Advokasi Diri:
Sadar hak dan berani meminta
Achmanto Mendatu
I learned that courage was not the absence of fear, but the triumph over it.
The brave man is not he who does not feel afraid, but he who conquers that fear.”
—Nelson Mandela
“No one -not rock stars, not professional athletes,
not software billionaires, and not even geniuses- ever makes it alone”
—Malcolm Gladwell, Outliers: The Story of Success
Advokasi-diri sekurangnya terdiri dari dua hal, yakni kesadaran akan hak (sense of entitlement) dan keberanian memintanya (courage). Orang yang memiliki advokasi-diri sadar bahwa mereka memiliki hak untuk diperhatikan, didengarkan, dan untuk berhasil. Pada saat yang sama, mereka berani menyampaikan keinginannya dan berani meminta agar keinginan itu dipenuhi. Dan alih-alih menunggu kesempatan datang dengan sendirinya, mereka berani aktif mengejarnya. Mereka bernegosiasi dan berunding. Jika perlu, mereka menyesuaikan diri dalam berbagai situasi berbeda agar situasinya menguntungkan baginya. Oleh karena itu, advokasi-diri sangat vital bagi pencapaian sukses. Sebab, seberapapun ahlinya seseorang, jika tidak bisa menyampaikan ke orang lain untuk menerima, mengakui dan memberi kesempatan, seseorang tidak akan bisa mencapai sukses sesungguhnya. Sehebat apapun kemampuan akademis, tapi jika selalu gagal dalam setiap wawancara kerja maka tidak ada artinya. Sebrilian apapun ide bisnis, tapi jika tidak bisa menjualnya sehingga tidak ada yang tertarik berinvestasi, maka ide itu sia-sia. Seseorang butuh advokasi-diri agar orang lain mau menerima potensi atau keahliannya. Sedemikian pentingnya advokasi-diri, sampai-sampai ada lelucon ujar-ujar bahwa 90% sukses itu adalah show-off alias pamer.
Orang yang memiliki advokasi-diri adalah para pemberani, yaitu orang yang tetap mengejar tujuan yang dianggap berharga, meskipun terdapat persepsi adanya ancaman terhadap pribadi dan hasil yang diperoleh tidak pasti.[1] Walau tahu bahwa permintaannya berpeluang ditolak, mereka tetap melakukannya. Meski tahu bahwa dirinya berkemungkinan mengalami kekalahan, mereka tetap bersedia maju. Walaupun kegagalan mungkin akan dialami, mereka terus mencoba. Mereka bersedia meninggalkan sesuatu yang mapan (misalnya pekerjaan/karir) demi membangun sesuatu yang berisiko gagal. Kata-kata seperti “Jika saya tidak mencoba, bagaimana saya bisa tahu?” menggambarkan dengan sempurna sebuah keberanian.
Pada dasarnya, orang sukses adalah orang yang memiliki keberanian untuk gagal.[2] Seorang penulis buku yang memiliki advokasi-diri tinggi bersedia menemui penerbit berkali-kali untuk meyakinkan mereka bahwa bukunya layak terbit. Mereka akan mengerahkan segala upaya untuk memikat para penerbit agar mau menerbitkannya. Ketika akhirnya toh ditolak juga oleh sebuah penerbit, dicarinya lagi penerbit lain. Anda pasti tahu J.K. Rowling, si penulis serial penyihir “Harry Potter” yang sangat masyhur itu. Sebelum diterbitkan oleh sebuah penerbitan kecil di Inggris (yang membuat penerbit itu kaya raya di luar impian mereka yang paling liar), naskahnya telah mampir ke banyak penerbit besar. Tidak ada dari mereka yang mau menerbitkannya. Namun dengan kesadaran penuh bahwa naskahnya bagus dan berhak terbit, JK Rowling tidak mau membiarkan naskah itu berakhir di rumahnya saja. Dia tidak menyerah meskipun telah gagal meyakinkan banyak penerbit. Dan akhirnya dia memang berhasil mendapatkan penerbit yang tertarik, meskipun hanya penerbit kecil yang tidak akan dilirik oleh penulis-penulis yang sudah tenar. Sisanya sejarah.
Karena perilaku yang terkadang menuntut, orang-orang yang memiliki advokasi-diri sangat tinggi bisa mengesalkan. Mereka tidak malu berkali-kali datang untuk menanyakan apakah proposalnya ditolak atau diterima. Jika pun ditolak, mereka tidak enggan untuk tetap datang menanyakan apa sebabnya ditolak, karena mereka merasa berhak mendapatkan penjelasan. Tidak jarang, mereka menawarkan negosiasi atau perundingan ulang, dan menyesuaikan proposalnya. Sebagian orang yang berpandangan negatif akan mengatakan kalau mereka keras kepala atau bahkan tidak tahu diri. Sebagian menyebutnya pencari perhatian. Dan sebagian yang lain akan menganggapnya sebagai orang-orang yang tidak masuk akal karena melawan hal-hal normal yang biasanya.[3] Akan tetapi, keliru jika menyangka advokasi-diri hanya tentang keberanian menuntut hak semata. Jika hanya berani, maka mengancam agar dipenuhi permintaannya akan termasuk advokasi-diri. Tapi tidak. Mengancam tidak termasuk dari ciri sifat advokasi-diri. Namun membujuk/mempengaruhi oranglain dengan beragam strategi agar memenuhi keinginan termasuk di dalamnya.
Keterampilan mempengaruhi oranglain (persuasi), merupakan salah satu keterampilan utama dalam advokasi-diri. Prinsip-prinsip persuasi —yang telah diteliti intensif oleh ilmuwan psikologi Robert B. Cialdini dari Arizona State University, AS,— telah luas dikenal luas di luar kalangan psikologi, dan bahkan menjadi salah satu kajian utama di sekolah-sekolah bisnis.[4] Prinsip-prinsip utamanya terentang dari reciprocity (orang cenderung berusaha membalas pemberian), scarcity (orang semakin menginginkan sesuatu yang langka), authority (orang semakin mudah dipengaruhi oleh orang yang memiliki otoritas), consensus (orang semakin menyukai sesuatu yang banyak disukai orang lain), consistency (orang cenderung melakukan sesuatu yang konsisten dengan perbuatan dan perkataan sebelumnya), dan liking (orang cenderung mengiyakan orang yang dikenal dan atau disukai).
Berbalik dengan orang yang memiliki advokasi-diri tinggi, orang dengan advokasi-diri rendah cenderung menghindari meminta dari orang lain. Mereka menganggap bahwa kebanyakan orang tidak menyukai dimintai dan cenderung menolak permintaan. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Dalam sebuah eksperimen, seseorang berdiri di sebuah jalanan di tengah kampus. Dia meminta tolong pada orang yang lewat untuk menunjukkan sebuah alamat yang agak sulit ditemukan (yang jaraknya sekitar 5-15 menit dengan jalan kaki). Ketika ditunjukkan arah, dia berkata bahwa sebelumnya sudah ke sana tapi tidak bisa menemukan. Dia pun meminta tolong orang yang lewat itu untuk mengantarkan ke sana (bayangkan harus mengantarkan orang dengan jalan kaki selama 15 menit, tempatnya lebih terpencil, dan orang tidak bisa sambil lewat ke sana).
Diperlukan berapa banyak pengajuan permintaan pada orang yang lewat sampai menemukan orang yang mengatakan “ya” bersedia mengantar? Rerata orang menjawab pertanyaan itu sejumlah 7,2 kali hanya untuk mendapatkan satu kata “ya”. Tetapi eksperimen membuktikan hanya diperlukan rerata 2,3 permintaan untuk mendapatkan “ya”. Berbagai penelitian serupa yang dilakukan dalam berbagai hal lain menunjukkan hasil identik. Rerata orang memperkirakan 200% lebih tinggi untuk penolakan permintaan. Artinya, kebanyakan orang terlalu merendahkan potensi orang lain untuk memenuhi permintaan.[5] Asalkan mau meminta, orang cenderung mau memberikannya. Dan orang dengan advokasi-diri tinggi adalah orang-orang yang mau melakukannya. Sebagai konsekuensinya, mereka pun menjadi orang-orang yang mendapatkan apa yang diinginkannya.
Darimana advokasi-diri berasal?
Sebuah studi yang dilakukan oleh Jesica M. Calarco, sebagaimana dipublikasikan dalam American Sociological Review, dengan judul “I Need Help! Social class and children's help-seeking in elementary school” (2011), memperlihatkan bahwa kemampuan advokasi-diri telah muncul sejak masa anak-anak.[6] Dalam studi longitudinalnya selama 3 tahun, sejak anak duduk di bangku kelas 3 sampai kelas 5 Sekolah Dasar, diketahui bahwa anak-anak dari keluarga kelas-menengah (middle-class) lebih banyak bertanya dan lebih banyak meminta bantuan guru. Alih-alih menunggu, mereka memanggil guru dan menginterupsi guru untuk mengajukan permintaan bantuan. Jika tidak bisa mengerjakan sebuah tugas, mereka langsung memanggil guru saat itu juga untuk meminta bantuan meskipun si guru sedang membantu anak lainnya. Mereka tidak segan mengganggu jalannya kelas demi mendapatkan bantuan untuk dirinya. Alhasil mereka mendapatkan lebih banyak dukungan dan bantuan dari guru, lebih sedikit waktu menunggu bantuan, dan lebih banyak tugas yang berhasil diselesaikan. Pada saat yang sama, karena sering meminta bantuan, mereka justru dianggap sebagai siswa yang lebih berkompeten. Di sisi lain, anak dari kelas bawah (working-class) jarang meminta bantuan guru. Ketika kesulitan, mereka cenderung menyelesaikannya sendiri atau hanya meminta bantuan teman. Perbandingan permintaan bantuannya sangat jauh, dari 7 permintaan dari anak keluarga kelas-menengah hanya ada 1 permintaan dari anak keluarga kelas-bawah.
Berikut sebuah contoh kasus dalam penelitiannya:
“Dalam sebuah kelas yang diajar Ibu Dunham, anak-anak diminta untuk membaca nyaring sebuah novel. Ketika Sadie selesai membaca bagiannya, dia memilih Jesse, seorang anak kelas-bawah yang penuh semangat untuk melanjutkan. Saat itu Jesse sedang mencondongkan tubuh ke Sammy, seorang anak kelas-menengah yang duduk di sebelahnya, untuk menunjukkan sesuatu dalam bukunya. Mendengar namanya dipanggil, Jesse kembali ke bukunya. Dia menyapu halaman buku mencari tahu di mana dia harus melanjutkan membaca. Matanya membesar dan mulai ketakutan. Setelah cukup lama, dia tidak berhasil menemukannya. Ibu Dunham menatapnya dengan skeptis. Melihat ke bukunya sendiri, Ibu Dunham membaca dua kata pertama yang seharusnya dibaca Jesse, “Mercy pergi…. Halaman 206.” Jesse meresponnya penuh terima kasih. “Oh! Okay.” Lalu dengan cepat dia menemukan paragraf yang harus dibaca dan mulai membaca nyaring untuk seluruh kelas. Ketika selesai membaca, Jesse memilih Riley, seorang anak kelas-menengah jago atletik, untuk melanjutkan. Saat itu Riley sedang memperhatikan tali sepatunya, dan sekarang matanya langsung terbuka lebar. Dia segera memalingkan kepalanya ke Ibu Dunham dan berseru memohon, “Tunggu! Sampai dimana?!” Ibu Dunham mengingatkan Riley bahwa sampai di halaman 206. Lalu Ibu Dunham membaca beberapa kata pertama dalam paragraf yang harus dibaca Riley agar Riley bisa tahu di mana harus melanjutkan.”
Meskipun Jesse biasanya ramah dan penuh semangat dalam berpartisipasi (suka rela membaca atau melakukan sesuatu) dan tampaknya sangat berterima kasih dibantu, tapi dia jarang meminta bantuan. Jesse pun berisiko dianggap apatis atau tidak terlibat dalam pembelajaran. Sebaliknya, karena sering meminta bantuan, Riley justru tampak terlihat lebih cepat menangkap pelajaran dan lebih terlibat dalam pembelajaran. Jadi, walaupun sumberdaya yang tersedia di sekolah (guru) sama bagi Riley dan Jesse, tetapi Riley bisa mendapatkan keuntungan lebih besar karena berhasil membuat sumberdaya yang tersedia lebih mendukungnya. Perbedaan advokasi-diri itu menjadi salah satu penjelasan mengapa anak-anak kelas-menengah lebih unggul di sekolah ketimbang anak-anak kelas-bawah.
Dalam studinya, Jesica Calarco menemukan bahwa keterampilan meminta pada anak-anak kelas-menengah merupakan hasil latihan. Orangtua kelas-menengah secara eksplisit mendorong anaknya untuk meminta bantuan dari guru, serta dengan sengaja melatih bahasa dan strategi untuk mengajukan permintaan bantuan kepada guru. Hasilnya, anak-anak kelas menengah masuk sekolah dengan senjata lebih baik untuk mengamankan sumberdaya di sekolah yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya dengan cepat dan benar. Meskipun tidak memfavoritkan anak-anak dari keluarga kelas-menengah di atas anak-anak keluarga kelas-bawah, para guru lebih responsif pada permintaan bantuan dari anak kelas-menengah karena mereka lebih banyak meminta dan lebih terampil melakukannya. Hasilnya, anak-anak kelas-menengah mendapatkan lebih banyak perhatian dan kesempatan. Sebaliknya, orangtua kelas-bawah tidak melakukan apa-apa untuk membantu anaknya terampil meminta.
Fenomena sekolah dasar di atas merupakan fenomena umum di berbagai aspek kehidupan. Ada orang-orang dengan advokasi-diri tinggi seperti Riley yang tak segan bertanya dan meminta bantuan, dan ada orang-orang seperti Jesse yang tidak mau melakukannya. Mereka yang seperti Riley bisa membuat sumberdaya yang ada di sekitarnya lebih menguntungkan baginya, karena mereka proaktif memintanya. Sebaliknya, mereka yang seperti Jesse tidak bisa memanfaatkan sumberdaya yang tersedia karena tidak memiliki keterampilan meminta. Maka, hasilnya pun jelas, para Riley selalu lebih unggul dari para Jesse.
Temuan Jesica M. Calarco senada dengan studi longitudinal yang dilakukan oleh Annete Lareau, seorang profesor sosiologi dari Universitas Pennsylvania, AS, yang sangat terkenal dan dibukukan dengan judul “Unequal Childhoods: Class, race, and family life” (2003, 2011). Menurutnya, advokasi-diri ditumbuhkan melalui suatu pola asuh tertentu yang disebutnya sebagai “concerted cultivation”, yang merupakan pola asuh khas keluarga kelas menengah-atas dan terdidik.[7] Orangtua dengan pola asuh ‘concerted cultivation’ secara aktif memupuk talenta, opini dan keterampilan anak-anaknya. Mereka memberikan kesibukan pada anak-anaknya dengan berbagai aktivitas terstruktur, misalnya mengikutkan ke beberapa jenis les dan kegiatan berbeda. Dengan demikian, anak belajar menghadapi orang dari dunia yang berlainan dan mempelajari aturan-aturan yang berlaku di berbagai macam situasi berbeda. Perkembangan anak-anaknya pun dimonitor dari dekat. Mereka bernegosiasi untuk kepentingan anak-anaknya. Jika ada sebuah pertandingan sepakbola antar sekolah sepakbola (SSB) dan ada orangtua yang memohon pada pelatih agar memainkan anaknya meskipun sesungguhnya si anak tidak terpilih untuk dimainkan, maka bisa ditebak kalau orangtua itu menerapkan pola asuh ‘concerted cultivation.’ Bagi mereka, bakat yang tampak terlihat pada anak-anaknya merupakan panggilan untuk terlibat aktif dalam pengembangannya.[8] Dalam obrolan, orangtua bernalar dengan anak-anaknya (misalnya menjawab pertanyaan dengan pertanyaan). Anak-anak didengarkan pendapatnya serta diajak berdiskusi. Anak-anak juga diajari dengan sengaja cara mengungkapkan pikiran, menyampaikan komplain dan mengajukan permintaan. Mereka dilatih untuk membuat membuat otoritas/institusi bekerja melayani mereka. Hasilnya, melalui pola asuh seperti itu, anak-anak membangun kesadaran akan hak (sense of entitlement) sekaligus belajar memintanya dari orang lain. Anak-anak menjadi terampil membuat otoritas atau institusi (misalnya sekolah) untuk mengistimewakan mereka. Riley contohnya.
Sebaliknya, orangtua dari kalangan menengah-bawah cenderung mengasuh dengan asas “tumbuh alami” (the accomplishment of natural growth). Anak-anak dibiarkan tumbuh dengan sendirinya. Waktu bebas (usai pulang sekolah dan liburan) adalah waktu bebas bermain tanpa kegiatan terstruktur dengan lingkungan yang cenderung itu-itu juga (teman sekolah, tetangga, saudara, televisi). Alih-alih bernalar dengan anak-anaknya, para orangtua hanya memberikan perintah. Tidak ada diskusi. Anak-anak tidak diajari secara sengaja cara untuk mengungkapkan pikiran, menyampaikan komplain dan mengajukan permintaan. Pada saat yang sama, orangtua menengah-bawah cenderung enggan mendekati otoritas (misalnya polisi, guru, dokter, pejabat pemerintah) karena tidak tahu bagaimana menghadapinya. Alhasil anak-anak pun belajar hal yang sama. Ketika bertemu mereka, misalnya saat ke dokter, anak-anak menjadi cenderung takut, cemas dan hanya diam menunggu instruksi tanpa berani aktif bertanya. Saat anak-anak menghadapi masalah di sekolah, alih-alih bernegosiasi untuk kepentingan anaknya, para orangtua malah cenderung mengungkapkan frustrasi atas berbagai keterbatasan yang dimilikinya dan menghindar. Mereka tidak bisa membuat otoritas/institusi bekerja melayani mereka. Sebagai hasilnya, anak-anak pun ikut mengembangkan kesadaran akan keterbatasan (sense of restraint) dalam dirinya. Anak-anak tidak mampu membuat dirinya diistimewakan oleh otoritas/institusi. Jesse contohnya.
Berkat advokasi-diri, anak-anak dari pola asuh ‘concerted cultivation’ cenderung menjadi anak yang lebih didengarkan dan lebih dihargai oleh rekan-rekan sebayanya (peers). Status mereka tinggi di antara rekan sekelas atau sepermainan. Mereka menjadi anak-anak yang diistimewakan. Pada gilirannya, kondisi tersebut meningkatkan harga diri anak. Sebaliknya, anak-anak dari pola asuh “alam” cenderung memiliki status rendah di antara teman-temannya. Jika hal itu terus berlanjut dalam jangka waktu lama, akan terbentuk harga diri yang rendah, yang berujung pada status yang rendah pula di masyarakat. Oleh karena itu, menumbuhkan advokasi-diri sangat penting. Apalagi, sesuai dengan premis Judith Rich Harris dalam buku revolusionernya, “The Nurture Assumption” (2009), teman sebaya memiliki pengaruh lebih penting dari orangtua dalam membentuk perilaku anak di masa depan.[9] Yang bisa dilakukan orangtua adalah mempersiapkan anak agar memiliki keterampilan menjadikan dirinya istimewa di antara teman-temannya: memiliki status tinggi dan tidak menjadi bahan olokan.
Keberanian dalam advokasi-diri bisa muncul dari situasi ketika gagal sudah tidak memberikan kerugian apapun! Berkali-kali gagal, sampai ketika kemungkinan gagal lagi sudah tidak memberikan kerugian apa-apa, bisa membuat orang menjadi berani-nekad (“Apa salahnya mencoba lagi. Kalau gagal, toh tidak ada ruginya juga!). Misalnya, ada seorang dokter yang memiliki ide atau terobosan baru dalam pengobatan. Namun metode itu belum teruji dan ditentang oleh semua kolega dan atasannya. Tapi sang dokter tetap berani mencobanya pada pasien. Mengapa? Karena apabila pasien dibiarkan atau diobati dengan cara konvensional, maka pasien akan tetap mati juga. Jadi menurutnya, tidak akan ada ruginya mencoba.[10]
[1] Tentang kajian mengenai keberanian (courage) lihat diantaranya Pury & Woodard (2009), Putnam (2001), Woodard (2004), Yang, Milliren, & Blagen (2010)
[2] Untuk contoh kisah-kisah keberanian: bagaimana keberanian itu muncul dan mendorong sukses, lihat misalnya buku karya Malcolm Gladwell yang berjudul “David and Goliath” (Gladwell, 2013). Lihat juga Miller (2002).
[3] Barangkali tidak ada contoh lebih baik dan lebih ekstrem tentang advokasi-diri, selain para pelopor yang mendobrak zaman. Sebagai misal, Bung Karno dan Bung Hatta adalah orang-orang dengan advokasi-diri tinggi yang sadar akan hak-haknya dan berani menuntut pada pemerintah kolonial Belanda saat itu, meskipun konsekuensinya berupa pemenjaraan dan pengasingan bertahun-tahun. Tulisan Bung Karno yang berjudul “Indonesia Menggugat” dan tulisan Bung Hatta yang berjudul “Indonesia Merdeka”, yang merupakan pembelaan mereka di depan pengadilan Belanda tahun 1930 dan 1928 (yang saat pengadilan berlangsung, masing-masing masih berusia 29 dan 26 tahun), sangat direkomendasikan untuk dibaca. Kedua tulisan tersebut telah diterbitkan kembali oleh PUSTEP UGM. Lihat, Mubyarto (2005a, 2005b). Tentang tokoh-tokoh lain di Indonesia yang menjadi pelopor dan pendobrak, lihat misalnya Abdullah, Mahasin & Dhakidae (eds.) (1978).
[4] Lebih lanjut tentang persuasi, lihat Cialdini (2001, 2007), Goldstein, Martin & Cialdini (2007), dan Kenrick, Goldstein & Braver (eds.) (2012).
[5] Lihat Flynn & Lake (2008), Bohns & Flynn (2010), Flynn & Bohns (2012). Tentang kumpulan review berbagai temuan dalam penelitian tentang topik persuasi, lihat Goldstein, Martin & Cialdini (2007) dan Kenrick, Goldstein & Braver (eds.) (2012).
[6] Calarco (2011).
[7] Lareau (2003, 2011). Lihat juga Lareau (2002)
[8] Misalnya jika anak tampak terlihat memiliki suara merdu dan pandai menyanyi, maka akan dimasukkan ke sekolah vokal. Jika tampak menikmati musik maka akan dimasukkan ke kursus musik. Salah satu contoh model pengasuhan “concerted cultivation” adalah gaya pengasuhan para orangtua yang dipengaruhi oleh tradisi konfusius, seperti China, Jepang dan Korea, termasuk etnis diasporanya, seperti etnis Tionghoa di Indonesia. Lihat buku karya Amy Chua, yang berjudul “Battle Hymn of the Tiger Mother” (Chua, 2011) untuk mendapatkan gambaran ekstrem tentang bagaimana model pengasuhan mereka. Lihat juga Nissbet (2009) untuk review keunggulan anak-anak Asia Timur sebagai hasil dari pola asuh tersebut. Pada prinsipnya, pengasuhan ala ‘asia timur’ itu menekankan bahwa keberhasilan dan prestasi anak-anak merupakan cerminan langsung dari keberhasilan pengasuhan. Oleh karena itu mereka berusaha sedapat mungkin melibatkan diri dalam pendidikan anak-anaknya agar bisa berprestasi. Filosofi dasarnya berasal dari pengaruh ajaran Konfusius yang menyatakan bahwa keahlian atau prestasi merupakan hasil kerja keras. Tentang review dan kritik model pengasuhan/pendidikan ala Asia, silakan lihat di antaranya Kim (2013), Kim, dkk. (2013), Choi, dkk. (2013), Muhtadie, dkk. (2013), Cheah, Leung & Zhou (2013), Eisenberg, dkk. (2009), Byun & Park (2012), Russell, Crockett & Chao (eds.) (2010), Pomerantz & Wang (2009), Sung (2010).
[9] Lihat Harris (2009). Buku yang mengupas pentingnya pengaruh teman sebaya/sepermainan/sekelas tersebut sangat direkomendasikan untuk dibaca. Premis utamanya adalah bahwa teman-teman (peers) memiliki pengaruh lebih besar dalam membentuk perilaku anak ketimbang orangtua. Kekuatiran-kekuatiran banyak orangtua tentang pengasuhan yang dipraktekkannya (“salahkah saya mengasuh anak begini?”), terutama akibat beredarnya buku-buku populer tentang pengasuhan anak, sebenarnya banyak yang tidak beralasan. Menurut Judith Rich Harris, pada dasarnya, sebaik-baiknya persiapan yang bisa dilakukan orangtua untuk membentuk perilaku anak adalah menyiapkan anak agar lebih terampil bergaul dengan anak-anak lainnya atau agar menjadi anak istimewa di antara teman-temannya.
[10] Lihat kisah-kisah orang yang berani karena kegagalan tidak rugi apapun lagi, dalam buku karya Malcolm Gladwell yang berjudul “David and Goliath” (Gladwell, 2013).
Referensi
Referensi
Bohns, V.K., & Flynn, F.J. (2010). ‘‘Why
didn’t you just ask?” Underestimating the discomfort of help-seeking. Journal of Experimental Social Psychology,
46, 402-409.
Byun, S., & Park, H. (2012). The
academic success of East Asian American youth: The role of shadow education. Sociology of Education, 85, 1, 40-60.
Calarco, J.M. (2011). 'I need help!' Social class and children's
help-seeking in elementary school. American
Sociological Review, 76, 6, 862–882.
Cheah, C.S.L., Leung, C.Y.Y., & Zhou, N.
(2013). Understanding “tiger parenting” through the perceptions of Chinese
immigrant mothers: Can Chinese and U.S. parenting coexist? Asian American Journal of Psychology, 4, 1, 30–40.
Choi, Y., Kim, Y.S., Kim, S.Y., & Park,
I.K. (2013). Is Asian American parenting controlling and harsh? Empirical
testing of relationships between Korean American and western parenting
measures. Asian American Journal of
Psychology, 4, 1, 19–29.
Chua, A. (2011). Battle Hymn of the Tiger Mother. New York: Penguin Press.
Cialdini, R.B. (2001). Influence: Science and practice, 4th ed. Boston: Allyn & Bacon.
Cialdini, R.B. (2007). Influence: The psychology of persuasion. New York: HarperCollins
Publishers Inc.
Eisenberg, N., Chang, L., Ma, Y., & Huang, X. (2009). Relations of parenting style to Chinese children’s effortful control, ego resilience, and maladjustment. Development and Psychopathology, 21, 2, 455–477.
Eisenberg, N., Chang, L., Ma, Y., & Huang, X. (2009). Relations of parenting style to Chinese children’s effortful control, ego resilience, and maladjustment. Development and Psychopathology, 21, 2, 455–477.
Flynn, F.J., & Lake, V.K.B. (2008). If
you need help, just ask: Underestimating compliance with direct requests for
help. Journal of Personality and Social
Psychology, 95, 128–143.
Flynn, F., & Bohns, V.K. (2012).
Underestimating One’s Influence in Help-Seeking. Dalam D.T. Kenrick, Noah J.
Goldstein, & Stephen L. Braver (eds.) (2012). Six Degrees of Social Influence: Science, application, and the
psychology of Robert Cialdini (hal. 14-26). Oxford: Oxford University Press.
Gladwell, M. (2013). David and Goliath: Underdogs, misfits, and the art of battling giants.
New York: Little, Brown and Company.
Goldstein, N.J., Martin, S.J., &
Cialdini, R.B. (2007). Yes! 50 secrets
from the science of persuasion. London: Profile Books.
Harris, J.R. (2009). The Nurture Assumption: Why children turn out the way they do, 2nd
ed. New York: Free Press
Kim, S.Y. (2013). Defining Tiger Parenting
in Chinese Americans. Human Development,
56, 217–222.
Kim, S.Y., Wang, Y., Orozco-Lapray, D.,
Shen, Y., & Murtuza, M. (2013). Does "tiger parenting" exist? Parenting
profiles of Chinese Americans and adolescent developmental outcomes. Asian American Journal of Psychology, 4,
1, 7–18.
Kenrick, D.T., Goldstein, N.J., &
Braver, S.L. (eds.) (2012). Six Degrees
of Social Influence: Science, application, and the psychology of Robert
Cialdini. Oxford: Oxford University Press.
Lareau, A. (2002). Invisible inequality:
Social class and childrearing in black families and white families. American Sociological Review, 67,
747–776.
Lareau, A. (2003). Unequal Childhoods: Class, race, and family life. Berkeley:
University of California Press.
Lareau, A. (2011). Unequal Childhoods: Class, race, and family life, 2nd ed.
Berkeley: University of California Press.
Miller, I.W. (2002). The Mystery of Courage. Massachusetts:
Harvard University Press
Mubyarto (ed.) (2005). Moh. Hatta: Indonesia Merdeka (penerbitan ulang dari naskah asli
tahun 1928). Yogyakarta: Pustep UGM.
Mubyarto (ed.) (2005). Soekarno: Indonesia Menggugat (penerbitan ulang dari naskah asli
tahun 1930). Yogyakarta: Pustep UGM.
Muhtadie,
L., Zhou, Q., Eisenberg, N., & Wang, Y. (2013). Predicting internalizing
problems in Chinese children: The unique and interactive effects of parenting
and child temperament. Development and
Psychopathology, 25, 3, 653–667.
Pomerantz, E.M., & Wang,
Q. (2009). The role of parental control in children’s development
Pury, C.S.L., & Woodard, C. (2009).
Courage. Dalam Shane J. Lopez (ed.), The
Encyclopedia of Positive Psychology, hal. 247-254. West Sussex: Blackwell
Publishing
Putnam, D. (2001). The emotions of courage. Journal of Social Philosophy, 32, 4,
463-470.
Russell, S.T., Crockett, L.J., & Chao,
R.K. (eds.) (2010). Asian American
Parenting and Parent-Adolescent Relationships. New York: Springer.
Sung, H.Y. (2010). The influence of culture
on parenting practices of East Asian families and emotional intelligence of
older adolescents. School Psychology
International, 31, 2, 199–214.
Woodard, C.R. (2004). Hardiness and the
concept of courage. Consulting Psychology
Journal, 56, 3, 173–185.
Yang, J., Milliren, A.P., & Blagen, M.T.
(2010). The Psychology of Courage: An Adlerian handbook for healthy social
living. New York: Routledge