10.11.18

Kegagalan Sistem Pendidikan Asia Menelurkan Ilmuwan


Kegagalan Sistem Pendidikan Asia Menelurkan Ilmuwan



Achmanto Mendatu


Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity”, yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.

Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.

Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.

Akibat waktu sekolah yang panjang dan beban PR yang berat, para pelajar Asia hanya terasah kemampuan intelektualnya dalam hal mengingat fakta-fakta untuk kemudian ditumpahkan kembali saat ujian. Hasil dari budaya pendidikan semacam itu adalah kurangnya keterampilan menelaah, menginvestigasi dan bernalar, yang sangat dibutuhkan dalam penemuan-penemuan ilmiah. Dalam artikelnya, William K. Lim menyatakan bahwa para mahasiswa yang ditemuinya lemah dalam melihat hubungan-hubungan dalam berbagai literatur, membuat kemungkinan-kemungkinan ide-ide, dan menyusun berbagai hipotesis. Padahal, mereka adalah para peraih skor-tes tertinggi. Hal itu membuktikan kalau sistem pendidikan Asia tidak melahirkan talenta saintifik.

Benar bahwa dalam berbagai ujian, para pelajar Asia “selalu” memiliki skor-tes lebih baik dari para pelajar Eropa Barat dan Amerika Utara berkat pendidikannya yang berorientasi skor-tes. Akan tetapi ketika bicara soal kreativitas dan kualitas hasil penelitian, para pelajar Asia  jauh tertinggal. Sebagai akibatnya, sangat sedikit ilmuwan berkelas yang dihasilkan Asia. Mayoritas ilmuwan kelas dunia dari negara-negara Asia pun biasanya dididik dalam pendidikan Eropa/Amerika, bukan dalam iklim pendidikan Asia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa para pemenang olimpiade sains dunia (fisika, sains, biologi, dan lainnya) mayoritas berasal dari Asia. Indonesia sendiri telah berkali-kali memiliki para juara. Akan tetapi mereka merupakan hasil penggodokan khusus oleh tim khusus olimpiade sains. Mereka bukan hasil alami iklim pendidikan seperti biasa. Jadi, fenomena itu sama sekali tak mengindikasikan keberhasilan sistem pendidikan di Asia. Faktanya, meskipun mendominasi kejuaraan, Asia tak kunjung melahirkan ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Jumlah ilmuwan yang terlahir dari Eropa/Amerika sangat timpang jauhnya dibandingkan dari Asia.

Bukti kegagalan sistem pendidikan Asia  dalam menelurkan talenta saintifik berlimpah ruah. Benar bahwa Asia,  terutama Asia Timur, digambarkan kuat dalam menyerap pengetahuan yang ada dan dalam mengadaptasi teknologi yang sudah ada (maklum, mereka canggih dalam mengingat). Akan tetapi Asia gagal membuat kontribusi orisinil terhadap ilmu-ilmu dasar. Hingga kini tidak ada temuan-temuan ilmiah berarti dari Asia. Kemajuan besar dalam sains dan teknologi yang digapai negeri-negeri Asia tidak ada yang merupakan karya orisinil Asia: nyaris semuanya merupakan adaptasi teknologi dari negeri-negeri barat. Padahal, negeri-negeri barat sempat cemas dengan besarnya investasi negara-negara Asia terhadap dunia pendidikan yang jumlahnya jauh melebihi investasi mereka. Dikuatirkan mereka bakal terkejar dan lantas tertinggal dari Asia dalam satu atau dua dekade saja. Akan tetapi, ternyata mereka tak perlu risau lagi. Investasi pendidikan besar-besaran negara-negara Asia telah gagal karena kesalahan Negara-negara itu dalam membangun budaya pendidikannya. Kini, Asia tetap tertinggal di belakang.

Indonesia agaknya tidak belajar dari kegagalan investasi pendidikan di negara-negara Asia lain. Pendidikan Indonesia saat ini ikut-ikutan berorientasi pada skor-tes. Konkretnya, skor-tes saat ujian nasional menjadi syarat mutlak kelulusan. Lantas, di mana-mana di berbagai sekolah di seluruh penjuru negeri, orientasi pengajarannya hanya agar para peserta didiknya berhasil melewati ujian nasional. Bulan-bulan menjelang ujian, berbagai mata pelajaran yang tidak diujiankan akan dihapus dari jadwal. Latihan tes ditekankan. Berbagai les diselenggarakan. Maklum, sekolah akan dianggap gagal jika tidak berhasil meluluskan siswa-siswanya dalam ujian nasional. Para politisi pun beramai-ramai memanasi suasana dengan ‘memaksa’ para sekolah di daerahnya untuk bisa meluluskan siswa-siswanya, apapun caranya. Sebab, skor-tes ujian nasional di suatu daerah juga menjadi citra daerah itu. Lantas tak mengherankan jika muncul berbagai macam kecurangan untuk mengatrol nilai para siswa agar bisa lulus ujian.

Pendidikan yang berorientasi skor-tes menjadi berkah tersendiri bagi industri persiapan tes. Industri itu akan menjadi industri pendidikan yang paling menjanjikan. Potensinya luar biasa besar. Dengan jumlah pelajar yang hanya kurang dari 20% dari jumlah pelajar di Indonesia, industri persiapan tes di Korea Selatan telah menuai kapitalisasi senilai 146,7 triliun rupiah. Bayangkan besarnya potensi pasar industri persiapan tes di Indonesia, potensinya bisa diduga ratusan triliun rupiah. Anda tertarik?

Buah yang akan dituai dari budaya pendidikan berorientasi skor-tes sangat jelas, seperti ditunjukkan negara-negara Asia lain yang telah gagal: ketidakmampuan menghasilkan ilmuwan. Maka, selamanya, selama budaya pendidikan itu tak diubah, Indonesia tak akan pernah mampu menjadi pelopor di bidang sains dan teknologi. Indonesia hanya akan menjadi pengekor karya ilmiah negeri-negeri lain, seperti selama ini. Masih mending negara-negara Asia lain, seperti Korea, Taiwan, China, Singapura dan Jepang yang mampu membuat adaptasi teknologi sehingga memakmurkan negerinya. Sedangkan kita, mengadaptasi saja tak mampu, apalagi mencipta.

Agaknya pemerintah Indonesia tetap ‘kekeuh’ mempertahankan kebijakan pendidikan skor-tes itu dengan berbagai alasannya. Tapi, pertimbangkanlah ini: jika negeri-negeri semaju seperti Korea, Jepang, Taiwan, Singapura saja telah dianggap gagal menelurkan para ilmuwan (dan dengan demikian gagal menjadi tuan di bidang sains dan teknologi) gara-gara budaya pendidikannya yang berorientasi skor-tes, masa sih kita harus meniru mereka?

Mengutip William K. Lim: “A radical transformation of the educational culture must happen before homegrown Asian science can challenge Western technological dominance.”

Benar kata Tuan Lim, kita memerlukan transformasi radikal dalam pendidikan kita, atau kita akan terus menjadi negeri tak dianggap siapa-siapa.

(Tulisan 2010)