14.11.18

Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultural

Strategi Meningkatkan Kompetensi Guru dalam Melaksanakan Pendidikan Multikultural




Achmanto Mendatu

---Tulisan 2004


Indonesia merupakan bangsa multietnik dan multikultur. Sampai saat ini tercatat ada lebih dari 500 etnik yang menggunakan lebih dari 250 bahasa (Suryadinata, 1999). Masing-masing etnik itu tidak berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen tetapi saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung (Abdillah, 2001), serta saling mempengaruhi satu sama lain (Siahaan, 2003). Interaksi sosial yang terbentuk dengan keberagaman ini memerlukan suatu pemahaman lintas budaya (Matsumoto, 1996), dan rasa percaya pada setiap pihak yang terlibat dalam interaksi itu, yang merupakan modal sosial (Ancok, 2003) bagi terbentuknya suatu hubungan antar etnik-antar budaya yang sehat, sejahtera dan maju. Bilamana tidak, maka mustahil suatu Indonesia yang damai dan sejahtera bisa diwujudkan.

Menumbuhkan pemahaman lintas budaya mutlak diperlukan dalam masyarakat Indonesia yang multietnik dan multikultur. Adapun cara yang dilakukan bisa melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui pendidikan multikultur, yaitu pendidikan yang dapat menfasilitasi siswa dalam memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang kultural (Bryant, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi multietnik-multikultur (Matsumoto, 1996). Dimensi yang terkandung dalam pendidikan multikultur ada lima, yaitu integrasi isi, konstruksi pengetahuan, pengurangan prasangka, keadilan pedagogik, dan empowering kultur sekolah (Banks, 1994). Salah satu bentuknya adalah pembelajaran agar siswa terikat dengan lingkungan budayanya dengan pengajaran ethnoscience, yakni topik pembelajaran yang membahas keterkaitan antara Ilmu Pengetahuan Alam dengan etnik atau budaya manusia (Lara-Alecio, 2001). Bentuk yang lain adalah manajemen kelas yang baik yang memungkinkan terciptanya kerjasama antara siswa dengan berbagai latar belakang kultural (Brown, 1995) dan meningkatkan hubungan antar siswa yang berbeda kultur dengan berbasis kurikulum (Santrock, 1999). Pendidikan multikultur terintegrasi kedalam berbagai mata pelajaran dan sistem yang diberlakukan dalam suatu institusi pendidikan.

Guru merupakan ujung tombak dari pendidikan multikultur. Peran guru sangat menentukan dalam keberhasilan mendorong pemahaman lintas budaya pada peserta didik. Apa yang disampaikan guru, cara guru mengajar, dan kepribadian guru sangat mempengaruhi keberhasilan pembelajaran (Syah, 2002), demikian juga latar belakang kultural guru akan turut membentuk persepsi murid terhadap kulturnya (Cabello & Burstein, 1995). Guru yang tidak memahami latar belakang budayanya sendiri dan tidak sensitif budaya atau tidak memiliki pemahaman lintas budaya tidak bisa diharapkan sukses dalam menerapkan pendidikan multikultur (Banks, 1994). Oleh karena itu sangatlah penting untuk menyiapkan guru memiliki pemahaman lintas budaya sehingga mampu menyelenggarakan suatu pendidikan multikultur.

Pendidikan tingggi yang bertugas menyiapkan calon guru, seperti misalnya IKIP maupun Fakultas Keguruan lainnya, sudah seharusnya memiliki strategi yang memadai dalam upaya meningkatkan kompetensi calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Strategi dimaksud bisa secara nyata terdapat dalam kurikulum maupun melalui beragam cara lainnya yang diselenggarakan dalam proses pengajaran. Keberhasilan dari suatu pendidikan tinggi bahkan bisa dilihat dari kemampuannya menyiapkan kompetensi itu.

Setidaknya ada empat strategi yang bisa digunakan dalam meningkatkan kompetensi mahasiswa calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Empat strategi dimaksud diambil dari Journal of Teacher Education, yaitu Issues Exchange Activity (Marshall, 1998)., ABC’s Model (Xu, 2000), The Cultural Immersion Project (Wiest, 1998), dan Service Learning (Barton, 1999). Semua strategi itu telah dilaksanakan sebagai bagian dari tugas kuliah mahasiswa calon guru dan telah diteliti efek-efeknya terhadap peningkatan pemahaman lintas budaya mahasiswa.

1. Issues Exchange Activity
Judul : Toward Developmental Multicultural Education : Case Study of the Issues Exchange Activity.Penulis : Patricia L. MarshallSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (1) : 57-65

Issues Exchange Activity adalah serangkaian dialog akan sebuah topik yang berhubungan dengan diversitas budaya di dalam sekolah dan masyarakat yang lebih luas. Kegiatan ini dilaksanakan selama 16 kali pertemuan atau 1 semester, oleh mahasiswa peserta mata kuliah pendidikan multikultural yang diampu oleh Prof. Patricia L. Marshall di North Carolina State University. Strategi dalam Issues Exchange Activity adalah menempatkan dua orang dalam posisi berlawanan untuk berdiskusi terhadap suatu permasalahan yang terkait dengan permasalahan diversitas kultural, yang satu pro dan yang lain anti. Kemudian mereka saling bertukar tempat, yang pro menjadi anti dan yang anti menjadi pihak yang pro. Mahasiswa dipersilahkan untuk mengungkapkan cultural aversion-nya dalam diskusi itu. Tugas dosen (Marshall), adalah menentukan tema yang provokatif dan menyediakan bahan-bahan referensi baik untuk yang pro maupun yang anti, yang harus dibaca oleh mahasiswa sebelum diskusi. Salah satu contoh dari tema diskusi, yaitu “apakah beberapa kelompok kultur subordinat menggunakan ketidakadilan terhadap mereka dimasa lalu sebagai alasan atas kekurangsuksesan mereka saat ini?”

Marshall kemudian melakukan survei melalui surat untuk melihat efek dari kegiatan itu pada peserta yang mengikuti kegiatan itu satu tahun (7 orang) dan dua tahun (8 orang) sebelumnya. Melalui laporan dari para peserta, Ia menemukan bahwa :

  1. Hampir semua mahasiswa melaporkan bahwa sebelum mengikuti kegiatan itu mereka memiliki sikap yang kemudian mendapatkan tantangan setelah mengikuti kegiatan. Mereka mengakui memiliki personal bias (prasangka, berpikiran sempit, dll) yang dikonfrontir dalam kegiatan itu.. Mereka melaporkan menjadi lebih reseptif terhadap cara pandang orang lain.
  2. Kegiatan itu membuat mereka lebih kritis terhadap perbedaan kultural diantara pelajar di dalam sekolah dan lebih mampu untuk memahami cara berpikir (perspectives-taking) orang-orang dalam kultur yang berbeda.
  3. Mereka lebih terbuka terhadap isu-isu rasial/etnisitas dan membuat pikiran mereka lebih terbuka
  4. Mereka melaporkan bahwa efek dari kegiatan itu ditransfer ke dalam kehidupan profesional mereka (termasuk didalamnya sebagai pengajar di sekolah).

2. ABC’s Model
Judul : Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Intruction : An Adaptation of the ABC’s ModelPenulis : Hong XuSumber: Journal of Teacher Education, 2000, 51 (2) : 135-148.

Model ABC ini melandaskan premis bahwa seseorang harus memahami latar belakang kulturnya sendiri dan nilai-nilai didalamnya sebelum memahami latar belakang kultural orang lain. Belajar mengenai pengalaman hidup orang lain akan membawa seseorang ke budaya orang tersebut, dan analisis lintas budaya mengenai budaya sendiri dan budaya orang lain, pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran akan kesamaan dan perbedaan diantara berbagai budaya.

Kegiatan peningkatan kompetensi multikultural model ABC ini merupakan proyek penelitian yang melibatkan 20 mahasiswa calon guru di Texas Tech University. Model ABC ini terdiri dari lima komponen, yaitu :

  1. Otobiografi. Calon guru menulis otobiografi dengan memasukkan nilai-nilai budaya dan pengalaman hidup. Mereka juga menggambarkan tentang pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan di sekolah.
  2. Biografi. Calon guru membuat studi kasus dengan melakukan interview terhadap seorang murid mengenai latar belakang keluarga dan kulturnya, serta pengalaman belajar tulis menulis di rumah dan disekolah. Kemudian hasilnya ditulis dalam biografi.
  3. Analisis lintas budaya. Calon guru mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara kisah tentang diri mereka dan studi kasus yang dilakukannya terhadap seorang murid tadi dengan menggunakan chart.
  4. Analisis perbedaan budaya. Dikelas didiskusikan hasil dari analisis lintas budaya yang dan studi kasus yang dilakukan, serta ketidaknyamanan mereka terhadap perbedaan budaya.
  5. Praktik di kelas. Calon guru berpraktik mengajar didepan kelas. Pertama ia harus mengetahui kemampuan menulis dan membaca murid-muridnya melalui mengeja dan membaca secara informal. Kemudian ia menerapkan pengetahuan mengenai strategi intruksional dan literatur anak-anak, terhadap murid-muridnya berdasarkan kebutuhan murid-murid tersebut. Mereka mendokumentasikan aplikasi setiap strategi dalam sebuah lembaran strategi dan mencatat literatur anak-anak di lembaran literatur. Di akhir tugas lapangan ini, mereka membuat laporan studi kasus dengan dilengkapi dengan pengalaman mengajar dan insight mereka dalam mengajar pelajar yang berbeda-beda.
Xu melakukan penelitian terhadap otobiografi, biografi, chart analisis lintas budaya, lembaran strategi dan literatur, serta melalui observasi langsung. Ia menemukan bahwa :
- Otobiografi membuat mereka lebih memahami latar belakang budaya sendiri.
- Mereka lebih memahami kultur dan keluarga murid dan kesulitan-kesulitan mereka dalam belajar tulis-menulis.
- Mereka menyadari adanya perbedaa-perbedaan antara diri mereka dengan murid-murid dan berpikir lebih positif mengenai perbedaan itu.
- Mereka mengeksplorasi dan mengintegrasikan perbedaan ke dalam intruksi pengajaran. Mereka melakukan dua pendekatan; 1) integrasi isi dari literatur multikultural, 2) mengaplikasikan strategi instruksional dalam membaca dan menulis yang sesuai dengan latar belakang murid.

3. The Cultural Immersion Project
Judul : Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences,Penulis : Lynda R. WiestSumber: Journal of Teacher Education, 1998, 49 (5) : 358-365.

"The cultural immersion Project” merupakan tugas wajib bagi mahasiswa calon guru di University of Nevada, yang tergabung dalam mata kuliah Aspek sosiokultural dalam pendidikan, yang juga sekaligus sebagai. penelitian yang dilakukan oleh Lynda R. Wiest. Proyek ini melibatkan tiga kelas, dengan total 86 subjek. Proyek ini bertujuan membantu mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai budaya lain dan mengerti bagaimana merasakan menjadi anggota kelompok minoritas, sebagai status yang subordinat di masyarakat. Proyek itu membuat mahasiswa calon guru berpartisipasi langsung ke dalam kultur yang tidak begitu dikenalnya selama minimum satu jam dan kemudian mempertimbangkan kemungkinan bagaimana penerapan pengajaran didepan kelas mengenai apa yang telah dipelajari.

  1. Mereka harus memilih sebuah pengalaman dalam budaya yang berbeda dengan budayanya sendiri, dan itu harus minimal selama 1 jam.
  2. Mereka tidak boleh hanya mengobservasi tetapi harus turut berpartisipasi dan berinteraksi dengan anggota kelompok budaya lainnya, jikalau mungkin.
  3. Interaksi dengan anggota kelompok budaya lain tidak boleh hierarkis, interaksi itu harus terdapat adanya power yang seimbang.
  4. Jika mungkin mereka memilih sebuah pengalaman budaya lain dalam situasi berbeda-beda.
  5. Melakukannya sendiri, dan harus terpisah dengan rekan lain apabila mengambil suatu topik yang sama.
  6. Mahasiswa harus menulis paper 4-5 halaman, sebagai laporan kegiatan itu. Laporan terdiri atas 3 bagian, yaitu : 1) Latar belakang, 2) Respon personal yang berisi, dan 3) Implikasi untuk pendidikan.,

Berdasarkan hasil penelitian melalui teknik komparatif dari 86 hasil paper yang dikumpulkan oleh mahasiswa, Wiest mengidentifikasi beberapa keuntungan dari program tersebut:
  1. Informasi baru mengenai budaya khusus yang berbeda. Mahasiswa memperoleh informasi baru mengenai tradisi, adat, dan sikap yang berbeda dengan yang dimiliki.
  2. Tantangan terhadap keyakinan dan pengertian yang dimiliki. Beberapa mahasiswa mengakui mendapatkan pengetahuan kultural yang melenyapkan stereotip, miskonsepsi, dan ketakutan-ketakutan terhadap kelompok yang dikunjungi.
  3. Meningkatkan skil personal dan profesional. Mahasiswa mengalami peningkatan kemampuan untuk melihat sebuah situasi melalui perspektif budaya yang berbeda dan meningkatkan empati pada perasaan orang saat berada di dalam budaya yang dominan atau familiar.
  4. Mendapatkan insight bagaimana mengajar pelajar yang berbeda-beda kulturnya. Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa pelajar dari kelas bawah harus diperkuat kebutuhannya, yakni dalam kebutuhan fisik (pakaian, sepatu, dll), keamanan (stabilitas di sekolah), dan harga diri. Beberapa menyatakan bahwa pelajar dari kaum minoritas harus dibuat nyaman didalam kelas.

4. Service Learning
Judul : Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case StudyPenulis : Angela Calabrese BartonSumber: Journal of Teacher Education, 1999, 50 (4) : 303-314.

Belajar melayani komunitas diartikan sebagai aktivitas belajar yang mengkombinasikan belajar di ruang kelas dengan aksi sosial dan pelayanan. Angela Barton mengaitkan antara service learning itu dengan kesiapan calon guru dalam menyelenggarakan pendidikan sains multikultural, yakni pengajaran sains yang tidak memiliki kendala latar belakang kultural. Dalam proyek yang diteliti Barton, service learning dilakukan dalam tiga tahapan :

  1. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam seminar yang mengeksplorasi berbagai teori dan praktik yang terkait dengan pendidikan sains, pendidikan multikultural, dan pendidikan kaum urban.
  2. Mahasiswa calon guru berpartisipasi dalam merencanakan pelajaran dan persiapan seminar.
  3. Mereka mengajar di Homeless-Children Shelter selama 2 kali seminggu. Mereka didorong untuk mengkontruksi cara-cara agar sains bisa dipahami berdasarkan nilai-nilai, keyakinan, pengalaman, dan kultur murid. Mereka juga didorong untuk mengajar secara privat.
Hasil dari kegiatan itu sebagai berikut :
  1. Merubah ide mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru memiliki ide-ide baru bagaimana mengajarkan sains yang berperspektif multikultural, dengan mengaitkan antara pendidikan sains multikultural dengan keadaan sekolah, dan permasalahan sosial-politik.
  2. Merubah cara pandang mengenai pendidikan sains multikultural. Para calon guru awalnya melihat hal itu sama seperti pendidikan sains regular yang ditemui, tapi mereka akhirnya memperoleh pemahaman bahwa pendidikan sains di kultur yang berbeda juga berbeda. Mereka melihat pendidikan sains multikultural lebih kompleks
  3. Para calon guru menjadi sadar bagaimana keyakinan mereka mengenai sains, persekolahan dan masyarakat mempengaruhi hubungan mereka dengan murid-murid.
-
Secara umum, keempat strategi mendasarkan pada asumsi bahwa dalam memahami segala sesuatu yang berbeda, masing-masing orang dari budaya yang berbeda memiliki prototip pikirannya sendiri yang berbeda satu sama lain dalam memahami realitas (Matsumoto, 1996). Memahami adanya perbedaan boleh jadi bisa meningkatkan pemahaman multikultur akan tetapi jauh lebih baik lagi apabila individu bisa langsung merasakan terlibat dalam budaya yang berbeda (Triandis, 1994). Dalam hal ini, strategi ‘The Cultural Immersion Project’ mensyaratkan mahasiswa untuk langsung terlibat dalam budaya yang berbeda sehingga langsung menyentuh ranah afektif. Demikian juga dengan strategi ‘Service Learning’ menghendaki adanya keterlibatan dengan orang-orang yang secara kultur berbeda, meskipun dengan intensitas yang lebih rendah. Adapun strategi ‘Issues Exchange Activity’ dan ‘ABC’s Models’ cenderung menggunakan ranah kognitif, yakni memahami adanya perbedaan budaya melalui beragam informasi yang berhasil dikumpulkan dari orang-orang yang berbeda budaya.

Empat strategi diatas menggunakan adanya otoritas yakni dosen pengampu mata kuliah sebagai legalisasi pelaksanaan kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown (1996) dimana menurutnya strategi peningkatan pemahaman lintas budaya dan. pengurangan prasangka memerlukan adanya tekanan pihak otoritas sehingga kegiatan yang dilaksanakan bisa berjalan baik. Terlihat juga bahwa keempat strategi menggunakan kelas sebagai sarana pembelajaran. Shpancer (2004) menyebutkan bahwa agar strategi kelas berhasil baik dalam pengajaran, maka diperlukan strategi yang bisa membuat mahasiswa mencapai ‘insight’ hingga bisa tercetus ide “aha, saya mengerti”. Dari keempat strategi di atas tampak sekali bahwasanya semuanya berupaya untuk memberikan ‘insight’ kepada mahasiswa calon guru, baik melalui pengalaman maupun dari pengetahuan yang diperoleh sendiri, daripada sekedar memberikan pengetahuan adanya suatu kultur yang berbeda.

-

Pertanyaan yang biasa muncul ketika menggunakan studi literatur dari jurnal yang terbit di luar negeri adalah ‘apakah cara itu akan efektif diterapkan di Indonesia, mengingat budaya yang berbeda?’ Pertanyaan tersebut mungkin relevan ditanyakan berkait dengan tema makalah ini. Saya berasumsi bahwa strategi itu bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia. Setidaknya ada dua alasan mengapa demikian, pertama, strategi itu melandaskan premis yang berlaku universal yaitu paradigma ingroup-outgroup yang menghasilkan prototip pikiran yang berbeda antar budaya yang berbeda. Oleh karena itu, sepanjang terdapat adanya perbedaan budaya di dalam masyarakat maka strategi itu bisa diterapkan. Kedua, strategi diatas bukan merupakan strategi yang terikat pada basis budaya individualistik maupun kolektivistik karena masing-masing dari tugas justru akan menyadarkan individu untuk memahami budayanya sendiri lebih baik serta memahami budaya yang berbeda dengan lebih baik pula. Artinya, strategi-strategi itu bisa berlaku disegala macam budaya yang berada dalam tataran modern, dengan sedikit penyesuaian tentunya. Pertanyaan yang lebih relevan adalah apakah strategi itu bisa diterapkan di Indonesia mengingat mahasiswa Indonesia pada umumnya kurang disipilin dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen, sebab strategi diatas memerlukan kesungguhan dalam mengerjakannnya.

Persoalan lain dari strategi diatas terkait dengan penelitian yang digunakan untuk mengetahui efektivitas kegiatan yang didasarkan pada laporan mahasiswa yang bisa sangat bias karena mahasiswa melaporkan hal-hal yang normatif. Oleh karena itu mungkin lebih baik apabila juga digunakan indikator atau alat ukur lain untuk menguji kebenaran pernyataan peserta.

Empat strategi diatas masing-masing dilakukan dengan melibatkan diri ke dalam kultur dan situasi yang berbeda dengan diri peserta. Semuanya memerlukan tindakan atau aksi langsung halmana membuat para peserta memiliki pengalaman berada dan ikut merasa dalam kultur yang berbeda. Akan tetapi sebenarnya masih ada lagi strategi yang lebih berorientasi kognitif yakni refleksi atas pengalaman kultural yang diperoleh melalui bacaan, film, cerita-cerita, dan sebagainya.

Strategi meningkatkan kompetensi calon guru agar bisa menjadi guru yang kompeten dalam pendidikan multikultural, setidaknya bisa dilakukan melalui empat cara, yakni strategi “Issues Exchange Activity”, “Service Learning”, “Model ABC” dan “Cultural Immersion”. Masing-masing strategi terbukti memiliki efek yang positif terhadap mahasiswa calon guru dalam memahami perbedaan kultural diantara murid-murid maupun antara dirinya dengan murid dan berbagai konsekuensinya dalam pendidikan. Lebih jauh pemahaman itu juga terbukti berefek positif terhadap meningkatnya pemahaman tentang bagaimana seharusnya pendidikan multikultural diselenggarakan.

Strategi diatas, dengan sedikit adaptasi, bisa diselenggarakan oleh institusi pendidikan di Indonesia yang menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru. Hal ini akan membantu para calon guru di Indonesia memiliki kompetensi dalam menyelenggarakan pendidikan multikultur. Sebuah ironi, bila ternyata ditengah suasana multikultur para guru tidak memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan pendidikan multikultur.


Daftar Pustaka
Abdillah, U. (2001). Politik Identitas Etnis. Magelang : IndonesiaTera

Ancok, D.(2003). Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi UGM, tidak diterbitkan.

Banks, J.A. (1994). An Introduction to Multicultural Education. Boston : Allyn & Bacon.

Barton, A.C. (1999). Crafting a Multicultural Science Teacher Education : A Case Study. Journal of Teacher Education, 50 (4) : 303-314

Brown, R. (1995). Prejudice: It’s Social Psychology. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.

Bryant, N.A. (1996). Make The Curriculum Multicultural. The Science Teacher, 63 (2), 28-31.

Cabello, B., & Burstein, N.D. (1995). Examining Teachers’ Beliefs about teaching in Culturally Diverse Classroom. Journal of Teacher Education, 46 : 285-294.

Lara-Alecio, R (2001). Science of the Maya: Ethnoscience in the Classroom. The Science Teacher, 68 (3), 48-51

Marshall, P.L. (1998). Toward Developmental Multicultural Education: A case Study of the Issues Exchange Activity. Journal of Teacher Education, 49 (1) :57-65

Matsumoto, D. (1996). Culture and Psychology. California : Brooks/Cole Publishing Co.

Santrock, J.W. (1999). Life Span Development, 7th ed. USA : Mc Graw Hill.

Siahaan, H. (2002). Sinophobia dan Ekslusivisme: antara Mitos dan Realitas, dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta: Persembahan Kepada Teuku Ibrahim Alfian, Jakarta : Yayasan Masyarakat Sejarawan dan Sinergi Press, 479-490.

Shpancer, N (2004). What Makes Classroom Learning a Worthwhile Experience. Thought & Action, The NEA Higher Education Journal, 23-35.

Suryadinata, L. (1999). Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta : LP3ES.

Syah, M. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung : Rosda Karya.

Wiest, L.R. (1998). Using Immersion Experiences to Shake Up Preservice Tachers’ Views About Cultural Diffrerences. Journal of Teacher Education, 49 (5) : 358-365.

Xu, H. (2000). Preservice Teachers Integrate Understandings of Diversity Into Literacy Instruction : An Adaptation of the ABC’s Model. Journal of Teacher Education, 51 (2) : 135-148

11.11.18

Intervensi Bijak dalam Psikologi: Apakah itu?


Intervensi Bijak dalam Psikologi:
Apakah itu?



Achmanto Mendatu


He who loves practice without theory is like the sailor who boards a ship without a rudder and compass, and never knows where he may land. — Leonardo da Vinci 


Bacalah dengan hati-hati pernyataan berikut: 
  • Seseorang menjawab sebuah pertanyaan, dan lalu kualitas hubungan romantiknya meningkat beberapa minggu.[1]
  • Pelajar diberi tugas menulis 15 menit, dan lalu bisa memangkas gap prestasi akademik hingga 40%.[2]
  • Pelajar berisiko menyelesaikan kegiatan 1 jam membaca dan menulis, dan lalu prestasi akademiknya naik, serta kesehatannya membaik selama 3 tahun ke depan.[3]
  • Orangtua dikirimi brosur yang berisi informasi tentang pentingnya matematika dan sains bagi anak di masa depan; dan lalu prestasi anak dalam matematika dan sains meningkat.[4]

Apa yang Anda pikirkan? Tidak mungkin? Mengada-ada? Hanya terjadi di dunia angan? Kenyataannya, pernyataan di atas adalah hasil penelitian eskperimen yang terukur. Berbagai studi eksperimental telah menunjukkan bahwa peningkatan dramatis performa seseorang (atau sekelompok orang) bisa dihasilkan dari intervensi sederhana yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan performa itu sendiri.[5] Selain contoh di atas, salah satu contoh lain yang dramatis adalah intervensi kecil berupa kewajiban mengisi selembar checklist untuk para perawat dan dokter sebelum melakukan operasi. Isi checklist hanya hal-hal biasa yang dianggap sudah otomatis akan dilakukan para perawat dan dokter di ruang operasi, mulai dari memperkenalkan diri sendiri ke yang lain, hingga kapan waktu tepat untuk memberikan antiseptik. Hasilnya menakjubkan, intervensi sederhana dan kecil itu bisa menurunkan komplikasi operasi hingga 36% dan tingkat kematian hingga 47%.[6] Seorang pengamat pun menyebutnya sebagai “(bukan) Tongkat sihir Harry Potter!” karena sedemikian dramatis efek yang dihasilkan. 

Gregory Walton, peneliti psikologi dari Universitas Stanford, AS, dalam artikel “The New Science of Wise Psychological Interventions”, menyebut intervensi kecil berdampak besar itu sebagai ‘Intervensi Bijak’ (Wise Intervention). Intervensinya bersifat lebih biasa dan lebih singkat (dan sepertinya remeh), namun lebih presisi. Tujuannya sederhana, yakni untuk mengubah cara berpikir tertentu (think) atau cara merasa tertentu (feel) dalam situasi dan kondisi normal keseharian, untuk membantu orang menjadi lebih sejahtera (flourish).[7] Intervensi sosial-psikologis itu mendorong seseorang untuk menilai sebuah situasi sulit atau menantang dalam cara yang produktif dan atau mengubah penilaiannya terhadap diri sendiri.[8] Dari situ diharapkan akan muncul efek-efek yang diharapkan. 

Mengapa yang diubah cara berpikir atau merasa tertentu? Sebab, pikiran, perasaan (emosi) dan perilaku saling terkait erat, serta merupakan satu kesatuan proses yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam hubungan sebab akibat: pikiran tertentu menyebabkan emosi dan perilaku tertentu, emosi menyebabkan perilaku dan pikiran tertentu, dan perilaku bisa menimbulkan emosi serta pikiran tertentu. Pada dasarnya, seseorang yang belum memiliki kualitas sukses adalah seseorang yang mungkin memiliki cara berpikir kurang akurat, atau memiliki pengaturan emosi yang tidak sesuai, atau memiliki perilaku yang tidak tepat. Asalnya bisa berakar dari faktor biologis atau hasil indoktrinasi melalui pengasuhan atau pengalaman hidup.[9] Melalui intervensi yang tepat, kualitas sukses bisa diinduksikan atau ditumbuhkan. 

Gambar apa di samping? Sebagian orang akan langsung melihatnya sebagai gambar kelinci menghadap ke kanan. Sebagian orang lagi akan melihatnya sebagai gambar bebek menghadap ke kiri. Mana yang benar? Keduanya benar. Entah Anda melihatnya sebagai bebek atau sebagai kelinci, kita tahu bahwa itu terjadi secara otomatis. Hal yang sama terjadi pada semua hal. Secara otomatis kita membuat penafsiran terhadap segala sesuatu yang terjadi. Contohnya, saat atasan menegur karena terlambat, secara otomatis (begitu saja tanpa kita sadari) kita langsung terpikir sebab-sebab sang atasan menegur: “Bos tidak pengertian!” atau “Saya memang karyawan yang buruk!” atau “Bos tidak suka saya!” atau “Saya memang salah!” atau “Saya ketangkap basah!” atau “Saya bakal dipecat!” atau yang lainnya. Apa pikiran-otomatis yang muncul dalam benak Anda? 

Pikiran-otomatis (automatic thoughts) terhadap situasi dipengaruhi oleh pikiran inti (core-beliefs) yang dimiliki seseorang.[10] Pikiran-inti merupakan pikiran paling dasar yang biasa dianggap sebagai kebenaran mutlak, bahwa seperti itulah adanya. Akan tetapi pikiran-inti tidak langsung menciptakan pikiran-otomatis. Pikiran-inti menciptakan lebih dulu pikiran-antara (intermediate-beliefs) yang terdiri dari: (1) asumsi-asumsi sebagai prediksi atas sebuah situasi; (2) sikap-sikap sebagai cara-pandang terhadap situasi, dan (3) aturan-aturan sebagai panduan untuk berperilaku dalam situasi tertentu. Lalu pikiran-antara menghasilkan pikiran-otomatis. Sebagai contoh, ketika menghadapi situasi belajar yang menantang, orang dengan pikiran inti “saya tidak kompeten,” akan otomatis berpikir “Ini terlalu sulit. Saya tidak akan bisa menguasainya.” Pikiran otomatis lalu akan menimbulkan reaksi emosional, fisiologis dan perilaku. Dia mungkin mengalami cemas (emosi), perut kejang (fisiologis), dan berhenti belajar lalu memilih menonton televisi (perilaku). Untuk lebih memudahkan penggambaran, perhatikan diagram sederhana berikut:



Jadi, pikiran-inti menghasilkan pikiran-antara yang terdiri dari asumsi-asumsi, sikap-sikap dan aturan. Lalu pikiran-antara menghasilkan pikiran-otomatis dalam situasi tertentu (dalam kasus contoh di atas, situasinya adalah membaca buku teks kuliah). Kemudian pikiran-otomatis menghasilkan reaksi emosional, fisiologis dan perilaku. Pada gilirannya, reaksi-reaksi tersebut akan mempengaruhi balik pikiran-inti.
 
Untuk hidup bahagia dan sukses, seseorang harus memiliki pikiran-inti yang tepat atau fungsional atau produktif. Jika pikiran-inti tidak tepat atau disfungsional atau destruktif, seseorang tidak akan mencapai potensi tertingginya, dan bisa mengalami hidup yang tidak produktif. Alih-alih bahagia, mereka bisa mengalami berbagai permasalahan psikologis, seperti stres dan depresi. Tanpa pikiran-inti yang tepat dan fungsional, maka juga tidak ada grit yang tinggi, kontrol-diri yang tinggi dan advokasi-diri yang tinggi. Hanya dengan pikiran-inti yang sesuai saja, maka ketiganya bisa dimiliki. Kabar baiknya, seperti halnya kita bisa mengubah kelinci menjadi bebek dan sebaliknya, pikiran-inti bisa diubah. Dengan cara yang tepat, pikiran-inti bisa dimodifikasi. 

Sebagian pikiran-inti disfungsional mudah diubah, sebagian yang lain butuh waktu dan ketelatenan. Kenyataannya, banyak pikiran-inti disfungsional telah terbentuk sejak seseorang masih anak-anak, sebagai hasil pengasuhan orangtua, situasi dan budaya yang ada. Mengubahnya ibarat merestorasi lukisan: mengikis hati-hati cat lama, lapis-demi lapis, dan lalu dengan hati-hati menambahkan lapis demi lapis cat baru. Jadi meskipun semua bisa diubah, prosesnya tidak selalu mudah. Pengubahannya bisa melalui beragam metode intervensi, seperti melalui terapi/konseling individu atau kelompok, intervensi sistem pendidikan dan sosial secara menyeluruh, pengubahan pola asuh dan lainnya, termasuk melalui model intervensi-bijak. 

Salah satu bentuk ‘intervensi-bijak’ adalah intervensi terhadap para pasangan yang dilakukan oleh Denise Marigold, John Holmes dan Michael Ross, yang dilakukan melalui mengubah penilaian terhadap sebuah situasi. Teorinya, orang yang memiliki harga diri rendah cenderung memandang dirinya kurang berharga dan ironisnya juga sering menafikan pujian dari pasangannya sebagai hal yang tidak berarti. Situasi tersebut menyebabkan penarikan diri dan membuat kualitas hubungan memburuk. Intervensi psikologis apa yang dilakukan peneliti untuk memperbaiki hubungan itu? Apakah terapi pasangan oleh psikolog? Tidak! Yang dilakukan para peneliti adalah mengupayakan agar salah satu pasangan yang memiliki harga diri rendah bisa menerima pujian dari pasangannya. Caranya sederhana. Salah satu pasangan yang memiliki harga-diri rendah itu diminta untuk memikirkan satu buah pujian yang baru diberikan oleh pasangannya dan lalu ditanya, “Jelaskan mengapa pasanganmu memujimu. Jelaskan apa arti pujian itu bagimu dan apa signifikansinya bagi hubungan kalian.” Subjek menulis jawaban itu. Hasilnya terlihat ajaib. Hubungan menjadi lebih berkualitas hingga beberapa minggu kemudian.[11] Namun tentu saja, itu bukan keajaiban, melainkan hasil dari intervensi yang terukur dan presisi. 

Bagaimana melakukan ‘intervensi bijak’ untuk meningkatkan performa akademik? Tipikalnya berupa aktivitas-aktivitas yang tidak mengajarkan pelajaran akademik, melainkan menyasar cara berpikir dan merasa para pelajar/mahasiswa, serta menyasar cara pandang mereka tentang dirinya di dalam dunia akademik itu dan tentang dunia akademik itu sendiri. Sebagai contoh, sebuah intervensi meningkatkan performa akademik dilakukan dengan cara mengubah cara pandang (mindset) terhadap kecerdasan. Para pelajar sekolah menengah mengikuti 8 sesi singkat yang mengajarkan mereka bahwa kecerdasan bersifat bisa diubah; bahwa cara kerja otak seperti otot yang terus menguat bila terus dilatih. Hasilnya, terjadi peningkatan tajam prestasi matematika hingga sepanjang tahun. Efek tersebut tidak terlihat pada pelajar yang hanya diajarkan keterampilan belajar.[12] Hal itu seolah bertentangan dengan kemasuk-akalan (common-sense), karena bukankah semestinya pelajar yang diajari keterampilan belajar yang prestasinya akan meningkat? Kenyataannya tidak. Justru pelajar yang tidak diajarkan keterampilan belajar yang prestasinya melonjak. Mengapa bisa demikian? 

Intervensi-bijak direncanakan matang dan didasarkan pada teori psikologis yang kokoh (well-founded theory), serta pemahaman mendalam mengenai akar permasalahan. Jadi, sebelum intervensi telah diketahui dengan persis atau dihipotesakan dengan kuat bahwa permasalahan A terjadi karena adanya faktor psikologis B. Dari situ bisa dibuat alat intervensi yang presisi, yang biasanya berupa aktivitas singkat dan pendek (sekali atau beberapa kali), untuk mengubah B. Oleh karena itu intervensi bisa benar-benar menghasilkan perubahan berarti meskipun aktivitas yang dilakukan seolah-olah —dari kacamata awam— jauh kaitannya. Jadi misalnya, ketika berupaya meningkatkan prestasi akademik dengan 8 sesi singkat pemberian informasi bahwa kecerdasan bisa diubah, itu bukan asal-asalan. Dasar teorinya kokoh, yakni bahwa growth-mindset, berupa pengetahuan bahwa kecerdasan bisa diubah melalui usaha (yang merupakan pikiran inti), akan mendorong seseorang untuk berusaha lebih keras menguasai sebuah materi pelajaran. Tidak mengherankan jika hasilnya sesuai harapan, yakni peningkatan prestasi akademik.[13]

Cara berpikir tertentu (think) dan cara merasa tertentu (feel) dalam situasi tertentu merupakan sebuah kisah seorang individu dalam menjalani hidupnya. Ada orang yang memiliki kisah grit, kontrol-diri dan advokasi-diri yang rendah, dan ada kisah sebaliknya. Intervensi adalah proses mengedit cerita itu: agar kisah hidup yang dimilikinya menjadi kisah hidup yang produktif. Setidaknya ada 3 model pendekatan intervensi yang terbukti efektif dalam mengedit kisah hidup seseorang, yakni: (1) writing exercises (menulis), yakni individu menafsirkan ulang sebuah masalah dengan menuliskannya, (2) Story prompting, yakni orang diarahkan untuk berpikir dengan cara yang baru dalam menjelaskan dan memahami perilakunya sendiri, untuk mengganti pola berpikir disfungsional yang dimilikinya, dan (3) Do good, be good approach, yakni orang didorong untuk menciptakan tafsir baru terhadap dirinya sendiri dengan pertama-tama mengubah perilakunya terlebih dahulu, sesuai dengan ajaran kuno: “Keberanian muncul dengan bertindak berani.” Ketiganya menjadi inti aktivitas dalam intervensi-bijak. 


A wise intervention begins with a specific, well-founded psychological theory. This theoretical precision allows researchers to create a precise tool, often instantiated in a brief exercise, to change a specific psychological process in a real-world setting. —G.M. Walton (2014)


[1] Marigold, Holmes & Ross (2007) 
[2] Cohen, Garcia, Apfel & Master (2006) 
[3] Walton & Cohen (2011) 
[4] Harackiewicz, Rozek, Hulleman & Hyde (2012) 
[5] Untuk review, lihat Walton (2014), Cohen & Sherman (2014), Walton & Dweck (2009), Yeager & Walton (2011), Wilson (2006, 2011). Lihat juga Yeager, Walton & Cohen (2013). 
[6] Dikutip dari Yeager & Walton (2011). 
[7] Walton (2014). Dalam psikologi, intervensi sosial-psikologis yang digolongkan sebagai ‘intervensi bijak’ bukan merupakan satu-satunya jenis intervensi. Ada bentuk intervensi lainnya. Di sini ditekankan jenis intervensi tersebut karena sifatnya yang sederhana dan bisa dilakukan dengan relatif mudah oleh siapa saja yang berminat. 
[8] Lihat Cohen & Sherman (2014) dan Wilson (2006). 
[9] Mengikuti Model Kognitif yang menjadi landasan bagi model terapi psikologi ‘Rational Emotive-Behavior Therapy” dari Albert Ellis, dan “Cognitive Therapy’ serta ‘Cognitive Behavior-Therapy’ dari Aaron T. Beck yang memiliki asumsi dasar bahwa emosi, perilaku dan fisiologis dipengaruhi oleh persepsi/tafsir terhadap sebuah situasi bukan oleh situasi itu sendiri. Cara berpikir seseorang terhadap situasi (bisa peristiwa nyata atau imajinatif atau hanya pikiran) dibentuk oleh bahasa, evaluasi, pemaknaan dan filosofi tentang dunia, dirinya dan orang lain. Terapi bertujuan agar seseorang bisa mengenali skema pikiran yang negatif atau tidak konstruktif atau destruktif atau melemahkan diri sendiri (self-defeating) dan memahami konsekuensinya terhadap emosi serta perilaku. Setelah itu, dilakukan pengubahan yang diperlukan agar muncul cara berpikir yang akurat dan tepat, respon emosional dan fisiologis yang sesuai, serta perilaku yang produktif. Lihat Beck (2005, 2011), Christner, Stewart & Freeman (eds.) (2007), Free (2007), Farmer & Chapman (2008), Persons (2008), Ellis & Dryden (1997), Ellis & Bernard (eds.) (2006), Dryden (ed.) (2003), Dryden & Neenan (2004), Dryden & Branch (2008). 
[10] Mengikuti model terapi kognitif dari Aaron T. Beck. Lihat Beck (2005, 2011). 
[11] Marigold, Holmes & Ross (2007) 
[12] Lihat Blackwell, Trzesniewski & Dweck (2007) 
[13] Ada banyak model intervensi populer yang hasilnya tidak terbukti atau bahkan menimbulkan kerugian, seperti misalnya yang terdapat dalam berbagai buku self-help populer, seperti buku Stephen Covey (7 Habit), Rhonda Byrne (The Secret). Demikian juga berbagai kegiatan outbond/outdoor training yang diklaim memiliki efektivitas tinggi oleh para vendor penyedia jasa training, yang meskipun kuat dikenang (memorable), efektivitas sebenarnya diragukan —kecuali untuk peningkatan keterikatan sesama anggota tim. Lihat misalnya Wagner (1995). Ironisnya, di tahun 2006 saja, industrinya sendiri sudah mencapai 9,6 Miliar USD atau sekitar 100 triliun rupiah. Lihat Wilson (2011) untuk review beberapa model intervensi populer yang meskipun masuk akal tapi tidak efektif dan malah merugikan.


Referensi

Beck, J.S. (2005). Cognitive Therapy for Challenging Problems: What to do when the basics don’t work. New York: Guilford Press.
Beck, J.S. (2011). Cognitive Therapy: Basics and beyond, 2nd ed. New York: Guilford Press.
Beck, D., & Purcell, R. (2010). Popular Education Practice for Youth and Community Development Work. Exeter: Learning Matters Ltd.
Blackwell, L.S., Trzesniewski, K.H., & Dweck, C.S. (2007). Implicit theories of intelligence predict achievement across an adolescent transition: A longitudinal study and an intervention. Child Development, 78, 1, 246 – 263.
Christner, R.W., Stewart, J.L., & Freeman, A. (eds.) (2007). Handbook of Cognitive-Behavior Group Therapy with Children and Adolescents: Specific settings and presenting problems. New York: Routledge.
Cohen, G.L., Garcia, J., Apfel, N., & Master, A. (2006). Reducing the racial achievement gap: A social-psychological intervention. Science, 313, 1307-1310.
Cohen, G.L., & Sherman, D.K. (2014). The psychology of change: Self-affirmation and social psychological intervention. Annual Review of Psychology, 65, 333–71.
Dryden, W. (ed.) (2003). Rational Emotive Behavior Therapy: Theoretical developments. New York: Brunner-Routledge.
Dryden, W., & Branch, R. (2008). The Fundamentals of Rational Emotive Behaviour Therapy: A training handbook, 2nd ed. West Sussex: John Wiley & Sons.
Dryden, W., & Neenan, M. (2004). Rational Emotive Behavior Therapy: Approach to therapeutic change. London: Sage.
Ellis, A., & Bernard, M.E. (eds.) (2006). Rational Emotive Behavioral Approaches to Childhood Disorders: Theory, practice, and research. New York: Springer.
Ellis, A., & Dryden, W. (1997). The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy, 2nd ed. New York: Springer.
Farmer, R.F., & Chapman, A.L. (2008). Behavioral Interventions in Cognitive Behavior Therapy: Practical guidance for putting theory into action. Washington DC.: American Psychological Association.
Free, M.L. (2007). Cognitive Therapy in Groups: Guidelines and resources for practice, 2nd ed. New York: John Wiley & Sons.
Harackiewicz, J.M., Rozek, C.S., Hulleman, C.S., & Hyde, J.S. (2012). Helping parents to motivate adolescents in mathematics and science: An experimental test of a utility-value intervention. Psychological Science, 23, 8, 899-906.
Harackiewicz, J.M., & Hulleman, C.S. (2010). The importance of interest: The role of achievement goals and task values in promoting the development of interest. Social and Personality Psychology Compass, 4, 1, 42–52.
Hulleman, C.S., & Harackiewicz, J.M. (2009). Promoting interest and performance in high school science classes. Science, 326, 1410-1412.
Hulleman, C.S., Godes, O., Hendricks, B.L., & Harackiewicz, J.M. (2010). Enhancing interest and performance with a utility value intervention. Journal of Educational Psychology, 102, 880-895.
Marigold, D.C., Holmes, J.G., & Ross, M. (2007). More than words: Reframing compliments from romantic partners fosters security in low self-esteem individuals. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 2, 232–248.
Walton, G.M. (2014). The new science of wise psychological interventions. Current Directions in Psychological Science, 23, 1, 73–82.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2007). A question of belonging: Race, social fit, and achievement. Journal of Personality and Social Psychology, 92, 1, 82–96.
Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2011). A brief social-belonging intervention improves academic and health outcomes of minority students. Science, 331, 1447-1451.
Walton, G.M., & Dweck, C.S. (2009). Solving social problems like a psychologist. Psychological Science, 4, 1, 101-102.
Wilson, T.D. (2006). The power of social psychological interventions. Science, 313, 1251-1252.
Wilson, T.D. (2011). Redirect: The surprising new science of psychological change. New York: The Penguin Press
Yeager, D.S., & Walton, G.M. (2011). Social-psychological interventions in education: They’re not magic. Review of Educational Research, 81, 2, 267-301.
Yeager, D.S., Walton, G.M., & Cohen, G.L. (2013). Addressing achievement gaps with psychological interventions. Kappan, 95, 5, 62-65.

Keterampilan Baca Anak Indonesia

Keterampilan Baca Anak Indonesia


Achmanto Mendatu
--Tulisan 2013

Keterampilan baca adalah “the queen of skill”, alias ratunya keterampilan karena merupakan keterampilan kunci di abad 21, baik di dalam dunia pendidikan, karier-ekonomi, maupun sebagai warga masyarakat/negara. Bersama matematika dan sains, keterampilan baca disebut sebagai keterampilan-kognitif (atau keterampilan-dasar), yang dianggap sebagai cerminan sebenarnya kualitas pendidikan. Perannya bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial lebih penting daripada lama tahun bersekolah dan jenjang pendidikan yang berhasil ditamatkan warga negara [1]. Dengan kata lain, besarnya jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan menengah atas dan tinggi kurang berarti apabila memiliki keterampilan baca, matematika dan sains yang rendah. Sedemikian pentingnya keterampilan kognitif sehingga menjadi salah satu faktor yang diukur dalam menentukan nilai kompetitif sebuah negara dan menentukan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) [2]. Semakin tinggi kemelekan (literacy) baca, matematika dan sains warga negaranya, maka semakin berkualitas sumber daya manusia-nya dan maka semakin kompetitif negara tersebut. Negara-negara paling makmur dan paling sejahtera di dunia adalah negara-negara yang paling menguasai keterampilan baca, matematika dan sains [3].

Dari ketiga keterampilan kognitif, keterampilan baca adalah dasarnya. Tanpanya, keterampilan matematika dan sains muskil dipelajari. Meningkatkan kemampuan matematika dan sains pada anak yang tidak bisa membaca tidak akan efektif. Oleh karena itu, membuat anak lancar membaca harus menjadi prioritas pertama pendidikan. Siswa yang lancar membaca bisa belajar apa saja yang lainnya. Yang membatasi mereka hanya tinggal soal motivasi, harapan, instruksi dan hal lain yang tidak ada kaitannya dengan kemampuan dasar/bawaan si siswa [4]. Pengaruh keterampilan baca terhadap kehidupan seseorang juga paling vital. Berbagai studi dengan gamblang menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak terampil membaca mengalami kesulitan serius berpartisipasi secara efektif dan produktif dalam semua aspek kehidupan. Mereka memiliki prestasi akademik lebih rendah dan kesulitan mengakses pendidikan tinggi [5], memiliki tingkat penghasilan yang lebih rendah dan jejak karir yang lebih buruk [6], lebih berpeluang menjadi remaja bermasalah dan menjadi pelaku kriminalitas [7], dan lebih mungkin menjadi penganggur [8]. Bagi anak-anak dari keluarga miskin, memiliki keterampilan membaca yang baik adalah syarat pertama yang harus dipenuhi untuk bisa melepaskan diri dari kemiskinannya [9]. Tanpanya, seseorang akan terperangkap dalam lingkar kemiskinan dengan kesempatan yang terbatas untuk bekerja atau mendapatkan pemasukan lebih tinggi. Pendek kata, keterampilan baca secara langsung berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup.


Potret Keterampilan Baca Anak Indonesia

Saat ini terdapat beberapa studi keterampilan baca internasional. Salah satu yang paling luas dan terkenal adalah studi PISA (Program for International Student Assesment) yang diluncurkan oleh OECD (Organisation for Economics Cooperation and Development). Studi PISA diluncurkan sejak tahun 2000, dan dilaksanakan 3 tahun sekali di negara anggotanya dan negara-negara mitra. Indonesia ikut terlibat di dalamnya dalam perannya sebagai negara mitra OECD. Setiap studi melibatkan lebih dari 650 ribu siswa berusia 15 tahun 3 bulan sampai 16 tahun 2 bulan yang telah menyelesaikan pendidikan sekolah sekurang-kurangnya selama 6 tahun dan masih berstatus siswa di institusi pendidikan formal. Hasil studinya ditampilkan dalam tabel di bawah.


Negara
Skor 2009
Skor 2012
% siswa yang berada di dalam setiap level keterampilan baca
Di bawah 1b (<262)
1b
(262-335)
1a
(336-407)
2
(408-480)
3
(481-553)
4
(554-626)
5
(627-698)
6
(>698)
Rerata Internasional
494
496
0,3
4,4
12,3
23,4
29,1
21,1
7,3
1,1
Shanghai (China)
556
570
0,1
0,3
2,5
11,0
25,3
35,7
21,3
3,8
Hongkong (China)
533
545
0,2
1,3
5,3
14,3
29,2
32,9
14,9
1,9
Singapura
526
542
0,5
1,9
7,5
16,7
25,4
26,8
16,2
5,0
Jepang
520
538
0,6
2,4
6,7
16,6
26,7
28,4
14,6
3,9
Korea
539
536
0,4
1,7
5,5
16,4
30,8
31,0
12,6
1,6
Finlandia
536
524
0,7
2,4
8,2
19,1
29,3
26,8
11,3
2,2
Irlandia
496
523
0,3
1,9
7,5
19,6
33,4
26,0
10,1
1,3
Taiwan (China)
495
523
0,6
2,5
8,4
18,1
29,9
28,7
10,4
1,4
Kanada
524
523
0.5
2.4
8.0
19.4
31.0
25.8
10.8
2.1
Polandia
500
518
0,3
2,1
8,1
21,4
32,0
26,0
8,6
1,4
Estonia
501
516
0,2
1,3
7,7
22,7
35,0
24,9
7,5
0,9
Liechtenstein
499
516
0,0
1,9
10,5
22,4
28,6
25,7
10,4
0,6
Selandia Baru
521
512
1,3
4,0
11,0
20,8
26,3
22,7
10,9
3,0
Australia
515
512
0.9
3.1
10.2
21.6
29.1
23.3
9.8
1.9
Belanda
508
511
0,9
2,8
10,3
21,0
29,2
26,1
9,0
0,8
Belgia
506
509
1.6
4.1
10.5
20.2
27.3
24.0
10.7
1.6
Swiss
501
509
0,5
2,9
10,3
21,9
31,5
23,8
8,2
1,0
Makau (China)
487
509
0,3
2,1
9,0
23,3
34,3
24,0
6,4
0,6
Vietnam
-
508
0,1
1,5
7,8
23,7
39,0
23,4
4,2
0,4
Jerman
497
508
0,5
3,3
10,7
22,1
29,9
24,6
8,3
0,7
Prancis
496
505
2,1
4,9
11,9
18,9
26,3
23,0
10,6
2,3
Norwegia
503
504
1,7
3,7
10,8
21,9
29,4
22,3
8,5
1,7
Inggris
494
499
1,5
4,0
11,2
23,5
29,9
21,3
7,5
1,3
Amerika Serikat
500
498
0,8
3,6
12,3
24,9
30,5
20,1
6,9
1,0
Denmark
495
496
0,8
3,1
10,7
25,8
33,6
20,5
5,1
0,4
Ceko
478
493
0,6
3,5
12,7
26,4
31,3
19,4
5,3
0,8
Italia
486
490
1,6
5,2
12,7
23,7
29,7
20,5
6,1
0,6
Austria
470
490
0,8
4,8
13,8
24,2
29,6
21,2
5,2
0,3
Latvia
484
489
0,7
3,7
12,6
26,7
33,1
19,1
3,9
0,3
Hungaria
494
488
0,7
5,2
13,8
24,3
29,9
20,4
5,3
0,4
Spanyol
481
488
1,2
4,1
12,6
25,8
31,2
19,2
5,0
0,5
Luxemburg
472
488
2,0
6,3
13,8
23,4
25,8
19,7
7,5
1,4
Portugal
489
488
1,3
5,1
12,3
25,5
30,2
19,7
5,3
0,5
Israel
474
486
3,8
6,9
12,9
20,8
25,3
20,6
8,1
1,5
Kroasia
476
485
0,7
4,0
13,9
27,8
31,2
17,8
4,2
0,2
Swedia
497
483
2,9
6,0
13,9
23,5
27,3
18,6
6,7
1,2
Islandia
500
483
2,3
5,4
13,3
24,7
29,9
18,6
5,2
0,6
Slovenia
483
481
1,2
4,9
15,0
27,2
28,4
18,2
4,7
0,3
Lithuania
468
477
1,0
4,6
15,6
28,1
31,1
16,3
3,1
0,2
Yunani
483
477
2,6
5,9
14,2
25,1
30,0
17,2
4,6
0,5
Turki
464
475
0,6
4,5
16,6
30,8
28,7
14,5
4,1
0,3
Rusia
459
475
1,1
5,2
16,0
29,5
28,3
15,3
4,2
0,5
Slovakia
477
463
4,1
7,9
16,2
25,0
26,8
15,7
4,1
0,3
Siprus
-
449
6,1
9,7
17,0
25,1
24,9
13,2
3,5
0,5
Serbia
449
446
2,6
9,3
21,3
30,8
23,3
10,5
2,0
0,2
Uni Emirat Arab*
459*
442
3,3
10,4
21,8
28,6
24,0
9,7
2,1
0,2
Chile
449
441
1,0
8,1
23,9
35,1
24,3
6,9
0,6
0,0
Thailand
421
441
1,2
7,7
24,1
36,0
23,5
6,7
0,8
0,1
Kosta Rika
-
441
0,8
7,3
24,3
38,1
22,9
6,0
0,6
0,0
Rumania
424
438
2,5
10,3
24,4
30,6
21,8
8,7
1,5
0,1
Bulgaria
429
436
8,0
12,8
18,6
22,2
21,4
12,7
3,8
0,5
Meksiko
425
424
2,6
11,0
27,5
34,5
19,6
4,5
0,4
0,0
Montenegro
408
422
4,4
13,2
25,7
29,2
19,9
6,6
0,9
0,0
Uruguay
426
411
6,4
14,7
25,9
28,9
17,4
5,7
0,9
0,0
Brasil
412
410
4,0
14,8
30,4
30,1
15,8
4,4
0,5
0,0
Tunisa
404
404
6,2
15,5
27,6
31,4
15,6
3,5
0,2
0,0
Kolombia
413
403
5,0
15,4
31,0
30,5
14,5
3,2
0,3
0,0
Yordania
405
399
7,5
14,9
28,3
30,8
15,5
2,9
0,1
0,0
Malaysia
-
398
5,8
16,4
30,5
31,0
13,6
2,5
0,1
0,0
Indonesia
402
396
4,1
16,3
34,8
31,6
11,5
1,5
0,1
0,0
Argentina
398
396
8,1
17,7
27,7
27,3
14,6
4,0
0,5
0,1
Albania
385
394
12,0
15,9
24,4
24,7
15,9
5,9
1,1
0,1
Kazakhtan
390
393
4,2
17,3
35,6
31,3
10,4
1,2
0,0
0,0
Qatar
372
388
13,6
18,9
24,6
21,9
13,5
5,8
1,4
0,2
Peru
370
384
9,8
20,6
29,5
24,9
11,4
3,3
0,5
0,0
Catatan:
1.    Vietnam, Siprus, Kosta Rika dan Malaysia baru ikut berpatisipasi dalam studi pada tahun 2012.
2.    Pada tahun 2009, studi di Uni Emirat Arab hanya dilakukan di kota Dubai.

Hasil studi PISA dalam tabel menunjukkan bahwa keterampilan baca anak Indonesia tertinggal jauh dari anak-anak negara lain. Skor reratanya hanya 396. Bandingkan dengan skor rerata internasional yang mencapai 496 dengan standar deviasi 94. Dengan skor tersebut, anak Indonesia tertinggal 100 poin atau lebih dari 1 standar deviasi dibandingkan skor rerata semua anak yang diteliti di seluruh negara. Itu artinya, anak Indonesia tertinggal 2 tahun kelas dibandingkan siswa internasional [11]. Selisih dengan Singapura yang memiliki skor 542, adalah 146 poin (3 tahun 1 bulan); dengan Vietnam yang memiliki skor 508, selisihnya 112 poin (2 tahun 4 bulan); dan dengan Thailand yang memiliki skor 441, selisihnya 45 poin (11,4 bulan). Semua negara tetangga tersebut memiliki keterampilan baca yang jauh lebih baik ketimbang Indonesia. Hanya Malaysia, dengan skor rerata 398, yang memiliki keterampilan baca setara Indonesia.

Membandingkan keterampilan baca antar negara tidak bisa dilakukan hanya dengan menggunakan skor rerata tetapi harus dilihat apakah perbedaan skor tersebut signifikan atau tidak [12]. Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa skor rerata Hongkong-China (545) lebih tinggi daripada Singapura (542), Jepang (538) dan Korea (536). Akan tetapi perbedaannya tidak signifikan sehingga 4 kelompok negara atau ekonomi tersebut dianggap memiliki keterampilan baca yang relatif setara. Indonesia dengan skor rerata 396 dianggap setara atau tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan Tunisia (404), Kolombia (403), Yordania (399), Malaysia (398), Argentina (396), Albania (394) dan Kazakhstan (393). Hanya ada satu kelompok negara yang keterampilan bacanya lebih rendah, yakni Peru dan Qatar. Negara-negara lainnya memiliki keterampilan baca lebih baik. Dengan kata lain, Indonesia termasuk kelompok kedua terbawah di dunia.

Level 2 adalah level minimal yang harus dicapai seorang anak agar bisa sekedar berpartisipasi efektif dan produktif dalam kehidupan modern. Sayangnya, sebagaimana bisa dilihat dalam tabel di atas, sejumlah 55,2% atau lebih dari separuh anak Indonesia tidak berhasil mencapai level minimal tersebut. Level 4 merupakan level yang harus dicapai untuk bisa dikatakan sebagai pembaca terampil atau proficient reader [13]. Mereka yang masih berada di bawah level 4 belum bisa digolongkan sebagai terampil membaca. Artinya, 98,4% siswa Indonesia tidak terampil membaca [14]. Level 5 dan 6 merupakan prasyarat untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tingkat lanjut dan menciptakan kepeloporan di areanya. Kelompok talenta ini merupakan modal bagi sebuah negara apabila ingin menciptakan kelompok pekerja yang mampu memajukan pengetahuan, sains dan teknologi di masa depan dan berkompetisi dalam ekonomi global [15]. Sayangnya, dalam 2 kategori puncak itu, sangat sedikit siswa Indonesia di sana (0,1% di level 5 dan 0% di level 6).

Level 4 diindikasikan sebagai level minimal untuk bisa belajar pengetahuan tingkat Perguruan Tinggi. Penelitian longitudinal di Kanada menemukan bahwa mereka yang bisa menjadi mahasiswa memiliki keterampilan baca di atas rerata internasional, atau minimal berada di level 4 dalam studi PISA [16]. Dengan demikian, mengacu pada hal tersebut, maka hanya ada 1,6% siswa Indonesia yang layak untuk belajar di Perguruan Tinggi. Sejumlah 98,4% sisanya tidak memiliki bekal cukup untuk belajar level Perguruan Tinggi. Secara kasar bisa dikatakan bahwa dari 100 anak di Indonesia, hanya ada 2 anak yang layak belajar level Perguruan Tinggi. Dan kondisi tersebut belum memperhitungkan dua faktor keterampilan-kognitif lainnya, yakni matematika dan sains. Studi PISA menunjukkan hanya ada 1,7% siswa Indonesia yang memiliki keterampilan matematika minimal di level 4, dan hanya 0,6% untuk sains [17]. Artinya, maksimum hanya ada 0,6% siswa di Indonesia yang memiliki keterampilan dasar lengkap (membaca, matematika dan sains) minimum berada di level 4 dan memenuhi syarat sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi.

Untuk memperjelas kondisi di atas, kita ambil data lulusan SMA/SMK dan jumlah mahasiswa masuk Perguruan Tinggi pada satu tahun pendidikan dari Rangkuman Statistik Persekolahan 2009/2010 yang dikeluarkan oleh Pusat Statistik Pendidikan [18]. Pada tahun angkatan 2008/2009 jumlah lulusan SMA dan SMK di Indonesia secara total mencapai 1.988.429 orang. Dengan demikian bisa diketahui bahwa terdapat 31.815 orang lulusan (1,6%×1.988.429) yang memiliki keterampilan baca memadai untuk belajar di Perguruan Tinggi. Pada saat yang sama, terdapat 960.652 mahasiswa baru, baik di jenjang diploma maupun sarjana (48,2% lulusan SMA/SMK melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi). Dengan asumsi bahwa semua lulusan yang terampil membaca masuk menjadi mahasiswa baru, maka terdapat 928.837 mahasiswa (960.652—31.815) yang tidak memiliki keterampilan baca layak untuk bisa belajar di Perguruan Tinggi atau 96,6% dari total mahasiswa. Jadi, dari 100 mahasiswa baru di Indonesia, hanya 3 mahasiswa saja yang memiliki keterampilan baca layak untuk menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi.

Apabila pendidikan adalah sebuah rumah, maka keterampilan baca adalah kunci rumahnya. Tanpa kunci tersebut mustahil bagi seseorang untuk bisa memasukinya. Semua bidang pengetahuan menuntut level kemahiran membaca tertentu yang jika seseorang tidak memilikinya maka tidak akan mungkin bisa menguasai bidang pengetahuan tersebut. Semakin tinggi jenjang pendidikannya, yang berarti semakin kompleks pengetahuan yang dipelajari, maka diperlukan keterampilan baca yang lebih tinggi untuk menguasainya. Dan, keterampilan baca minimal yang diperlukan agar bisa mempelajari pengetahuan di level Perguruan Tinggi adalah level 4 dalam term studi PISA. Apabila keterampilan baca berada di bawah level 4, maka mahasiswa akan sulit mencapai level kompetensi yang diharapkan dari alumni Perguruan Tinggi. Masalahnya, seperti yang telah ditunjukkan di atas, hanya 1,6% anak Indonesia dan 3 dari 100 mahasiswa Indonesia yang memiliki keterampilan baca minimal di level 4.

Sudah bukan rahasia bahwa kualitas output pendidikan menengah atas dan tinggi di Indonesia sangat rendah. Terdapat ketidaksuaian (mismatch) yang lebar antara kualitas lulusan dunia pendidikan dengan tuntutan dari dunia kerja. Dari sudut pandang pengguna lulusan atau dunia kerja di Indonesia, hanya 3,4% lulusan SMA, 11,1% lulusan SMK, 9,9% lulusan Kursus Keterampilan dan Pelatihan (Lembaga Keterampilan dan Pelatihan, Balai Latihan Kerja), serta 10% lulusan Perguruan Tinggi di Indonesia yang memiliki kualitas baik [19]. Mengapa bisa demikian? Patut diduga bahwa salah satu permasalahan utamanya adalah input siswa/mahasiswa yang memiliki kemampuan membaca (juga matematika dan sains) yang rendah sehingga tidak mampu mengikuti pembelajaran secara efektif, yang berujung pada kegagalan membangun kompetensi yang diperlukan.


Perkembangan Keterampilan Baca

Keterampilan baca dibangun sejak usia dini dan berkembang pesat sampai usia sekitar 8-9 tahun atau kelas 3 SD, sehingga disebut sebagai usia emas membaca. Setelah usia/tingkat itu, peningkatan pemerolehannya cenderung menurun. Hasil studi memperlihatkan bahwa 74% lebih anak yang rendah keterampilan bacanya pada akhir kelas 3 SD cenderung tetap rendah keterampilan bacanya saat SMA, sehingga bisa dikatakan mereka akan tetap rendah keterampilan bacanya (poor reader) untuk seumur hidupnya. Mereka sulit bisa mengejar kemampuan rekan-rekannya yang telah terampil membaca pada kelas 3 SD. Dengan kata lain, kegagalan membentuk anak terampil membaca pada usia emasnya adalah kerugian bagi anak seumur hidupnya [20].

Seperti terlihat dalam bagan di bawah, keterampilan baca secara langsung dipengaruhi oleh kualitas guru dan jumlah waktu membaca. Semakin tinggi kualitas guru membaca dan semakin banyak jumlah waktu membaca maka semakin tinggi juga keterampilan bacanya. Diketahui, siswa yang memiliki guru kualitas buruk (persentil 25) dibandingkan yang memiliki guru kualitas baik (persentil 75) adalah perbedaan 0,7-1 standar deviasi pada siswa dari keluarga menengah ke bawah. Siswa yang diajar oleh guru berkualitas tinggi dibandingkan oleh guru berkualitas rendah selama 3 tahun berturut-turut adalah perbedaan persentil 93 dengan persentil 37 atau 2 standar deviasi, yang dalam term studi PISA ekuivalen dengan 4 tahun perbedaan [21]. Oleh karena itu tidak keliru jika ada ujar-ujar ‘murid hanya sebaik gurunya: baik gurunya baik muridnya, buruk gurunya buruk juga muridnya.’ Kualitas guru itu sendiri dipengaruhi oleh tata kelola pendidikan, di antaranya bagaimana manajemen sekolah diselenggarakan, sistem pendidikan dikelola, perekrutan dan pengembangan guru dilaksanakan, dan lainnya.

Saat ini kualitas guru di Indonesia masih rendah. Sebuah studi memperlihatkan bahwa guru SD hanya bisa menjawab 38% soal dalam tes kemampuan dan guru TK hanya bisa menjawab 52% [22]. Pemerintah telah membuat langkah besar mengatasinya dengan program sertifikasi guru, yang merupakan salah satu program peningkatan kualitas guru paling ambisius di dunia [23]. Namun diketahui hanya 51% guru yang layak disertifikasi. Sertifikasi guru diketahui masih hanya meningkatkan pendapatan tapi belum meningkatkan kualitas guru: diketahui tidak ada peningkatan pengetahuan, perbaikan cara pembelajaran dan tidak ada peningkatan prestasi siswa. Tingkat absen pun masih tinggi, mencapai 14,1% [24]. Masih ditunggu apakah program tersebut akan bisa berhasil mencapai tujuan besarnya.

Waktu membaca merupakan determinan terpenting lainnya bagi pengembangan kemampuan membaca. Diketahui, selisih kemampuan baca antara siswa yang tidak memiliki waktu khusus belajar membaca dengan yang memilikinya 2 jam seminggu adalah 44,6 poin, yang 2-4 jam adalah 74,7 poin, yang 4-6 jam adalah 85 poin, dan yang lebih dari 6 jam adalah 90,6 poin [25]. Itu artinya, terdapat perbedaan hampir 2 tahun kelas antara yang tidak membaca dengan yang membaca lebih dari 6 jam seminggu.

Sebagaimana terlihat dalam bagan, jumlah waktu membaca dipengaruhi langsung oleh: (1) tata kelola pendidikan, (2) akses terhadap bahan bacaan, (3) partisipasi orangtua, dan (4) kesenangan membaca. Tata kelola pendidikan memberikan pengaruh langsung terhadap waktu membaca melalui alokasi jam belajar membaca di sekolah, dan menjelaskan 25% perbedaan skor membaca antar sekolah antar negara [26]. Dalam studi PIRLS diketahui bahwa siswa di Indonesia hanya memiliki 15% waktu belajar dalam kurikulum yang dialokasikan untuk belajar membaca (melalui pelajaran bahasa), dan yang paling rendah di antara 45 negara yang di survei dalam studi PIRLS. Bandingkan dengan Singapura yang mengalokasikan 33% waktu belajar di sekolah untuk pelajaran membaca [27]. Selain itu, di Indonesia banyak terjadi waktu instruksi pembelajaran di kelas yang hilang, akibat ketidakhadiran guru atau kehadiran guru namun tidak melakukan pengajaran [28]. Tata kelola pendidikan juga memberikan pengaruh tidak langsung melalui penyediaan akses terhadap bahan bacaan. Semakin besar akses bahan bacaan disediakan untuk siswa, maka semakin besar juga jumlah waktu membaca anak. Diketahui, hanya 58% siswa Indonesia yang memiliki perpustakaan di kelas/sekolah, sedangkan sejumlah 92% siswa Singapura memilikinya [29]. Perbedaan itu bisa menjelaskan sebagian mengapa kemampuan baca siswa Singapura jauh di atas siswa Indonesia, yakni berselisih 146 poin atau sekitar 3 tahun kelas dengan siswa Indonesia [30].

Orangtua/keluarga memainkan peranan penting terhadap kemampuan baca anak. Diketahui ada 2 bentuk aktivitas orangtua/keluarga yang berpengaruh besar, yakni aktivitas membaca untuk anak dan menyediakan bacaan untuk anak. Aktivitas membaca untuk anak yang dilakukan sejak usia sangat dini merupakan aktivitas tunggal yang bisa signifikan mempengaruhi kemampuan baca anak dan bisa memprediksi keterampilan baca anak di masa depan. Membaca untuk anak menjadikan anak lebih siap untuk belajar membaca di sekolah dan bisa menambah skor rerata kemampuan membaca hingga 25 poin pada anak dengan latar belakang sosial ekonomi yang sama. [31] Ketersediaan bahan bacaan memungkinkan aktivitas membaca untuk anak bisa dilakukan dan memungkinkan anak untuk membaca mandiri.

Salah satu fungsi penting membaca bacaan untuk anak sejak usia dini adalah membantu anak memusatkan perhatian dan melatih untuk selalu menyelesaikan tugas (dengan selalu menyelesaikan bacaan). Keduanya diketahui memiliki peranan besar terhadap kesuksesan anak di masa depan. Sebuah studi menunjukkan bahwa mereka yang pada usia 4 tahun mampu memusatkan perhatian dan menyelesaikan tugas yang diberikan, memiliki peluang 50% lebih besar untuk menamatkan pendidikan tinggi, yang artinya memiliki karir dan penghasilan lebih baik. Keterampilan membaca dan matematika pada usia tersebut justru belum bisa memprediksi [32]. Kemampuan memusatkan perhatian merupakan salah satu bentuk kontrol-diri, yang merupakan keterampilan kunci terpenting untuk sukses di semua domain kehidupan [33]. Selain itu yang juga tak kalah penting, membaca untuk anak secara interaktif diketahui merupakan satu-satunya aktivitas tunggal yang bisa meningkatkan skor IQ hingga 6 poin, khususnya bila dilakukan sebelum anak melewati usia 4 tahun. Tidak diketahui ada aktivitas tunggal lain yang bisa meningkatkan skor IQ setinggi itu. Sebagai misal, meskipun selalu didengung-dengungkan di media massa, memberikan ASI atau susu formula yang mengandung LC-PUFA (omega 3 fatty-acid atau DHA) pada ibu hamil dan anak ternyata hanya meningkatkan 3,5 poin [34]. Jadi, rutin membaca untuk anak secara interaktif sejak usia dini justru lebih efektif dalam meningkatkan IQ anak ketimbang pemberian susu dengan omega 3 fatty-acid atau DHA.

Secara umum, partisipasi orangtua/keluarga Indonesia terhadap pengembangan kemampuan baca anak masih memprihatinkan. Hanya 21% orangtua yang membacakan bacaan pada anak antara 1-2 kali seminggu dan juga hanya 21% yang melakukannya 3x atau lebih seminggu. Mayoritas sisanya, sekitar 59%, tidak pernah melakukannya. Juga diketahui bahwa tidak ada siswa Indonesia yang memiliki bacaan lebih dari 25 di rumahnya. Pada kelompok sosial ekonomi terbawah, 68% keluarga bahkan tidak memiliki bacaan apapun. Ironisnya, pun pada kelompok sosial-ekonomi 20% teratas yang pasti mampu membeli bacaan anak, sejumlah 32% keluarga tidak memilikinya sama sekali [35]. Dengan mayoritas anak tumbuh tanpa bacaan dan tanpa dibacakan bacaan, maka tidak heran jika anak-anak di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan anak-anak di negara-negara lain.

Bentuk partisipasi orangtua/keluarga yang lain adalah memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan pra-sekolah atau PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Dalam studi PISA diketahui bahwa anak-anak yang mengikuti pendidikan pra-sekolah lebih dari setahun (berjumlah 24,1% dari total siswa) memperoleh skor rerata 422 untuk kemampuan membaca pada usia 15 tahun, yang mengikuti kurang dari setahun (berjumlah 29,9% dari total siswa) memperoleh skor rerata 416, dan mereka yang tidak mengikuti sama sekali (berjumlah 46% dari total siswa) memperoleh skor rerata 382. Selisih poin antara yang mengikuti pendidikan pra sekolah selama setahun dengan yang tidak mengikuti pendidikan pra-sekolah, setelah memperhitungkan latar belakang sosial ekonomi adalah 27 poin [36]. Jadi, selisihnya besar. Sayangnya, meskipun pendidikan pra-sekolah telah menjadi salah satu prioritas pendidikan utama pemerintah sejak awal tahun 2000-an, belum semua anak terlibat di dalamnya [37].

Hasil studi PISA menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga sosial ekonomi atas memiliki kemampuan membaca lebih baik dibandingkan anak-anak dari kelompok sosial-ekonomi bawah. Selisih skornya mencapai 57 poin atau perbedaan lebih dari 1 tahun kelas. Perbedaan tersebut bisa dijelaskan dari perbedaan partisipasi orangtua. Diketahui, orangtua dari keluarga sosial-ekonomi atas rerata melakukan aktivitas membaca untuk anak hingga 3× dalam seminggu, namun tidak ada aktivitas tersebut pada kelompok sosial-ekonomi bawah. Seperti telah disebutkan di atas, 2/3 anak dari keluarga ekonomi 20% terbawah tumbuh dalam dalam keluarga tanpa bacaan sama sekali, dibandingkan dengan ‘hanya’ 1/3 anak dari keluarga ekonomi 20% teratas yang tidak memilikinya [38]. Jadi, perbedaan partisipasinya memang sangat besar. Alhasil, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi menengah ke atas telah unggul bahkan sebelum sekolah di mulai [39].

Faktor lain yang menyebabkan anak keluarga sosial-ekonomi atas memiliki keunggulan adalah pemanfaatan waktu libur [40]. Berkat dukungan lebih besar dari orangtuanya, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-atas memanfaatkan liburannya untuk terus membaca di rumah. Sebaliknya, anak-anak dari sosial-ekonomi-bawah berhenti total dari kegiatan membaca karena tidak ada aktivitas membaca di rumah. Hasilnya, anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-atas semakin naik kemampuan bacanya, sedangkan anak-anak dari keluarga sosial-ekonomi-bawah justru mundur. Alhasil, meskipun kondisi sekolah dan lainnya sama, anak-anak dari keluarga kurang mampu semakin jauh tertinggal.

Tentu saja, ada anak-anak tertentu dari keluarga sosial-ekonomi bawah yang bisa mengatasi faktor latar belakangnya yang tidak menguntungkan. Mereka berhasil meraih skor rerata keterampilan baca yang lebih tinggi dibandingkan skor yang diprediksi sesuai latar belakang sosial ekonominya dan bahkan melampaui skor rerata keseluruhan siswa. Sekitar 7,9% siswa Indonesia merupakan siswa yang melebihi prediksi itu [41]. Mereka adalah anak-anak ‘super’ yang lahir dari keluarga kurang beruntung. Namun bagi 92,1% yang lain, tanpa mendapatkan program khusus untuk meningkatkan kemampuan bacanya, mereka tidak akan bisa bersaing dengan anak-anak dari keluarga mampu. 

Sebagaimana diterangkan di atas, ada banyak faktor yang mempengaruhi keterampilan baca. Sebagian besar disebabkan oleh faktor ekologis, baik faktor keluarga maupun faktor sekolah. Sebuah studi memperlihatkan bahwa kedua faktor tersebut bertanggungjawab hingga 91%, dan sisanya adalah faktor kognitif dan psikologis individu, seperti misalnya kesenangan membaca.[1] Oleh sebab itu, program-program peningkatan keterampilan baca harus berorientasi pada keluarga (agar keluarga menciptakan situasi yang pro-baca) dan sekolah (agar sekolah memiliki iklim sekolah yang pro-baca).


Menghitung Kebutuhan Bacaan Anak

Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat usia emas membaca yang hanya berlangsung sekitar 8-9 tahun sejak usia 0 tahun, yang dalam term pendidikan berarti sampai kelas 3 Sekolah Dasar. Usia emas itu setidaknya bisa dibedakan dalam 2 fase, yakni usia 0-5 tahun (usia dini, PAUD) dan 6-9 tahun (usia prasekolah dan awal sekolah: TK dan SD kelas 1, 2 dan 3). Pada fase pertama, anak belajar menumbuhkan kesadaran akan bacaan (print awareness), belajar bahasa ucapan (phonological awareness), mengetahui nama dan bentuk huruf (alphabet knowledge), dan mengapresiasi bacaan melalui aktivitas membaca nyaring pada anak (reading aloud). Seorang anak mulai tertarik dengan bacaan dan aktivitas membaca. Pada fase ini, membaca nyaring pada anak secara teratur bisa meningkatkan IQ hingga 6 poin, bahkan bisa lebih [42]. Pada fase kedua di TK, seorang anak bisa memusatkan perhatian ketika dibacakan bacaan, bertanya dan menjawab tentang isi cerita, dan bahkan menceritakan ulang ceritanya. Pada akhir fase ini, seorang anak bisa mengenali dan menyebutkan seluruh huruf alfabet. Inilah fase persiapan untuk belajar membaca di sekolah. Semakin siap maka semakin baik. Pada fase kedua di sekolah, seorang anak mulai belajar membaca: di kelas 1 SD seorang anak seharusnya sudah bisa membaca nyaring bacaan untuk levelnya, dan di kelas 3 SD seharusnya sudah lancar membaca. Patut diingat bahwa ada anak yang lebih cepat belajar dari yang lainnya dan ada yang lebih lambat [43]. Yang terpenting, selepas kelas 3 SD, seorang anak sudah harus lancar membaca bacaan untuk seusianya. Apabila selepas usia itu seorang anak tidak terampil membaca, maka berpeluang besar tidak akan terampil seumur hidupnya.

Agar seorang anak mencapai target terampil membaca sekurang-kurangnya di level minimal/moderat saat melewati usia emas membaca, seorang anak minimal harus menghabiskan waktu 2 jam setiap minggu [44], khusus untuk aktivitas membaca, baik dalam bentuk orangtua membaca untuk anak (dan membimbing membaca) maupun anak membaca mandiri. Untuk mencapainya, setelah memperhitungkan kecenderungan anak untuk mengulang-ulang membaca bacaan yang disenanginya [45], maka setiap anak memerlukan minimal 1 buah bacaan per minggu atau sekitar 50 bacaan per tahun. Namun, kebutuhan 50 bacaan per tahun tidak dimulai sejak usia 0 tahun. Pada fase pertama (usia 0-5 tahun), 50 bacaan sudah memadai. Baru kemudian pada fase kedua (6-9 tahun) kebutuhan per tahun itu harus dipenuhi. Dengan demikian, sepanjang usia emasnya, seorang anak membutuhkan akses terhadap 250 bacaan agar mencapai keterampilan baca minimal yang dibutuhkannya untuk dapat bersaing di dunia modern [46].


Tantangan Untuk Masa Depan

Menilik temuan yang ada, tantangan utama meningkatkan keterampilan baca anak Indonesia ada 3, yakni bagaimana: (1) menjadikan aktivitas membaca untuk anak sebagai kebiasaan/budaya di masyarakat, (2) bagaimana bacaan anak bisa diakses dan atau dimiliki setiap anak, dan (3) bagaimana menyediakan PAUD/TK dan SD yang berkualitas dalam pembelajaran membaca. Apabila ketiga tantangan itu berhasil ditangani, maka anak Indonesia yang terampil membaca, yang dengan demikian kelak bisa bersaing dengan sumber daya manusia dari negara-negara lain bukanlah omong kosong.

Saat ini, pemerintah Indonesia telah menjadikan program PAUD/TK sebagai salah satu prioritas utama pendidikan [47]. Hal tersebut merupakan kabar gembira bagi semua. Pemerintah juga telah meluncurkan program sertifikasi guru dengan harapan akan meningkatkan kualitas guru di sekolah-sekolah [48]. Patut ditunggu dalam beberapa tahun mendatang, apakah keduanya akan mencapai tujuannya. Bagaimana dengan ‘membudayakan membaca untuk anak dan menyediakan akses bacaan?’ Untuk keduanya, belum terlihat ada upaya serius pemerintah. Tidak diketahui ada kampanye membaca untuk anak maupun program khusus pengembangan kemampuan baca anak yang diluncurkan pemerintah yang nyata (dan dengan pendanaan) yang serius pula [49]. Berkat internet, siapapun dengan mudah bisa mendapatkan info tentang berbagai program pengembangan kemampuan baca di berbagai negara di dunia, dan mendapatkan berita, foto atau video para pemimpin dunia (terutama dari negara-negara maju) sedang membacakan bacaan untuk anak sebagai bagian dari kampanye membaca untuk anak. Akan tetapi tidak ada pemimpin di Indonesia, termasuk di daerah-daerah yang diketahui melakukannya, meskipun Indonesia sangat membutuhkannya.

Untuk akses terhadap bacaan, telah terlihat adanya upaya pemerintah melalui pembagian buku-buku ke sekolah-sekolah. Namun demikian, sampai saat ini, bacaan untuk anak di Indonesia tetap sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun keterjangkauan. Studi oleh OECD dan World Bank memperlihatkan bahwa mayoritas anak di Indonesia tidak memiliki akses memadai terhadap bahan bacaan [50]. Kelangkaan bacaan anak juga mudah dilihat di setiap perpustakaan, PAUD/TK dan SD. Bahkan, bacaan anak yang tersedia di toko buku pun berjumlah minim. Toko buku yang mengedarkannya juga terbatas. Hal tersebut mengindikasikan belum adanya perhatian serius terhadap penyediaan bacaan anak.

Rendahnya keterampilan baca anak Indonesia harus dijawab. Meningkatkannya bukanlah pilihan, melainkan kewajiban Indonesia. Nasib kehidupan bangsa ini di masa depan tergantung padanya. Tantangan-tantangan utamanya, yang terentang dari rendahnya partisipasi orangtua dalam mengembangkan keterampilan baca anak, kelangkaan bacaan anak dan rendahnya akses terhadapnya, serta kualitas pembelajaran di PAUD/TK dan SD yang belum baik, harus diselesaikan. Jika tidak, sulit melihat Indonesia masa depan yang kompetitif dan sejahtera. Pun kehidupan berdemokrasi serta penjunjungtinggian keberagaman dan hak asasi manusia akan terus terancam. 


[1] Chiu, McBride-Chang & Lin (2011).

Endnotes
[1] Lihat Hanushek (2013), Hanushek & Woessmann (2007a, 2007b, 2008, 2012). Studi yang dilakukan oleh Hanushek dan Woessmann (2012) memperlihatkan bahwa apabila keterampilan kognitif yang dimiliki angkatan kerja di sebuah negara lebih tinggi satu standar deviasi maka akan menambah 2% pertumbuhan ekonomi per kapita GDP tahunan di negara tersebut. Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4%, maka jika keterampilan kognitif warga indonesia lebih tinggi satu standar deviasi, pertumbuhan ekonominya akan menjadi 6%. Jadi, dampaknya sangat besar. GDP (Gross Domestic Product) merupakan total nilai produksi barang dan jasa yang bergerak di sebuah negara.
[2] Peringkat kompetitif Indonesia adalah 50 di antara negara-negara di dunia. Lihat World Economic Forum (2013) untuk informasi lengkap mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kompetitif sebuah negara dan posisi Indonesia di setiap faktor. Indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia berada di peringkat 121 dari 186 negara-negara di dunia, yang mengindikasikan masih sulitnya kondisi sosial-ekonomi warga negaranya. Lihat UNDP (2013) untuk informasi lebih lengkap.
[3] Lihat OECD (2013) untuk melihat perbandingan keterampilan kognitif antar negara di dunia.
[4] Fite (2002), Bohlmann & Pretorius (2008), Larwin (2010), Vilenius-Tuohimaaa, Aunolab & Nurmib (2008).
[5] Fiester (2010), Musen (2010), Lesnick, Goerge, Smithgall & Gwynne (2010), Hernandez (2011), OECD (2010b).
[6] Hanushek (2010), Hanushek & Rivkin (2010a), OECD (2010b), Reder (2010), Murray & Shillington (2011)
[7] Lihat Cree, Kay & Steward (2012), yang memperlihatkan bahwa di Amerika Serikat, 60-80% tahanan di penjara memiliki keterampilan baca di bawah level dasar dan sebanyak 85% remaja bermasalah merupakan buta huruf fungsional.
[8] Lihat English & Bi (2009) yang menunjukkan bahwa 75% pengangguran di Amerika Serikat adalah buta huruf atau memiliki tingkat melek huruf yang rendah.
[9] Hernandez (2011)
[10] Studi lainnya yang dikenal luas adalah TIMMS dan PIRLS yang diselenggarakan oleh IAEEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement). Lihat Mullis, Martin, Foy & Drucker (2012) dan Mullis, Martin, Foy & Arora (2012).
[11] Perbedaan 1 standar deviasi sama dengan perbedaan 2 tahun kelas. Lihat OECD (2010c).
[12] Lihat OECD (2013) untuk melihat daftar lengkap negara apa setara dengan negara mana
[13] Lihat Peterson, Woessmann, Hanushek & Lastra-Anadón (2011) untuk perbandingan standar kelancaran (proficiency) antara studi yang dilakukan dalam PISA dan NAEP yang merupakan tes standar di Amerika Serikat.
[14] Total % siswa level 3, 2, 1a, 1b, dan di bawahnya. Lihat tabel.
[15] Lihat OECD (2010a).
[16] Dalam penelitian longitudinal tersebut, siswa yang mengikuti studi PISA 2000 diteliti kembali 6 tahun kemudian saat mereka berusia 21 tahun. Ditemukan bahwa semua mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi memiliki level keterampilan baca di atas rerata internasional dan minimal berada di level 4 dalam studi PISA 6 tahun sebelumnya. Lihat OECD (2010c)
[17] Lihat OECD (2013)
[18] Lihat Pusat Statistik Pendidikan (2009).
[19] Kualitas baik bukan berarti berkualitas tinggi, melainkan memadai untuk bekerja. Lihat Gropello, Kruse & Tandon (2011).
[20] Lihat Fiester (2010, 2013), Cunningham & Stanovich (1997), Lesnick, Goerge, Smithgall & Gwynne (2010), Musen (2010), Hernandez (2011), OECD (2010c, 2012a). Tentang studi mengenai bagian otak yang bertanggungjawab terhadap pemerolehan keterampilan baca, lihat Schlaggar & Church (2009).
[21] Hanushek & Rivkin (2010a, 2010b), World Bank (2010b)
[22] World Bank (2010b).
[23] Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012).
[24] World Bank (2010a, 2010b, 2013), Chen (2009), Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012), Samarrai, Syukriyah & Setiawan (2012).
[25] OECD (2010a, 2011b)
[26] OECD (2010a)
[27] Mullis, Martin, Foy & Drucker (2012).
[28] Lihat Abadzi (2009)
[29] OECD (2010a, 2011b)
[30] OECD (2013)
[31] Lihat OECD (2011b, 2012b), Piasta, Justice, Justice, McGinty & Kaderavek (2012), Senechal & LeFevre (2002), Trivette, Dunst & Gorman (2010), Sénéchal, Pagan, Lever, & Ouellette (2008), Armbruster, Lehr & Osborn (2006a, 2006b), Bus, Van Ijzendoorn & Pellegrini (1995), Dunst, Simkus & Hamby (2012a), Duursma, Augustyn & Zuckerman (2008), Leou, Chen, Huang & Chen (2009), Armbruster, Lehr & Osborn (2006), Justice & Sofka (2010).
[32] McClelland, Acock, Piccinin, Rhea & Stallings (2012).
[33] Tentang peran penting kontrol diri dalam kesuksesan, lihat misalnya Moffitt, dkk. (2011), Tangney, Baumeister, & Boone (2004), Duckworth & Seligman (2005), Duckworth & Allred (2012), Duckworth & Carlson (2013).
[34] Protzko, Aronson & Blair (2013).
[35] OECD (2010a), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012)
[36] OECD (2010e).
[37] Hasan, Hyson & Chang (2013). Untuk review pendidikan prasekolah, lihat Pianta, Barnett, Burchinal & Thornburg (2009), mengenai peran ekonominya, lihat Gertler, dkk. (2013), Cunha & Heckman (2012), Hekcman (2008, 2011, 2012)
[38] Lihat OECD (2010e), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012)
[39] Keunggulan itu cenderung terus dipertahankan hingga dewasa. Lihat Feinstein (2003) dan Bausmith (2012).
[40] Alexander, Entwisle & Olson (2007). Lihat juga Bausmith (2012).
[41] OECD (2011a)
[42] Lihat Protzko, Aronson & Blair (2013).
[43] Tentang kompetensi yang harus dicapai dari usia 0 sampai kelas 3 SD, lihat Armbruster, Lehr & Osborn (2006a, 2006b)
[44] OECD (2010a, 2011b)
[45] Tentang kecenderungan anak untuk mengulang membaca, lihat Trivette, Simkus, Dunst & Hamby (2012).
[46] Perkiraan kebutuhan bacaan tersebut adalah perkiraan kasar yang disimpulkan secara hipotetis. Akses itu bisa dipenuhi dari kepemilikan pribadi atau peminjaman. Apabila menggunakan patokan umur 8 tahun sebagai batas atas usia emas membaca, maka jumlah bacaan yang diperlukan hanya 200.
[47] Hasan, Hyson & Chang (2013)
[48] Ree, Al-Samarrai & Iskandar (2012).
[49] Semua negara maju berinvestasi masif untuk mengembangkan kemampuan baca warga negaranya. Amerika Serikat misalnya, yang kemampuan baca warga negaranya telah tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya (lihat tabel) menginvestasikan ribuan triliun untuk program peningkatan keterampilan baca. Pada tahun fiskal 2010 saja, Presiden Barack Obama menggelontorkan dana hingga 167 miliar USD atau sekitar 1670 triliun rupiah. Lihat Hayes, Bhat, Connors-Tadros & Martinez (2011)
[50] OECD (2010a), Hasan, Hyson & Chang (2013), World Bank (2012) 


Daftar Pustaka

Abadzi, H. (2009). Instructional time loss in developing countries: Concepts, measurement, and implications. The World Bank Research Observer, 24 (2), 267–290.

Alexander, K.L., Entwisle, D.R., & Olson, L.S. (2007). Lasting consequences of the summer learning gap. American Sociological Review,72, 167–180.

Almlund, M., Duckworth, A.L., Heckman, J., & Kautz, T. (2011). Personality psychology and economics. Dalam E.A. Hanushek, S. Machin & L. Woessmann (Eds.), Handbook of the Economics of Education, hal. 1-181. Amsterdam: Elsevier.

Armbruster, B.B., Lehr, F., & Osborn, J. (2006). A Child Becomes A Reader: Proven ideas from research for parents - Birth through Preschool. New Hampshire: The National Institute for Literacy.
Bausmith, J.M. (2012). The role of literacy in building the economy: Summer literacy interventions for grades 3–5. College Board Research Reports, The College Board.

Beck, D., & Purcell, R. (2010). Popular Education Practice for Youth and Community Development Work. Exeter: Learning Matters Ltd.

Bus, A.G., Van Ijzendoorn, M.H., & Pellegrini, A.D. (1995). Joint book reading makes for success in learning to read: A meta-analysis on intergenerational transmission of literacy. Review of Educational Research, 65, 1-21.

Bohlmann, C. & Pretorius, E. (2008). Relationships between mathematics and literacy: Exploring some underlying factors. Pythagoras,67, 42-55.

Calarco, J.M. (2011). 'I need help!' Social class and children's help-seeking in elementary school. American Sociological Review, 76 (6), 862–882.

Chen, D. (2009). The economics of teacher supply in Indonesia. Policy Research Working Paper, No. WPS 4975. Washington D.C: The Worldbank. 

Chiu, M.M., McBride-Chang, C., & Lin, D. (2011). Ecological, psychological, and cognitive components of reading difficulties: Testing the component. Journal of Learning Disabilities, 45, 5, 391-405.

Cree, A., Kay, A., & Steward, J. (2012). The Economic and Social Cost of Illiteracy: A snapshot of illiteracy in a global context (Final report from the World Literacy Foundation). World Literacy Foundation. Diunduh dari http://www.worldliteracyfoundation .org/The_Economic_&_Social_Cost_of_Illiteracy.pdf

Cunha, F., & Heckman, J.J. (2010). Investing in our young people. NBER Working Paper 16201. Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w16201

Cunningham, A.E., & Stanovich, K.E. (1997). Early reading acquisition and its relation to reading experience and ability 10 years later.Developmental Psychology, 33, 934-945.

Duckworth, A.L., & Allred, K.M. (2012). Temperament in the classroom. Dalam R. L. Shiner & M. Zentner (Eds.), Handbook of Temperament, hal. 627-644. New York: Guilford Press.

Duckworth, A.L., & Carlson, S.M. (2013). Self-regulation and school success. Dalam B. W. Sokol, F. M. E. Grouzet, & U. Müller (Eds.),Self-Regulation and Autonomy: Social and developmental dimensions of human conduct, hal. 208-230. New York: Cambridge University Press.

Duckworth, A.L., & Seligman, M.E.P. (2005). Self-discipline outdoes IQ predicting academic performance in adolescents. Psychological Science, 16 (12), 939-944.

Dunst, C.J., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Children’s story retelling as a literacy and language enhancement strategy. CELL Reviews 5 (2), 1-14. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Effects of reading to infants and toddlers on their early language development. CELL Reviews 5 (4), 1-7. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Trivette, C.M., & Hamby, D.W. (2007). Predictors of and interventions associated with later literacy accomplishments. CELL Reviews, 1 (3), 1-12. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Dunst, C.J., Williams, A.L., Trivette, C.M., Simkus, A., & Hamby, D.W. (2012). Relationships between inferential book reading strategies and young children’s language and literacy competence. CELL Reviews, 5 (10), 1-10. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Duursma, E., Augustyn, M., & Zuckerman, B. (2008). Reading aloud to children: The evidence. Archives of Diseases of Childhood, 93, 7, 554–557.

English, A.G., & Bi, C. (2009). An Analysis of the Economic Impact of the Rita Welsh Adult Literacy Program on the Williamsburg Community. The Thomas Jefferson Program in Public Policy. Diunduh dari http://www.wm.edu/as/publicpolicy/documents/ prs/rita_welsh.pdf

Farrington, C.A., Roderick, M., Allensworth, E., Nagaoka, J., Keyes, T.S., Johnson, D.W., & Beechum, N.O. (2012). Teaching Adolescents to Become Learners: The role of noncognitive factors in shaping school performance - A critical literature review. Chicago: University of Chicago Consortium on Chicago School Research

Feinstein, L. (2003). Very early evidence. CentrePiece, Summer 2003, 24-30. Centre for Economic Performance, diunduh dari http://cep.lse.ac.uk/pubs/download/CP146.pdf.

Fiester, L. (2010). Early Warning: Why reading by the end of third grade matters. Baltimore: Annie E Casey Foundation.

Fiester, L. (2013). Early Warning Confirmed. Baltimore: Annie E. Casey Foundation. 

Fite, G. (2002). Reading and math: What is the connection? A short review of the literature. Kansas Science Teacher, 14, 7-11.

Gertler, P., Heckman, J., Pinto, R., Zanolini, A., Vermeersch, C., Walker, S., Chang, S.M., & Grantham-McGregor, S. (2013). Labor market returns to early childhood stimulation: A 20-year followup to an experimental intervention in Jamaica. NBER Working Paper Series. Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w19185

Gropello, E., Kruse, A., & Tandon, P. (2011). Skills for the Labor Market in Indonesia: Trends in demand, gaps, and supply. Washington D.C: The Worldbank.

Hanushek, E.A. (2013). Economic Growth in Developing Countries: The role of human capital. New York: Stanford University.

Hanushek, E.A., & Rivkin, S.G. (2010a). The distribution of teacher quality and implications for policy. Annual Review of Economics, 4, 131–157.

Hanushek, E.A., & Rivkin, S.G. (2010b). Generalizations about using value-added measures of teacher quality. American Economic Review: Papers & proceedings, 100, 267–271.

Hanushek, E.A., & Welch, F. (eds.) (2006). Handbook of the Economics of Education, Volume 1 & 2. Amsterdam: North Holland.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2007a). The role of education quality in economic growth. Policy Research Working Paper 4122.Washington, DC: World Bank.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2007b). The Role of School Improvement in Economic Development. Cambridge, Mass.: Harvard’s Program on Education Policy and Governance.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2008). The role of cognitive skills in economic development. Journal of Economic Literature, 46 (3), 607–668.

Hanushek, E.A., & Woessmann, L. (2012). Do better schools lead to more growth? Cognitive skills, economic outcomes, and causation.Journal of Economic Growth, 17, 267–321.

Hasan, A., Hyson, M., & Chang, M.C. (2013). Early Childhood Education and Development in Poor Villages of Indonesia: Strong foundations, later success. Washington DC: The World Bank.

Hayes, C.D., Bhat, S., Connors-Tadros, L. & Martinez, L. (2011). Learning to Read: A guide to federal funding for grade-level reading proficiency. The Finance Project & Annie E. Casey Foundation.

Heckman, J.J. & Masterov, D.M. (2007). The productivity argument for investing in young children. NBER Working Paper 13016.Diunduh dari http://www.nber.org/papers/w13016

Heckman, J.J. (2008). Schools, skills, and synapses. Discussion Paper No. 3515, The Institute for the Study of Labor (IZA).

Heckman, J.J. (2011). The economics of inequality: The value of early childhood education. American Educator, Spring 2011, 31-35 & 47.

Heckman, J.J. (2012). Invest in Early Childhood Development: Reduce deficits, strengthen the economy. The Heckman Equation Project. Diunduh dari www.heckmanequation.org/031513_HeckmanDeficitPieceCUSTOM-Generic_v3.

Hernandez, D.J. (2011). Double Jeopardy: How third-grade reading skills and poverty influence high school graduation. New York: Annie E. Casey Foundation.

Justice, L.M. & Sofka, A.E. (2010). Engaging Children with Print: Building early literacy skills through quality read-alouds. New York: The Guilford Press.

Lareau, A. (2002). Invisible inequality: Social class and childrearing in black families and white families. American Sociological Review,67, 747–776.

Lareau, A. (2003). Unequal Childhoods: Class, race, and family life. Berkeley: University of California Press.

Larwin, K.H. (2010). Reading is fundamental in predicting math achievement in 10th graders. International Electronic Journal of Mathematics Education, 5 (3), 131-145.

Leou, Y.M., Chen, M.Z., Huang, Y.G., & Chen, C.T. (2009). The influences of shared reading on students’ reading comprehension and reading motivation in a rural elementary school in Taiwan. Proceedings of International Conference on Primary Education 2009. Diunduh dari http://www.ied.edu.hk/primaryed/eproceedings/ fullpaper/RN156.pdf

Lesnick, J., Goerge, R.M., Smithgall, C., & Gwynne, J. (2010). Reading on Grade Level in Third Grade: How is it related to high school performance and college enrollment? Chicago: Chapin Hall at the University of Chicago.

McClelland, M.M., Acock, A., Piccinin, A., Rhea, S.A, & Stallings, M.C. (2013). Relations between preschool attention span-persistence and age 25 educational outcomes. Early Childhood Research Quarterly, 28, 2, 314–324.

Moffitt, T.E., Arseneault, L., Belsky, D., Dickson, N., Hancox, R.J., Harrington, H.L., Houts, R., Poulton, R., Roberts, B.W., Ross, S., Sears, M.R., Thomson, W.M., & Caspi, A. (2011). A gradient of childhood self-control predicts health, wealth, and public safety.Proceedings of the National Academy of Sciences, 108, 2693-2698.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Arora, A. (2012). TIMMS 2011 International Results in Mathematics. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, Boston College.

Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. (2012). PIRLS 2011 International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International Study Center, Boston College.

Murray, S., & Shillington, R. (2011). From Poverty to Prosperity: Literacy's impact on Canada's economic success. Ontario: Canadian Literacy and Learning Network.

Musen, L. (2010). Early Reading Proficiency. New York: Annenberg Institute for School Reform at Brown University.

OECD. (2010a). PISA 2009 Results: What students know and can do – student performance in reading, mathematics and science (Volume I). PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852548.pdf

OECD. (2010b). PISA 2009 Results: Learning to Learn – Student engagement, strategies and practices (Volume III). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852630.pdf

OECD. (2010c). Pathways to Success: How knowledge and skills at age 15 shape future lives in Canada. PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd-ilibrary.org/education/pathways-to-success_9789264081925-en

OECD. (2010d). PISA 2009 Results: Learning to Learn – Student engagement, strategies and practices (Volume III). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852630.pdf

OECD. (2010e). PISA 2009 Results: Overcoming Social Background - Equity in learning opportunities and outcomes. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852584.pdf

OECD. (2011a). Against the Odds: Disadvantaged students who succeed in school. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/pisa/pisaproducts/pisa2006/47092225.pdf

OECD. (2011b). What can parents do to help their children succeed in school? PISA in Focus, volume 10, diunduh dari http://www.oecd.org/pisa/49012097.pdf

OECD. (2012a). Learning beyond Fifteen: Ten years after PISA. PISA, OECD Publishing, diunduh dari www.oecd.org/canada/49 893598.pdf

OECD. (2012b). Let's Read Them a Story! The parent factor in education. PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://www .oecd .org /pisa/ pisaproducts/ pisa2009/50298645.pdf

OECD. (2013). PISA 2012 Results: What students know and can do – Student performance in mathematics, reading and science (Volume I). PISA, OECD Publishing, diunduh dari http://dx.doi.org/10.1787/9789264201118-en.

Peterson, P.E., Woessmann, L., Hanushek, E.A., & Lastra-Anadón, C.X. (2011). Globally Challenged: Are U. S. Students Ready to Compete? The latest on each state’s international standing in math and reading. Mass.: Harvard’s Program on Education Policy and Governance & Education Next.

Pianta, R., Barnett, W.S., Burchinal, M., & Thornburg, K.R. (2009). The effects of preschool education: What we know, how public policy is or is not aligned with the evidence base, and what we need to know. Psychological Science in the Public Interest, 10 (2), 49–88.

Piasta, S.B., Justice, S.B., Justice, L.M., McGinty, A.S., & Kaderavek, J.N. (2012). Increasing young children's contact with print during shared reading: Longitudinal effects on literacy achievement. Child Development, 83, 810-820.

Protzko, J., Aronson, J., & Blair, C. (2013). How to make a young child smarter: Evidence from the database of raising intelligence.Perspectives on Psychological Science, 8 (1), 25–40.

Pusat Statistik Pendidikan. (2009). Rangkuman Statistik Persekolahan 2009/2010. Jakarta: Pusat Statistik Pendidikan

Reder, S. (2010). Adult Literacy Development and Economic Growth. Washington: National Institute for Literacy.

Ree, J.D., Al-Samarrai, S., & Iskandar, S. (2012). Sertifikasi Guru di Indonesia: Peningkatan pendapatan atau cara untuk meningkatkan pembelajaran? Washington: The Worldbank. 

Samarrai, S.A., Syukriyah, D., & Setiawan, I. (2012). Making better use of teachers: Strengthening teacher management to improve the efficiency and equity of public spending. Policy Brief. Washington DC: The World Bank.

Schlaggar, B.L. & Church, J.A. (2009). Functional neuroimaging insights into the development of skilled reading. Current Directions in Psychological Science, 18 (1), 21-26.

Senechal, M., & LeFevre, J. (2002). Parental involvement in the development of children's reading skill: A five-year longitudinal study.Child Development, 73, 445-460.

Sénéchal, M., Pagan, S., Lever, R., & Ouellette, G.P. (2008). Relations among the frequency of shared reading and 4-year-old children’s vocabulary, morphological and syntax comprehension, and narrative skills. Early Education and Development, 19, 27–44.

Suggate, S.P. (2013). Does early reading instruction help reading in the long-term? A review of empirical evidence. Research on Steiner Education, 4 (1), 123-131.

Tangney, J.P., Baumeister, R.F., & Boone, A.L. (2004). High self-control predicts good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of Personality, 72, 271-324.

Trivette, C.M., Dunst, C.J., & Gorman, E. (2010). Effects of parent-mediated joint book reading on the early language development of toddlers and preschoolers. CELL Reviews, 3 (2), 1-15. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Trivette, C.M., Hamby, D.W., Dunst, C.J., & Gorman, E. (2013). Emergent writing among young children from twelve to sixty months of age. CELL Reviews, 6 (2), 1-18. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

Trivette, C.M., Simkus, A., Dunst, C.J., & Hamby, D.W. (2012). Repeated book reading and preschoolers’ early literacy development.CELL Reviews, 5 (5), 1-13. Asheville, NC: Center for Early Literacy Learning.

UNDP (2013). Human Development Report 2013. The Rise of the South: Human progress in a diverse world. New York: UNDP.

Vilenius-Tuohimaaa, P.M., Aunolab, K., & Nurmib, J.E. (2008). The association between mathematical word problems and reading comprehension. Educational Psychology, 28 (4), 409–426.
World Bank. (2010a). Mendaki Tangga Pendidikan—Indonesia Rising: Policy priorities for 2010 and beyond. Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2010b). Transforming Indonesia’s Teaching Force, Volume I: Executive Summary. Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2012). Proyek Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (PPAUD) Indonesia: Temuan dan rekomendasi kebijakan.Washington DC: The Worldbank.

World Bank. (2013). Spending More or Spending Better: Improving education financing in Indonesia - Extended Summary. Volume 2.Washington DC: The World Bank.

World Economic Forum. (2013). The Global Competitiveness Report 2012–2013. Geneva: World Economic Forum.