Terbuat dari apakah kenangan? Tiba-tiba saja tanpa angin tanpa hujan diriku mengingat sebuah bohlam lampu di loteng kamar kosku yang dulu. Sesungguhnya tak ada yang istimewa dengan bohlam itu. Dayanya cuma 10 watt, yang sekedar cukup menerangi kamar namun tak benderang. Warna sinarnya yang agak lembayung kemerahan mengundang mata untuk mengatup. Berapapun lamanya pergi dan apapun kegiatan di luar kamar yang kulakukan, jika sudah memasuki kamar 3X4 dengan bohlam bersinar temaram itu, kantuk menyuruk. Seolah-olah bohlam itu adalah Dewa Hypnos yang melambai-lambai mengundangku tidur dan bermimpi.
“Kamu kangen aku?” tanya si Bohlam, demikian aku menyapanya setiap kali habis bepergian cukup lama meninggalkan kamar yang kutempati hampir 5 tahun lamanya itu.
Sebagai anak baru lulus kuliah yang bercita-cita menjadi penulis dan tanpa uang, memilih tempat kos super murah adalah satu-satunya pilihan. Tak ayal hanya satu kamar kos yang tersedia buat disewa kantongku, yakni sebuah kamar yang konon kata yang punya sudah 10 tahun tak ada yang mau menyewanya. Awalnya kudengar, sewanya cuma 40 ribu per bulan, padahal saat itu harga pecel lele sudah 5 ribu seporsi. Dan untukku, si pemilik dengan murah hati menggratiskannya dengan catatan ikut menjadi bapak kos untuk 20 kamar lain yang dimilikinya. Tentu saja, tawaran itu tawaran surga yang tak dapat kutolak. Tak akan ada tawaran yang lebih baik lagi. Meski tentu saja, sebagaimana umumnya kamar kos super murah, kondisinya sungguh memilukan hati. Tak akan ada orang lain yang bakal berpikir menempatinya jika punya uang sedikit lebih. Terhimpit di pojok bangunan yang dikelilingi oleh beberapa bangunan kos bertingkat 4, maka tak ayal tak ada seberkas sinar mataharipun menerobos ke dalam kamar. Tak peduli jam berapa saja, saat pintu kamar dibuka yang ada hanyalah gelap. Hanya bohlam mungil bersinar merah itulah satu-satunya sumber cahaya yang bisa membuatku melihat isi kamar.
“Ya aku kangen kamu, Bohlam. Apa kabarmu?”
“Aku juga kangen kamu. Sebelum dan sesudahmu, tak ada yang tinggal lagi di kamarku. Dan aku tergantung di sana sampai sekarang. Sudah 20 tahun lamanya. Tak maukah kau mengunjungiku?”
Si bohlam sepertinya mahluk ajaib. Kalau tidak salah merknya phillips. Kata si pemilik kos, lampu bohlam itu dipasangnya sekitar 5 tahun sebelum diriku menjadi penghuni kamarnya, tak pernah diganti saat diriku tinggal di sana sekitar 5 tahun lamanya karena begitu awetnya meskipun cahayanya begitu suram, dan seperti katanya barusan terus tergantung di sana sesudah 10 tahun aku meninggalkannya.
“Bukan tak mau berkunjung. Aku kangen cahayamu. Kamu alasan kenapa aku bisa menulis setumpuk buku itu. Ingatkah hari-hari intim kita saat diriku menulis siang dan malam ditemani olehmu? Aku sungguh-sungguh rindu saat aku memakimu karena cahayamu bikin ngantuk. Tapi toh aku tak suka kehilanganmu. Ingatkah kamu saat bapak kos membawa lampu pengganti tapi kubiarkan teronggok saja karena tak ingin kehilanganmu? Tapi aku sungguh sedang sibuk sekarang. Mungkin kelak kalau ada waktu longgar. Pasti aku akan berkunjung.”
Si Bohlam satu-satunya pemberi cahaya, selain cahaya laptop yang menyala. Begitu pintu dibuka dan saklar listrik dinyalakan, seisi kamar barulah menampakkan dirinya, mulai dari baju-baju bergantung di pintu dan dinding; setumpukan buku setinggi hampir setinggi tubuhku dan selebar pintu di sudut kamar; seonggok baju kotor yang entah sudah berapa minggu terserak di sudut yang lain; sebuah meja kecil, laptop dan printer; beberapa piring, sendok dan gelas; galon air; dan selembar tikar tempatku tidur, makan, dan kadang bercinta dengan kekasih.
“Apakah dia, yang sering bergumul denganmu dulu jadi istrimu?”
“Oh tidak. Kami putus bahkan sebelum aku keluar dari kamar itu. Dia bilang diriku terlalu egois tak mau memikirkan masa depan dengan hanya mengerjakan pekerjaan yang tak ada uangnya. Dia bilang dia sangat mencintaiku. Tapi dia pergi juga.”
Kami bertengkar hebat kala itu. Dia merasa sudah melakukan segalanya untukku. Dia bersabar selama hampir 5 tahun menungguku untuk berubah, agar diriku mau mencari pekerjaan yang lebih mapan, yang bisa menghidupi kehidupan keluarga kami saat menikah nantinya. Tapi tidak. Aku tetap keras kepala teguh hendak menjalani kerja menulis, meski hasilnya benar-benar hanya cukup untuk makan saja. Selalu saat dia bertanya sampai kapan, aku akan menjawabnya sampai bosan. Biasanya, pertengkaran kecil itu akan selalu berakhir manis dengan pergumulan kami. Tapi hari itu berbeda. Dia bilang sudah benar-benar muak dengan keegoisanku. Dan dia memutuskan pergi begitu saja. Hari itu pula menjadi hari terakhir kali aku melihatnya.
“Baru kuingat kata-katamu saat bapak kos memintamu menggantikanku dengan lampu yang lebih terang dan hemat, ‘aku mau setia padamu, sampai kau mati!’ Dan kau tepati kata-katamu. Kau tak menggantiku. Tapi kenapa kau tetap meninggalkanku juga. Kau tinggalkan kamar kita.”
“Maafkan aku. Aku harus. Aku tak bisa menunggu sampai kau benar-benar mati. Umurmu seharusnya setahun saja. Tapi kau sudah 5 tahun terus menyala dan tak ada tanda-tanda bakal mati. Aku tak mau ikut menua dengan menunggumu mati. Aku ingin hidup. Aku tak ingin ditinggalkan lagi.”
“Jadi, kau pergi karena perempuan itu?”
“Ya. Karena dia. Setelah dia pergi, aku sadar, bahwa mungkin sudah waktunya untuk beralih menjelajahi dunia, bukan terkungkung di kamar bersama buku-buku. Kamu masih ingat aku meninggalkanmu hanya seminggu sesudah dia pergi?”
“Tentu. Aku ingat betul. Sampai sekarang buku-bukumu masih ada di kamar. Sebagian besar sudah rusak di makan kutu dan hancur karena lembab. Bahkan baju-bajumu masih tergantung. Tikarmu masih ada, sudah rusak lapuk sebagian besar dimakan engas. Gambar bumi biru besar kesukaanmu masih tertempel di tempat yang sama.”
Saat itu, dalam kondisi galau ditinggalkan kekasih, aku pergi begitu saja tanpa pamit pada pemilik kos. Awalnya hanya ingin menenangkan diri ke stasiun kereta. Tak dinyana, diriku sampai di Bandung dengan hanya membawa sebuah laptop, 2 buah kaos, sepotong celana, dan tanpa uang. Diriku langsung melamar kerja di sebuah kantor media online di sana, yang kebetulan kutemui saat berjalan menyusuri jalanan di Braga. Kuketuk pintu mereka, kuminta bertemu manajernya, kuceritakan apa yang kuhadapi dan apa yang kupunya. Hari itu juga, 3 jam setelah mendarat di Bandung, aku mendapat pekerjaan, diberi tempat tinggal, dan seterusnya hidup mengalir seperti kehidupan kebanyakan orang: berangkat kerja, bekerja, pulang kerja, dan sesekali jalan-jalan. Hilang keinginanku untuk kembali ke Jogja. Bahkan buku-buku yang dulu dibeli susah payah sejak masih kuliah kurelakan menjadi bagian dari kenanganku saja. Sudah 10 tahun kini kota itu kutinggalkan.
“Bagaimanapun itu hari-hari yang indah. Aku tak lupa,” desahku mengingat segala hal manis di kos pojokan Blunyah Gede Jogja itu.
“Sudah pasti kau tak akan lupa. Bahkan meskipun kau sudah punya keluarga sekarang.”
“Oh tidak. Aku belum punya istri. Aku belum menikah. Beberapa kali berpacaran sesudah pergi dari Jogja, tapi tak ada satupun yang membuatku benar-benar ingin menikahinya. Belum ada yang bisa membuatku yakin untuk agar diriku menyerahkan diri padanya. Mungkin aku hanya terlalu egois. Ya, rasanya hanya aku terlalu egois. Tapi aku percaya, kelak suatu saat di luar sana, akan ada seseorang yang padanya aku bisa berjanji padaku sendiri, ‘dia hidupku sekarang, akan kulakukan apapun untuknya, bahkan meskipun mengorbankan diriku sendiri.”
Dan sekarang, aku masih hidup untukku sendiri.
“Menurutku,” kata si Bohlam dengan cahaya temaramnya, “kamu belum menikah karena sudah berjanji setia padaku. Kau janji akan meninggalkanku hanya kalau aku sudah mati. Tapi aku belum mati. Aku masih hidup. Kau menyadari itu, maka kau tak sanggup menikahi orang lain. Pulanglah ke Jogja. Temui aku. Bunuhlah aku. Setelah itu barulah kau akan sanggup menikahi seseorang. Tuntaskan janjimu.”
Dan tikus-tikus itu, yang berlarian di kayu-kayu talangan penahan genteng yang siang malam terlihat karena cahaya bohlam, tiba-tiba membesar menjadi raksasa-raksasa yang hendak menerkamku.
No comments:
Post a Comment