11.11.18

Grit: Ketekunan & Kegigihan

Grit:
Ketekunan & Kegigihan



Achmanto Mendatu

….one personal quality is shared by the most prominent leaders in every field: grit. —Duckworth, Peterson, Matthews & Kelly (2007) 

Term ‘grit’ merupakan hal baru dalam khasanah psikologi. Kemunculannya baru dimulai tahun 2007 dengan terbitnya publikasi berjudul “Grit: Perseverance and passion for long-term goals”, dalam salah satu jurnal psikologi paling bergengsi di dunia, “Journal of Personality and Social Psychology”. Grit didefinisikan sebagai ketekunan dan kegigihan (hasrat besar, passion) meraih tujuan dalam jangka panjang. Di dalamnya terkandung dua hal, yakni konsistensi minat (consistency of interest) dan kegigihan untuk terus berusaha (persistence of effort) dalam jangka panjang.[1] Orang yang memiliki grit tinggi bisa terus memelihara minatnya dan gigih dalam usahanya selama bertahun-tahun atau bahkan berdekade demi mengejar kemahiran (excellence) dalam suatu bidang. Minatnya tidak berubah-ubah. Mereka konsisten. Tantangan, halangan, kemandegan, kegagalan tidak akan menghentikan usaha dan minatnya, meskipun kesukaran itu terjadi bertahun-tahun. Mereka adalah pelari marathon. Keunggulannya adalah stamina. Ketika orang lain mengubah haluan saat gagal, kecewa atau jemu, mereka jalan terus. Saat ada godaan yang menjauhkan dari tujuan, mereka mengabaikannya. Mereka adalah orang-orang yang berketetapan hati. Sebaliknya, orang ber-grit rendah lebih mudah patah semangat, cenderung tiarap di tengah usaha/perjuangannya, dan sering mengubah haluan karena memiliki minat baru. 

Grit merupakan ciri sifat personal yang ada pada semua orang sukses besar di bidangnya, yang membuat mereka tampak mirip satu sama lain. Karakter tersebut merupakan pembeda antara orang-orang yang sukses biasa saja dengan orang sukses luar biasa; antara berkarir bagus dengan berkarir luar biasa; antara seniman dan maestro; antara star dan superstar. Grit adalah kualitas personal yang membentuk seorang pelukis menjadi Afandi, seorang pengusaha menjadi Warren Buffet, seorang fisikawan menjadi Stephen Hawking, seorang pembawa acara menjadi Oprah Winfrey, seorang novelis menjadi Pramoedya Ananta Toer, seorang wartawan menjadi Karni Ilyas, seorang penyanyi menjadi Agnes Monica, seorang musisi menjadi Iwan Fals, dan seorang pebulutangkis menjadi Susi Susanti. Mereka sukses besar berkat konsistensinya selama bertahun-tahun bergelut di bidang yang sama. 


Grit & Pengaruhnya 

Grit tinggi membuat seseorang lebih mampu bertahan dalam sebuah program militer yang berat. Pada tahun 2008-2009, sebuah tim peneliti melakukan studi terhadap 677 tentara reguler Amerika Serikat, yang terpilih untuk mengikuti pelatihan khusus (dan berat) menjadi anggota Pasukan Operasi Khusus Amerika Serikat (Army Special Operations Forces, ARSOF). Sebelumnya diketahui bahwa meskipun berpeluang menjadi pasukan elit, biasanya lebih dari separuh peserta mengajukan pengunduran diri sebelum program berakhir. Tim peneliti menemukan bahwa grit yang diukur sebelum tentara mengikuti pelatihan bisa memprediksi siapa yang bertahan dan siapa yang mengundurkan diri. Mereka yang memiliki grit lebih tinggi, lebih besar peluangnya untuk bertahan menyelesaikan program. Setelah kebugaran tubuh dan kecerdasan umum (IQ) dikontrol, peran grit tetap signifikan. Padahal, kebugaran fisik dan kecerdasan umum merupakan alat yang secara tradisional digunakan militer untuk memprediksi kesuksesan tentara menyelesaikan program.[2] Penelitian lainnya terhadap para taruna militer di West Point (Akademi Militer Amerika Serikat untuk para calon perwira) menunjukkan hal sama. Calon taruna yang memiliki skor grit di atas satu standar deviasi, 60% lebih mungkin untuk menyelesaikan pelatihan. Sebaliknya, indeks talenta yang disebut WCS (Whole Candidate Score), yang merupakan gabungan nilai Tes Potensi Akademik (SAT), rangking kelas, kepemimpinan dan fisik, yang biasa digunakan untuk mengevaluasi para taruna, tidak memiliki pengaruh.[3]

Grit memprediksi siapa yang lebih awet bertahan dalam pekerjaan. Studi terhadap para penjual (sales-representative) memperlihatkan bahwa sales yang memiliki skor grit di atas satu standar deviasi memiliki peluang 40% lebih tinggi untuk bertahan.[4] Prediksi tersebut juga berlaku dalam profesi guru. Guru baru yang memiliki grit lebih tinggi lebih awet bertahan.[5] Secara umum ditemukan bahwa mereka yang memiliki grit di atas satu standar deviasi berkemungkinan 35% lebih kecil untuk berganti-ganti pekerjaan.[6] Hal serupa bahkan terjadi dalam pernikahan. Pria yang memiliki grit lebih tinggi, lebih kecil kemungkinannya untuk bercerai atau berpisah. Dan juga berlaku dalam bidang akademik. Siswa yang memiliki grit satu standar deviasi lebih tinggi memiliki peluang 21% lebih tinggi untuk menyelesaikan sekolahnya tepat waktu.[7] Hal tersebut tidak mengherankan karena mereka yang memiliki grit lebih tinggi memiliki komitmen yang lebih tinggi pula. 

Bukan hanya membuat seseorang lebih berkomitmen, grit juga membuat seseorang memiliki performa lebih baik. Guru baru yang memiliki grit di atas 1 standar deviasi, 60% lebih unggul dalam efektivitas mengajar ketimbang mereka yang kurang memiliki grit. Murid-murid yang diajar mereka, memiliki prestasi lebih baik. Nilai saat kuliah (IPK), nilai Tes Potensi Akademik, sekolah penugasan, karakteristik demografi hingga karakter kepemimpinan tidak bisa memprediksi hal tersebut.[8] Grit juga membuat seseorang lebih mungkin masuk final dalam sebuah kejuaraan akademik, serta lebih mungkin memiliki nilai akademik lebih tinggi. Korelasi grit dengan nilai IPK pada mahasiswa bahkan lebih tinggi daripada korelasi Tes Potensi Akademik dengan IPK.[9]

Temuan-temuan di atas memperlihatkan bahwa grit bisa dijadikan salah satu patokan penting dalam perekrutan karyawan atau peserta sebuah program pendidikan (terutama yang bersifat jangka panjang dan berat), termasuk perekrutan calon guru. Karyawan dengan grit lebih tinggi juga akan menjadi karyawan yang lebih baik dan lebih besar peluangnya untuk tidak keluar (resign). Untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki arus keluar-masuk (turn-over) karyawan tinggi, pengukuran grit pada calon karyawan patut dipertimbangkan. 


Grit & IQ 

Hubungan grit dengan IQ bersifat orthogonal dan sedikit negatif.[10] Artinya, memiliki satunya belum tentu akan memiliki yang lainnya. Seseorang bisa saja memiliki IQ tinggi tapi tidak memiliki grit atau memiliki grit tinggi tapi IQ-nya rendah. Sangat langka ada orang yang berbakat-jenius sekaligus memiliki grit super tinggi. Orang ber-IQ super tinggi justru cenderung kurang memiliki grit. Hal tersebut menjelaskan mengapa banyak orang yang ber-IQ sangat tinggi dan diklaim memiliki bakat-jenius, akhirnya kalah sukses dengan mereka yang memiliki kecerdasan di bawahnya. Menurut Angela Lee Duckworth, pelopor utama penelitian grit dari Universitas Pennsylvania, AS, kurangnya grit pada orang ber-IQ super tinggi merupakan akibat dari tidak adanya kebutuhan untuk belajar/bekerja keras terus-menerus dalam jangka panjang dan untuk membangun daya tahan terhadap kegagalan (mereka jarang gagal!). Sebab, bagi mereka, belajar atau meraih prestasi adalah perkara mudah. Alhasil, karakter grit tidak terbentuk.[11] Sebaliknya, mereka yang IQ-nya tidak jenius melakukan kompensasi dengan bekerja lebih keras dan dengan determinasi lebih tinggi. Jika tidak jenius, seseorang memang butuh grit untuk bisa bersaing. 


Grit & Kegagalan 

Yang unik dengan grit adalah mekanisme penumbuhannya. Grit justru lebih mungkin tumbuh subur dalam kegagalan demi kegagalan yang berhasil diatasi. Gagal dan bangkit merupakan resep grit. Melalui kegagalan dan kebangkitan mengatasinya, seseorang belajar untuk memiliki daya tahan terhadap kegagalan yang akan datang. Berkat daya tahannya, ketika kesulitan dan kegagalan terus menerpa, mereka bisa tetap konsisten dalam jalurnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak membiarkan anak menyerah ketika mengalami kegagalan. Paksa terus anak sampai berhasil di setiap tugas: bukan karena kegagalan itu buruk, tetapi karena menyerah tidak bisa diterima. Setiap tantangan harus diselesaikan anak hingga tuntas, meskipun anak tidak menyukai melakukannya. Setelah anak berhasil menyelesaikan sebuah tantangan yang sebelumnya selalu gagal, akan muncul rasa penguasaan (sense of mastery) yang mendorong anak untuk lebih menyukai tantangan itu. Dan apabila ‘rasa penguasaan’ sudah muncul, seorang anak akan dengan sendirinya bangkit ketika gagal dalam tantangan serupa, karena tahu kalau mereka pasti akan menguasainya suatu saat. 

Untuk semakin memperjelas perbedaan antara mereka yang memiliki grit tinggi dan yang rendah, berikut sebuah percakapan seorang ayah pada anaknya: “Nak, lihat dia. Dia dulu berjuang dari nol bersama ayah. Sekarang dia sudah berhasil. Seandainya dulu ayah tidak menyerah, ayah mungkin juga telah berhasil seperti dia!” Terdengar familiar? Kisah si ayah yang menyesal karena telah menyerah terlalu dini, merupakan kisah klasik dalam perjuangan meraih sukses. Beberapa orang berjuang bersama-sama dari nol untuk meraih sukses. Akan tetapi, karena kegagalan dan kesulitan bertahun-tahun, sebagian menyerah dan beralih ke profesi yang lain. Namun demikian, ada satu atau segelintir orang yang memiliki grit tinggi, sehingga tetap kukuh berjuang di jalur yang sama. Mereka pantang menyerah. Hasilnya, mereka memperoleh kesuksesan besar. Teman-temannya yang dulu menyerah pun kini hanya bisa mengklaim bahwa ‘mereka dulu pernah menjadi teman seperjuangan.’ 


Grit & Kontrol-diri 

Baik grit maupun kontrol-diri sama-sama penting dalam pengejaran tujuan untuk sukses. Korelasi keduanya cukup tinggi. Bedanya, apabila grit membuat seseorang terus mengejar tujuan dalam jangka panjang (tahun atau dekade) dan menjadi kunci sukses dalam jangka panjang, kontrol-diri memiliki skala waktu lebih pendek dan menjadi kunci sukses untuk raihan-raihan kecil. Keduanya bertalian erat dan berkombinasi dalam kesuksesan. Membicarakan grit otomatis mencakup kontrol-diri, karena kegigihan mengejar tujuan jangka panjang hanya mungkin jika memiliki kontrol-diri tinggi dari hari ke hari. 

Orang yang memiliki kontrol-diri tinggi bisa saja memiliki grit yang rendah. Sebagai misal, orang dengan kontrol-diri tinggi sangat efektif mengontrol pembawaan dan emosinya, tetap setia mengikuti program dietnya, menolak bermain media-sosial (facebook, twitter, dan lainnya) ketika bekerja, menampik ajakan berkaraoke ketika ada tugas, menghindari begadang dan nonton televisi berlebihan (yang berarti memiliki kontrol-diri tinggi), akan tetapi berganti-ganti pekerjaan terus. Minatnya berubah-ubah. Setelah berhasil menyelesaikan sesuatu hal, minatnya terhadap hal tersebut bisa menghilang digantikan oleh minat yang lain. Alhasil, mereka tidak bisa membangun keahlian tinggi atau reputasi khusus yang bisa membawanya meraih pencapaian luar biasa. Mereka akan lebih sukses ketimbang rata-rata orang, namun tidak akan menjadi luar biasa. Untuk menjadi luar biasa diperlukan grit. Jadi, ingin bagus melebihi rata-rata orang? Milikilah kontrol-diri! Ingin hebat jauh melebihi rata-rata orang? Punyailah grit. 


If you want to be good, you need self-kontrol! 
If you want to be great, you need grit! 

Jika kau ingin bagus, kau butuh kontrol-diri! 
Jika kau ingin hebat, kau butuh grit! 



[1] Menurut Angela Lee Duckworth, term tersebut diambil dari novel “True Grit” karya Charles Portis, yang telah difilmkan dengan judul yang sama. Lihat Duckworth, dkk. (2007) serta Duckworth & Quinn (2009). 
[2] Eskreis-Winkler, dkk. (2014). 
[3] Duckworth, dkk. (2007), Duckworth & Quinn (2009). 
[4] Eskreis-Winkler, dkk. (2014). 
[5] Duckworth, Quinn & Seligman (2012) dan Robertson-Kraft & Duckworth (in press). 
[6] Duckworth, dkk. (2007). 
[7] Eskreis-Winkler, dkk. (2014) . 
[8] Duckworth, Quinn & Seligman (2012), Robertson-Kraft & Duckworth (in press). 
[9] Strayhorn (2014), Duckworth, dkk. (2007), Duckworth, dkk. (2011), Duckworth & Quinn (2009). 
[10] Duckworth, dkk. (2007) 
[11] Ringkasan mengenai penelitian tentang grit bisa ditemukan dalam Duckworth & Eskreis-Winkler (2013, April). True Grit.

Referensi

Duckworth, A.L., & Eskreis-Winkler, L. (2013, April). True grit. The Observer (Association for Psychological Science), 26, 4. Diunduh 14 Desember 2013 dari https://www.psychologicalscience.org/index.php /publications/observer/2013/april-13/true-grit.html
Duckworth, A.L., & Gross, J.J. (2014). Self-control and grit: Related but separable determinants of success. Current Directions in Psychological Science, 23(5), 319-325
Duckworth, A.L., & Kern, M. (2011). A meta-analysis of the convergent validity of self-control measures. Journal of Research in Personality, 45, 3, 259-268.
Duckworth, A.L., & Quinn, P.D. (2009). Development and validation of the short grit scale (Grit–S). Journal of Personality Assessment, 91, 2, 166–174.
Duckworth, A. L., Quinn, P. D., Lynam, D. R., Loeber, R., & Stouthamer-Loeber, M. (2011). Role of test motivation in intelligence testing. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108 (19), 7716-7720
Duckworth, A.L., & Seligman, M.E.P. (2005). Self-discipline outdoes IQ predicting academic performance in adolescents. Psychological Science, 16, 12, 939-944.
Duckworth, A.L., & Seligman, M.E.P. (2006). Self-discipline gives girls the edge: Gender differences in self-discipline, grades, and achievement test scores. Journal of Educational Psychology, 98, 1, 198-208.
Duckworth, A.L., Kirby, T.A., Tsukayama, E., Berstein, H., & Ericsson, K.A. (2011). Deliberate practice spells success: Why grittier competitors triumph at the National Spelling Bee. Social Psychological and Personality Science, 2, 2, 174–181.
Duckworth, A.L., Peterson, C., Matthews, M.D., & Kelly, D.R. (2007). Grit: Perseverance and passion for long-term goals. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 6, 1087–1101.
Duckworth, A.L., Quinn, P.D., & Seligman, M.E.P. (2012). Positive predictors of teacher effectiveness. The Journal of Positive Psychology: Dedicated to furthering research and promoting good practice, 4, 6, 540-547.
Duckworth, A.L., Quinn, P.D., Lynam, D.R., Loeber, R., & Stouthamer-Loeber, M. (2011). Role of test motivation in intelligence testing. Proceedings of the National Academy of Sciences, 108, 19, 7716-7720.
Duckworth, A.L., Quinn, P.D., Tsukayama, E. (2012). What no child left behind leaves behind: The roles of IQ and self-control in predicting standardized achievement test scores and report card grades. Journal of Educational Psychology, 104, 2, 439-451.
Duckworth, A. L., & Yeager, D. S. (2015). Measurement matters: Assessing personal qualities other than cognitive ability for educational purposes. Educational Researcher, 44 (4), 237-251.
Eskreis-Winkler, L., Shulman, E.P., Beal, S.A., & Duckworth, A.L. (2014). The grit effect: Predicting retention in the military, the workplace, school and marriage. Frontier in Psychology, 5, 36, 1-12.
Robertson-Kraft, C. & Duckworth, A.L. (in press). True grit: Trait-level perseverance and passion for long-term goals predicts effectiveness and retention among novice teachers. Teachers College Record. Diunduh dari http://www.sas.upenn.edu/ ~duckwort/images/publications/truegrit.pdf