11.11.18

Intervensi Bijak dalam Psikologi: Apakah itu?


Intervensi Bijak dalam Psikologi:
Apakah itu?



Achmanto Mendatu


He who loves practice without theory is like the sailor who boards a ship without a rudder and compass, and never knows where he may land. — Leonardo da Vinci 


Bacalah dengan hati-hati pernyataan berikut: 
  • Seseorang menjawab sebuah pertanyaan, dan lalu kualitas hubungan romantiknya meningkat beberapa minggu.[1]
  • Pelajar diberi tugas menulis 15 menit, dan lalu bisa memangkas gap prestasi akademik hingga 40%.[2]
  • Pelajar berisiko menyelesaikan kegiatan 1 jam membaca dan menulis, dan lalu prestasi akademiknya naik, serta kesehatannya membaik selama 3 tahun ke depan.[3]
  • Orangtua dikirimi brosur yang berisi informasi tentang pentingnya matematika dan sains bagi anak di masa depan; dan lalu prestasi anak dalam matematika dan sains meningkat.[4]

Apa yang Anda pikirkan? Tidak mungkin? Mengada-ada? Hanya terjadi di dunia angan? Kenyataannya, pernyataan di atas adalah hasil penelitian eskperimen yang terukur. Berbagai studi eksperimental telah menunjukkan bahwa peningkatan dramatis performa seseorang (atau sekelompok orang) bisa dihasilkan dari intervensi sederhana yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan performa itu sendiri.[5] Selain contoh di atas, salah satu contoh lain yang dramatis adalah intervensi kecil berupa kewajiban mengisi selembar checklist untuk para perawat dan dokter sebelum melakukan operasi. Isi checklist hanya hal-hal biasa yang dianggap sudah otomatis akan dilakukan para perawat dan dokter di ruang operasi, mulai dari memperkenalkan diri sendiri ke yang lain, hingga kapan waktu tepat untuk memberikan antiseptik. Hasilnya menakjubkan, intervensi sederhana dan kecil itu bisa menurunkan komplikasi operasi hingga 36% dan tingkat kematian hingga 47%.[6] Seorang pengamat pun menyebutnya sebagai “(bukan) Tongkat sihir Harry Potter!” karena sedemikian dramatis efek yang dihasilkan. 

Gregory Walton, peneliti psikologi dari Universitas Stanford, AS, dalam artikel “The New Science of Wise Psychological Interventions”, menyebut intervensi kecil berdampak besar itu sebagai ‘Intervensi Bijak’ (Wise Intervention). Intervensinya bersifat lebih biasa dan lebih singkat (dan sepertinya remeh), namun lebih presisi. Tujuannya sederhana, yakni untuk mengubah cara berpikir tertentu (think) atau cara merasa tertentu (feel) dalam situasi dan kondisi normal keseharian, untuk membantu orang menjadi lebih sejahtera (flourish).[7] Intervensi sosial-psikologis itu mendorong seseorang untuk menilai sebuah situasi sulit atau menantang dalam cara yang produktif dan atau mengubah penilaiannya terhadap diri sendiri.[8] Dari situ diharapkan akan muncul efek-efek yang diharapkan. 

Mengapa yang diubah cara berpikir atau merasa tertentu? Sebab, pikiran, perasaan (emosi) dan perilaku saling terkait erat, serta merupakan satu kesatuan proses yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan sebab akibat: pikiran tertentu menyebabkan emosi dan perilaku tertentu, emosi menyebabkan perilaku dan pikiran tertentu, dan perilaku bisa menimbulkan emosi serta pikiran tertentu. Pada dasarnya, seseorang yang belum memiliki kualitas sukses adalah seseorang yang mungkin memiliki cara berpikir kurang akurat, atau memiliki pengaturan emosi yang tidak sesuai, atau memiliki perilaku yang tidak tepat. Asalnya bisa berakar dari faktor biologis atau hasil indoktrinasi melalui pengasuhan atau pengalaman hidup.[9] Melalui intervensi yang tepat, kualitas sukses bisa diinduksikan atau ditumbuhkan. 

Gambar apa di samping? Sebagian orang akan langsung melihatnya sebagai gambar kelinci menghadap ke kanan. Sebagian orang lagi akan melihatnya sebagai gambar bebek menghadap ke kiri. Mana yang benar? Keduanya benar. Entah Anda melihatnya sebagai bebek atau sebagai kelinci, kita tahu bahwa itu terjadi secara otomatis. Hal yang sama terjadi pada semua hal. Secara otomatis kita membuat penafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi. Contohnya, saat atasan menegur karena terlambat, secara otomatis (begitu saja tanpa kita sadari) kita langsung terpikir sebab-sebab sang atasan menegur: “Bos tidak pengertian!” atau “Saya memang karyawan yang buruk!” atau “Bos tidak suka saya!” atau “Saya memang salah!” atau “Saya ketangkap basah!” atau “Saya bakal dipecat!” atau yang lainnya. Apa pikiran-otomatis yang muncul dalam benak Anda? 

Pikiran-otomatis (automatic thoughts) terhadap situasi dipengaruhi oleh pikiran inti (core-beliefs) yang dimiliki seseorang.[10] Pikiran-inti merupakan pikiran paling dasar yang biasa dianggap sebagai kebenaran mutlak, bahwa seperti itulah adanya. Akan tetapi pikiran-inti tidak langsung menciptakan pikiran-otomatis. Pikiran-inti menciptakan lebih dulu pikiran-antara (intermediate-beliefs) yang terdiri dari: (1) asumsi-asumsi sebagai prediksi atas sebuah situasi; (2) sikap-sikap sebagai cara-pandang terhadap situasi, dan (3) aturan-aturan sebagai panduan untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Lalu pikiran-antara menghasilkan pikiran-otomatis. Sebagai contoh, ketika menghadapi situasi belajar yang menantang, orang dengan pikiran inti “saya tidak kompeten,” akan otomatis berpikir “Ini terlalu sulit. Saya tidak akan bisa menguasainya.” Pikiran otomatis lalu akan menimbulkan reaksi emosional, fisiologis dan perilaku. Dia mungkin mengalami cemas (emosi), perut kejang (fisiologis), dan berhenti belajar lalu memilih menonton televisi (perilaku). Untuk lebih memudahkan penggambaran, perhatikan diagram sederhana berikut:



Jadi, pikiran-inti menghasilkan pikiran-antara yang terdiri dari asumsi-asumsi, sikap-sikap dan aturan. Lalu pikiran-antara menghasilkan pikiran-otomatis dalam situasi tertentu (dalam kasus contoh di atas, situasinya adalah membaca buku teks kuliah). Kemudian pikiran-otomatis menghasilkan reaksi emosional, fisiologis dan perilaku. Pada gilirannya, reaksi-reaksi tersebut akan mempengaruhi balik pikiran-inti.
 
Untuk hidup bahagia dan sukses, seseorang harus memiliki pikiran-inti yang tepat atau fungsional atau produktif. Jika pikiran-inti tidak tepat atau disfungsional atau destruktif, seseorang tidak akan mencapai potensi tertingginya, dan bisa mengalami hidup yang tidak produktif. Alih-alih bahagia, mereka bisa mengalami berbagai permasalahan psikologis, seperti stres dan depresi. Tanpa pikiran-inti yang tepat dan fungsional, maka juga tidak ada grit yang tinggi, kontrol-diri yang tinggi dan advokasi-diri yang tinggi. Hanya dengan pikiran-inti yang sesuai saja, maka ketiganya bisa dimiliki. Kabar baiknya, seperti halnya kita bisa mengubah kelinci menjadi bebek dan sebaliknya, pikiran-inti bisa diubah. Dengan cara yang tepat, pikiran-inti bisa dimodifikasi. 

Sebagian pikiran-inti disfungsional mudah diubah, sebagian yang lain butuh waktu dan ketelatenan. Kenyataannya, banyak pikiran-inti disfungsional telah terbentuk sejak seseorang masih anak-anak, sebagai hasil pengasuhan orangtua, situasi dan budaya yang ada. Mengubahnya ibarat merestorasi lukisan: mengikis hati-hati cat lama, lapis-demi lapis, dan lalu dengan hati-hati menambahkan lapis demi lapis cat baru. Jadi meskipun semua bisa diubah, prosesnya tidak selalu mudah. Pengubahannya bisa melalui beragam metode intervensi, seperti melalui terapi/konseling individu atau kelompok, intervensi sistem pendidikan dan sosial secara menyeluruh, pengubahan pola asuh dan lainnya, termasuk melalui model intervensi-bijak. 

Salah satu bentuk ‘intervensi-bijak’ adalah intervensi terhadap para pasangan yang dilakukan oleh Denise Marigold, John Holmes dan Michael Ross, yang dilakukan melalui mengubah penilaian terhadap sebuah situasi. Teorinya, orang yang memiliki harga diri rendah cenderung memandang dirinya kurang berharga dan ironisnya juga sering menafikan pujian dari pasangannya sebagai hal yang tidak berarti. Situasi tersebut menyebabkan penarikan diri dan membuat kualitas hubungan memburuk. Intervensi psikologis apa yang dilakukan peneliti untuk memperbaiki hubungan itu? Apakah terapi pasangan oleh psikolog? Tidak! Yang dilakukan para peneliti adalah mengupayakan agar salah satu pasangan yang memiliki harga diri rendah bisa menerima pujian dari pasangannya. Caranya sederhana. Salah satu pasangan yang memiliki harga-diri rendah itu diminta untuk memikirkan satu buah pujian yang baru diberikan oleh pasangannya dan lalu ditanya, “Jelaskan mengapa pasanganmu memujimu. Jelaskan apa arti pujian itu bagimu dan apa signifikansinya bagi hubungan kalian.” Subjek menulis jawaban itu. Hasilnya terlihat ajaib. Hubungan menjadi lebih berkualitas hingga beberapa minggu kemudian.[11] Namun tentu saja, itu bukan keajaiban, melainkan hasil dari intervensi yang terukur dan presisi. 

Bagaimana melakukan ‘intervensi bijak’ untuk meningkatkan performa akademik? Tipikalnya berupa aktivitas-aktivitas yang tidak mengajarkan pelajaran akademik, melainkan menyasar cara berpikir dan merasa para pelajar/mahasiswa, serta menyasar cara pandang mereka tentang dirinya di dalam dunia akademik itu dan tentang dunia akademik itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah intervensi meningkatkan performa akademik dilakukan dengan cara mengubah cara pandang (mindset) terhadap kecerdasan. Para pelajar sekolah menengah mengikuti 8 sesi singkat yang mengajarkan mereka bahwa kecerdasan bersifat bisa diubah; bahwa cara kerja otak seperti otot yang terus menguat bila terus dilatih. Hasilnya, terjadi peningkatan tajam prestasi matematika hingga sepanjang tahun. Efek tersebut tidak terlihat pada pelajar yang hanya diajarkan keterampilan belajar.[12] Hal itu seolah bertentangan dengan kemasuk-akalan (common-sense), karena bukankah semestinya pelajar yang diajari keterampilan belajar yang prestasinya akan meningkat? Kenyataannya tidak. Justru pelajar yang tidak diajarkan keterampilan belajar yang prestasinya melonjak. Mengapa bisa demikian? 

Intervensi-bijak direncanakan matang dan didasarkan pada teori psikologis yang kokoh (well-founded theory), serta pemahaman mendalam mengenai akar permasalahan. Jadi, sebelum intervensi telah diketahui dengan persis atau dihipotesakan dengan kuat bahwa permasalahan A terjadi karena adanya faktor psikologis B. Dari situ bisa dibuat alat intervensi yang presisi, yang biasanya berupa aktivitas singkat dan pendek (sekali atau beberapa kali), untuk mengubah B. Oleh karena itu intervensi bisa benar-benar menghasilkan perubahan berarti meskipun aktivitas yang dilakukan seolah-olah —dari kacamata awam— jauh kaitannya. Jadi misalnya, ketika berupaya meningkatkan prestasi akademik dengan 8 sesi singkat pemberian informasi bahwa kecerdasan bisa diubah, itu bukan asal-asalan. Dasar teorinya kokoh, yakni bahwa growth-mindset, berupa pengetahuan bahwa kecerdasan bisa diubah melalui usaha (yang merupakan pikiran inti), akan mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras menguasai sebuah materi pelajaran. Tidak mengherankan jika hasilnya sesuai harapan, yakni peningkatan prestasi akademik.[13]

Cara berpikir tertentu (think) dan cara merasa tertentu (feel) dalam situasi tertentu merupakan sebuah kisah seorang individu dalam menjalani hidupnya. Ada orang yang memiliki kisah grit, kontrol-diri dan advokasi-diri yang rendah, dan ada kisah sebaliknya. Intervensi adalah proses mengedit cerita itu: agar kisah hidup yang dimilikinya menjadi kisah hidup yang produktif. Setidaknya ada 3 model pendekatan intervensi yang terbukti efektif dalam mengedit kisah hidup seseorang, yakni: (1) writing exercises (menulis), yakni individu menafsirkan ulang sebuah masalah dengan menuliskannya, (2) Story prompting, yakni orang diarahkan untuk berpikir dengan cara yang baru dalam menjelaskan dan memahami perilakunya sendiri, untuk mengganti pola berpikir disfungsional yang dimilikinya, dan (3) Do good, be good approach, yakni orang didorong untuk menciptakan tafsir baru terhadap dirinya sendiri dengan pertama-tama mengubah perilakunya terlebih dahulu, sesuai dengan ajaran kuno: “Keberanian muncul dengan bertindak berani.” Ketiganya menjadi inti aktivitas dalam intervensi-bijak. 


A wise intervention begins with a specific, well-founded psychological theory. This theoretical precision allows researchers to create a precise tool, often instantiated in a brief exercise, to change a specific psychological process in a real-world setting. —G.M. Walton (2014)


[1] Marigold, Holmes & Ross (2007) 
[2] Cohen, Garcia, Apfel & Master (2006) 
[3] Walton & Cohen (2011) 
[4] Harackiewicz, Rozek, Hulleman & Hyde (2012) 
[5] Untuk review, lihat Walton (2014), Cohen & Sherman (2014), Walton & Dweck (2009), Yeager & Walton (2011), Wilson (2006, 2011). Lihat juga Yeager, Walton & Cohen (2013). 
[6] Dikutip dari Yeager & Walton (2011). 
[7] Walton (2014). Dalam psikologi, intervensi sosial-psikologis yang digolongkan sebagai ‘intervensi bijak’ bukan merupakan satu-satunya jenis intervensi. Ada bentuk intervensi lainnya. Di sini ditekankan jenis intervensi tersebut karena sifatnya yang sederhana dan bisa dilakukan dengan relatif mudah oleh siapa saja yang berminat. 
[8] Lihat Cohen & Sherman (2014) dan Wilson (2006). 
[9] Mengikuti Model Kognitif yang menjadi landasan bagi model terapi psikologi ‘Rational Emotive-Behavior Therapy” dari Albert Ellis, dan “Cognitive Therapy’ serta ‘Cognitive Behavior-Therapy’ dari Aaron T. Beck yang memiliki asumsi dasar bahwa emosi, perilaku dan fisiologis dipengaruhi oleh persepsi/tafsir terhadap sebuah situasi bukan oleh situasi itu sendiri. Cara berpikir seseorang terhadap situasi (bisa peristiwa nyata atau imajinatif atau hanya pikiran) dibentuk oleh bahasa, evaluasi, pemaknaan dan filosofi tentang dunia, dirinya dan orang lain. Terapi bertujuan agar seseorang bisa mengenali skema pikiran yang negatif atau tidak konstruktif atau destruktif atau melemahkan diri sendiri (self-defeating) dan memahami konsekuensinya terhadap emosi serta perilaku. Setelah itu, dilakukan pengubahan yang diperlukan agar muncul cara berpikir yang akurat dan tepat, respon emosional dan fisiologis yang sesuai, serta perilaku yang produktif. Lihat Beck (2005, 2011), Christner, Stewart & Freeman (eds.) (2007), Free (2007), Farmer & Chapman (2008), Persons (2008), Ellis & Dryden (1997), Ellis & Bernard (eds.) (2006), Dryden (ed.) (2003), Dryden & Neenan (2004), Dryden & Branch (2008). 
[10] Mengikuti model terapi kognitif dari Aaron T. Beck. Lihat Beck (2005, 2011). 
[11] Marigold, Holmes & Ross (2007) 
[12] Lihat Blackwell, Trzesniewski & Dweck (2007) 
[13] Ada banyak model intervensi populer yang hasilnya tidak terbukti atau bahkan menimbulkan kerugian, seperti misalnya yang terdapat dalam berbagai buku self-help populer, seperti buku Stephen Covey (7 Habit), Rhonda Byrne (The Secret). Demikian juga berbagai kegiatan outbond/outdoor training yang diklaim memiliki efektivitas tinggi oleh para vendor penyedia jasa training, yang meskipun kuat dikenang (memorable), efektivitas sebenarnya diragukan —kecuali untuk peningkatan keterikatan sesama anggota tim. Lihat misalnya Wagner (1995). Ironisnya, di tahun 2006 saja, industrinya sendiri sudah mencapai 9,6 Miliar USD atau sekitar 100 triliun rupiah. Lihat Wilson (2011) untuk review beberapa model intervensi populer yang meskipun masuk akal tapi tidak efektif dan malah merugikan.


Referensi

Beck, J.S. (2005). Cognitive Therapy for Challenging Problems: What to do when the basics don’t work. New York: Guilford Press.
Beck, J.S. (2011). Cognitive Therapy: Basics and beyond, 2nd ed. New York: Guilford Press.
Beck, D., & Purcell, R. (2010). Popular Education Practice for Youth and Community Development Work. Exeter: Learning Matters Ltd.
Blackwell, L.S., Trzesniewski, K.H., & Dweck, C.S. (2007). Implicit theories of intelligence predict achievement across an adolescent transition: A longitudinal study and an intervention. Child Development, 78, 1, 246 – 263.
Christner, R.W., Stewart, J.L., & Freeman, A. (eds.) (2007). Handbook of Cognitive-Behavior Group Therapy with Children and Adolescents: Specific settings and presenting problems. New York: Routledge.
Cohen, G.L., Garcia, J., Apfel, N., & Master, A. (2006). Reducing the racial achievement gap: A social-psychological intervention. Science, 313, 1307-1310.
Cohen, G.L., & Sherman, D.K. (2014). The psychology of change: Self-affirmation and social psychological intervention. Annual Review of Psychology, 65, 333–71.
Dryden, W. (ed.) (2003). Rational Emotive Behavior Therapy: Theoretical developments. New York: Brunner-Routledge.
Dryden, W., & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A training handbook, 2nd ed. West Sussex: John Wiley & Sons.
Dryden, W., & Neenan, M. (2004). Rational Emotive Behavior Therapy: Approach to therapeutic change. London: Sage.
Ellis, A., & Bernard, M.E. (eds.) (2006). Rational Emotive Behavioral Approaches to Childhood Disorders: Theory, practice, and research. New York: Springer.
Ellis, A., & Dryden, W. (1997). The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. New York: Springer.
Farmer, R.F., & Chapman, A.L. (2008). Behavioral Interventions in Cognitive Behavior Therapy: Practical guidance for putting theory into action. Washington DC.: American Psychological Association.
Free, M.L. (2007). Cognitive Therapy in Groups: Guidelines and resources for practice, 2nd ed. New York: John Wiley & Sons.
Harackiewicz, J.M., Rozek, C.S., Hulleman, C.S., & Hyde, J.S. (2012). Helping parents to motivate adolescents in mathematics and science: An experimental test of a utility-value intervention. Psychological Science, 23, 8, 899-906.
Harackiewicz, J.M., & Hulleman, C.S. (2010). The importance of interest: The role of achievement goals and task values in promoting the development of interest. Social and Personality Psychology Compass, 4, 1, 42–52.
Hulleman, C.S., & Harackiewicz, J.M. (2009). Promoting interest and performance in high school science classes. Science, 326, 1410-1412.
Hulleman, C.S., Godes, O., Hendricks, B.L., & Harackiewicz, J.M. (2010). Enhancing interest and performance with a utility value intervention. Journal of Educational Psychology, 102, 880-895.
Marigold, D.C., Holmes, J.G., & Ross, M. (2007). More than words: Reframing compliments from romantic partners fosters security in low self-esteem individuals. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 2, 232–248.
Walton, G.M. (2014). The new science of wise psychological interventions. Current Directions in Psychological Science, 23, 1, 73–82.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2007). A question of belonging: Race, social fit, and achievement. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 1, 82–96.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2011). A brief social-belonging intervention improves academic and health outcomes of minority students. Science, 331, 1447-1451.
Walton, G.M., & Dweck, C.S. (2009). Solving social problems like a psychologist. Psychological Science, 4, 1, 101-102.
Wilson, T.D. (2006). The power of social psychological interventions. Science, 313, 1251-1252.
Wilson, T.D. (2011). Redirect: The surprising new science of psychological change. New York: The Penguin Press
Yeager, D.S., & Walton, G.M. (2011). Social-psychological interventions in education: They’re not magic. Review of Educational Research, 81, 2, 267-301.
Yeager, D.S., Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2013). Addressing achievement gaps with psychological interventions. Kappan, 95, 5, 62-65.