11.11.18

Growth-Mindset: Semua bisa diubah melalui usaha

Growth-Mindset: Semua bisa diubah melalui usaha



Achmanto Mendatu




“I don’t divide the world into the weak and the strong, or the successes and the failures. . . . I divide the world into the learners and nonlearners.” 
—Benjamin Barber, sociologist 


Apa faktor yang mendorong terbentuknya grit? Yang terpenting adalah pola pikir bertumbuh atau growth-mindset. 

Term growth-mindset tercetus dari penelitian yang dilakukan oleh Carol S. Dweck, Profesor Psikologi dari Universitas Stanford, AS, terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam kehidupan.[1] Hasil penelitiannya selama beberapa dekade berhasil membuktikan bahwa yang membedakan seseorang sukses dan kurang sukses adalah soal belajar: mereka yang sukses adalah orang yang terus menerus belajar (learner), sedangkan orang yang kurang sukses berhenti belajar (nonlearner). Para pembelajar terus menerus meningkatkan dirinya, dan belajar dari lingkungan serta dari kesalahan-kesalahannya. Alhasil, kemampuan dan karakter pribadinya terus berkembang. Sebaliknya, non-pembelajar hanya belajar sampai tahap tertentu, lalu berhenti. Mereka sudah merasa cukup dengan pengetahuan/keterampilan yang dimilikinya serta puas dengan dirinya. Pertanyaannya, mengapa ada orang yang berkembang menjadi pembelajar dan ada yang tumbuh menjadi non-pembelajar? Dweck menemukan bahwa perbedaan itu berakar dari pola pikir (mindset) yang berbeda. Hasil risetnya memperlihatkan adanya dua garis besar pola pikir, yakni growth-mindset (pola pikir bertumbuh) dan fixed-mindset (pola pikir tak bertumbuh atau statis). Growth-mindset adalah pola pikir yang menyebabkan seseorang menjadi pembelajar sepanjang hayat dan sukses, sedangkan fixed-mindset adalah pola pikir yang menyebabkan seseorang berhenti belajar di titik tertentu dalam hidupnya sehingga cenderung tidak bisa memaksimalkan potensinya. Growth-mindset adalah pola pikir sukses, sedangkan fixed-mindset adalah pola pikir kegagalan. Ini bukan berarti bahwa orang dengan fixed-mindset akan selalu gagal. Mereka bisa sangat berhasil karena memiliki ambisi tinggi untuk sukses agar terlihat cerdas, namun mereka sangat rentan terhadap kegagalan. Apabila ada kegagalan, mereka sulit untuk bangkit kembali. 

Growth-mindset adalah keyakinan bahwa kualitas dasar yang dimiliki seseorang bisa terus ditingkatkan melalui usaha. Orang yang memiliki growth-mindset percaya bahwa meskipun setiap orang berbeda  dalam hal bakat, sikap, minat, temperamen dan karakter, namun setiap orang bisa mengubah dirinya dan mengembangkan diri melalui latihan dan belajar serta melalui pengalaman. Lawan growth-mindset, yakni fixed-mindset adalah keyakinan bahwa kualitas dasar yang dimiliki seseorang bersifat menetap begitu adanya tanpa bisa diubah-ubah lagi: bahwa kemampuan dasar, kecerdasan, bakat dan karakter sudah begitu adanya dan tidak bisa dikembangkan/ditumbuhkan lagi. Perbedaan kunci antara growth-mindset dengan fixed-mindset terletak pada keyakinan mengenai kecerdasan/inteligensi. 


Perbedaan kunci growth-mindset vs fixed-mindset 

Growth-Mindset 
  • Yakin bahwa kecerdasan bisa terus menerus ditingkatkan melalui belajar terus menerus 
  • Yakin bahwa meskipun setiap orang berbeda-beda —dalam bakat, sikap, minat, temperamen, karakter— setiap orang bisa berubah dan berkembang melalui latihan/belajar dan pengalaman.
Fixed-Mindset 
  • Yakin bahwa kecerdasan bersifat bawaan yang sudah tidak bisa ditingkatkan lagi. 
  • Yakin bahwa setiap orang terlahir berbeda-beda —dalam bakat, sikap, minat, temperamen, karakter— dan akan tetap seperti itu tanpa bisa diubah secara signifikan. 
Orang growth-mindset menganggap performa sebagai cerminan usaha/latihan (misalnya, nilai rapor saya jelek karena kurang belajar). Sebaliknya, bagi orang fixed-mindset, performa dianggap sebagai cerminan dari sifat/kualitas dasarnya (misalnya, nilai IP saya rendah karena saya bodoh). Perbedaan cara melihat kualitas dasar dan usaha itu melahirkan perbedaan kebutuhan. Orang dengan growth-mindset menjadi memiliki kebutuhan internal untuk terus menerus belajar/berusaha. Sebaliknya, orang dengan fixed-mindset memiliki kebutuhan internal untuk terlihat cerdas sepanjang waktu dan untuk tidak terlihat bodoh. Konsekuensi dari perbedaan kebutuhan itu melahirkan perbedaan dalam menanggapi tantangan, hambatan, usaha, kritik, melihat kesuksesan oranglain, dan dalam upaya mencapai hasil. 


Perbedaan cara menanggapi antara growth-mindset vs fixed-mindset 

Growth-Mindset 
Agar terus semakin cerdas, maka: 
  • Menerima tantangan (karena kesempatan untuk belajar) 
  • Ketika menemui hambatan akan proaktif dan tidak mau menyerah (karena kegagalan bagian dari belajar) 
  • Memandang usaha sebagai langkah utama untuk penguasaan/kebisaan (karena tidak ada penguasaan/kebisaan tanpa usaha, penguasaan/kebisaan tergantung usaha) 
  • Belajar dari umpan-balik negatif yang berguna (karena kritik akan membantu saya menjadi lebih baik, dan kritik adalah bagian dari pembelajaran)
  • Mendapatkan pelajaran serta inspirasi dari kesuksesan orang lain (karena saya bisa belajar dari mereka)
  • Hasil bukan tujuan utama, yang utama adalah belajar. Mereka tidak akan mau berbuat curang untuk mendapat hasil bagus.

Fixed-Mindset 
Agar tidak terlihat tidak cerdas, maka: 
  • Menghindari tantangan yang sulit (karena tidak ingin gagal). 
  • Ketika menemui hambatan akan defensif atau menyerah dengan mudah (karena kalau saya berusaha keras dan tetap gagal, maka kegagalan itu salah saya padahal kegagalan tidak akan pernah jadi kesalahan saya) 
  • Memandang usaha tidak terlalu penting artinya (karena kalau saya harus berusaha keras, berarti saya tidak cerdas, karena penguasaan/kebisaan tergantung pada kecerdasan/bakat) 
  • Mengabaikan umpan-balik negatif yang berguna (karena butuh pengembangan berarti saya gagal pada saat pertama, yang berarti saya kurang cerdas) 
  • Merasa terancam (tidak senang) dengan kesuksesan orang lain (karena mereka mungkin membuka keterbatasan saya sendiri: “dia bisa, saya tidak!”) 
  • Yang penting hasil, sehingga rela berbuat apa saja, termasuk berbuat curang, untuk mendapatkan hasil bagus. 
Akibat cara menanggapi yang negatif, orang yang memiliki fixed-mindset sulit untuk mengembangkan potensinya. Mereka tergerak untuk berbuat sesuatu jika sesuatu itu terasa dalam jangkauannya dan dirinya tetap merasa ‘smart’ dan ‘bertalenta’. Jika sesuatu itu terlalu menantang dan membuat mereka tidak merasa ‘smart’ atau ‘bertalenta’, mereka pun kehilangan minat. Mengapa? Sebab ada potensi gagal, sedangkan menurut mereka, “orang cerdas” harus selalu sukses. Sebaliknya, orang dengan growth-mindset lebih mudah mengembangkan potensi dirinya. Buat mereka, yang penting adalah belajar. Mereka meyakini bahwa kemampuan dan talentanya bisa terus ditingkatkan melalui usaha dan kegigihan. Mereka paham bahwa tidak setiap orang sama atau bisa menjadi seperti Einstein, seperti Tiger Woods, seperti Bill Gates, tetapi mereka percaya bahwa setiap orang bisa lebih cerdas dan lebih baik jika mau mengupayakannya. Pada saat menekuni sesuatu, misalnya sedang menjadi seorang pelajar/mahasiswa, atau sedang bekerja di sebuah perusahaan, atau yang lainnya, orang dengan growth-mindset akan berpikir:
  • Saya bisa sukses di sini 
  • Kemampuan dan kompetensi saya akan berkembang seiring usaha 
  • Yang saya lakukan ini bernilai bagi saya (karena penting, karena menikmatinya atau karena bermakna) 
  • Saya merupakan bagian dari sekolah/kampus/komunitas ini 

Salah satu faktor penting yang menyebabkan pola-pikir growth-mindset menelurkan sukses adalah menghasilkan kegigihan (resilience).[2] Berkat pola-pikirnya itu, seseorang dengan growth-mindset akan mencoba terus hingga sesuatu berhasil dikuasai atau lebih baik. Mereka tahu bahwa tidak ada batasan bagi dirinya untuk menguasai sesuatu hal. Maka, mereka pun menjadi seseorang yang pantang menyerah. Jika gagal, dicoba lagi. Apabila dirangkum dalam sebuah kalimat, orang yang memiliki growth-mindset adalah orang yang percaya sepenuhnya bahwa kualitas dirinya bisa terus menerus ditingkatkan menjadi lebih baik. Maka, mereka pun terus belajar. Jika growth-mindset dirangkum dalam satu frase, maka frase itu adalah “selalu bisa lebih baik!” 

Seperti halnya grit dan kontrol-diri, growth-mindset berkorelasi positif dengan pencapaian akademik maupun non-akademik.[3] Dalam jangka panjang, pelajar yang memiliki growth-mindset memiliki prestasi yang terus berkembang meninggalkan pelajar yang memiliki fixed-mindset. Pada saat yang sama, mereka juga lebih mungkin terhindar dari stres akibat perlakuan buruk dari orang lain (misalnya dinakali, dicurangi, di-‘bully’) atau akibat kegagalan, karena mereka percaya bahwa semua orang dan keadaan bisa diubah. Alhasil, mereka pun lebih mudah bangkit dari kesulitan dan kegagalan yang menimpa. Saat terhalang, mereka jalan terus. 

Diketahui, orangtua yang memiliki growth-mindset lebih terlibat membantu anaknya belajar dan meraih prestasi yang lebih baik, sehingga anak-anaknya juga lebih berprestasi.[4] Mereka juga mengajarkan anak-anaknya tentang growth-mindset, sehingga orangtua dengan growth-mindset juga cenderung melahirkan anak-anak yang memiliki growth-mindset. Salah satu ciri khas pola asuh dari orangtua growth-mindset adalah hanya memuji anak atas proses usaha yang dilakukan anak untuk menyelesaikan tugas hingga berhasil, misalnya “Kamu telah berusaha keras!”, “Kamu pasti menyenanginya!”. Mereka menghindari pujian yang fokus pada aspek-aspek yang sifatnya stabil, seperti kecerdasan. Mereka tidak akan bilang, “Kamu anak pintar!”, “Kamu cerdas!” Ketika seorang anak berhasil menyelesaikan sebuah tugas yang rumit, orangtua dengan growth-mindset akan memuji dengan mengaitkan pada usaha, “Kamu pasti telah berusaha keras menyelesaikannya!” Di sisi lain, orangtua dengan fixed-mindset akan memuji dengan mengaitkan pada kemampuan, “Kamu pasti cerdas karena bisa menyelesaikannya!” 

Seseorang yang memiliki growth-mindset dalam dirinya belum tentu memiliki pemikiran serupa terhadap orang lain. Sebagian orang hanya memiliki growth-mindset untuk dirinya sendiri saja, tapi memiliki fixed-mindset untuk orang lain. Pada saat mereka tahu bahwa dirinya bisa terus berkembang dan tidak sempurna, mereka mengharapkan oranglain selalu sempurna.[5]

Growth-mindset akan mendorong terbentuknya kontrol-diri dan grit.[6] Lalu, kontrol-diri dan grit akan membuat seseorang belajar/berlatih disengaja untuk meningkatkan performanya (deliberate practice). 


Rasa Memiliki (Sense of Belonging) 

Growth-mindset menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) dengan suatu subjek/bidang yang dipelajari/dikerjakannya dan pada kelompok tempatnya berada.[7] Semakin tinggi rasa memiliki, semakin besar peluang seseorang untuk sukses dalam subjek tersebut karena mendorong seseorang lebih berdisiplin dan lebih grit untuk menguasainya. Seorang mahasiswa yang merasa menjadi bagian dari jurusannya, dan mendaku dengan bangga jurusan tempatnya kuliah akan lebih besar peluangnya untuk memiliki nilai akademik tinggi. Seorang pesepakbola yang memiliki rasa memiliki tinggi terhadap sepakbola dan merasa menjadi bagian dari keluarga besar pesepakbola, akan lebih berhasil karir sepakbolanya. Seorang ilmuwan yang merasa memiliki bidang yang ditekuninya juga akan lebih berhasil dalam penelitiannya. 

Sebagian orang menyebut rasa memiliki itu sebagai hasrat atau passion atau kecintaan atau panggilan (calling). Orang yang telah menemukan passion-nya, sebenarnya berarti bahwa mereka telah menyadari mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap sebuah subjek/bidang. Dan alih-alih bisa ditemukan di “luar sana”, passion sebenarnya baru akan muncul melalui penguasaan terhadap subjek (mastery). Jadi, passion harus dibangun sendiri. Cari sebuah topik atau bidang dan dalami sungguh-sungguh. Seiring semakin dalam penguasaan di bidang itu, rasa memiliki alias passion akan muncul dengan sendirinya. Itu mengapa Anda tidak bisa memiliki passion pada bidang yang Anda pikir tidak bisa menguasainya dengan baik. Passion hanya muncul pada hal yang memang kita kuasai. 

Rasa memiliki akan sulit berkembang apabila seseorang mengalami ancaman-stereotip (stereotype threat), yakni pengalaman kecemasan dalam sebuah situasi di mana seseorang memiliki potensi untuk membenarkan stereotip negatif tentang dirinya atau kelompoknya. Ancaman-stereotip membuat seseorang tidak bisa menunjukkan performa terbaiknya di subjek yang dikenai stereotip.[8] Akibatnya, karena merasa tidak bagus dalam subjek tersebut, seseorang gagal membangun rasa memiliki terhadapnya. Sebagai ilustrasi, seorang mahasiswa perempuan sadar dengan stereotip bahwa mahasiswa pria lebih tinggi performanya dalam matematika. Ketika ikut ujian matematika yang semua pesertanya perempuan seperti dirinya, nilainya tinggi. Saat itu, dia tidak merasa terancam. Peserta ujian lain sama dengan dirinya. Akan tetapi ketika sebagian mahasiswa yang ikut ujian adalah pria, nilainya anjlok. 

Mengapa nilai ujian si mahasiswa perempuan bisa anjlok? Sebab konteksnya berubah. Sebelumnya, ketika bersama mahasiswa perempuan yang lain, dia berada dalam situasi non-stereotip sehingga bisa maksimal performanya. Ketika bersama mahasiswa pria, situasinya berubah menjadi situasi stereotip. Akibatnya, si mahasiswa perempuan tadi membagi perhatian antara melakukan tes matematika dan kekuatiran terlihat sesuai dengan stereotip bahwa perempuan kalah mampu dibanding pria. Kekuatiran itu memicu perubahan fisiologis dalam tubuh dan otak (khususnya peningkatan detak jantung seperti ketika merasa terancam dan pengaktifan bagian otak yang mengatur pengelolaan emosi), respon kognitif (khususnya monitoring perfoma yang bisa membenarkan stereotip, seperti misalnya, “Oh tidak, saya kesulitan dalam soal ini; mungkin stereotip itu benar!”) dan respon afektif (khususnya untuk menekan keraguan-diri akibat pikiran stereotip). Alhasil, kapasitas kognitif yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk mengerjakan tugas malah terbagi untuk hal lainnya. Maka, nilainya pun melorot. 

Ada banyak stereotip negatif (juga prasangka dan stigma, serta harapan sosial negatif) yang berpotensi menimbulkan ancaman-stereotip. Sebagai contoh, ada stereotip bahwa perempuan lebih lemah kemampuannya dalam matematika; bahwa siswa etnis tionghoa lebih cerdas dari etnis lainnya; bahwa siswa dari keluarga sosial-ekonomi atas lebih cerdas dari siswa yang berasal dari keluarga sosial-ekonomi bawah; bahwa engineer perempuan tidak bisa sebaik engineer pria; bahwa etnis jawa takut mengambil risiko; bahwa etnis dayak tidak memiliki ketekunan, dan lain sebagainya. Ketimpangan pencapaian prestasi antar kelompok banyak disebabkan oleh stereotip-stereotip itu. Bukan saja stereotip menyebabkan prestasi lebih rendah dari potensinya saat menjalani tes dan ujian (underachiever), tetapi juga mengakibatkan pembatasan pilihan karir (misalnya, “Saya kan perempuan, meskipun engineer, saya tidak cocok di lapangan!”), mengurangi performa dalam mengerjakan tugas (misalnya, “Saya pasti buruk dalam menyetir. Tidak ada perempuan yang bisa jago menyetir!), meningkatkan penggunaan strategi yang mengurangi performa, seperti mengurangi waktu berlatih/belajar dan menganggap tugas yang dijalani tidak penting baginya (misalnya, “Buat apa berlatih/belajar, toh orang miskin seperti saya memang tidak akan bisa seperti mereka yang kaya. Lagipula, nilai akademik tidak penting buat saya!”), mengurangi keterikatan dan identifikasi dengan sebuah subjek/bidang yang terancam oleh stereotip (misalnya, seorang engineer perempuan berkata “Saya tidak melihat pekerjaan sebagai engineer itu penting. Saya lebih mengutamakan keluarga saya), dan mengubah identitas serta aspirasi profesional/pekerjaan (misalnya, seorang mahasiswa perempuan jurusan teknik berkata “Saya lebih baik mengubah karir karena dunia teknik tidak sesuai dengan saya!”). Jadi, bukan hanya mempengaruhi rasa memiliki, ancaman-stereotip secara langsung mempengaruhi motivasi dan juga kontrol-diri serta berbagai domain lainnya yang mempengaruhi sukses. Oleh karena itu dampaknya terhadap raihan sukses bisa sangat besar. Perbedaan raihan prestasi antara 2 kelompok —antara perempuan dan pria, antara etnis satu dan etnis lainnya, antara kelas sosial-ekonomi atas dengan kelas sosial-ekonomi bawah, dan lainnya— salah satunya disebabkan karena faktor stereotip tersebut: mereka yang terkena stereotip negatif akan lebih rendah pencapaiannya. Oleh karena itu, ancaman steretotip harus dilenyapkan untuk menutup celah pencapaian prestasi antara dua kelompok orang. 




[1] Kupasan lengkap tentang growth-mindset bisa ditemukan dalam Dweck (2006), yang menjadi salah satu buku best-seller di dunia. 
[2] Yeager & Dweck (2012). 
[3] Tentang pengaruh growth-mindset, lihat diantaranya Mueller & Dweck (1998), Aronson, Fried & Good (2002), Good, Aronson & Inzlicht (2003), Dweck (2006, 2007, 2012), Mangels, dkk. (2006), Blackwell, Trzesniewski & Dweck (2007), Cimpian, dkk. (2007), Morisano, Hirsh, dkk. (2010), Rattan & Dweck (2010) Yeager & Walton (2011), Cimpian, Mu & Erickson (2012), Yeager & Dweck (2012). 
[4] Tentang pengaruh orangtua dengan growth-mindset, lihat Moorman & Pomerantz (2010), Jose & Bellamy (2012), Pomerantz & Kempner (2013). Lihat juga Mueller & Dweck (1998). 
[5] Dweck (2006, 2012) 
[6] Bukan satu-satunya faktor. Ada faktor lainnya yang mendorong terbentuknya kontrol-diri dan grit. Lihat referensi mengenai keduanya. 
[7] Tentang rasa memiliki (sense of belonging) dan dampaknya, lihat diantaranya Aronson, Fried & Good (2002), Cashmore, Scott & Cane (2006), Good, Rattan & Dweck (2007, 2012), Walton & Cohen (2007, 2011), Cohen & Garcia (2008), Good, Dweck, & Rattan (2008), Tovar & Simon (2010), Walton, dkk. (2012). 
[8] Lebih jauh tentang dinamika ancaman-stereotip (dan prasangka serta stigma) terhadap pencapaian prestasi/sukses, apa saja yang dipengaruhi olehnya serta bagaimana mekanismenya, lihat diantaranya Steele (1997), Inzlicht & Ben-Zeev (2003), Aronson & Inzlicht (2004), Ben-Zeev, Fein & Inzlicht (2005), Cohen & Garcia (2005, 2008), Inzlicht, dkk. (2006), Inzlicht & Good (2006), Inzlicht, McKay & Aronson (2006), Foor, Walden & Trytten (2007), Walton & Cohen (2007), Inzlicht, Kaiser & Major (2008), Johns, Inzlicht & Schmader (2008), Cohen, dkk. (2009), Inzlicht, Aronson & Mendoza-Denton (2009), Logel, dkk. (2009), Walton & Spencer (2009), Gutsell & Inzlicht (2010), Inzlicht & Kang (2010), Miyake, dkk. (2010), Inzlicht, dkk. (2011), Logel, dkk. (2012), Stoet & Geary (2012), Ganley, dkk. (2013), Walton, Spencer & Erman (2013).


Referensi:
Aronson, J. (ed.) (2002). Improving academic achievement: Impact of psychological factors on education. Amsterdam: Academic Press.
Aronson, J., & Inzlicht, M. (2004). The ups and downs of attributional ambiguity: Stereotype vulnerability and the academic self-knowledge of African-American students. Psychological Science, 15, 12, 829-836.
Aronson, J., Fried, C. B., & Good, C. (2002). Reducing the effect of stereotype threat on African American college students by shaping theories of intelligence. Journal of Experimental Social Psychology, 38, 113-125.
Ben-Zeev, T., Fein, S., & Inzlicht, M. (2005). Arousal and stereotype threat. Journal of Experimental Social Psychology, 41, 174-181.
Blackwell, L.S., Trzesniewski, K.H., & Dweck, C.S. (2007). Implicit theories of intelligence predict achievement across an adolescent transition: A longitudinal study and an intervention. Child Development, 78, 1, 246 – 263.
Cashmore, A., Scott, J., & Cane, C. (2006). “Belonging” and “intimacy” factors in the retention of students: An investigation into the student perceptions of effective practice and how that practice can be replicated. University of Leicester: What Works? Student Retention & Success. Diunduh dari http://www.heacademy.ac.uk/assets/documents/what-works-student-retention/Leicester_What_Works_ Final_Report.pdf
Cimpian, A.C, Arce, H.C., Markman, E.M., & Dweck, C.S. (2007). Subtle linguistic cues affect children’s motivation. Psychological Science, 18, 4, 314-316.
Cimpian, A.C., Mu, Y., & Erickson, L.C. (2012). Who is good at this game? Linking an activity to a social category undermines children’s achievement. Psychological Science, 23, 5, 533–541.
Cimpian, A.C, Arce, H.C., Markman, E.M., & Dweck, C.S. (2007). Subtle linguistic cues affect children’s motivation. Psychological Science, 18, 4, 314-316.
Cimpian, A.C., Mu, Y., & Erickson, L.C. (2012). Who is good at this game? Linking an activity to a social category undermines children’s achievement. Psychological Science, 23, 5, 533–541.
Cohen, G.L., & Garcia, J., (2005). “I am us”: Negative stereotypes as collective threats. Journal of Personality and Social Psychology, 89, 4, 566–582.
Cohen, G.L., & Garcia, J., (2008). Identity, belonging, and achievement: A model, interventions, implications. Current Directions in Psychological Science, 17, 6, 365-369.
Cohen, G.L., & Sherman, D.K. (2014). The psychology of change: Self-affirmation and social psychological intervention. Annual Review of Psychology, 65, 333–71.
Cohen, G.L., Garcia, J., Apfel, N., & Master, A. (2006). Reducing the racial achievement gap: A social-psychological intervention. Science, 313, 1307-1310.
Cohen, G.L., Garcia, J., Purdie-Vaugns, V., Apfel, N., & Brzustoski, P. (2009). Recursive processes in self-affirmation: Intervening to close the minority achievement gap. Science, 324, 400–403.
Dweck, C.S. (2006). Mindset: The new psychology of success. New York: Random House.
Dweck, C.S. (2007). The secret to raising smart kids. Scientific American Mind, 18, 6, 36-43.
Dweck, C.S. (2008). Can personality be changed? The role of beliefs in personality and change. Current Directions in Psychological Science, 17, 6, 391-394.
Dweck, C.S. (2012). Boosting achievement with messages that motivate. Education Canada, Spring 07, 6-10.  Diunduh dari http://lib.usf.edu /tutoring/files/2012/02/Boosting_Achievement_Spring07-Dweck.pdf
Dweck, C.S., Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2006). Academic tenacity: Mindsets and skills that promote long-term learning. Makalah dipresentasikan di Gates Foundation, Seattle, WA. Diunduh dari http://www.stanford.edu/~gwalton/home/ Welcome_files/Dweck,%20Walton,%20%26%20Cohen,%202011.pdf
Foor, C.E., Walden, S.E., & Trytten, D.A. (2007). “I wish that i belonged more in this whole engineering group:” Achieving individual diversity. Journal of Engineering Education, 103-115.
Ganley, C.M., Mingle, L.A., Ryan, A.M., Ryan, K., Vasilyeva, M., & Perry, M. (2013). An examination of stereotype threat effects on girls' mathematics performance. Developmental Psychology. Advance online publication, Doi: 10.1037/a0031412. Diunduh dari https://dl.dropboxusercontent.com/u/85192141/2013-ganley.pdf
Good, C., Aronson, J., & Inzlicht, M. (2003). Improving adolescents’ standardized test performance: An intervention to reduce the effects of stereotype threat. Journal of Applied Developmental Psychology, 24, 645-662.
Good, C., Rattan, A., & Dweck, C.S. (2012). Why do women opt out? Sense of belonging and women’s representation in mathematics. Journal of Personality and Social Psychology, 102, 4, 700–717.
Gutsell, J.N., & Inzlicht, M. (2010). Empathy constrained: Prejudice predicts reduced mental simulation of actions during observation of outgroups. Journal of Experimental Social Psychology, 46, 841-845.
Gutsell, J.N., & Inzlicht, M. (2014). A neuroaffective perspective on why people fail to live a sustainable lifestyle. Dalam Hans C.M. van Trijp (ed.), Encouraging Sustainable Behavior: Psychology and the environment, hal. 137-151. New York: Psychology Press.
Inzlicht, M., & Ben-Zeev, T. (2003). Do high-achieving female students underperform in private? The implications of threatening environments on intellectual processing. Journal of Educational Psychology, 95, 4, 796-805.
Inzlicht, M., & Good, C. (2006). How environments threaten academic performance, self-knowledge, and sense of belonging. Dalam S. Levin & C. van Laar (eds.), Stigma and Group Inequality: Social Psychological Approaches, hal. 129-150. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Inzlicht, M., & Kang, S.K. (2010). Stereotype threat spillover: How coping with threats to social identity affects, aggression, eating, decision-making, and attention. Journal of Personality and Social Psychology, 99, 3, 467-481.
Inzlicht, M., Aronson, J., & Mendoza-Denton, R. (2009).  On being the target of prejudice: Educational implications.  Dalam F. Butera & J. Levine (eds.), Coping with Minority Status: Responses to exclusion and inclusion, hal. 13-36. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Inzlicht, M., Aronson, J., Good, C., & McKay, L. (2006). A particular resiliency to threatening environments. Journal of Experimental Social Psychology, 42, 323-336.
Inzlicht, M., McKay, L., & Aronson, J. (2006). Stigma as ego depletion: How being the target of prejudice affects self-control. Psychological Science, 17, 3, 262-269.
Inzlicht, M., Tullet, A.M., & Good, M. (2012). The need to believe: A neuroscience account of religion as a motivated process. Religion, Brain & Behavior, 1, 3, 192-251.
Inzlicht, M., Tullett, A.M., Legault, L., & Kang, S.K. (2011). Lingering effects: Stereotype threat hurts more than you think. Social Issues and Policy Review, 5, 1, 227-256.
Johns, M., Inzlicht, M., & Schmader, T. (2008). Stereotype threat and executive resource depletion: The influence of emotion regulation.  Journal of Experimental Psychology: General, 137, 4, 691-705.
Jose, P.E., & Bellamy, M.A. (2012). Relationships of parents’ theories of intelligence with children’s persistence/learned helplessness: A cross-cultural comparison. Journal of Cross-Cultural Psychology, 43, 6, 999–1018.
Logel, C., & Cohen, G.L. (2012). The role of the self in physical health: Testing the effect of a values-affirmation intervention on weight loss. Psychological Science, 23, 1, 53-55.
Logel, C.R., Walton, G.M., Spencer, S.J., Iserman, E.C., von Hippel, W., & Bell, A.E. (2009). Interacting with sexist men triggers social identity threat among female engineers. Journal of Personality and Social Psychology, 96, 6, 1089–1103.
Mangels, J.A., Butterfield, B., Lamb, J., Good, C., & Dweck, C.S. (2006). Why do beliefs about intelligence influence learning success? A social cognitive neuroscience model. SCAN, 1, 75–86.
Miyake, A., Kost-Smoth, L.E., Finkelstein, N.D., Pollock, S.J., Cohen, G.L., & Ito, A. (2010). Reducing the gender achievement gap in college science: A classroom study of values affirmation. Science, 330, 1234–1237.
Moorman, E.A., & Pomerantz, E.M. (2010). Ability mindsets influence the quality of mothers’ involvement in children’s learning: An experimental investigation. Developmental Psychology, 46, 5, 1354–1362.
Morisano, D., Hirsh, J.B., Peterson, J.B., Pihl, R.O., & Shore, B.M. (2010). Setting, elaborating, and reflecting on personal goals improves academic performance. Journal of Applied Psychology, 95, 2, 255–264.
Mueller, C.M., & Dweck, C.S. (1998). Praise for intelligence can undermine children's motivation and performance. Journal of Personality and Social Psychology, 75, 1, 33-52.
Pomerantz, E.M., & Kempner, S.G. (2013). Mothers' daily person and process praise: Implications for children's theory of intelligence and motivation. Developmental Psychology. Advance online publication. doi: 10.1037/a0031840
Rattan, A., & Dweck, C.S. (2010). Who confronts prejudice? The role of implicit theories in the motivation to confront prejudice. Psychological Science, 21, 7, 952–959.
Rattan, A., Good, C., & Dweck, C.S. (2012). “It's ok — not everyone can be good at math”: Instructors with an entity theory comfort (and demotivate) students. Journal of Experimental Social Psychology (2012), doi:10.1016/j.jesp.2011.12.012.
Rattan, A., Krishna, S., Naidu, N.V.R., & Dweck, C.S. (2012). Can everyone become highly intelligent? Cultural differences in and societal consequences of beliefs about the universal potential for intelligence. Journal of Personality and Social Psychology, 103, 5, 787-803.
Steele, C.M. (1997). A threat in the air: How stereotypes shape intellectual identity and performance. American Psychologist, 52, 6, 613-629.
Stoet, G., & Geary, D.C. (2012). Can stereotype threat explain the gender gap in mathematics performance and achievement? Review of General Psychology, 16, 1, 93–102.
Tovar, E., & Simon, M.A. (2010). Factorial structure and invariance analysis of the sense of belonging scales. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, 43, 3, 199-217.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2007). A question of belonging: Race, social fit, and achievement. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 1, 82–96.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2011). A brief social-belonging intervention improves academic and health outcomes of minority students. Science, 331, 1447-1451.
Walton, G.M., & Spencer, S.J. (2009). Latent ability: Grades and test scores systematically underestimate the intellectual ability of negatively stereotyped students. Psychological Science, 20, 9, 1132-1139.
Walton, G.M., Cohen, G.L., Cwir, D., & Spencer, S.J. (2012). Mere belonging: The power of social connections. Journal of Personality and Social Psychology, 102, 3, 513–532.
Walton, G.M., Spencer, J.C., & Erman, S. (2013). Affirmative meritocracy. Social Issues and Policy Review, 7, 1, 1-35.
Yeager, D.S., & Dweck, C.S. (2012). Mindsets that promote resilience: When students believe that personal characteristics can be developed. Educational Psychologist, 47, 4, 302-314.