“Mah, apalagi sih maunya? Rumah kita sudah penuh sesak. Masih juga beli barang-barang itu. Mau ditaruh dimana?”
“Papa ini lho kurang nge-art, motifnya cantik banget kan? Cocok untuk ditaruh di dinding kamar tamu itu. Warnanya serasi dengan patung Dayak di sudut. Lagian kalau sudah bosan juga bisa dijual.”
Seharusnya diriku paham saja, kalau istri saya sudah punya mau, dunia kiamat pun tak mampu mencegahnya. Sejak sebelum menikah, hobinya itu beli barang-barang yang tak jelas fungsinya apa di dalam rumah. Patung-patung entah sudah berapa jumlahnya. Di setiap ruangan rumah kami yang kecil, yang cuma ada 5, tidak termasuk kamar mandi, minimal ada 4 patung berdiri. Di ruang tamu berjajar 7 patung Dayak ukuran riil yang dibelinya langsung dari tangan pemahatnya di pedalaman Kutai Barat. Tidak ada dinding yang luput dari artefak, hiasan, lukisan, atau apapun namanya itu. Jengkal demi jengkal terpajang ratusan jenis, atau bahkan mungkin ribuan, benda-benda yang menurutnya, “Cantik dan cocok untuk di dalam rumah.”
Rumah kami sudah seperti galeri seni, atau mungkin malah toko barang-barang seni. Kalau pernah pergi ke toko barang-barang seni atau handycraft di jalanan Malioboro, maka rumah kami tak ada bedanya. Kemana mata memandang, akan tertumbuk pada sebuah koleksi. Tapi masalahnya, saya merasa sesak. Sebagai anak yang tumbuh di tengah ladang, ruang yang lapang membuat saya lega dan nyaman. Ruang yang sempit dan sesak oleh barang, membuat saya kerap merasa terperangkap dalam sebuah kotak. Sangat sering, saya duduk di gazebo kecil di sudut halaman rumah hanya untuk melegakan pikiran. Saat malam-malam bertabur bintang atau malam bulan penuh. Bisa semalaman saya di luar, merasakan kelapangan. Saya sempat diprotes keras oleh istri, karena setelah kami berhubungan, tak berapa lama saya pasti pergi keluar menghirup udara segar. Padahal, istri saya inginnya didekap dulu sampai dia tertidur pulas. “Rasanya diriku hanya seperti alat buatmu, Pa, kalau kamu langsung keluar rumah. Paling tidak tunggu aku sampai tidur.” Sejak itu, saya baru keluar kalau istri sudah tidur pulas.
Tetapi, saya sendiri tak bisa banyak protes. Bagaimanapun ini rumahnya. Kenyataannya, dia yang membeli rumah ini ketika kami belum menikah. Dengan sedikit bantuan dari orangtuanya, ia membeli tanah dan rumah ukuran 45, beberapa waktu sebelum kami berkenalan. Setelah menikah, kami tinggal di rumah itu sampai sekarang sudah 25 tahun lamanya. Anak kami satu-satunya sudah kuliah di ISI Jogja, ambil jurusan Seni Kriya, yang tak diragukan lagi diturunkan dari istri saya. Sejak kecil, anak saya sudah diajari mamanya untuk jadi kolektor. Kamarnya itu juga penuh barang-barang koleksinya, sampai karena tidak cukup tempat lagi buat koleksinya, dia meminta menjebol dinding kamar batas dengan kamar tamu, yang alhasil membuat kami tak lagi punya kamar tamu. Beda dengan istri saya, koleksinya lebih beragam, mulai dari model-model sepatu lama, sampai potongan tanda-tanda lalu lintas dan boks telepon umum yang entah dia dapatkan dari mana. Kalau mereka berdua sudah ngurusin benda-benda koleksi mereka itu: membersihkan dan memindah-memindahkan posisinya, saya seolah-olah sudah tak dianggap ada. Kalau mereka berdua sudah menyampaikan peringatan, “Pa, beberapa hari ke depan kami mau beresin barang!” Itu artinya selama minimal 2 hari hingga paling tidak seminggu, saya harus urus diri sendiri. Tak boleh saya mengajukan permintaan apapun pada mereka, bahkan meskipun itu soal masakan. “Masak apa, Ma?” yang biasanya jadi pertanyaan harian —dan percayalah masakan istri saya yang terhebat di dunia dan itu pula yang jadi alasan saya jatuh cinta padanya dulu— menjadi pertanyaan tabu selama hari-hari itu. Saya harus masak makanan sendiri, yang tak jauh-jauh dari indomie telor karena hanya itu yang saya bisa. Tapi lebih seringnya, saya terpaksa harus beli makan di luar, yang tentu saja pergi sendirian dan makan sendirian. Mereka sendiri bisa seharian tidak makan, lalu baru malamnya menyetop penjual ketoprak atau sate keliling.
Alasan lain saya tak bisa protes, mereka tak pernah mengambil uang penghasilan saya buat hobi mereka. Barang koleksi istri dibeli dari penghasilannya sendiri sebagai dosen dan memiliki toko souvenir kecil di sebuah tempat wisata. Barang koleksi anak saya, dibelinya sendiri dari jatah uang jajannya, dan upah dari mamanya saat ikut jaga toko. Uang gaji saya utuh untuk keperluan lainnya. Sekitar 10 tahun lalu saat saya tertarik mengambil jatah kredit lunak dari kantor untuk ambil rumah yang lebih besar dari yang sekarang dan di kawasan yang lebih elit, istri saya tak sependapat. “Rumah ini kecil, tapi toh kita hanya bertiga. Sebentar lagi juga cuma berdua. Ini rumah kita, Pa. Tak perlulah kita pindah-pindah. Uangnya untuk kuliah si Nina saja. Biayanya besar itu nanti!” Saya hanya mengiyakan karena tak punya argumen lebih baik, meski saya benar-benar ingin pindahan agar dapat rumah lebih lega.
Kenyataannya, selain soal hobi koleksinya, saya sangat bersyukur memiliki istri seperti dia. Tak ada yang patut saya protes darinya. Baiknya luar biasa pada keluarga besar saya sendiri. Ibu bahkan sampai terang-terangan menyebutnya sebagai menantu favorit, yang tentu saja bikin jengkel ipar-ipar saya yang lain. Masakannya benar-benar mak nyus. Di tempat tidur, dia hal terbaik yang bisa diharapkan dari seorang pencinta. Sampai-sampai saya berpikir, kalau dia itu menginjak kodok sehingga terpaksa harus berjodoh dengan saya. Harus diakui, saya ini pria payah. Karir begitu-begitu saja. Tak punya hobi serius dan boleh dibilang tak punya satupun prestasi yang bisa dibanggakan. Singkat kata, saya tak bisa ngeluh apa-apa. Saya bangga padanya, dan saya tak sungkan-sungkan membangga-banggakannya di depan orang. Tapi ya itu, hobinya bikin sesak nafas. Jadi, kadang terlintas juga pikiran untuk berpisah saja. Kalau hatinya sedang tak tenang, hidup saya seperti di neraka. Cerewetnya bisa minta ampun. Biasanya itu terjadi kalau saya mengomentari koleksinya dengan negatif. Jadi, biarlah kudukung saja hobi tak jelasnya. Asal dia senang, hidupku pun jadi tenang.
“Pa, minggu depan, bareng teman-teman kantor mau kunjungan ke Papua, sebulan. Tugas audit kampus di sana,” papar istri saya memberitahu agenda kerjanya. Saya mengangguk dan bertanya-tanya mau apa saja dan di mana saja. Sudah pasti, pulang nanti dia akan membawa pulang beberapa barang yang menurutnya ‘cantik buat rumah’.
Kepergian istri sebulan memunculkan ide di kepala. Mungkin, ini saatnya memberikan dia kejutan, pas di ulang tahun perkawinan kami ke 25. Barang-barang koleksinya sudah terlampau banyak di dalam rumah. Setiap kali dia pergi membawa barang baru, beberapa barang lama terpaksa harus diturunkan dan dimasukkan ke kardus. Sebagian memang dibawa ke toko, tapi jumlahnya kecil saja. Sebagian besar barangnya dilabeli bukan untuk dijual, meskipun sudah bertahun-tahun teronggok di dalam kardus. Pasti akan jadi kado menyenangkan kalau ketika dia pulang, rumahnya sudah bertambah besar dan luas, sehingga barang-barang koleksinya dalam kardus bisa dipajang semua.
Saya menelepon teman saat SMA dulu yang menjadi kontraktor bangunan untuk membuat perencanaan renovasi rumah. Karena mau memberikan kejutan, kami berdua diam-diam saja dan melakukan pengukuran ketika istri sedang mengajar. Kami berencana menambahkan 1 bangunan baru bertingkat 2 yang menyambung kamar tamu, sehingga menghilangkan gazebo. Kami juga akan membongkar kamar tidur utama, dan melebarkannya hingga ke batas tembok rumah tetangga di bagian belakang. Segera setelah mengantar istri ke bandara, saya telepon si teman dan pekerjaan di langsung mulai. Pada hari itu juga, material datang dan para tukang memulai pekerjaannya.
Renovasi selesai hanya dalam waktu tiga minggu. Saya ambil cuti seminggu untuk mengatur ulang barang-barangnya. Saya ingin agar semua barangnya kembali seperti semula, berada di tempat dan ukurannya tetapi di ruang yang lebih luas. Barang-barang dalam kardus kukeluarkan dan coba kupajang di seluruh dinding yang tersisa.
“Apa maksudmu, Pa? Apa? Mengapa tak bilang-bilang kalau mau renovasi rumah sampai tambah bangunan segala? Aku tak rela. Aku tahu sekarang, Papa bukan saja tak mau mendukung hobiku, tapi juga ingin menghancurkan diriku. Aku minta cerai!”
Dan di sana di depan rumah yang baru direnovasi, di depan istriku yang terisak-isak tersayat, aku hanya bisa diam terpaku.
No comments:
Post a Comment