Mendung pekat hitam sepanjang hari menghiasi langit, sejak fajar merekah. Tapi hujan besar tak turun-turun juga. Sewaktu berangkat kerja pagi tadi, banyak para pemotor sudah mengenakan mantel hujan buat berjaga-jaga. Saya juga begitu. Tapi sepanjang 1 jam perjalanan dari rumah hingga kantor, setitik pun air tak jatuh menetes. Dan itu berlangsung nyaris hingga sekarang, saat jelang pulang. Awan hitam bergulung yang semakin pekat jadi menakutkan, ada kesan si awan sedang murka besar mengumpulkan air sebanyak-banyaknya untuk kemudian ditumpahkan sekaligus agar sekalian memporak-porandakan kota. Sepertinya, kota ini bakal kena kutukan hujan. Sekurang-kurangnya, kalau hujan benar-benar jatuh malam ini, akan ada banyak kerusakan di mana-mana. Mungkin banyak rumah bocor. Mungkin bakal banjir besar. Pohon-pohon bakal bertumbangan menghalangi jalan. Pencari berita semestinya sudah bersiap berburu dampak hujan malam ini.
Cuaca hari ini benar-benar menggambarkan suasana hati istri saya. Sebagaimana biasa, mendung di hatinya selalu tak jauh-jauh disebabkan oleh saya juga. Sebabnya macam-macam, mulai dari saya yang lupa angkat jemuran, lupa bayar tagihan pdam, dan gara-gara lupa yang lainnya. Saya harus akui, saya memang mudah sekali lupa. Kalau sudah keasyikan mengerjakan sesuatu, yang lain-lain lupa sudah.
Kata-kata favorit saya buat ngeles, “Maaf, lupa Mi, tadi sibuk mengerjakan sesuatu!” Dan kata-kata favoritnya untuk membalas, “Halah, cari-cari alasan. Dasar memang enggak punya rasa tanggungjawab!” Jika sudah begitu, biasanya saya cuma tertawa kecil dan berlalu. Tapi pasti ada satu atau 2 hukuman yang bakal jatuh, entah tak dibuatkan sarapan atau makan malam, atau yang terparah tak sudi tidur bersama.
Sampai sejauh ini, lupa terparah yang membuatnya paling murka adalah lupa memberinya hadiah saat ulangtahunnya. Malamnya, yang kebetulan malam kamis yakni malam sunah rasul, saya pun mengirimkan isyarat padanya untuk bersunah rasul itu, tapi dibalasnya dengan sangat telak, “Maaf Pi, lupa tuh apa sih sunah rasul!” dan langsung berbalik badan ditinggal tidur. Paginya tak ada sarapan tersedia. Bangun saja tidak mau. Sepanjang hari, pesan-pesan di line meminta maaf padanya sama sekali tak dibalasnya, cuma dibaca saja. Lalu malamnya, saat balik ke rumah, lagi-lagi tak ada makan malam. Di meja makan cuma ada pesan, “Beli nasi padang sendiri! Lupa masak!”
Tentu saja, sebagaimana biasanya kalau sedang kesal, dia akan berada di rumah orangtuanya. Biasanya, ibunya akan telepon mengabari kalau istri saya sedang ada di rumah dan itu artinya saya sudah harus menjemputnya. Tapi malam itu, saat saya jemput dia tak mau. Akhirnya saya tidur di rumah mertua sampai tiga hari lamanya karena istri benar-benar tak mau pulang. Satu-satunya yang membuatnya mau pulang sepertinya setelah dia kena marah ibunya. “Nanti si Neng, -panggilan ibu pada istri saya-, mau pulang ke rumah cepat. Habis pulang kerja, langsung ke sini saja ya,” tutur ibu mertua.
Saat saya sampai di rumah mertua, istri saya sudah siap dengan tasnya di depan teras. Begitu lihat saya datang, dia langsung keluar pagar, membonceng naik dan minta segera jalan, “Udah jalan!” perintahnya dengan muka masam. Itu menjadi pertanda jelas kalau dia habis kena marah ibunya. Tapi ibu buru-buru memanggil. Meminta kami makan dulu, sudah disiapkan makan malam katanya. Jadilah malam itu kami baru pulang setelah makan malam. Dan pesan ibu pada saya, via SMS, “Maklumi aja ya Nak, masih muda dia. Yang sabar, dibimbing ya.”
Istri saya memang masih sangat muda. Kami menikah saat dia baru saja lulus SMA. Sedangkan saya sendiri sudah 36 saat itu. Selisih usia kami hampir 2 kali lipat. Jadi, apakah dia mau menikah dengan saya karena cinta? Tentu saja tidak. Dia mau karena begitulah pesan abahnya pada dia. Saya dan abahnya merupakan rekan kerja di sebuah perusahaan eksplorasi geologi. Karena kami sering bepergian bersama, yang bisa berbulan-bulan lamanya, maka kami jadi sangat dekat satu sama lain. Meski anak buah saya, tapi saya memanggilnya abah karena usianya lebih tua dibanding saya. Selama 10 tahun kami bekerja sama, mengeksplorasi lahan-lahan buat tambang di berbagai pulau di Indonesia, bahkan hingga ke Afrika dan Australia. Selama itu, Abah sering bercerita tentang putrinya semata wayang. Sering juga dia tunjukkan foto-fotonya. Jika habis pulang cuti ke Tasik, dia pasti akan membawa seribu cerita tentang si Wina putrinya yang sangat dibanggakannya itu. Saya dengan senang hati mendengarkan si Abah bercerita, dan tentu saja memuji-muji Wina, tentang betapa cantiknya dia dalam foto-fotonya itu. Beberapa kali saya bahkan ikut mengiriminya hadiah ulangtahun karena pergi ke Mall bersama abahnya, yang hendak membelikan hadiah buat putrinya. Meski begitu, pada Wina, saya merasakannya sebagai seorang adik belaka. Anaknya teman kerja. Apalagi saya mengetahui Wina sejak masih berseragam merah putih SD.
Saya sendiri tak pernah bertemu Wina sampai sebuah kejadian memilukan yang menimpa Abah. Saat Abah pulang cuti dan hendak menghadiri acara perpisahan kelulusan sekolah Wina, mobil yang dikendarainya bertabrakan dengan truk. Abah dilarikan ke rumah sakit dan kaki kanannya kemudian harus diamputasi. Saat saya menengoknya ke rumah sakit, barulah saya bertemu si Wina. Abah menceritakan ke Wina kalau saya yang sering ikut kirim hadiah ulang tahun padanya. Dan tanpa dinyana-nyana, saat itu juga, di saat pertemuan pertama saya dengan Wina, Abah menanyakan tanpa tedeng aling-aling apa saya mau menikahi Wina. Saat saya bilang tak siap menikah, Abah mendesak bahwa saya dipastikan siap menikah. Abah tak perlu tanya-tanya apapun soal latar belakang saya, karena dia tahu betul sampai usia 36 itu saya masih lajang juga, dan dia mengenal saya dengan sangat baik selama sepuluh tahun terakhir. Katanya, sudah seperti keluarga, sudah seperti anak sendiri. Saat saya bilang, kalaupun saya mau, Wina belum tentu akan mau. Lagipula baru saja bertemu. Abah lagi-lagi meyakinkan kalau Wina akan mau, karena itu keinginan Abahnya.
Saya perhatikan raut muka Wina saat itu yang terlihat sangat terkejut sekaligus marah. Sepertinya dia sangat tidak diterima dijodohkan dengan seseorang yang baru saja ditemuinya dan yang umurnya jauh lebih tua. Tapi hebatnya, saat Wina ditanya oleh Abahnya apakah Wina mau, dengan mengagumkan dia menjawab terserah keinginan Abah saja. “Jangan tolak permintaan saya,” kata si abah pada saya. “Saya sudah menginginkanmu jadi menantu saya bertahun-tahun lalu. Itu mengapa saya selalu ceritakan soal Neng. Terimalah permintaan saya.”
Bagaimana kuasa menolak permintaan seorang sahabat yang tengah terbaring lemah di dipan rumah sakit dengan satu kaki telah diamputasi? Tak bisa lain saya hanya mengatakan bersedia. Di pertemuan pertama, di rumah sakit itu, langsung diputuskan kalau kami akan menikah. Saat itu Wina bahkan belum mendapatkan ijazah dari sekolahnya. Tiga hari kemudian kami langsung menikah, dinikahkan oleh Abah di rumah sakit.
Meski sudah terbiasa menghadapi mendung hati istri saya selama setahun terakhir. Tapi saya menyadari, mendung kali ini berbeda. Lebih gelap dari biasanya, dan lebih besar kemungkinan hujan badainya. Persis seperti cuaca sepanjang hari. Gara-garanya sepele. Semalam istri saya masak Nasi Kuning, yang harus saya akui rasanya lezat karena saya habis 2 piring. Tapi saya meledeknya, “Nasi kuningnya enakan buatan Mpok Tuti di dekat pasar minggu.” Tak disangka tak dinyana, istri saya marah besar. “Dasar nggak tahu terima kasih!” semburnya. Bergegas dia ambil tas dan pergi dari rumah begitu saja, mengendarai sendiri motor Mio yang baru saja dibeli seminggu lalu. Saat saya susul ke rumah mertua, ternyata dia tak berada di sana. Saya pun pulang dengan hati gundah. Untuk pertama kalinya saat dia kesal, dia tak pulang ke rumahnya menemui ibunya.
Cemas menantinya, karena jam 11 malam tak kunjung ada berita dia di mana, saya berketetapan keluar mencarinya. Tapi belum sampai keluar pagar, HP berdering, sebuah sms masuk darinya, “Saya benci Aa. Jangan cari saya. Saya pulang besok malam.”
Tak ingin membuat mertua cemas, saya tak beritahu mereka. Tapi jelang sore tadi, Abah mengirimi sebuah foto Wina bersama teman-temannya sedang bersenang-senang di Bandung yang diketahuinya dari instagram, dan bertanya apakah saya juga sedang jalan-jalan di Bandung bersama Wina. Saya tentu saja menjawab tidak, saya katakan itu acara Wina dengan teman-teman SMA-nya. Tapi si Abah justru bilang, tidak ada teman SMA-nya di foto itu. Abah yang merasa ada yang tak beres langsung menelepon dan meminta saya untuk langsung ke rumah menemuinya usai pulang kerja, dan pergi bersama ke Bandung mencarinya.
Dan di sana, di Warung Tahu Sumedang di perbatasan kota Bandung, tepat di depan saya memarkirkan mobil, di sebuah saung, ada Wina sedang saling menyuap tahu dengan seorang anak muda. Abah menghela nafas panjang.
“Dia masih terlalu muda. Tak seharusnya saya menikahinya.”
Dan Abah melirik saya dengan mata bercucuran, “Jika kamu mau menceraikannya, Abah ikhlas.”
“Tidak. Saya tak ingin menceraikannya. Tapi jika dia sangat menginginkannya, biar terjadilah.”
Dan mendung pekat itu, yang berarak luas dari Tasik hingga Bandung mulai mengucurkan air yang di simpannya seharian. Petir menderu-deru. Kilat menyambar-nyambar.
No comments:
Post a Comment