Kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga
Achmanto Mendatu
(Tulisan tahun 2004)
Kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga merupakan salah satu masalah utama dalam masyarakat. Dampaknya terentang mulai dari dampak bagi individu korban, bagi pihak keluarga, bagi masyarakat, sampai terhadap negara. Kekerasan terhadap pasangan mencakup kekerasan terhadap perempuan maupun kekerasan terhadap laki-laki oleh pasangannya. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa perempuan jauh lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebesar 95% pelaku kekerasan adalah laki-laki dan hanya 5% pelaku kekerasan merupakan perempuan (Walker, 2000). Artinya, 95% korban kekerasan oleh pasangan dalam rumah tangga adalah perempuan. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga adalah kekerasan terhadap perempuan. Istilah yang sering digunakan untuk menyebut kekerasan semacam itu adalah kekerasan berbasis gender (Fakih, 2001). Seorang perempuan menjadi korban kekerasan karena semata-mata ia merupakan perempuan.
Makalah ini akan menjawab pertanyaan; mengapa perempuan cenderung menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku? Apa dampak kekerasan terhadap korban? Bagaimana upaya mengurangi kekerasan terhadap pasangan tersebut?
Menjelaskan kekerasan terhadap pasangan.
Fakta menunjukkan sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkup rumah tangga atau dilakukan oleh orang dekat (intimate partner). Sebagai contoh dari 1722 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani Rifka Annisa Women Crisis Centre, 1054 (60%) kasus diantaranya adalah kasus kekerasan terhadap istri (Hasimi, 2002). Temuan penelitian yang dilakukan Rifka Annisa bersama UGM, UMEA University, dan Women’s Health Exchange USA di Purworejo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tahun 2000 menunjukkan 1 dari 3 perempuan (34%) mengalami kekerasan emosional dari suaminya, termasuk di dalamnya penghinaan, ancaman, dan ancaman fisik yang membahayakan. Kira-kira 1 dari 4 perempuan (27%) mempunyai pengalaman kekerasan fisik atau seksual dari suaminya dalam satu waktu dalam hidupnya, dimana 22% mengalami kekerasan seksual dan 11% mengalami kekerasan fisik. Hampir setengah perempuan (47%) yang mengalami penganiayaan fisik oleh pasangan melaporkan bahwa anak-anak mereka selalu ada selama terjadi kekerasan. Sejumlah 15% perempuan melaporkan selalu membalas jika mereka dipukul. Satu dari 5 perempuan (19%) melaporkan bahwa biasanya mereka dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan mereka selama dipukuli. Kira-kira 1 dari 3 perempuan (33%) yang teraniaya mendapat paling sedikit satu luka-luka sebagai hasil kekerasan; sebagian besar berupa memar atau lecet-lecet (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001). Sekitar 80% perempuan yang mencoba bunuh diri memiliki alasan karena telah mengalami kekerasan dari pasangannya, baik suami atau kekasih (Stark & Flitcraft, 1996). Di seluruh dunia 1 dari 4 perempuan hamil mengalami kekerasan oleh suaminya baik kekerasan seksual maupun kekerasan fisik. Diperkirakan 40% hingga 70% lebih pembunuhan terhadap perempuan juga dilakukan oleh pasangan intimnya, dalam konteks relasi yang penuh kekerasan (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001).
Saat ini ada dua penjelasan yang dianggap paling memadai untuk menerangkan terjadinya kekerasan terhadap pasangan, yakni perspektif teori belajar sosial dan perspektif feminis. Kedua perspektif itu menekankan pada kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan yang merupakan kasus terbesar dalam kekerasan oleh pasangan dalam rumah tangga. Berdasarkan perspektif teori belajar sosial, kekerasan pasangan dipelajari melalui observasi terhadap hubungan yang penuh kekerasan sebagai cara yang efektif dalam menyelesaikan konflik dan untuk mengontrol pasangan. Sedangkan menurut perspektif feminis semua kekerasan laki-laki terhadap perempuan berakar dari budaya patriarkal di masyarakat. Dimana dalam budaya patriarkal perempuan secara eksplisit maupun implisit ditekan (Lawson, 2003). Sistem sosial budaya selama ini memang telah menyebabkan perempuan lebih banyak menjadi korban kekerasan, sedangkan laki-laki cenderung menjadi pelakunya (Ervita & Utami, 2002)
Secara integratif kedua perspektif penjelasan itu dapat diterangkan dengan menggunakan kerangka ekologik. Model ini digambarkan paling baik sebagai 4 lingkaran yang konsentris. Lingkaran yang paling dalam adalah riwayat biologis dan personal yang dibawa oleh masing-masing individu ke dalam tingkah laku mereka dalam suatu hubungan. Lingkaran kedua merupakan konteks yang paling dekat dimana kekerasan seringkali terjadi, yaitu keluarga atau kenalan dan hubungan dekat lainnya. Lingkaran ketiga adalah institusi dan struktur sosial, baik formal maupun informal dimana hubungan tertanam dalam bentuk pertetanggaan., di tempat kerja, jaringan sosial dan kelompok kemitraan. Keempat, lingkaran paling luar adalah lingkungan ekonomi dan sosial, termasuk norma-norma budaya (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001).
Berdasarkan perspektif ekologik, berikut adalah beberapa faktor yang ada di tiap-tiap tingkat yang memperbesar peluang laki-laki untuk menganiaya pasangannya.
- Pada tingkat individual, yang termasuk adalah pernah dianiaya sewaktu masih kanak-kanak atau menyaksikan kekerasan kedua orangtuanya di rumah, ayah tidak ada di rumah atau ditolak oleh ayah, dan sering menggunakan alkohol.
- Pada tingkat keluarga dan hubungan dekat, studi lintas budaya menunjukkan bahwa peran laki-laki sebagai pengontrol kekayaan dan pembuat keputusan dalam keluarga serta konflik perkawinan merupakan prediktor yang kuat untuk terjadinya kekerasan.
- Pada level komunitas, pengisolasian perempuan dan kekurangan dukungan sosial, di samping kelompok kemitraan laki-laki yang menerima dan mensahkan kekerasan laki-laki akan menyebabkan tingginya kekerasan.
- Pada tingkat kemasyarakatan, studi di seluruh dunia menemukan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hal umum terjadi di tempat-tempat dimana peran gender didefinisikan dan dilaksanakan secara kaku dan dimana konsep maskulinitas dikaitkan dengan kekuatan, kehormatan atau dominasi laki-laki. Norma budaya lain yang dihubungkan dengan kekerasan adalah toleransi terhadap hukuman fisik bagi perempuan dan anak-anak, diterimanya kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan perselisihan antar personal, dan persepsi bahwa laki-laki adalah ‘pemilik’ perempuan.
Karakteristik Pelaku kekerasan
Ervita dan Utami (2002) menyebutkan bahwa laki-laki pelaku kekerasan berasal dari seluruh strata ekonomi dan sosial, tidak memedulikan latar belakang pendidikan, status sosial ekonomi, suku maupun agama. Biasanya laki-laki pelaku mempunyai rasa percaya diri yang rendah, menyalahkan orang lain atas perbuatannya, tidak merasa bersalah atas perilaku yang dilakukan, berasal dari keluarga yang mengalami kekerasan, secara emosional tergantung pada anak dan istri, tidak bekerja atau tidak puas atas pekerjaan, tidak mampu berkomunikasi, kepribadiannya tidak dapat ditebak dan membingungkan, tradisionalis, pencemburu, berperilaku seolah dapat berubah, melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan luka, mengasihani diri sendiri dan menganggap alkohol serta narkoba sebagai alasan pembenar melakukan kekerasan.
Akan tetapi sesungguhnya tidak ada profil yang benar-benar khusus untuk menggambarkan karakter pelaku kekerasan (Peterman & Dixon, 2003). Kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga merupakan perilaku yang didesain untuk untuk mengontrol pasangan (Walker, 2000). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anderson dan Swainson (2001) juga menunjukkan bahwa perkosaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dimotivasi oleh seks dan terutama oleh kekuasaan (power) untuk mengontrol. Hal ini berarti dari situasi satu ke situasi lain pelaku kekerasan akan menunjukkan pola perilaku berbeda tergantung situasi.
Menurut Gondolf (dalam Peterman & Dixon, 2003) ada tiga tipe pelaku kekerasan. Pertama, Typical Batterers, yakni mereka yang tidak memiliki riwayat gangguan mental atau catatan kriminal. Mereka tidak lebih banyak Kedua, Sosiopathic Batterers, yakni mereka yang melakukan kekerasan sebagai cara yang diterima untuk menyelesaikan masalah. Mereka kadangkala didiagnosis memiliki gangguan kepribadian. Mereka sering mengancam untuk membunuh atau melakukan kekerasan lebih lanjut. Mereka juga biasa mencari pembenaran dari kekerasan yang dilakukan melalui keyakinan agama, dan sering menggunakan kekuasaan dan kontrol dalam banyak dimensi kehidupannya. Ketiga, Antisocial Batterers, yakni mereka yang biasanya didiagnosa menderita penyakit mental dan gangguan kepribadian, memiliki masalah dengan kekerasan, dan memiliki catatan kriminal. Kekerasan yang mereka lakukan lebih sering dan lebih kejam daripada tipe lainnya.
Karakteristik Korban
Perempuan korban dapat ditemui di seluruh strata sosial ekonomi, jenjang pendidikan, dan tingkatan umur. Satu-satunya karakteristik demografis umum yang ditemui adalah pendidikan yang rendah (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001). Sama seperti perilaku kekerasan, tidak ada profil psikologis khusus yang bisa menggambarkan korban (Peterman & Dixon, 2003). Akan tetapi ada beberapa keadaan yang umum ditemui pada perempuan korban, yakni merasa dirinya lemah, tidak berdaya, ketidakmandirian (baik ekonomi maupun kejiwaan), ketidakmampuan untuk bersikap dan berkomunikasi secara terbuka (asertif) dan percaya pada peran-peran gender (Ervita & Utami, 2002). Semua korban merasa memiliki pengalaman akan rasa malu yang dalam, terisolasi, dan perasaannya tertekan. (Peterman & Dixon, 2003). Ada fakta yang menarik bahwa mereka yang masa kecilnya sering melihat atau mengalami korban kekerasan pada masa dewasa juga cenderung untuk jatuh sebagai korban kekerasan (Clay, Olsheski & Clay, 2000).
Tipe kekerasan domestik dan contoh perilaku kekerasan
- Kekerasan fisik: Koersi, ancaman, intimidasiMenampar, memukul, menendang, mendorong, mencambuk, dll.
- Kekerasan emosional/verbal: Mengkritik, membuat pasangan merasa bersalah, membuat permainan pikiran, memaki, menghina, dll.
- Ketergantungan finansial: Mencegah pasangan untuk mendapat pekerjaan, membuat pasangan dipecat, membuat pasangan meminta uang, dll
- Isolasi sosial: Mengontrol pasangan dengan siapa boleh bertemu dan dimana bisa bertemu, membatasi gerak pasangan dalam pergaulan, dll
- Kekerasan seksual: Mengatakan kekerasan tidak pernah terjadi, menyalahkan pasangan bila kekerasan terjadi, dll.
- Pengabaian/penolakan: Membuat pasangan khawatir, memecahkan benda-benda, mengancam akan meninggalkan, dll
Dampak terhadap Korban
Kekerasan laki-laki terhadap pasangan perempuan memiliki dampak 6 kali lebih berat daripada kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki pasangannya. Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan pasangannya juga menghasilkan masalah kesehatan, stres, depresi, dan simtom psikosomatik yang jauh lebih besar daripada kekerasan yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki pasangannya (Lawson, 2003). Selain kekerasan dapat langsung berdampak pada kesehatan, juga akan meningkatkan risiko perempuan terkena penyakit di masa yang akan datang. Oleh karena itu, seperti halnya perokok atau peminum alkohol, viktimasi ini dapat dikonseptualisasikan sebagai salah satu faktor risiko bagi perempuan untuk menderita berbagai macam penyakit
Temuan penelitian yang dilakukan di Purworejo, Jawa Tengah, tahun 2000 menunjukkan bahwa banyak perempuan berpendapat, dampak psikologis masalah kekerasan merupakan persoalan yang lebih serius dibanding dampak fisik. Pengalaman mengalami kekerasan mengikis harga diri dan menempatkan perempuan pada risiko yang lebih besar untuk mengalami berbagai macam masalah kesehatan mental, termasuk depresi, stres pasca trauma, bunuh diri, sampai dengan penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan. Perempuan yang dianiaya oleh pasangannya menderita lebih banyak depresi, kecemasan dan fobia dibanding perempuan yang tidak pernah dianiaya (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001). Bahkan lebih jauh, pada masa kehamilan seorang perempuan juga mengalami kekerasan. Satu diantara 4 perempuan selama kehamilannya mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Kekerasan selama kehamilan dapat berdampak serius pada kesehatan perempuan dan anaknya. Dampaknya antara lain termasuk kunjungan antenatal yang tertunda, pertambahan berat badan selama kehamilan yang tidak mencukupi, peningkatan kebiasaan merokok, penyakit menular seksual, infeksi vagina dan leher rahim, infeksi ginjal, keguguran dan aborsi, kelahiran prematur, gawat janin dan perdarahan dalam kehamilan (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001).
- Pembunuhan
- Bunuh diri
- Kematian maternal
- Kematian yang ada hubungannya dengan AIDS.
- Cidera
- Gangguan fungsional
- Keluhan fisik
- Kesehatan subjektif yang jelek
- Cacat permanen
- Obesitas berat
- Gangguan Kronis
- Sindroma nyeri kronis
- Sindroma usus mudah meradang
- Gangguan pencernaan
- Keluhan somatik
- fibromiagla
- Kesehatan Jiwa
- Stres pasca trauma
- Depresi
- Kecemasan
- Fobia/gangguan panik
- Gangguan makan
- Disfungsi seksual
- Rasa rendah diri
- Penyalahgunaan narkotika
- Perilaku Kesehatan negatif
- Merokok
- Alkohol dan penyalahgunaan obat
- Perilaku seksual berisiko
- Tidak aktif secara fisik
- Makan berlebihan
- Kesehatan Reproduksi
- Kehamilan yang tidak diinginkan
- Penyakit menular seksual/AIDS
- Kelainan Ginekologis
- Abortus tidak aman
- Komplikasi kehamilan
- Keguguran/berat lahir rendah
- Penyakit radang panggul.
Dampak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak hanya berupa dampak kesehatan fisik dan psikologis semata. Lebih jauh dampaknya juga mempengaruhi keadaan ekonomi. Sebuah penelitian di Amerika Latin menunjukkan bahwa Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga sering tampak lebih sedikit pendapatannya dibandingkan dengan perempuan yang tidak mengalami kekerasan. Satu dari lima hari ketidakhadiran perempuan di tempat kerja merupakan akibat dari kekerasan rumah tangga yang dideritanya. Setiap 5 tahun seorang perempuan kehilangan kehidupannya yang sehat selama 1 tahun jika ia menderita kekerasan dalam rumah tangga (Boero, 2002). Pada tahun 1993, Bank Dunia mencatat sebuah diagnosa bahwa terjadinya perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga merupakan penyebab penting dalam ketidakcakapan perempuan dan kematian perempuan dalam usia yang produktif di negara-negara berkembang bahkan di negara-negara maju.
Kasus : Keengganan Mengungkapkan Kekerasan
Sebuah kasus menarik mengenai kekerasan terhadap perempuan pasangan dalam rumah tangga adalah kasus yang ditemukan oleh penelitian dari Rifka Annisa., UGM, Umea University, dan Women’s Health Exchange di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Mereka menemukan bahwa meskipun perempuan mengalami kekerasan berkali-kali, bahkan sampai taraf yang cukup berat, mereka tetap mempertahankan hubungan. Perempuan secara konsisten menyebutkan alasan yang sama untuk mempertahankan hubungan yang diwarnai kekerasan yakni karena takut terkena pembalasan, tidak mempunyai dukungan ekonomi lain, karena alasan anak-anak, ketergantungan emosional, tidak ada bantuan dari keluarga dan teman, dan selalu berharap si “dia” akan berubah (Hakimi, Hayati, Marlinawati, Winkvist, & Ellsberg, 2001). Mereka pada umumnya juga enggan untuk menceritakan kekerasan yang dialaminya. Kalaupun diceritakan, mereka hanya mau menceritakan pada orangtua, tetangga, saudara kandung dan ipar-iparnya. Mereka umumnya tidak menginginkan masalah rumah tangganya diketahui oleh orang luar. Alasan utama mereka enggan mencari pertolongan bila mengalami kekerasan adalah malu (21%), takut mencemarkan keluarga (13%) dan takut bahwa dengan mengatakan hal ini akan menyebabkan lebih banyak kekerasan (10%).
Tampaknya hal ini bisa ditelusuri dari nilai-nilai budaya. Dalam budaya Jawa, seorang perempuan diposisikan sebagai subordinat dan suami sebagai ordinat. Suami sebagai penguasa dan istri sebagai pengikut. Lebih jauh istri juga diposisikan sebagai benteng moral keluarga. Istri adalah simbol keluhuran keluarga (Herusatoto, 2001). Artinya baik buruk keluarga ditentukan oleh moralitas istri. Itulah mengapa dalam budaya jawa imoralitas seorang laki-laki (selingkuh misalnya) lebih ditolerir daripada bila selingkuh dilakukan oleh perempuan (Magnis-Suseno, 2001). Hal ini menjelaskan pula mengapa perempuan enggan mencari pertolongan karena merasa bahwa adalah tanggung jawabnya untuk menjaga nama baik suami dan keluarga. Posisinya yang subordinat juga menyebabkan mereka tidak dapat menolak bila sang suami memaksa hubungan seksual meskipun mereka sendiri tidak menginginkannya.
Keengganan untuk menceritakan persoalan kekerasan yang dialaminya membuat tidak banyak terjadi tuntutan hukum terhadap pelaku kekerasan. Rifka Annisa melaporkan paling tinggi hanya 10% korban kekerasan yang mengajukan tuntutan hukum. Sebagian besar yang lain kembali ke suami (sekitar 80%).
Keengganan untuk melaporkan kekerasan yang dialami juga disebabkan oleh perilaku aparat hukum yang tidak sensitif dan masyarakat yang tidak mendukung. Sebuah ilustrasi bagus adalah perkataan ibu Endang Maryatun, salah seorang korban kekerasan. Beliau berkata “Seingat saya, tidak seorang pun mendukung saya untuk berpisah dari suami saya yang kasar, dan itulah sebabnya mengapa saya tidak pernah melakukan tuntutan hukum atau mencoba bercerai”(dalam Hakimi, et al., 2001, hal. 76).
Istri sebagai korban kekerasan cenderung untuk disalahkan dalam perilaku kekerasan dalam rumah tangga (Megawangi, 1999). Jadi sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lebih jauh, masyarakat juga menganggap perempuan yang berani melaporkan kekerasan yang dialaminya dinilai sebagai perempuan yang tidak baik. Demikian pula dalam interogasi yang dilakukan oleh aparat, perempuan korban cenderung tidak dihormati dan diabaikan.
Faktor budaya, ketidaksadaran masyarakat akan relasi gender yang berkeadilan dan ketidaksensitifan aparat, agaknya yang telah membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga enggan melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Upaya Mengurangi Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dampak kekerasan rumah tangga bagi perempuan korban cukup berat. Dampak itu terentang dari kesehatan fisik yang terganggu sampai dampak psikologis dan ekonomis. Kekerasan dalam rumah tangga terkait dengan berbagai faktor. Oleh karena itu upaya mengurangi kekerasan di dalam rumah tangga juga memerlukan tindakan integratif antara faktor-faktor yang berkaitan. Oleh karena itu perlu suatu upaya integratif dan menyeluruh untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Setidaknya upaya itu harus menyentuh tiga persoalan yakni konstruksi budaya, kesadaran masyarakat akan relasi gender yang berkeadilan dan persoalan hukum.
Espinoza (2002) menawarkan suatu tindakan integratif dalam upaya mengurangi kekerasan dalam rumah tangga yang bisa dilakukan, terutama oleh pemerintah. Langkah itu mencakup 6 hal yakni pencegahan, penanganan, Akses kepada perlindungan hukum, perbaikan, penyembuhan dan rehabilitasi, serta pemberian informasi, pendataan, dan penelitian.
Tindakan pencegahan merupakan kunci untuk menghindari terjadinya pengulangan kasus kekerasan. salah satu bentuk kekerasan adalah dengan menyatakan bahwa kekerasan merupakan masalah kesehatan masyarakat karena mencakup dimensi yang begitu menakutkan, mengakibatkan dampak yang sangat berat, dan yang terpenting bahwa sebenarnya kekerasan itu bisa dihindari.
Pencegahan erat hubungannya dengan perubahan perilaku, artinya suatu tindakan yang intensif dan berkesinambungan di berbagai tingkatan. Misalnya, perlu suatu kebijakan yang menjamin suatu perbaikan secara substansial dalam perbaikan kepercayaan diri korban, yang juga mencakup strategi dan tindakan untuk merubah berbagi aspek perilaku pria yang dapat membantu, mematahkan mata rantai rangkaian tindak kekerasan. Salah satu contohnya adalah penyeimbangan kemampuan perempuan dengan pria secara internal dalam keluarga.
Perawatan bagi para korban harus disediakan oleh pemerintah, dengan mempertimbangkan berbagai elemen untuk menjamin kualitas dan efektivitasnya, di antaranya dapat disebutkan:
- Tersedianya tempat pelayanan yang dekat dengan si korban, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara kultural.
- Tersedianya pemberian penanganan yang terpadu, artinya bahwa penanganan mencakup seluruh dimensi persoalan secara keseluruhan dan bukan hanya bagian-bagiannya saja.
- Tersedianya penanganan lintas sektoral, karena setiap sektor akan memberikan pelayanan sesuai spesialisasinya.
- Penanganan oleh petugas yang berkualitas dan khusus.
- Penanganan dengan ruang yang cukup
- Penanganan dengan kesopansantunan.
- Dikeluarkannya suatu peraturan pelayanan yang diwajibkan.
Akses kepada perlindungan hukum
Hukum di Indonesia dinilai tidak sensitif gender. Seperti misalnya perkosaan terhadap perempuan dalam pernikahan tidak dinilai sebagai perkosaan di dalam hukum. Padahal kekerasan seksual yang sering berbentuk perkosaan dalam perkawinan adalah sumber kekerasan terbesar dalam rumah tangga. Pasal 285 KUHP tentang perkosaan berisi “Barangsiapa dengan kekerasan memaksa wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Pasal 285 itu hanyalah salah satu pasal yang tidak sensitif gender. Masih banyak pasal-pasal lain yang merugikan perempuan. Sejumlah aktivis dari berbagai LSM telah menyusun draft Undang-undang yang sensitif gender, akan tetapi sampai kini belum disahkan oleh DPR (Kompas, 10 November 2003). Diharapkan dengan disahkannya UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, akan memberikan perlindungan hukum kepada perempuan dari kekerasan.
Tidak semua perempuan memiliki akses terhadap perlindungan hukum karena persoalan biaya. Untuk itu perlu didirikan berbagai Lembaga bantuan Hukum untuk perempuan korban kekerasan. Pemerintah Indonesia semestinya mengimplementasikan kebijakan ‘Zero Tolerance Policy’ secara menyeluruh dan termonitor dengan baik. Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan sensitivitas gender bagi aparat penegak hukum, termasuk praktisi hukum. Serta memperbanyak unit-unit khusus bagi pelayanan penyidikan bagi perempuan korban kekerasan di kantor-kantor polisi.
Perbaikan di sini mencakup dikembalikannya kondisi dan kesejahteraan perempuan minimal sebagaimana sebelum terjadi kekerasan.
Penyembuhan dan rehabilitasi
Memperbanyak layanan langsung bagi perempuan korban kekerasan, termasuk melibatkan pelaku dalam program konseling individual ataupun kelompok.
Informasi, pendataan, dan penelitian.
Memasukkan isu gender dalam kurikulum pendidikan rendah-sedang-tinggi, termasuk isu ketenteraman dan resolusi konflik. Mengangkat dan menyosialisasikan isu kesetaraan gender dalam artikel-artikel. Menyebarluaskan informasi tentang pusat-pusat layanan bagi perempuan korban kekerasan. Mengampanyekan isu anti kekerasan berbasis gender kepada masyarakat.
Perlu dilakukan pula berbagai survei dan penelitian untuk memberikan landasan bagi suatu tindakan konkret dalam upaya mengurangi kekerasan dalam rumah tangga.
Kesimpulan
Kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga jauh lebih banyak diderita perempuan Fakta ini berakar dari faktor individual pelaku kekerasan maupun dari faktor budaya. Berkait dengan faktor budaya, budaya patriarkal dituding sebagai sebab utama terjadi timbulnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. Upaya pencegahan mau tidak mau harus menyentuh dua sumber penyebab di atas. Dampak kekerasan terhadap perempuan pasangan dalam rumah tangga sangat luas dan berat. Dampak itu berkisar dari dampak terhadap kesehatan, baik kesehatan fisik maupun psikologis sampai dampak secara ekonomi. Oleh karena itu penanganan berdasarkan dampak juga harus mempertimbangkan ketiga hal tersebut di atas.
Tampak bahwa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat etnik Jawa memiliki keengganan untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan yang dialaminya. Sebagaimana faktor budaya yang telah menyebabkan terjadinya kekerasan, faktor budaya pula yang membuat perempuan jawa enggan untuk bercerita dan menyelesaikan permasalahan kekerasan yang dialaminya.
Luasnya kekerasan terhadap pasangan dalam rumah tangga bukan berarti hal itu tidak dapat diselesaikan. Yang perlu dilakukan adalah tindakan yang integratif, menyeluruh, dan saling terkait antara berbagai sektor. Dalam hal ini, pemerintah, masyarakat, LSM, pendidik, praktisi hukum, dan lainnya sama-sama bahu membahu mengupayakan minimalisasi kekerasan dalam rumah tangga.
———————–
Daftar Pustaka