaaa, Aunolab & Nurmib (2008).
[5] Fiester (2010), Musen (2010), Lesnick, Goerge, Smithgall & Gwynne (2010), Hernandez (2011), OECD (2010b).
[6] Hanushek (2010), Hanushek & Rivkin (2010a), OECD (2010b), Reder (2010), Murray & Shillington (2011)
[7] Lihat Cree, Kay & Steward (2012), yang memperlihatkan bahwa di Amerika Serikat, 60-80% tahanan di penjara memiliki keterampilan baca di bawah level dasar dan sebanyak 85% remaja bermasalah merupakan buta huruf fungsional.
[8] Lihat English & Bi (2009) yang menunjukkan bahwa 75% pengangguran di Amerika Serikat adalah buta huruf atau memiliki tingkat melek huruf yang rendah.
[9] Hernandez (2011)
[10] Studi lainnya yang dikenal luas adalah TIMMS dan PIRLS yang diselenggarakan oleh IAEEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement). Lihat Mullis, Martin, Foy & Drucker (2012) dan Mullis, Martin, Foy & Arora (2012).
[11] Perbedaan 1 standar deviasi sama dengan perbedaan 2 tahun kelas. Lihat OECD (2010c).
[12] Lihat OECD (2013) untuk melihat daftar lengkap negara apa setara dengan negara mana
[13] Lihat Peterson, Woessmann, Hanushek & Lastra-Anadón (2011) untuk perbandingan standar kelancaran (proficiency) antara studi yang dilakukan dalam PISA dan NAEP yang merupakan tes standar di Amerika Serikat.
[14] Total % siswa level 3, 2, 1a, 1b, dan di bawahnya. Lihat tabel.
[15] Lihat OECD (2010a).
[16] Dalam penelitian longitudinal tersebut, siswa yang mengikuti studi PISA 2000 diteliti kembali 6 tahun kemudian saat mereka berusia 21 tahun. Ditemukan bahwa semua mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi memiliki level keterampilan baca di atas rerata internasional dan minimal berada di level 4 dalam studi PISA 6 tahun sebelumnya. Lihat OECD (2010c)
[17] Lihat OECD (2013)
[18] Lihat Pusat Statistik Pendidikan (2009).
[19] Kualitas baik bukan berarti berkualitas tinggi, melainkan memadai untuk bekerja. Lihat Gropello, Kruse & Tandon (2011).
[20] Lihat Fiester (2010, 2013), Cunningham & Stanovich (1997), Lesnick, Goerge, Smithgall & Gwynne (2010), Musen (2010), Hernandez (2011), OECD (2010c, 2012a). Tentang studi mengenai bagian otak yang bertanggungjawab terhadap pemerolehan keterampilan baca, lihat Schlaggar & Church (2009).
[21] Hanushek & Rivkin (2010a, 2010b), World Bank (2010b)
[22] World Bank (2010b).
[23] Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012).
[24] World Bank (2010a, 2010b, 2013), Chen (2009), Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012), Samarrai, Syukriyah & Setiawan (2012).
[25] OECD (2010a, 2011b)
[26] OECD (2010a)
[27] Mullis, Martin, Foy & Drucker (2012).
[28] Lihat Abadzi (2009)
[29] OECD (2010a, 2011b)
[30] OECD (2013)
[31] Lihat OECD (2011b, 2012b), Piasta, Justice, Justice, McGinty & Kaderavek (2012), Senechal & LeFevre (2002), Trivette, Dunst & Gorman (2010), Sénéchal, Pagan, Lever, & Ouellette (2008), Armbruster, Lehr & Osborn (2006a, 2006b), Bus, Van Ijzendoorn & Pellegrini (1995), Dunst, Simkus & Hamby (2012a), Duursma, Augustyn & Zuckerman (2008), Leou, Chen, Huang & Chen (2009), Armbruster, Lehr & Osborn (2006), Justice & Sofka (2010).
[32] McClelland, Acock, Piccinin, Rhea & Stallings (2012).
[33] Tentang peran penting kontrol diri dalam kesuksesan, lihat misalnya Moffitt, dkk. (2011), Tangney, Baumeister, & Boone (2004), Duckworth & Seligman (2005), Duckworth & Allred (2012), Duckworth & Carlson (2013).
[34] Protzko, Aronson & Blair (2013).
[35] OECD (2010a), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012)
[36] OECD (2010e).
[37] Hasan, Hyson & Chang (2013). Untuk review pendidikan prasekolah, lihat Pianta, Barnett, Burchinal & Thornburg (2009), mengenai peran ekonominya, lihat Gertler, dkk. (2013), Cunha & Heckman (2012), Hekcman (2008, 2011, 2012)
[38] Lihat OECD (2010e), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012)
[39] Keunggulan itu cenderung terus dipertahankan hingga dewasa. Lihat Feinstein (2003) dan Bausmith (2012).
[40] Alexander, Entwisle & Olson (2007). Lihat juga Bausmith (2012).
[41] OECD (2011a)
[42] Lihat Protzko, Aronson & Blair (2013).
[43] Tentang kompetensi yang harus dicapai dari usia 0 sampai kelas 3 SD, lihat Armbruster, Lehr & Osborn (2006a, 2006b)
[44] OECD (2010a, 2011b)
[45] Tentang kecenderungan anak untuk mengulang membaca, lihat Trivette, Simkus, Dunst & Hamby (2012).
[46] Perkiraan kebutuhan bacaan tersebut adalah perkiraan kasar yang disimpulkan secara hipotetis. Akses itu bisa dipenuhi dari kepemilikan pribadi atau peminjaman. Apabila menggunakan patokan umur 8 tahun sebagai batas atas usia emas membaca, maka jumlah bacaan yang diperlukan hanya 200.
[47] Hasan, Hyson & Chang (2013)
[48] Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012).
[49] Semua negara maju berinvestasi masif untuk mengembangkan kemampuan baca warga negaranya. Amerika Serikat misalnya, yang kemampuan baca warga negaranya telah tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya (lihat tabel) menginvestasikan ribuan triliun untuk program peningkatan keterampilan baca. Pada tahun fiskal 2010 saja, Presiden Barack Obama menggelontorkan dana hingga 167 miliar USD atau sekitar 1670 triliun rupiah. Lihat Hayes, Bhat, Connors-Tadros & Martinez (2011)
[50] OECD (2010a), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012) 


Daftar Pustaka

Abadzi, H. (2009). Instructional time loss in developing countries: Concepts, measurement, and implications. The World Bank Research Observer, 24 (2), 267–290.

Alexander, K.L., Entwisle, D.R., & Olson, L.S. (2007). Lasting consequences of the summer learning gap. American Sociological Review,72, 167–180.

Almlund, M., Duckworth, A.L., Heckman, J., & Kautz, T. (2011). Personality psychology and economics. Dalam E.A. Hanushek, S. Machin & L. Woessmann (Eds.), Handbook of the Economics of Education, hal. 1-181. Amsterdam: Elsevier.

Armbruster, B.B., Lehr, F., & Osborn, J. (2006). A Child Becomes A Reader: Proven ideas from research for parents - Birth through Preschool. New Hampshire: The National Institute for Literacy.
Bausmith, J.M. (2012). The role of literacy in building the economy: Summer literacy interventions for grades 3–5. College Board Research Reports, The College Board.

Beck, D., & Purcell, R. (2010). Popular Education Practice for Youth and Community Development Work. Exeter: Learning Matters Ltd.

Bus, A.G., Van Ijzendoorn, M.H., & Pellegrini, A.D. (1995). Joint book reading makes for success in learning to read: A meta-analysis on intergenerational transmission of literacy. Review of Educational Research, 65, 1-21.

Bohlmann, C. & Pretorius, E. (2008). Relationships between mathematics and literacy: Exploring some underlying factors. Pythagoras,67, 42-55.

Calarco, J.M. (2011). 'I need help!' Social class and children's help-seeking in elementary school. American Sociological Review, 76 (6), 862–882.

Chen, D. (2009). The economics of teacher supply in Indonesia. Policy Research Working Paper, No. WPS 4975. Washington D.C: The Worldbank. 

Chiu, M.M., McBride-Chang, C., & Lin, D. (2011). Ecological, psychological, and cognitive components of reading difficulties: Testing the component. Journal of Learning Disabilities, 45, 5, 391-405.

Cree, A., Kay, A., & Steward, J. (2012). The Economic and Social Cost of Illiteracy: A snapshot of illiteracy in a global context (Final report from the World Literacy Foundation). World Literacy Foundation. Diunduh dari http://www.worldliteracyfoundation .org/The_Economic_&_Social_Cost_of_Illiteracy.pdf

Cunha, F., & Heckman, J.J. (2010). Investing in our young people. NBER Working Paper 16201. Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w16201

Cunningham, A.E., & Stanovich, K.E. (1997). Early reading acquisition and its relation to reading experience and ability 10 years later.Developmental Psychology, 33, 934-945.

Duckworth, A.L., & Allred, K.M. (2012). Temperament in the classroom. Dalam R. L. Shiner & M. Zentner (Eds.), Handbook of Temperament, hal. 627-644. New York: Guilford Press.

Duckworth, A.L., & Carlson, S.M. (2013). Self-regulation and school success. Dalam B. W. Sokol, F. M. E. Grouzet, & U. Müller (Eds.),Self-Regulation and Autonomy: Social and developmental dimensions of human conduct, hal. 208-230. New York: Cambridge University Press.

Duckworth, A.L., & Seligman, M.E.P. (2005). Self-discipline outdoes IQ predicting academic performance in adolescents. Psychological Science, 16 (12), 939-944.

Dunst, C.J., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Children’s story retelling as a literacy and language enhancement strategy. CELL Reviews 5 (2), 1-14. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Effects of reading to infants and toddlers on their early language development. CELL Reviews 5 (4), 1-7. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Trivette, C.M., & Hamby, D.W. (2007). Predictors of and interventions associated with later literacy accomplishments. CELL Reviews, 1 (3), 1-12. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Williams, A.L., Trivette, C.M., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Relationships between inferential book reading strategies and young children’s language and literacy competence. CELL Reviews, 5 (10), 1-10. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Duursma, E., Augustyn, M., & Zuckerman, B. (2008). Reading aloud to children: The evidence. Archives of Diseases of Childhood, 93, 7, 554–557.

English, A.G., & Bi, C. (2009). An Analysis of the Economic Impact of the Rita Welsh Adult Literacy Program on the Williamsburg Community. The Thomas Jefferson Program in Public Policy. Diunduh dari http://www.wm.edu/as/publicpolicy/documents/ prs/rita_welsh.pdf

Farrington, C.A., Roderick, M., Allensworth, E., Nagaoka, J., Keyes, T.S., Johnson, D.W., & Beechum, N.O. (2012). Teaching Adolescents to Become Learners: The role of noncognitive factors in shaping school performance - A critical literature review. Chicago: University of Chicago Consortium on Chicago School Research

Feinstein, L. (2003). Very early evidence. CentrePiece, Summer 2003, 24-30. Centre for Economic Performance, diunduh dari http://cep.lse.ac.uk/pubs/download/CP146.pdf.

Fiester, L. (2010). Early Warning: Why reading by the end of third grade matters. Baltimore: Annie E Casey Foundation.

Fiester, L. (2013). Early Warning Confirmed. Baltimore: Annie E. Casey Foundation. 

Fite, G. (2002). Reading and math: What is the connection? A short review of the literature. Kansas Science Teacher, 14, 7-11.

Gertler, P., Heckman, J., Pinto, R., Zanolini, A., Vermeersch, C., Walker, S., Chang, S.M., & Grantham-McGregor, S. (2013). Labor market returns to early childhood stimulation: A 20-year followup to an experimental intervention in Jamaica. NBER Working Paper Series. Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w19185

Gropello, E., Kruse, A., & Tandon, P. (2011). Skills for the Labor Market in Indonesia: Trends in demand, gaps, and supply. Washington D.C: The Worldbank.

Hanushek, E.A. (2013). Economic Growth in Developing Countries: The role of human capital. New York: Stanford University.

Hanushek, E.A., & Rivkin, S.G. (2010a). The distribution of teacher quality and implications for policy. Annual Review of Economics, 4, 131–157.

Hanushek, E.A., & Rivkin, S.G. (2010b). Generalizations about using value-added measures of teacher quality. American Economic Review: Papers & proceedings, 100, 267–271.

Hanushek, E.A., & Welch, F. (eds.) (2006). Handbook of the Economics of Education, Volume 1 & 2. Amsterdam: North Holland.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2007a). The role of education quality in economic growth. Policy Research Working Paper 4122.Washington, DC: World Bank.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2007b). The Role of School Improvement in Economic Development. Cambridge, Mass.: Harvard’s Program on Education Policy and Governance.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2008). The role of cognitive skills in economic development. Journal of Economic Literature, 46 (3), 607–668.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2012). Do better schools lead to more growth? Cognitive skills, economic outcomes, and causation.Journal of Economic Growth, 17, 267–321.

Hasan, A., Hyson, M., & Chang, M.C. (2013). Early Childhood Education and Development in Poor Villages of Indonesia: Strong foundations, later success. Washington DC: The World Bank.

Hayes, C.D., Bhat, S., Connors-Tadros, L. & Martinez, L. (2011). Learning to Read: A guide to federal funding for grade-level reading proficiency. The Finance Project & Annie E. Casey Foundation.

Heckman, J.J. & Masterov, D.M. (2007). The productivity argument for investing in young children. NBER Working Paper 13016.Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w13016

Heckman, J.J. (2008). Schools, skills, and synapses. Discussion Paper No. 3515, The Institute for the Study of Labor (IZA).

Heckman, J.J. (2011). The economics of inequality: The value of early childhood education. American Educator, Spring 2011, 31-35 & 47.

Heckman, J.J. (2012). Invest in Early Childhood Development: Reduce deficits, strengthen the economy. The Heckman Equation Project. Diunduh dari www.heckmanequation.org/031513_HeckmanDeficitPieceCUSTOM-Generic_v3.

Hernandez, D.J. (2011). Double Jeopardy: How third-grade reading skills and poverty influence high school graduation. New York: Annie E. Casey Foundation.

Justice, L.M. & Sofka, A.E. (2010). Engaging Children with Print: Building early literacy skills through quality read-alouds. New York: The Guilford Press.

Lareau, A. (2002). Invisible inequality: Social class and childrearing in black families and white families. American Sociological Review,67, 747–776.

Lareau, A. (2003). Unequal Childhoods: Class, race, and family life. Berkeley: University of California Press.

Larwin, K.H. (2010). Reading is fundamental in predicting math achievement in 10th graders. International Electronic Journal of Mathematics Education, 5 (3), 131-145.

Leou, Y.M., Chen, M.Z., Huang, Y.G., & Chen, C.T. (2009). The influences of shared reading on students’ reading comprehension and reading motivation in a rural elementary school in Taiwan. Proceedings of International Conference on Primary Education 2009. Diunduh dari http://www.ied.edu.hk/primaryed/eproceedings/ fullpaper/RN156.pdf

Lesnick, J., Goerge, R.M., Smithgall, C., & Gwynne, J. (2010). Reading on Grade Level in Third Grade: How is it related to high school performance and college enrollment? Chicago: Chapin Hall at the University of Chicago.

McClelland, M.M., Acock, A., Piccinin, A., Rhea, S.A, & Stallings, M.C. (2013). Relations between preschool attention span-persistence and age 25 educational outcomes. Early Childhood Research Quarterly, 28, 2, 314–324.

Moffitt, T.E., Arseneault, L., Belsky, D., Dickson, N., Hancox, R.J., Harrington, H.L., Houts, R., Poulton, R., Roberts, B.W., Ross, S., Sears, M.R., Thomson, W.M., & Caspi, A. (2011). A gradient of childhood self-control predicts health, wealth, and public safety.Proceedings of the National Academy of Sciences, 108, 2693-2698.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMMS 2011 International Results in Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, Boston College.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. (2012). PIRLS 2011 International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, Boston College.

Murray, S., & Shillington, R. (2011). From Poverty to Prosperity: Literacy's impact on Canada's economic success. Ontario: Canadian Literacy and Learning Network.

Musen, L. (2010). Early Reading Proficiency. New York: Annenberg Institute for School Reform at Brown University.

OECD. (2010a). PISA 2009 Results: What students know and can do – student performance in reading, mathematics and science (Volume I). PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852548.pdf

OECD. (2010b). PISA 2009 Results: Learning to Learn – Student engagement, strategies and practices (Volume III). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852630.pdf

OECD. (2010c). Pathways to Success: How knowledge and skills at age 15 shape future lives in Canada. PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd-ilibrary.org/education/pathways-to-success_9789264081925-en

OECD. (2010d). PISA 2009 Results: Learning to Learn – Student engagement, strategies and practices (Volume III). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852630.pdf

OECD. (2010e). PISA 2009 Results: Overcoming Social Background - Equity in learning opportunities and outcomes. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852584.pdf

OECD. (2011a). Against the Odds: Disadvantaged students who succeed in school. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/pisa2006/47092225.pdf

OECD. (2011b). What can parents do to help their children succeed in school? PISA in Focus, volume 10, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/49012097.pdf

OECD. (2012a). Learning beyond Fifteen: Ten years after PISA. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/canada/49 893598.pdf

OECD. (2012b). Let's Read Them a Story! The parent factor in education. PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www .oecd .org /pisa/ pisaproducts/ pisa2009/50298645.pdf

OECD. (2013). PISA 2012 Results: What students know and can do – Student performance in mathematics, reading and science (Volume I). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://dx.doi.org/10.1787/9789264201118-en.

Peterson, P.E., Woessmann, L., Hanushek, E.A., & Lastra-Anadón, C.X. (2011). Globally Challenged: Are U. S. Students Ready to Compete? The latest on each state’s international standing in math and reading. Mass.: Harvard’s Program on Education Policy and Governance & Education Next.

Pianta, R., Barnett, W.S., Burchinal, M., & Thornburg, K.R. (2009). The effects of preschool education: What we know, how public policy is or is not aligned with the evidence base, and what we need to know. Psychological Science in the Public Interest, 10 (2), 49–88.

Piasta, S.B., Justice, S.B., Justice, L.M., McGinty, A.S., & Kaderavek, J.N. (2012). Increasing young children's contact with print during shared reading: Longitudinal effects on literacy achievement. Child Development, 83, 810-820.

Protzko, J., Aronson, J., & Blair, C. (2013). How to make a young child smarter: Evidence from the database of raising intelligence.Perspectives on Psychological Science, 8 (1), 25–40.

Pusat Statistik Pendidikan. (2009). Rangkuman Statistik Persekolahan 2009/2010. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan

Reder, S. (2010). Adult Literacy Development and Economic Growth. Washington: National Institute for Literacy.

Ree, J.D., Al-Samarrai, S., & Iskandar, S. (2012). Sertifikasi Guru di Indonesia: Peningkatan pendapatan atau cara untuk meningkatkan pembelajaran? Washington: The Worldbank. 

Samarrai, S.A., Syukriyah, D., & Setiawan, I. (2012). Making better use of teachers: Strengthening teacher management to improve the efficiency and equity of public spending. Policy Brief. Washington DC: The World Bank.

Schlaggar, B.L. & Church, J.A. (2009). Functional neuroimaging insights into the development of skilled reading. Current Directions in Psychological Science, 18 (1), 21-26.

Senechal, M., & LeFevre, J. (2002). Parental involvement in the development of children's reading skill: A five-year longitudinal study.Child Development, 73, 445-460.

Sénéchal, M., Pagan, S., Lever, R., & Ouellette, G.P. (2008). Relations among the frequency of shared reading and 4-year-old children’s vocabulary, morphological and syntax comprehension, and narrative skills. Early Education and Development, 19, 27–44.

Suggate, S.P. (2013). Does early reading instruction help reading in the long-term? A review of empirical evidence. Research on Steiner Education, 4 (1), 123-131.

Tangney, J.P., Baumeister, R.F., & Boone, A.L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of Personality, 72, 271-324.

Trivette, C.M., Dunst, C.J., & Gorman, E. (2010). Effects of parent-mediated joint book reading on the early language development of toddlers and preschoolers. CELL Reviews, 3 (2), 1-15. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Trivette, C.M., Hamby, D.W., Dunst, C.J., & Gorman, E. (2013). Emergent writing among young children from twelve to sixty months of age. CELL Reviews, 6 (2), 1-18. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Trivette, C.M., Simkus, A., Dunst, C.J., & Hamby, D.W. (2012). Repeated book reading and preschoolers’ early literacy development.CELL Reviews, 5 (5), 1-13. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

UNDP (2013). Human Development Report 2013. The Rise of the South: Human progress in a diverse world. New York: UNDP.

Vilenius-Tuohimaaa, P.M., Aunolab, K., & Nurmib, J.E. (2008). The association between mathematical word problems and reading comprehension. Educational Psychology, 28 (4), 409–426.
World Bank. (2010a). Mendaki Tangga Pendidikan—Indonesia Rising: Policy priorities for 2010 and beyond. Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2010b). Transforming Indonesia’s Teaching Force, Volume I: Executive Summary. Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2012). Proyek Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (PPAUD) Indonesia: Temuan dan rekomendasi kebijakan.Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2013). Spending More or Spending Better: Improving education financing in Indonesia - Extended Summary. Volume 2.Washington DC: The World Bank.

World Economic Forum. (2013). The Global Competitiveness Report 2012–2013. Geneva: World Economic Forum.